Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri 15

Sementara itu Tumenggung Purbasana berkuda menuju salah satu rumah di dalem katumenggungan.
“Ada apa Purbasana? Wajahmu kusut begitu,” tanya seorang yang ditujunya.
“Tidak apa Derpayuda. Aku hanya sedikit bosan saja dirumah.”
Tumenggung Derpayuda kemudian mempersilahkan sahabat karibnya itu masuk ke pendapa.
“Purbasana. Apakah ada sesuatu yang mengganjal dihatimu? Sehingga kulihat kau tidak seperti biasanya.”
“Tidak apa Derpayuda. Kegelisahanku akhir-akhir ini begitu mengganggu pikiranku.”
“Apa itu kalau aku boleh tahu?”
Ki Purbasana menarik napas panjang. “Sampai diusiaku yang sekarang ini, aku belum juga mendapatkan anak laki-laki. Padahal aku ingin akan ada dari keturunanku yang bisa mewarisi segala yang aku sandang selama ini. Istriku belum bisa mewujudkannya setelah Rara Widari. Apakah aku ini memang sudah digariskan tidak bisa memiliki keturunan?”
Ki Derpayuda mengangguk-angguk. “Purbasana. Kau jangan menjadi putus asa. Bukankah selama ini kau telah menjalin hubungan khusus dengan adik perempuanku? Kenapa kau belum juga mewujudkan impianmu itu dengan menikahinya?”
“Tapi bagaimana mungkin Derpayuda? Jika istriku tahu, aku akan kehilangan anak dan istriku.”
“Kau tidak usah khawatir. Kau tidak perlu menggelar pesta pernikahan, kau langsungkan saja secara sederhana di desa kelahiranku.”
Ki Purbasana sejenak termenung, kemudian tersentak ketika seorang perempuan menghidangkan minuman hangat.
“Sudah lama kakang?” sapa perempuan tadi. Perempuan yang jauh lebih muda dibandingkan istri Ki Purbasana. Bukan saja muda tetapi cantik.
“Oh, Utari,” katanya tergagap. “Baru saja, aku baru tiba.”
“Silahkan diminum kakang,” kata perempuan yang dipanggil Utari tadi. Kemudian berlalu ke pringitan.
Tatapan Ki Purbasana tidak berhenti sebelum Utari hilang dari pandangan.
“Purbasana!” kata Ki Derpayuda mengejutkan lamunannya.
“Ya, Derpayuda.”
“Apalagi yang kau tunggu? Adikku punya segala yang ada pada wanita, itu yang pertama. Yang kedua, Rara Widari dapat kita jodohkan dengan Dalika anak laki-lakiku. Dengan begitu apa yang kau miliki sekarang tidak akan kemana-mana,” kata Ki Derpayuda.
“Akan aku pikirkan Derpayuda. Setelah semuanya ini selesai, itu akan aku lakukan.”
Ki Derpayuda tersenyum, lalu katanya, “Baiklah Purbasana, pembicaraan yang satu ini kita sudahi dulu. Sekarang aku akan membahas tugas-tugas kita selanjutnya.”
Ki Tumenggung Derpayuda memperbaiki duduknya, lalu mulai membuka pembicaraan.
“Wilamarta telah mewaspadai pergerakan di Alas Mentaok, kita harus bergerak cepat sebelum mereka melakukan tindakan. Prajurit-prajurit di Padepokan Watu Belah itu harus sudah siap, dalam kurun waktu 1 bulan lagi. Karena pimpinan kita Pangeran Pujapati, sudah memberi putusan. Bahwa sedianya kita akan menguasai Mangir terlebih dahulu, sebelum merebut Pajang dari kekuasaan pemuda Tingkir itu. Dan Pangeran Pujapati merasa lebih berhak atas wahyu keraton, daripada Arya Jipang sekalipun. Karena dia merupakan keturunan Brawijaya Pamungkas. Diperkuat lagi dengan tanda berupa senjata pusaka yang sudah turun-temurun dimiliki Majapahit.”
“Benar Derpayuda, aku pun sependapat. Jangan sampai kita berdua diketahui mendukung perjuangan Pangeran Pujapati, sebelum kita bisa menguasai Mangir. Kita juga sudah berusaha membentrokkan Pajang dengan Mangir, tinggal menunggu saja perasaan saling curiga itu mencapai puncaknya.”
Ki Tumenggung Purbasana dan Ki Tumenggung Derpayuda ternyata adalah orang dalam Kadipaten Pajang yang berusaha memberontak terdapat kuasa Adipati Pajang. Ki Tumenggung Wilamarta sebagai orang kepercayaan Sang Adipati, sebenarnya sudah mengetahui peran orang dalam Kadipaten, hanya saja belum tahu siapa pelakunya.
Dan orang yang disebut Pangeran Pujapati itulah, orang yang menjadi gerah setelah Adipati Hadiwijaya berniat menjadikan Pajang sebagai kelanjutan dari Demak. Untuk itu ia membuat perlawanan atas kekuasaan Hadiwijaya dengan membuat landasan di Alas Mentaok.
Sementara itu rasa saling ingin mengenal antara Linggar dan Rara Widari semakin mendalam. Dalam arti, selayaknya muda-mudi yang baru tumbuh. Bahkan disuatu saat Linggar sengaja menyempatkan waktunya untuk melihat Rara Widari menari. Disanggar yang terletak tidak jauh dari pasar, Linggar berdiri memandang lenggak-lenggok Rara Widari diiringi gamelan. Rara Widari yang melihat kehadiran Linggar hanya tersenyum simpul, sambil terus menyelesaikan tarinya.
Setelah latihan usai, Rara Widari menghampiri Linggar yang menunggunya sejak tadi.
“Kau sudah lama, Linggar?”
