Novel Cerita Silat Jawa

TDM [06]

Seketika itu juga masing-masing mereka mengatur diri menghadapi lawan, tidak jauh beda yang terjadi dengan Lurah Prajurit yang belum diseberangan itu. Mereka telah mulai bergerak menghadapi lawan, masing-masing mendapat lawan dua orang.
Lurah Prajurit itu melawan seorang berwajah kasar dengan senjata pedang, sementara prajurit lainnya pun menggunakan senjata pedang pula. Suara teriakan dan dentang pedang beradu terdengar sampai seberang tepian sungai. Lurah Prajurit itu bertempur dengan gesit, pedangnya berkelebat menggempur lawannya.
Lawan Lurah Prajurit itu menggeram, “Siapa kau kisanak!” tanya orang berwajah kasar itu.
“Aku Lurah Prajurit disini!”
Orang yang menjadi lawannya itu mengangguk-angguk, “pantas saja, cara berkelahimu berbeda dari yang lain.”
 
“Pergilah kalau kau takut menghadapi kami!”
Orang itu tertawa, lalu berkata, “tidak mungkin! Kalianlah yang seharusnya berlutut dikakiku, jumlahku lebih banyak daripada kalian!”
Lurah Prajurit itu pun mengambil sikap siap bertempur, sementara orang berwajah kasar itu masih saja berbicara sambil bergerak berputar seolah mencari titik serang yang mantap.
“Marilah Ki Lurah, aku sudah siap! Namaku Bonggol, aku beritahu supaya kau tidak mati penasaran!” kata orang itu sambil tertawa berkepanjangan.
Mulai pertarungan antara Bonggol dan Lurah Prajurit itu, Bonggol langsung menyerang dengan ayunan golok yang mantap, sementara Ki Lurah meladeninya dengan pedang yang berukuran panjang. Pedang itu berkelebat kesana-kemari berusaha menggapai tubuh Bonggol, tetapi Bonggol yang sudah lama bergentayangan menjadi laskar Jipang cukup terlatih menghadapi serangan itu.
Prajurit yang bertarung disekitar Ki lurah pun tak kalah gesit. Walaupun harus menghadapi lawan dua orag, tetapi semangat mereka tetap membara. Suara senjata beradu membuat riuh suasana di tepian sungai Praga itu.
Dalam pada itu awan mulai menghitam diatas sungai Praga, angin yang bertiup menambah dingin suasana pagi itu. Suara gemuruh petir menggema, mengalahkan suara orang yang berteriak-teriak mengadu senjata.
Di sisi lain, Ki Jipayana mencoba berbicara dengan Ki Wulungan. “Ki Wulungan. Biarlah aku yang menghadapi orang yang menyebut dirinya Kiai Jambe Abang itu!”
“Silahkan Ki Jipayana, kau adalah senapati disini. Tetapi kalau boleh memilih, biarlah aku yang menghadapi sahabat lamaku itu.”
Ki Jipayana memandang Raden Pamekas seolah meminta persetujuan, Raden Pamekas sendiri mengangguk setuju.
Akhirnya Kiai Jambe Abang berhadapan dengan Ki Wulungan, kedua sahabat ini akhirnya harus bertarung di medan perang walaupun beberapa puluh tahun silam berdiri bersama-sama dibawah panji Demak.
Kedua pria setengah abad itu bertarung dengan gerakan-gerakan yang mapan, karena keduanya memang cukup matang dalam olah kanuragan. Pukulan-pukulan silih berganti begitu cepat, pukulan itu selalu dapat dielakkan dengan lihainya.
Ki Jipayana dan Raden Pamekas pun sudah mulai menghadapi lawan yang memang memiliki kemampuan lebih, dibawah Kiai Jambe Abang, mereka adalah Rumbas dan Buntal. Buntal menghadapi Ki Jipayana, sedangkan pria berwajah dingin satunya menghadapi Raden Pamekas.
