Novel Cerita Silat Jawa

TDM 42

Maka kini pertarungan tidak lagi menjejak tanah, mereka kini telah menaiki tunggangannya masing-masing. Raden Jaka yang berpijak pada landean tombaknya, kemudian menghunus pedang yang sedari tadi berada dilambungnya. Kemudian seperti melayang di udara ia melesat membabat leher Pangeran Pujapati. Tetapi tentu Pujapati sudah siap, ia menangkisnya dengan seruling Nagasengkala yang kini berubah menjadi tongkat yang kuat membaja. Maka bunyi dentang senjata beradu kini lebih sering terdengar, seiring dengan gempuran-gempuran dahsyat yang dipertontonkan keduanya.
Mulut ular raksasa itu berkali-kali berusaha mencaplok kepala Raden Jaka, tetapi berkali-kali pula Raden Jaka mampu berkelit menghindar. Hingga akhirnya Raden Jaka memutuskan untuk melumpuhkan ular itu terlebih dahulu, agar bisa leluasa menyerang dengan menjatuhkan Pujapati dari punggung ularnya itu.
Ketika ular itu kembali berusaha memangsanya, ia berkelit kesamping dengan cepat, kemudian melingkari ular itu untuk mencapai bagian ekornya. Dengan sekali tebas, ekor ular itu putus. Disertai suara seringai ular itu mengeluh. Seketika itu juga, keseimbangan ular itu tergoyahkan. Ular itu menjadi beringas tak terkendali, ia bergerak meliuk-liuk sambil terus mengerang. Tentu saja membuat Pujapati tak mampu mengendalikan tunggangannya sesuai keinginan.Pangeran Pujapati hanya bisa mengumpat sejadi-jadinya. Akhirnya memutuskan untuk melompat ke belakang meninggalkan tunggangannya itu. Ia hanya membiarkan ular raksasa itu terus menyerang Raden Jaka, meskipun terkamannya sudah tak terarah, tetapi cukup menyulitkan Raden Jaka untuk menyudahi perlawanannya.
Hingga akhirnya Raden Jaka melayang dengan jurus pedang mematikan, menebas mendatar di leher ular tersebut. Tidak sampai putus memang, tapi mampu mengoyak leher ular itu hampir separuh bagian. Tak ayal lagi membuat ular raksasa itu roboh terkapar di tanah.
Tetapi sesuatu terjadi diluar dugaan, ketika Raden Jaka mendarat di tanah dan baru saja menggenggam tombak Kiai Baru Klinthingnya, sebuah gumpalan hawa panas digelontorkan dari jarak jauh dengan kekuatan yang dahsyat. Gumpalan hawa panas itu ternyata dilontarkan oleh Pangeran Pujapati, rupanya disaat Raden Jaka bergelut dengan ular yang sudah terluka pada bagian ekor itu, diam-diam Pujapati mempersiapkan ajian Sembur Geni. Ajian milik Kiai Jambe Abang yang diturunkan kepada Pujapati. Ajian itu pula yang sempat berbenturan dimasa lampau dengan Ajian Bayu Semesta milik Ki Wulungan ayah dari Linggar.
Sifat dari ajian Sembur Geni adalah, mampu mengeluarkan hawa panas yang dahsyat, bahkan bisa membakar apapun yang dihantamnya. Semak belukar dan pohon sekali pun akan menjadi hangus terbakar jika terkena dampaknya.
Linggar yang hanya menyaksikan pun terkejut bukan kepalang, serangan yang tak diduga-duga itu bisa membahayakan keselamatan Raden Jaka. Tetapi apa daya, ia pun tak bisa serta merta ikut campur dalam perang tanding tersebut. Tidak terkecuali Ki Nataprawira dan Wurpasa yang mengamati dari kejauhan, mereka hanya menyaksikan dengan jantung berdebaran. Sementara Kiai Jambe Abang sendiri tidak begitu berkenan dihatinya atas apa yang dipertontonkan Pujapati anak muridnya. Ajian Pamungkas sejatinya hanya boleh digunakan ketika lawan juga dalam keadaan siap siaga. Tetapi sudah terlanjur! Anak muridnya itu tak mampu bersikap layaknya satria sejati.
