Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri :14

Hari-hari berikutnya di barak prajurit, kesibukkan tampak mulai terasa dalam menghadapi kesiapan menguak tabir yang memfitnah Pajang mengganggu kedaulatan Mangir. Linggar dan Wurpasa sendiri sebagai telik sandi yang ditugaskan, telah diberi bekal yang cukup untuk melaksanakan tugasnya itu.
Selain itu perkenalannya dengan Rara Widari tidak berhenti begitu saja, ia secara tidak sengaja kembali dipertemukan disebuah pasar yang ada di utara kadipaten.
Rara Widari yang kala itu tampak sedang memilih sebuah kain selendang diantara para pedagang yang berjejal. Tak menyadari kehadiran Linggar yang berdiri dibelakangnya.
“Mas Rara!” sapa Linggar.
“Linggar? Sedang apa kau dipasar ini?” katanya dengan mata terbelalak.
“Aku tak sengaja melihatmu ada disini. Aku tadi membeli sabit untuk keperluan membersihkan pekarangan rumah milik majikanku.”
Rara Widari mengangguk-angguk dan tersenyum, kemudian segera membayar selendang yang ia pilih sebelumnya, dengan beberapa keping uang miliknya.
“Kau sudah selesai?” tanya Rara Widari.
“Ya, aku sudah mau pulang sekarang.”
“Kalau begitu kita pulang bersama saja, lagi pula kita searah, bukan?” ajak Rara Widari.
Linggar agak ragu, tetapi kemudian mengangguk. Akhirnya mereka pun pulang berdua.
“Kau tidak bertugas hari ini Linggar?” tanya Widari.
“Kebetulan hari ini libur, bukankah Wurpasa juga ada dirumah sekarang?”
“Ya. Tadi pagi aku melihatnya sedang memandikan kuda ayahku.”
Pembicaraan mereka terhenti, ketika memasuki lorong dalem katumenggungan. Di lorong itu berjejer pemuda sebaya mereka yang tampak saling menggunjing. Dan seorang pemuda diantara mereka yang bertubuh padat, tampak menyilangkan dada sambil menatap sinis.
Pemuda tadi kemudian maju selangkah, lalu satu kakinya dijulurkan menjegal langkah Linggar. Akibatnya Linggar jatuh tersungkur. Untung saja kedua tangannya mampu menopang ditanah, sehingga wajahnya tidak membentur tanah. Linggar sebenarnya dapat saja menghindar, tetapi hal itu tidak ia lakukan. Tidak lain tujuannya, agar tidak memperpanjang masalah.
Pemuda tadi dan teman-temannya yang melihat lingkar jatuh, tertawa terkekeh-kekeh sambil mencela.
“Bodohnya pemuda ini, ditiup angin saja jatuh. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi bagian dari kita?” kata salah seorang dari mereka.
Rara Widari sendiri terkejut melihat ulah para pemuda tadi, tetapi kemudian diulurkan tangannya membimbing Linggar untuk segera bangkit.
“Oh.., oh.., oh..., lihatlah pemuda kumal ini! Ia meminta tolong majikannya untuk bangun,” kata pemuda yang bertubuh padat menyindir.
Linggar tidak menimpali sindiran itu, ia hanya menepuk-nepuk kedua belah tangannya yang kotor oleh debu.
Rara Widari yang kesal melihat ulah pemuda tadi, berkata “apa urusanmu menggangguku, Dalika! Kalian ini putra para Tumenggung, seharusnya menjadi contoh teladan di dalem kadipatenan ini!”
Yang disebut Dalika tadi mencibir. “Kau tidak pantas bergaul dengan pemuda itu Rara! Dia itu hanya pembantu di rumah Tumenggung Wilamarta. Jadi apakah pantas seorang pembantu menjalin hubungan dengan majikan?”
“Kau tidak bisa membatasiku bergaul dengan siapapun Dalika! Kau bukan apa-apa dalam hal ini!” sahut Widari dengan nada tinggi.
“Widari!” kata Dalika tidak kalah keras. “Aku bertindak atas nama ayahmu Tumenggung Purbasana. Bahwa keselamatanmu menjadi tanggungjawabku sekarang!”
Rara Widari akan membantah perkataan Dalika itu, tetapi Linggar menahannya. “Sudahlah Mas Rara. Pemuda ini memang benar, tidak sepantasnyalah aku bergaul dengan kalian disini. Aku hanya pembantu dirumah Tumenggung Wilamarta, berbeda dengan kalian yang putra dari para tumenggung,” kata Linggar dengan kepala tertunduk.
Dalika langsung memotong pembicaraan. “Syukurlah, kalau kau menyadari, anak padesan. Kau tidak punya sesuatu yang dapat dibanggakan disini. Jadi, jangan pernah bermimpi. Pergilah dan jauhi Rara Widari!”
Darah muda Linggar sebenarnya menggelegak, tetapi ia mencoba menahan diri. Karena ia sadar bahwa ia adalah tamu di Kadipaten itu, meskipun kini ia telah mengabdi menjadi prajurit Pajang.
“Mas Rara.., aku pergi,” kata Linggar pendek. Sambil berlalu dengan darah yang mendidih sampai ubun-ubun.
