Novel Cerita Silat Jawa

TDM 24

Bajul Wedi makin naik darah, baginya tidak perlu lagi menunggu serangan. Ia pun kemudian memerintahkan murid padepokannya maju menyongsong.
Begitu juga di pihak prajurit Pajang, mereka masuk berhamburan ke dalam padepokan, kemudian mengatur diri membentuk gelar perang.
Ki Lurah Rangga Jati menerapkan gelar Garuda Nglayang. Gelar perang ini seperti layaknya burung garuda yang terbang melayang-layang dan pada saat tertentu menukik menyergap sasaran, dan kemudian dengan ganas mencabik dan merobeknya.
Ki Lurah Rangga Jati yang berada di bagian tengah atau sebagai paruh burung, bertugas sebagai pengatur irama serangan. Ia mengatur kedalaman dengan mematuk lawan pada bagian jantung pertahanan. Pada bagian sayap sebagai pengapit adalah Linggar dan Wurpasa. Sementara di bagian ekor sebagai pengatur serangan inti adalah Raden Pamekas.
Ki Lurah Rangga Jati yang berada di garda terdepan, dengan penuh semangat menyerang lawan-lawannya. Pedangnya menebas kekanan dan kekiri dengan gesit, hingga menyulitkan lawan untuk membatasi geraknya. Meski begitu orang-orang padepokan tidak hilang akal, mereka kemudian mengurung Ki Lurah dengan menempatkan tiga orang. Sementara yang lain bertempur satu lawan satu.
Kendati pun begitu Ki Lurah Rangga Jati bukanlah orang yang mudah ditaklukkan, meskipun dikurung tiga orang lawan, ia mampu mendesak lawannya bahkan sesekali membantu serangan yang lain, meskipun kadang harus kembali bertahan menghadapi serangan tiga orang yang saling mengisi itu.
Ketiga lawan Ki Lurah tidak mampu bertahan lama menghadapi jurus-jurus pedang Ki Lurah. Ketika dengan cepat Ki Lurah mendesak seorang yang bertubuh kurus, orang yang bertubuh kurus itu mampu menepis pedang Ki Lurah, walaupun benturan pedangnya membuat tangannya bergetar beberapa kali. Akhirnya Ki Lurah mampu menjulurkan pedangnya ke dada sebelah kiri orang kurus itu. Pedang itu menembus dadanya dua ruas jari, membuat darah terpercik ketika dicabut oleh Ki lurah. Orang itu mengeluh pendek. Sementara yang dua lagi menyerang dari arah samping dengan tusukan tombak. Ki Lurah menghindarinya dengan berjongkok dengan kepala tertunduk dalam. Begitu tombak itu berada di atas kepalanya, dan lawan dalam keadaan mendekat, dengan cepat pedangnya ditangan kanan di tebas mendatar kekiri. Akibatnya dua lawanya terluka gores pada bagian lambung dan menitikkan darah, walaupun tidak terlalu dalam tetapi luka itu menimbulkan luka yang pedih karena bercampur peluh yang mengalir. Kedua Orang itu pun menarik diri dari pertempuran.
Ki Lurah Rangga Jati kini bebas dari kurungan lawan, ia kembali meneriakkan semangat kepada para prajuritnya.
“Gempur terus..! Pantang bagi kita untuk surut selangkah!” katanya lantang.
Teriakan itu pun disambut gemuruh prajurit lainnya. Kini pada bagian paruh, dari gelar garuda Nglayang pimpinan Ki Lurah Rangga Jati, dapat kembali merangsek ke jantung pertahanan lawan dengan mematuk bagian tengah lawan yang mulai hilang keseimbangan.
Orang-orang padepokan Watu belah memang tidak seperti prajurit Pajang yang terlatih dengan gelar perang. Mereka lebih mengandalkan beberapa orang diantara mereka yang mempunyai ilmu kanuragan yang mumpuni. Bajul Wedi sebagai Cantrik menyebar beberapa orang itu sebagai penyeimbang. Bajul Wedi sebagai pengatur serangan mengumpat habis-habisan ketika dilihatnya bagian tengah pasukannya terdesak.
“Bawuk Sangit!” Bajul Wedi berteriak-teriak.
Maka menyibaklah seorang yang bertubuh hitam legam bersenjatakan bandil. Orang yang dipanggil Bawuk Sangit itu bertubuh gempal.