Raden Jaka yang melihat bahaya mengancam di depan matanya, segera bertindak. Tombak pusaka Kiai Baru Klinthingnya diangkat setinggi bahu, kemudian dilontarkan sekuat-kuatnya memecah bulatan hawa panas ajian Sembur Geni.
Ternyata tombak itu pun tak kala pamor dengan ajian Sembur Geni, Kiai Baru Klinthing melesat dengan hawa panas membara dari mata tombak sampai landean. Sinar membara menyelimuti seluruh bagian tombak, tombak itu pun meluncur membentur bulatan hawa panas ajian Sembur Geni. Maka terdengarnya suara menggelegar seperti dentum meriam.
Kekuatan yang membentur ditengah itu tidak sampai menyentuh lawan memang, akan tetapi imbas dari benturan itu membuat keduanya terpental jauh sampai ke belakang, baik Pujapati maupun Raden Jaka. Mereka yang ada sangkut pautnya dengan kedua orang yang berperang tanding itu pun segera segera menghampiri untuk melihat keadaan masing-masing dari mereka.
“Anak Mas Pangeran! Ngger Pujapati!” kata Kiai Jambe Abang dengan tegang. Dilihatnya murid sekaligus kemenakannya itu terlentang di tanah dengan mata terpejam. Beberapa kali ia memeriksa seluruh bagian tubuh Pujapati, kemudian memijat-mijat syaraf pada beberapa bagian tubuh lemah itu. Keringat dingin mengucur deras di dahi lelaki tua itu. Setelah beberapa saat kemudian, ia baru dapat bernapas lega, Pujapati sudah terbatuk-batuk meskipun matanya masih terpejam. Pertanda Pujapati masih hidup, meskipun dalam keadaan lemah.
Sementara di sudut yang lain, Linggar bersama Ki Nataprawira dan Wurpasa telah mengerumuni Raden Jaka. Sedikit berbeda keadaan Raden Jaka, karena meskipun tak mampu bangkit, keadaannya masih sadarkan diri dan terduduk ditanah. Darah pun meleleh dibibirnya akibat imbas benturan tadi.
“Angger Wanabaya Anom!” kata Ki Nataprawira dengan cemas.
“Ya Ki Nataprawira, aku mendengarmu. Tetapi pandanganku buyar!”
“Jangan Raden paksakan, aturlah pernapasan lebih duhulu, aku akan membantumu!”
Maka kemudian Raden Jaka telah duduk bersila, kemudian mengatur pernapasannya untuk mengurangi rasa sesak pada dadanya.
Dalam pada itu kedua buah senjata, baik Nagasengkala maupun Baru Klinthing masih menancap di tanah, tepatnya dimana benturan tadi terjadi. Dan tanpa di duga-duga pula, Linggar meninggalkan Raden Jaka yang tengah mendapatkan perawatan dari Ki Nataprawira. Ia berjalan menuju tengah laga, lalu berdiri dengan kaki renggang, jaraknya hanya selangkah dari Kiai Baru Klinthing yang masih menancap di tanah.
“Kiai Jambe Abang…!” katanya lantang. “Masih mau melanjutkan permainan gila ini?”
Sontak membuat semua perhatian teralihkan kepada Linggar. Ki Nataprawira sendiri tak coba menahannya karena ia masih berusaha memulihkan Raden Jaka. Sedang Kiai Jambe Abang yang ditantang sudah hilang rasa khawatirnya, karena Pujapati pun sudah siuman walaupun masih terlampau lemah.
“Kau menantangku ngger?” katanya sambil melangkah menghampiri.