“Baru saja, Mas Rara.”
“Jangan panggil aku begitu! Rara saja sudah cukup.”
“Kenapa begitu? Aku hanya menghormati adat yang berlaku.”
“Ya, tetapi ini bukan dilingkungan dalem kadipaten. Dan sebenarnya aku tidak ingin ada jarak diantara kita.”
“Benar begitu?” tanya Linggar sambil tersenyum.
Rara Widari memerah wajahnya. “Maksudku tidak ada kedudukan yang lebih tinggi diantara manusia, kecuali kedekatannya kepada yang Maha Kuasa.”
“Oh begitu…, aku mengerti Rara. Begitu aku boleh memanggilmu?” tanya Linggar menggoda.
“Ah kau ini..,” sahut Widari sambil mencubit lengan Linggar. Linggar hanya meringis dan tertawa lirih, ketika jemari lentik putri Tumenggung Purbasana itu mencubit lengannya.
Keduanya masih duduk diluar sanggar, sambil berbincang-bincang dibawah rindangnya pohon asam. Tampak disanggar itu kegiatan tari masih berlangsung. Tetapi tidak jauh dari sanggar itu tampak juga beberapa pemuda sedang berlatih ilmu kanuragan di tanah lapang.
“Rara, tempat ini lebih mirip padepokan, ketimbang sanggar tari?” tanya Linggar.
“Ya, memang. Sanggar ini dipimpin oleh Ajar Kesada suami istri. Nyi Ajar Kesada melatih tari, sedangkan suaminya melatih ilmu kanuragan. Ki Ajar Kesada sendiri menjadi guru bagi para putra tumenggung Kadipaten Pajang.”
“Dan Nyi Kesada walaupun melatih tari, tetapi ia juga mempunyai ilmu kanuragan seperti suaminya. Aku sempat diajarkan latihan pernapasan oleh Nyi Ajar Kesada. Tetapi hanya untuk keperluan tari bukan olah kanuragan.”
“Apakah kau tidak tertarik mempelajarinya?” tanya Linggar.
“Untuk saat ini belum. Mungkin nanti saat aku sudah diwisuda.”
Sekilas Linggar melihat Dalika pada barisan pemuda yang sedang berlatih kanuragan itu. Dalika memandangnya tajam, seolah tidak senang melihat Linggar yang sedang berduaan dengan Rara Widari.
Karena tidak ingin terjadi masalah Linggar pun mohon diri untuk pulang.
“Aku tidak bisa berlama-lama disini, Rara. Aku mau pulang.”
“Begitu cepat? Kalau begitu, marilah kita pulang bersama,” sahut Widari tanpa ragu.
Linggar tak dapat menolak, ia pun kemudian meninggalkan Sanggar Ki Ajar Kesada bersama Widari.
“Kenapa kau begitu tergesa-gesa?” tanya Widari lagi.
“Aku lihat ada Dalika diantara pemuda tadi. Aku tidak ingin timbul masalah.”
Rara Widari mengangguk-angguk. “Ya. Ia memang sangat menyebalkan! Maafkan tindakannya waktu itu yang menghinamu Linggar.”
“Tidak apa Rara. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.”
“Maksudmu?” tanya Rara Widari heran.
“Jauh sebelum aku sampai di tempat ini. Aku pernah mengalami fitnah yang lebih keji ketimbang hinaan Dalika itu. Sehingga karena peristiwa pula membuat aku telah terusir dari tanah kelahiranku. Lebih dari itu, peristiwa itu telah mencerai-beraikan keluargaku,” Linggar berkata. Lalu menghentikan langkahnya, dan duduk di sebuah gardu di kelokan jalan. Rara Widari yang merasa tersentuh mendengar penuturan itu, duduk menyimak disebelahnya.
“Seluruh penduduk di Kademanganku memandangku rendah, karena dianggap memberontak kepada Demak. Padahal yang aku lakukan hanya menolong orang yang sedang terluka, terlepas ia penjahat atau bukan. Dan karena itu aku terusir, terusir dari tanah kelahiranku sendiri. Kutinggalkan Matesih dengan kepala tertunduk, disaksikan orang-orang yang berdiri berjajar sepanjang jalan menuju perbatasan Matesih,” Linggar bercerita dengan sedikit mata berkaca-kaca.
Rara Widari yang menyimak cerita itu merasa ikut prihatin. Ternyata pemuda dihadapannya adalah, pria yang penuh luka. Luka perjalanan hidup yang masih membekas dihatinya, dan sulit dilupakan.
“Apakah kau masih mendendam Linggar?” tanya Widari.
Linggar menarik napas dalam-dalam. “Aku sedang berusaha melupakan peristiwa itu. Dan sebab itulah yang membuat aku masih berada di Pajang. Tetapi setiap kali peristiwa itu terlintas di benakku, rasa-rasanya dada ini bergetar hebat dan ingin segera kutumpahkan dendamku.”
“Api dendam itu sudah padam sebenarnya, tapi baranya masih membara diantara tumpukan abu disudut hatiku. Aku takut suatu saat api itu dapat saja menyala kembali, ketika diterpa angin yang sangat kencang. Begitulah suasana hatiku saat ini.”
Sesaat keduanya mematung membisu. Tetapi kemudian Linggar tersenyum memandang Widari.
“Maafkan aku Rara, aku bercerita yang sebenarnya tidak perlu kau dengar. Rasanya lega hati ini setelah kutumpahkan gundah hati ini.”
“Tidak apa, Linggar. Aku senang bisa menjadi tempat berbagi buatmu. Mudah-mudahan yang terpisah itu, akan segera dipersatukan,” sahut Widari dengan sareh.

<--Prev   Next-->

1 komentar:

Pengikut