“Ada apa kakang Bajul Wedi!” katanya.
“Gunakan otakmu! Lihat, pasukan yang terpusat ditengah, sekarang dalam keadaan terdesak. Tempatkan dirimu dibagian itu, jangan berperang tanpa perhitungan! Ini perang brubuh, bukan perang tanding, Bawuk Sangit!” Bajul Wedi membentak.
“Baiklah Kakang, aku akan segera melawan orang yang seperti banteng ketaton itu,” sahut Bawuk Sangit sambil menyeret Bandil bergerigi tajam miliknya menghampiri Ki Lurah.
“Kau lawanku sekarang kisanak!” kata Bawuk Sangit dengan nada dalam.
Ki Lurah yang sedang bertempur, sempat menoleh kepada Bawuk Sangit. Ia pun segera mengendurkan serangan pada lawannya, sedang lawan Ki Lurah yang melihat kehadiran Bawuk Sangit melepaskan diri dari Ki Lurah. Karena ia paham betul Bawuk Sangit salah satu murid padepokan yang sangat disegani karena kemampuannya dalam olah kanuragan.
“Siapa namamu kisanak?” kata Ki Lurah dengan tatapan tajam. Ia bertanya hanya sekedar mengatur napasnya yang sedang memburu akibat pertempuran sebelumnya.
“Aku Bawuk Sangit! Orang yang sebelumnya sudah malang-melintang di hutan Tambak Baya. Aku adalah gegedug dari hutan Tambak Baya,” katanya dengan bangga memperkenalkan diri.
“Aku adalah Lurah Prajurit Pajang, Bawuk Sangit. Aku sudah siap jika kau ingin bermain-main dengan bandil mainanmu itu,” ejek Ki Lurah.
“Kurang Ajar kau Ki Lurah! Jabatanmu di Keprajuritan Pajang tidak akan menggetarkan nyaliku. Kau akan merasakan betapa pedihnya luka goresan akibat gerigi tajam pada bandilku!” kata Bawuk Sangit sambil menggenggam rantai bandil siap bertempur.
Sementara itu di bagian sayap kiri, Wurpasa bertempur dengan gagah berani. Sebagai pemimpin sayap pengapit ia bergerak cepat menyerang berputar-putar, kadang bergerak maju sejajar dengan pasukan pada bagian tengah, atau paruh. Tetapi kadang menyerang melebar seperti kepayakan sayap burung garuda.
Pada bagian sayap kiri, Linggar dengan sepasang pedang tipisnya bergerak trengginas. Ia mampu memanfaatkan dua pedangnya untuk menghambat pergerakkan lawan. Kelebatan dua pedangnya, melukai lawan-lawannya yang mencoba mendesaknya. Bahkan kini terlihat bagian sayap kanan mampu mengurai lapis pertama kekuatan padepokan Watu belah. Maka kini pada lapis kedua, Linggar menghadapi prajurit Pajang yang membelot dibawah pimpinan Derpayuda dan Purbasana.
Walaupun sebenarnya mereka adalah prajurit Pajang, tetapi pakaian mereka tidak menunjukkan bahwa mereka adalah seorang prajurit. Tetapi Linggar dapat mengetahui cara bertempur mereka yang terpola seperti seorang prajurit. Hal itu pun tidak hanya Linggar yang menduga, melainkan para prajurit pajang yang lainnya pun mengira demikian.
“Kau pimpinan dilapis kedua ini kisanak?” tanya Linggar.
“Ya. Kau ingin menjadi lawanku?” kata lawan bicara Linggar, orang yang berkumis melintang dengan suara serak dan dalam.
“Kalian pastilah para pembelot Pajang. Terlihat dari cara bertempur anak buahmu yang terpola itu, kisanak?” tanya Linggar.
“Apa pedulimu! Aku tidak memakai seragam kelengkapan prajurit Pajang. Jangan menduga yang tidak-tidak!”
Linggar tersenyum tipis. “Terserah kepadamu, yang jelas tidak ada ampun bagi para pengkhianat seperti kalian?”
Orang berkumis melintang tadi menjadi naik darah, baginya tidak perlu lagi mengungkapkan jatidiri pada perang yang telah melibatkan gabungan dua kekuatan itu. Yaitu kekuatan Padepokan Watu Belah dan sebagian lagi kekuatan prajurit Pajang yang telah membelot dan mendukung perjuanganPangeran Pujapati. Lagipula para pembelot itu selama ini merasa lebih diuntungkan menjadi kaki tangan dari Pangeran itu. Upahnya selama menjadi kaki tangan pangeran itu, jauh lebih besar ketimbang upahnya sebagai seorang prajurit Pajang. Pertimbangan itulah yang membuat mereka memberontak kepada Pajang.