“Ya! Tidak ada pilihan lain kau menyerah atau perang tanding ini kita lanjutkan!” tantang Linggar.
Lelaki tua berjanggut itu tersenyum tipis. “Tidak perlu ngger! Lebih baik aku mengurusi muridku ini yang sedang terluka dalam. Baiklah! Kami memang menyerah, apalagi seluruh cantrik padepokan telah tercerai-berai. Aku akan pergi membawa Pujapati untuk mempertanggungjawabkan tugasku pada ibundanya.”
“Tidak bisa Kiai!” potong Linggar. “Pertanggungjawabkan perbuatanmu itu di Mangir bukan ditempat lain. Atau jika memang dirasa perlu oleh Mangir, kadipaten Pajang juga siap untuk mengadilimu!” katanya lagi dengan tegas, karena memang Linggar mengemban tugas menumpas Kiai Jambe Abang beserta pengikutnya.
Masih dengan pembawaan santai, Kiai Jambe Abang kembali menanggapi. “Kau adalah ksatria sejati, aku mengakui itu! Masa depanmu akan cemerlang kelak di kemudian hari. Lagi pula kau adalah anak dari sahabatku yang sangat aku hormati. Jadi rasanya, perang tanding tidak perlu diteruskan lagi.”
“Ini bukan saatnya untuk menasihati Kiai!” potong Linggar. “Mari kita selesaikan apa yang sudah Kiai awali sebelumnya!” katanya lagi sambil mencabut Kiai Baru Klinthing yang masih menancap di tanah.
“Kau membuatkan pilihan yang sangat sulit bagiku ngger,” sahut Jambe Abang sambil menarik napas dalam-dalam. “Tetapi baiklah. Mungkin aku tidak akan terlalu bersungguh-sungguh untuk meladenimu!”
Kiai Jambe Abang kemudian memungut Kiai Nagasengkala yang masih tergeletak di tanah. Jaraknya tidak seberapa jauh dari tempatnya berdiri. Maka, kini keduanya telah menggenggam senjatanya masing-masing, siap untuk melanjutkan perang tanding selanjutnya.
Di benak Kiai Jambe Abang masih terbayang, wajah sahabat lamanya Ki Wulungan. Wajah itu begitu membekas di wajah Linggar. Yang kini terpaksa harus dihadapinya dengan setengah hati.
“Jika memandang wajahmu, aku selalu teringat akan ayahmu. Bagaimana pun juga, suka duka sebagai prajurit yang mengabdi di Demak pernah kami jalani berdua. Jasa ayahmu sangat besar untuk keraton Demak. Terlebih saat penyerangan ke Malaka. Ayahmu adalah Nahkoda kapal yang mumpuni. Disamping mampu mengendalikan kapal, siasat perang di lautan lepas pun ayahmu tiada duanya.”
“Ya, walaupun akhirnya kami harus terpukul mundur. Tetapi dari sekian banyak korban jiwa. Ayahmu mampu menyelamatkan hampir separuh prajurit dibawah pimpinannya.”
“Cukup Kiai! Jangan melemahkan mentalku dengan menyebut-nyebut nama ayahku,” kata Linggar dengan suara bergetar.
“Hitam-putih hidupku Wulungan tahu, begitupun sebaliknya. Bahkan masa kecilmu pun saat masih di Demak aku tahu ngger!” kata Ki Wulungan lagi, yang tak mau juga menghentikan ceritanya. Kelopak matanya sedikit berkaca-kaca diantara kerut di sudut matanya.
Linggar yang makin terkuras amarahnya, langsung menyerang terlebih dahulu. Kiai Baru Klinting menyambar-nyambar mencoba menggapai tubuh Kiai Jambe Abang. Ringan saja orang tua itu menanggapinya. Ia hanya perlu bergeser kesamping sambil sesekali surut ke belakang. Tetapi Linggar terus mendesaknya dengan sedikit perasaan terganggu, akibat kata-kata Kiai Jambe Abang tentang kisah ayahnya yang terdahulu.