“Linggar! Tunggu..!” Rara Widari mencoba menahan. Tetapi Dalika menarik satu lengannya ketika ia akan mengejar Linggar. Akibatnya Rara Widari tidak dapat bergeser dari tempatnya berdiri.  Ia hanya bisa meronta saja sambil memukul-mukul pundak Dalika.
“Kalian jahat!” bentak Rara Widari. Sambil mengibaskan genggaman tangan Dalika sekuat tenaga. Akibatnya genggaman tangan itu lepas, seketika itu juga ia berlari pulang meninggalkan Dalika dan teman-temannya.
Dalika sendiri tidak mengejar Widari, ia hanya menertawakannya saja sambil menyombongkan diri dihadapan teman-temannya.
“Tidak ada yang lebih berhak atas Rara Widari kecuali aku, orang yang telah dipercaya ayahnya untuk menjaganya,” kata Dalika pada teman-temannya.
Dalam pada itu Linggar yang mendapat perlakuan kasar Dalika, hanya dapat menekan perasaannya. Ia berjalan lesu diantara lorong Katumenggungan. Kata-kata sombong Dalika itu membuatnya kesal. Tetapi itu malah membuatnya semakin berhasrat untuk mengenal lebih dekat Rara Widari.
Rara Widari sendiri yang merasa perlakuan Dalika menyakiti perasaan Linggar, sempat mengadukan pada ibundanya.
“Itu hal yang biasa dalam pergaulan, Widari. Selalu ada saja pergesekkan diantara mereka. Nanti kematangan juga yang akanmendewasakan itu semua. Yang terpenting salah satu pihak mampu menahan diri. Dalam hal ini Linggarlah yang mampu memgambil sikap bijak. Pemuda itu sepertinya mempunyai kematangan dalam bersikap, sehingga tidak menuruti gejolak darah mudanya,” Nyi Tumenggung Purbasana berkata sareh.
Penilaian ibunya atas Linggar, membuat Rara Widari makin mengagumi sifat Linggar. Penilaian itu juga mempunyai kesan khusus dihatinya. Membuatnya menjadi tambah penasaran akan pribadi Linggar.
“Tetapi Dalika memang keterlaluan ibu!” kata Widari lagi. “Tidak sepantasnya ia menganggap rendah orang lain hanya karena dia dari kalangan bawah.”
Belum sempat ibundanya menanggapi, ayahandanya masuk ke pringitan dan memotong pembicaraan. “Dalika benar Widari! Kau tidak boleh bergaul dengan orang sembarangan, apalagi tidak jelas asal-usulnya!”
“Tetapi ayah..,” kata-katanya terputus.
“Sudahlah! Aku yang meminta Dalika mengawasimu. Dia itu pemuda baik dan aku pun kenal baik dengan ayahnya, Ki Tumenggung Derpayuda.”
“Tetapi aku tidak perlu dikawal ayah. Apalagi oleh Dalika, pria yang menurut ayah itu baik, sejatinya berhati kerdil. Karena  menganggap rendah orang lain, dan merasa dirinya paling mulia.”
Ki Tumenggung Purbasana tampak tersinggung mendengar perkataan putrinya itu. Ia menatap tajam putrinya dan berkata, “jangan menggurui ayahmu, Widari! Aku tahu mana yang terbaik buatmu.”
“Lagipula ayah Dalika pernah mengatakan, ingin agar putranya bertunangan denganmu. Dan aku pernah berkata menyanggupinya. Kau pun pernah kuberitahukan sebelumnya, bukan?” kata Ki Tumenggung Purbasana yang tampak mulai kesal.
“Itu hanya kesepakatan sepihak ayah dengan ayah Dalika. Tetapi yang menjalani hidup kelak adalah aku, ayah!” bantah Rara Widari.
Ki Tumenggung Purbasana makin marah, ia mengangkat tangannya hendak menampar wajah Rara Widari. Rara Widari sendiri tak bergeming, hanya memejamkan mata. Belum sempat tangan ayahnya mendarat dipipi Rara Widari, Nyi Tumenggung dengan cepat memeluk putrinya itu.
“Kangmas Tumenggung!” katanya dengan suara bergetar. “Pukulah aku! Tetapi jangan kau lukai perasaan anak kita!” katanya lagi sambil menitikkan air mata.
Tangan Ki Tumenggung Purbasana gemetar, tetapi kemudian perlahan tangannya turun lunglai menggantung dipundak.
“Kenapa kau jadi sekasar ini, kangmas?”
Ki Tumenggung Purbasana hanya terdiam dan tak bergeser dari tempatnya berdiri.
“Ini hanya masalah anak-anak muda kangmas. Kenapa kau sikapi dengan kasar begitu?” kata Nyi Tumenggung sambil mengelus rambut Rara Widari yang menangis.
“Maafkan aku Nyi,” sahut Ki Tumenggung Purbasana pendek. “Aku banyak masalah akhir-akhir ini. Uruslah Rara Widari, aku keluar dulu sebentar,” kata Ki Tumenggung sambil berlalu ke pendapa.
Sepeninggal Tumenggung Purbasana, Nyi Tumenggung mencoba menyemangati putrinya.
“Sudahlah Rara..., ayah berbuat begitu tidak lain karena terbawa pekerjaannya. Jadi jangan kau simpan di dalam hati.”
Rara Widari tidak menyahut, hanya sesenggukan sambil menyeka air matanya.\
<--Prev      Next-->

2 komentar:

Pengikut