Orang berkumis itu kemudian menarik pedang dilambungnya, lalu menghunus pedangnya siap bertempur. Linggar yang pedangnya masih tergenggam erat di tangan, pun segera mempersiapkan diri.
Linggar berdiri dengan kaki renggang, sementara kedua pedangnya masih merunduk menghadap ke tanah. Dengan dua tarikan napas kemudian iamenggempur orang yang berkumis melintang tadi. Tetapi orang itu pun bukan orang sembarangan, karena ia adalah pemimpin lapis dua dari kekuatan di padepokan itu. Walaupun dengan satu pedang ia mampu mengimbangi sepasang pedang Linggar yang bergerak bersaman dan susul-menyusul.
Di barisan belakang lapis dua, baik Tumenggung Purbasana maupun Derpayuda yang telah mengenal Linggar sebelumnya, berdebar-debar. Meskipun tentu Linggar kemampuannya masih dibawah mereka, tetapi melihat kemampuannya memimpin sayap pasukan membuat dua tumenggung itu terheran-heran.
“Pemuda dari Matesih itu berbahaya sekali, Derpayuda!” kata Tumenggung Purbasana.
“Ya, kau benar! Tentu saja atas bimbingan Rangga Jati dan Wilamarta bukan tidak mungkin, Purbasana,” sahut Derpayuda. “Tetapi waktu itu Dalika mampu melukainya, Purbasana. Walaupun sebenarnya aku ragu dengan kemampuan berkelahi anakku itu.”
“Ya. Memang memungkinkan jika pemuda yang bernama Linggar itu ditempa dengan keras oleh Rangga Jati, ia menjadi lebih tajam dan mumpuni. Berbeda dengan Ki Ajar Kesada yang terkesan ragu-ragu mengajarkan ilmunya pada putramu Dalika dan putra para Tumenggung lainnya,” ujar Tumenggung Purbasana.
“Ajar Kesada memang sudah tidak pantas menjadi guru putra-putra para Tumenggung. Secepatnya ia harus diperingati atau diberhentikan sama sekali,” kata Tumenggung Derpayuda kesal.
Dua Tumenggung yang menjadi pimpinan para prajurit pembelot itu masih memperhatikan jalannya perang. Mereka berdua mengamati dari kejauhan lurah prajuritnya yang bertarung dengan Linggar, seorang pemuda dari Matesih yang pernah menyertai Raden Pamekas dari lereng Tidar menuju ke Pajang.
Disana-sini suara dentang senjata terdengar riuh, bercampur dengan teriakan-teriakan mereka yang berperang. Terlihat beberapa orang yang sedang merintih, menahan sakit akibat luka tusukan tombak ataupun goresan pedang. Mereka terkapar di tanah dan ada yang bersandar pada batang-batang pohon. Darah berceceran dimana-mana, ditambah bau amis yang membuat bulu kuduk meremang.
Perang memang meninggalkan luka yang mendalam. Perang memang bukan sesuatu yang dikehendaki, karena akibatnya begitu mengerikan. Tetapi manusia memang mahluk yang lemah, yang kadang tak bisa mengendalikan hawa nafsunya. Akibatnya jatuh korban yang seharusnya tidak perlu, korban yang tidak tahu arti dari apa yang sebenarnya mereka perebutkan? Atau juga karena ketamakan, iming-iming harta yang memabukan.
Perang memang begitu kejam…..
Untuk apa dan siapa sebenarnya perang itu sendiri?
Apakah semuanya harus dibayar dengan darah?
Sedang yang Maha Kuasa saja begitu Pengasih dan Pemurah.
Lalu mengapa kita merubah welas asihNya dengan angkara?
Sungguh tak sebanding dengan anugerah yang tercurah
Jika manusia terus beradu senjata menunjukkan siapa yang kuat?
Karena sesungguhnya tiada kekuatan yang lebih tinggi selain daripadaNya

<-- Prev     Next -->

1 komentar:

Pengikut