Linggar tidak mau dianggap sebagai kelinci permainan saja. Ia meningkatkan serangannya secara sungguh-sungguh. Kini serangannya berubah bagai tombak yang jumlahnya seperti berlipat-lipat. Akibat kecepatan gerak yang dimilikinya.
Kiai Jambe Abang pun sempat membathin. “Luar biasa sekali putera Wulungan ini. Begitu trengginas dan pantang menyerah. Aku tak bisa hanya terus hanya mengimbaginya saja, bisa-bisa aku celaka.”
Maka kini Kiai Jambe Abang terlihat bersungguh-sungguh untuk meladeni Linggar. Ia pun mulai menusuk dan memukul dengan seruling Nagasengkalanya. Sesekali seruling yang mengeras itu berbenturan dengan tombak Baru Klinthing. Pemandangan yang dipertontonkan kini adalah adu kekuatan hebat antara dua pendekar mumpuni. Satu sama lain saling berkelebat dengan jurus-jurus tingkat tinggi.
Tetapi lama-kelamaan nampak juga tingkat kemampuan mereka berdua. Linggar kemampuannya ternyata masih jauh dibawah Jambe Abang, atau kalau disimpulkan masih terlalu dini untuk menandingi pendekar setingkat Jambe Abang. Bukan berarti tingkat kanuragan Linggar dibawah Raden Jaka atau pun Pangeran Pujapati, akan tetapi lawan sepadan Kiai Jambe Abang adalah ayahnya Ki Wulungan, atau Ki Wilamarta, dan juga Adipati Pajang sinuwun Hadiwijaya yang lebih dikenal dengan Jaka Tinggkir. Di sisi lain Kiai Jambe Abang pun mengakui kemampuan kanuragan Linggar, bahwa diusianya yang belia itu, tingkat kanuragannya diatas rata-rata.
Beberapa kali Linggar kewalahan membendung seruling yang difungsikan sebagai tongkat pemukul itu. Hingga disuatu saat Linggar terdesak mundur, terlihat dari langkah kakinya yang terus surut perlahan ke belakang. Lalu dengan mudah lelaki tua berjanggut itu mengait satu kaki Linggar, sontak saja Linggar hilang keseimbangan dan jatuh terduduk ditanah. Pada titik mendebarkan itulah, Kiai Jambe Abang mengangkat tinggi-tinggi seruling Nagasengakanya, bermaksud hendak membenturkan ke kepala Linggar. Linggar seperti tak memiliki sedikit waktu untuk menghindar ketika Seruling yang membatu itu berubah menjadi berwarna merah hati dan akan membelah kepalanya. Ia hanya dapat memejamkan mata saja, karena Kiai Baru Klinthing yang diandalkan dapat menghalau laju Nagasengkala itu, tergeletak jatuh dari genggaman. Kemudian terasa desir angin laju benda tumpul itu mengarah ke kepalanya, disusul bau sangit seperti sesuatu terbakar.
Tetapi sungguh diluar dugaan, Linggar tak merasakan kepalanya terbentur benda tumpul sama sekali. Ia perlahan membuka matanya dan melihat Kiai Jambe Abang masih setengah berjongkok dengan satu lutut menopang ke tanah. Dahinya berkeringat dan napasnya terengah-engah. Kemudian disekeliling Linggar nampak rumput terbakar dengan tanah yang legok ke dalam berbentuk setengah Lingkaran.
Rupanya lelaki tua sahabat ayahnya itu urung melukai Linggar. Entah apa sebabnya? Yang jelas, Nagasengkala yang tadinya akan di benturkan ke kepala Linggar, berubah arah ke samping menggurat tanah di sisi Linggar.
“Kenapa kau tak jadi membunuhku Kiai?” tanya Linggar, sambil bangkit berdiri. Diikuti Kiai Jambe Abang.