Ki Jipayana adalah senapati yang pilih tanding, pengalamannya di medan perang menjadikannya piawai mengatur siasat. Ketika dilihatnya Linggar yang masih belia itu, dimintanya seorang prajurit bertempur mendampinginya.
Begitu juga dengan Raden Pamekas. Walaupun dirinya seorang priyayi dari Demak, akan tetapi dibawah tempaan Adipati Pajang Karebet, ia pun bagai Senapati yang perkasa. Beberapa kali Rumbas menebaskan pedangnya ke tubuh Raden Pamekas, ia hanya bergeser dan berkelit sedikit dengah mudahnya.
Begitulah pertempuran yang seru terjadi di dua tepian sungai, yang hanya dipisahkan arus air sungai yang mengalir cepat. Di langit mentari pagi urung bersinar, karena angin yang berhembus dari hulu membawa gumpalan ke hilir. Langit pun makin hitam dan disertai rintik hujan setetes demi setetes.
Pertempuran semakin sengit, lima prajurit Demak ditambah Linggar melawan sepuluh laskar Jipang saling beradu senjata. Linggar sendiri dipinjamkan senjata berupa tombak oleh prajurit yang mendampinginya. Kendati masih belia, Linggar cukup pandai menggunakan tombaknya. Tombaknya dengan gesit membendung pedang musuhnya yang dua orang, walaupun pada awalnya prajurir pendamping itu bertugas membantunya. Tetapi setelah melihat Linggar mempunyai kemampuan yang mumpuni dibiarkannya Linggar menghadapi seorang musuh seorang diri.
Para prajurit itu mampu bertahan, meski menghadapi musuh berlipat, tetapi lama-kelamaan tenaga mereka terkuras juga, seorang prajurit yang tebasan pedangnya luput mengenai sasaran, terlambat menghindar ketika musuh yang lain menjulurkan pedangnya lurus ke lambung. Akibatnya pedang itu menembus lambungnya dan ketika ditarik, tersembur darah segar diiringi teriakan tertahan. Prajurit itu pun roboh.
Empat Prajurit yang bertempur bersama Linggar pun terkejut. Dengan tewasnya prajurit itu, tentu akan menambah jumlah lawan yang akan mereka hadapi, karena setelah mereka membinasakan prajurit itu, mereka langsung menggabungkan diri dengan yang lainnya. Dan akhirnya hal itu pun terjadi, ada satu prajurit yang dikeroyok tiga orang sekaligus.
“Pengecut! Kalian benar-benar biadab!” Ki Jipayana mrngumpat.
“Jangan berteriak-teriak seperti orang gila kisanak! Prajuritmu memang akan tumbang satu persatu!” berkata Buntal yang menjadi lawan Ki Jipayana.
“Persetan kau Buntal!”
Ki Jipayana makin meningkatkan serangan, ditusukkan pedangnya ke perut buntal yang gembul. Buntal menepis dengan goloknya ke samping, tetapi seketika itu juga kaki kanan Ki Jipayana menendang perutnya. Buntal pun terdorong mundur tergopoh-gopoh. Saat Buntal terdesak, Ki Jipayana manfaatkan untuk mengacau pertempuran. Pedangnya berkelebat mengacak-acak pertempuran, ia membantu prajuritnya yang tampak mulai kepayahan. Dua orang laskar Jipang tersayat punggungnya oleh tebasan Ki Jipayana yang mengamuk.
Buntal yang merasa kehilangan lawannya, lalu mengikat lagi Ki Jipayana dalam pertarungan.
“Jangan lari seperti pengecut kau!”
Ki Jipayana tidak dapat menghindar lagi ketika Buntal kembali mengikatnya dalam perkelahian. Golok Buntal memotong tebasan Ki Jipayana. Akhirnya mereka pun bertempur kembali dengan dahsyatnya.
Raden Pamekas yang berhadapan dengan Rumbas, tidak mengalami kesulitan yang berarti. Walaupun dengan tangan kosong, ia mampu membendung tebasan pedang Rumbas yang membadai. Bahkan sesekali pukulan bangsawan Demak itu mampu menggapai tubuh Rumbas.