“Aku tak bisa ngger!” jawab Kiai Jambe Abang pendek.
“Bukankah dengan melenyapkanku kau sudah menyempurnakan membunuh garis keturunan Wulungan sahabatmu?” katanya masih dengan semangat ingin melanjutkan perang tanding.
“Diwajahmu masih terbersit bayang wajah Wulungan sahabatku! Perbawa Wulunganlah yang mengurungkan niatku,” katanya dengan nada dalam.
“Lepaskanlah wibawa ayahku! Kau berhadapan bukan dengan anaknya, tetapi dengan prajurit pilihan dari kadipaten Pajang!” katanya dengan tegas, karena memang Linggar jelas dalam garis perintah Kadipaten Pajang.
Kiai Jambe Abang makin tak tahu apa yang harus dilakukan? Karena sejatinya ia sadar, Linggar bukan lawan sepadan baginya. Terlebih lagi bayang-bayang sahabat lamanya tergambar jelas di wajah Linggar, ketika ia hendak menyerang Linggar dibagian yang mematikan, bathinnya selalu terganggu wibawa ayahnya. Bahkan matanya sempat berkaca-kaca mengenang sahabat lamanya yang terpaksa pernah berperang tanding dengannya itu. Dan sebab itulah sampai kini sahabat lamanya itu tidak diketahui keberadaannya. Menyisakan putera terbaik yang kini mengabdi sebagai prajurit Pajang dan terpaksa harus dihadapinya. Sebenarnya selain tugas keprajuritan, Linggar masih menyimpan dendam pada Kiai jambe Abang. Sebagai sebab atas nasib ayahnya yang terpisahkan beberapa waktu silam.
“Terserah kepadamu ngger. Aku sudah mengaku kalah dan lebih baik aku mengurusi muridku yang terluka itu!”
“Tidak bisa Kiai! Selain menangkapmu, aku juga mempunyai tugas merebut kembali Kiai Nagasengkala yang pernah kau curi!”
Kiai Jambe Abang menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Linggar. Linggar sendiri masih menghunus tombaknya, berjaga-jaga jika Kiai jambe Abang menyerangnya lagi. Tetapi diluar dugaan, ia hanya santai saja sambil menepuk pundak Linggar ia menyerahkan pusaka Kiai Nagasengkala.
“Kuserahkan padamu. Terserah mau kau kembalikan pada Karebet atau kau memang ingin memilikinya,” katanya sambil menatap Linggar yang masih memandangnya dengan tegang. “Kini kau punya dua senjata pusaka sekaligus untuk menghabisi aku dan muridku itu! Lakukanlah!”
Kemudian Kiai Jambe Abang dengan acuhnya membalikkan badan meninggalkan Linggar yang terpaku. Linggar sendiri terlihat bingung dengan tingkah Kiai Jambe Abang yang berubah dengan cepat itu.
“Kiai..! Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu dari belakang!” ancam Linggar dengan suara lantang.
“Terserah kepadamu sajalah! Aku sudah tidak berminat lagi untuk berperang tanding denganmu!” katanya acuh.
Linggar terpaku sendiri menatap dua senjata pusaka yang telah berada dalam genggamannya itu. Tetapi keadaan itu tidak lama buyar, karena kemudian di puncak Sambung itu digegerkan dengan kehadiran sepuluh orang berkuda. Tak diketahui dari mana arah datangnya, mereka telah berkuda mengelilingi tempat dimana Linggar dan Kiai Jambe Abang berperang tanding.


<<<PREV   NEXT >>>

5 komentar:

  1. TERIMAKASIH BOSSKU... KARYA YANG LUAR BIASA .... SELALU SETIA MENANTI KELANJUTANYA.... SEMOGA TAMBAH SUKSES... AMIIN

    BalasHapus
  2. masih setia menunggu kisah selanjutnya....

    BalasHapus

Pengikut