“Kurang ajar! Aku akan membuatmu berlutut dikakiku Raden!”
“Lakukanlah kalau kau cukup mampu!” sahut Raden Pamekas pendek.
Keduanya kembali terlibat dalam perkelahian yang sengit. Rumbas dadanya bergejolak seolah ingin menumpahkan kemarahan dengan tebasan pedang yang membabi-buta.
Sementara itu terdengar kembali jeritan prajurit yang meregang nyawa. Dua orang prajurit lagi jatuh bersimbah darah, ketika dua buah pedang dihujamkan bertubi-tubi dari arah belakang. Dua prajurit itu pun terjerembab di pasir, pasir tepian sungai Praga itu menjadi merah oleh darah.
Raden Pamekas yang melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, meminta Linggar dan seorang prajurit yang tersisa untuk merapat.
“Berhati-hatilah jumlah mereka sekarang menjadi sepuluh orang, sementara kita bertiga. Bertempurlah berpasangan!”
Begitulah, keadaan menjadi semakin gawat. Ketiga orang itu akhirnya bertempur bersama-sama menghadapi sepuluh orang. Sementara Linggar yang belum berpengalaman tenaganya makin terkuras, setelah tidak dapat mengalahkan lawannya, kini dia harus bersama-sama menghadapi sepuluh orang laskar Jipang.
Dalam pada itu gemuruh petir makin menggelegar, suaranya bersahutan mengejutkan jantung orang-orang yang bertempur. Kemudian turunlah hujan deras membasahi tubuh-tubuh yang sebelumnya berkeringat, kini tubuhnya basah tersiram derasnya hujan. Pasir ditepian yang tadinya berwarna merah darah, kini warnanya menebar semakin luas, memerahkan tepian sungai.
Tidak beda jauh diujung tepian sungai yang lain, prajurit dibawah pimpinan Ki Lurah pun kepayahan. Terdengar jerit tertahan ketika seorang prajurit terkena tebasan pedang dilehernya. Ki Lurah darahnya serasa mendidih, digempurnya Bonggol hingga terdesak. Kemudian ia menebaskan pedangnya ke pundak Bonggol, Bonggol terlambat menghindar, pedang itu pun menancap cukup dalam di pundak Bonggol. Bonggol pun menyeringai dan berteriak-teriak mengumpat. Ki Lurah tidak perduli ia meninggalkannya dan menggapai pedang prajuritnya yang tergeletak ditanah. Dengan dua pedang ia bergerak cepat menggempur lawan, seperti orang kerasukkan matanya tak berkedip membantai lawannya. Hasilnya, dua orang dipihak lawan roboh tak bergeming, ketika dua laskar Jipang itu pedangnya ditepis, seketika itu juga sepasang pedang Ki Lurah dihujamkan kelambung dua laskar Jipang itu.
Keadaan menjadi cukup genting. Ki Lurah pun melihat dua orang prajuritnya dipisahkan dari arena, kemudian dibantai oleh lima orang, dua orang prajurit itu pun tak mampu mempertahankan diri, lalu terkulai dengan luka sayatan ditubuhnya.
Ki Lurah meminta semua prajurit yang tersisa untuk merapat, untuk menghindari siasat mereka yang mengikat musuhnya dalam satu lingkaran lalu membantainya beramai-ramai.
“Jangan berpencaran! Mereka memancing kita agar memisahkan diri!” kata Ki Lurah dengan nada nyaring.
Beberapa prajurit yang makin menjauh pun akhirnya sadar dengan siasat licik lawan, mereka pun merapat mendekati Ki Lurah. Wajah-wajah tegang itu saling menatap lawan. Ki Lurah sendiri mengatur siasat agar dapat mengimbangi lawan yang semakin berlipat itu. Dengan aba-aba dari Ki Lurah, mereka bergerak maju menggempur, tetapi ketika Ki Lurah memerintahkan untuk mundur, mereka pun mundur secara teratur, tanpa hilang kewaspadaan.
Prev   Next

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut