Novel Cerita Silat Jawa

TDM 40

Sementara di sisi timur, dikagetkan dengan seruan perintah mundur dari peperangan oleh pihak padepokan Watu Belah. Kontan saja seruan itu dipatuhi tanpa banyak pikir. Ki Nataprawira terheran-heran melihatnya, ia pikir kekuatan mereka di sisi timur masih cukup kuat, mengapa mereka memilih mundur dari laga?
Ki Nataprawira kemudian mencoba memperingati laskarnya agar jangan mengejar pihak lawan yang menarik diri dari medan perang. Ia pun kembali mengatur barisan agar tetap dalam satu tongkat kepemimpinan.
“Cukup! Tidak usah dikejar para cantrik itu. Sekarang periksa kembali para laskar kita. Beristirahatlah! Pastikan yang terluka mendapat perawatan khusus!” perintah Panglima Mangir itu.
Ki Nataprawira sempat meninjau mereka yang terluka dan memberi beberapa petunjuk. Kemudian pikirannya kembali teringat akan Raden Jaka yang terpisah dari medan pertempuran. Ia pun mencoba menyisir daerah sekitar mencari jejak Raden Jaka yang sebelumnya memisahkan diri.
Rumput-rumput yang terinjak dan belukar yang tersibak menuntun langkah Panglima Mangir itu.
“Luar biasa! Rupanya sudah terjadi pertarungan hebat, antar keduanya,” Ki Nataprawira membathin.
Kemudian mata Panglima Mangir itu terbelalak, ketika menemukan sosok tubuh bersimbah darah.
“Getas Angin tewas! Itu artinya Raden Jaka unggul darinya. Tetapi dimana keberadaan putra Ki Ageng itu sekarang?” Ki Nataprawira menebarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.
Ki Nataprawira menjadi serba salah kemudian. Disatu sisi ia harus mencari keberadaan Raden Jaka, disisi lain ia tidak bisa meninggalkan laskar Mangir yang dipimpinnya. Tetapi untuk kepentingan yang lebih luas, Ki Nataprawira lebih memilih kembali ke pasukannya.
Sekembalinya ia, sudah berkumpul laskar Mangir dan prajurit Pajang yang menggabungkan diri. Terlihat pula Linggar dan Wurpasa sebagai pimpinan prajurit Pajang. Ki Nataprawira langsung menanyakan keadaan Linggar dan prajuritnya.
“Bagaimana keadaan prajuritmu Linggar?”
“Ada beberapa yang terluka Ki.., termasuk aku dan Wurpasa.”
“Bagaimana keadaanmu sendiri?” katanya dengan cemas.
“Sudah lebih baik Ki, cuma sedikit lemas akibat racun ditubuhku sebelumnya,” jawab Linggar.
“Syukurlah. Aku ucapkan selamat atas keberhasilanmu di sisi selatan. Di sisi timur pun sebenarnya perang belum dikatakan usai, hanya saja tadi terdengar perintah menarik diri. Aku pun sudah kehilangan Raden Jaka, aku tak tahu keberadaannya.”
“Maksud Ki Nataprawira, Raden Jaka terpisah?”
“Benar ngger. Ia sebelumnya bertarung dengan Getas Angin, dan Getas Angin pun sudah aku temukan terkapar. Tetapi anehnya Raden Jaka tidak aku temukan ditempat itu, dan dia pun tidak kembali pada pasukannya.”
Baik Linggar maupun Wurpasa dan beberapa lainnya yang mendengar, terdiam dan menerka dengan pikirannya masing-masing. Ada yang berpikir putra Ki Ageng itu menerobos masuk padepokan sendiri, bahkan ada pula yang mengira ia diculik para cantrik Watu Belah.
“Apa sebaiknya yang harus kita lakukan Ki Nataprawira?” tanya Linggar memecah kebisuan.
Ki Nataprawira merenung sejenak. Sulit baginya untuk segera memutuskan, apalagi kondisi Raden Jaka yang belum jelas keberadaannya.  “Hari sudah semakin sore, sebentar lagi keadaan disini akan menjadi semakin gelap. Sebaiknya kita persiapkan obor-obor untuk penerangan. Aku tidak ingin keadaan yang gelap nanti dimanfaatkan orang-orang yang ingin berbuat curang.”
Pernyataan Panglima Mangir itu pun langsung ditanggapi para laskar Mangir dengan membuat lampu obor dari minyak jarak.
“Angger Linggar.., akan lebih baik kalau salah satu dari kita menyusup ke dalam padepokan itu. Agar kita bisa melihat keadaan di dalam padepokan itu, dan juga mencari keberadaan Raden Jaka. Atau paling tidak kita bisa mengetahui gambaran keadaan di dalam padepokan itu, sebelum kita mengambil tindakan.”
“Kalau begitu aku saja Ki Nataprawira,” Linggar mengajukan diri.
“Jangan tergesa-gesa ngger, kau sebelumnya sudah terkena racun dari senjata rahasia para warok itu. Aku pikir tubuhmu tidak dalam keadaan normal saat ini.”
“Tidak Ki, aku sudah menjadi semakin membaik. Aku mempunyai penawarnya. Lagi pula, siapa diantara kita yang tidak mengalami luka? Wurpasa, aku, bahkan Ki Nataprawira sendiri mengalami luka. Bahkan karena luka itu, aku lihat Ki Nataprawira jalannya agak timpang.”
“Ya luka ini akibat libatan bandil Bajul Wedi. Aku sudah melumurinya dengan ramuan obat. Hanya saja, rasa pedihnya masih cukup menyengat,” jawabnya sambil meringis.
“Baiklah. Kalau angger Linggar memang bertekad ingin masuk ke dalam padepokan. Aku hanya berpesan mawas dirilah, mereka terlalu liar untuk bertarung secara ksatria. Selamatkan diri angger jika memang keadaan tidak memungkinkan untuk angger atasi seorang diri.”
“Baiklah Ki, aku akan berhati-hati,” sahut Linggar.
“Wurpasa. Berjagalah disini! Sepeninggalku, sebaiknya segala tindakan dimusyawarahkab terlebih dahulu dengan Ki Nataprawira sebagai panglima Mangir. Kita harus bersatu untuk keadaan yang sudah pada puncaknya ini.”
“Baik Linggar. Aku mengerti,” sahut Wurpasa.
Linggar pun kemudian berjalan meninggalkan tempat itu menuju sisi padepokan yang dianggap mudah untuk masuk. Sebenarnya walaupun Linggar dapat berjalan tegak, tubuhnya tidak sesegar seperti biasanya. Itu karena pengaruh racun yang menyebar sebelumnya. Beruntung ia selalu membawa kampil obat penawar racun, sehingga membuat daya tahan tubuhnya tidak terlampau parah.
Sementara langit diatas bukit sambung semakin gelap. Linggar berjalan menyusuri semak-semak yang tersibak. Seolah semak-semak itu menjadi petunjuknya, bahwa sudah pasti jalan itu yang dilalui orang-orang padepokan Watu Belah. Tetapi lama-kelamaan jalan pun makin tak terlihat, beruntung cahaya bulan sabit menyeruak di celah dedaunan yang memayungi jalannya.
Sampailah ia kemudian pada dinding padepokan yang terbuat dari batang-batang bambu yang berjajar tinggi. Sedikit celah pada batang bambu yang berderet itulah yang dimanfaatkannya untuk melihat keadaan di dalam padepokan itu.
“Hmm.., ternyata semua cantrik sudah kembali ke padepokan. Mereka sepertinya menjaga gerbang masuk agar tidak bisa ditembus lawan. Tetapi gerbang masuk itu hanyalah terbuat dari batang-batang pohon yang tak terlalu besar, bukan hal yang sulit bagi laskar Mangir dan Wurpasa untuk menggempurnya,” Linggar membathin.
Setelah melakukan pengamatan Linggar pun kemudian berjalan mengelilingi padepokan itu, menuju bagian belakang. Diintipnya lagi keadaan di dalam padepokan itu. Terlihat sepi, hanya satu dua orang saja yang kadang terlihat melintas. Itu pun jaraknya cukup jauh dari tempatnya berdiri. Linggar kemudian mencoba membuka pilar bambu yang membentengi padepokan itu, dan dalam waktu singkat ia pun sudah berada di dalam padepokan.
Dilihatnya dua bangunan terpisah pada sisi belakang padepokan itu. Tampaknya kedua bangunan itu ada penghuninya meskipun letaknya di bagian belakang. Terlihat dari celah dua bangunan, lampunya menebar keluar disela-sela dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Linggar mengendap-endap mendekati salah satu bangunan yang terdekat.
“Ternyata tidak sulit menaklukkanmu anak manis,” terdengar suara seorang wanita dari dalam bangunan itu. “Walaupun kau sudah mengalahkan sahabatku Getas Angin, tetapi kau tak mungkin bisa mengangkangiku!”
“Sayang Getas Angin jadi hilang kendali, hanya karena tertarik oleh benda pusakamu ini. Kiai Baru Klinthing,” katanya sambil mengelus-elus rambut pemuda yang rebah tak sadarkan diri didadanya.
“Kau pikir kau cukup kuat menahan kekuatan gendamku he? Lelaki mana pun akan terkulai jika hawa dari bibir mungilku ini sudah kuhembuskan,” katanya lagi sambil memainkan lidahnya membasahi bibir, yang malam itu berubah warna menjadi kehijauan. Linggar pun bergidik melihatnya dari celah sudut rumah itu.
“Ya gendamku memang tidak ada duanya! Bahkan di ujung timur jawa pun belum ada yang bisa menyamai kemampuan Ken Anggita!”
Dalam hati, Linggar dapat menarik kesimpulan. Bahwa rumah ini tidak dijaga, karena penghuninya orang yang cukup sakti kepandaiannya. Bahkan mungkin kehadirannya pun sudah dirasakan perempuan yang mengaku bernama Ken Anggita itu. Bulu kuduk Linggar meremang, tetapi begitu melihat Kiai Baru Klinting kini dalam penguasaan Ken Anggita, ia merasa perlu segera merebutnya. Sebelum menimbulkan dampak yang meluas kepada kemampuan kekuatan padepokan.
Belum sempat Linggar mengambil langkah selanjutnya. Terdengar suara Ken Anggita memaki. “He.., pengecut! Jangan sembunyi saja dikegelapan masuklah dengan cara-cara yang benar! Sudah tersedia pintu dimuka!”
Linggar terperanjat lalu bangkit berdiri, tak ada lagi alasan bagi dirinya untuk menyembunyikan diri. Perlahan ia berjalan mendekati pintu rumah itu, kemudian mendorong pintu itu secara perlahan. Maka kini terlihatlah seorang wanita sedang mengelus rambut Raden Jaka yang seperti lemah tak berdaya itu. Sementara senjata Kiai Baru Klinting bersandar pada dipan pembaringan disebelahnya. Jantung Linggar berdegup kencang saat melangkahi tlundak pintu. Wanita itu begitu cantik dengan balutan pakaian ketat berwarna hijau. Tetapi yang membuat angker adalah bibir wanita itu berwarna hijau kehitaman.
“Siapa kau anak muda?” tanya Ken Anggita dengan sedikit sunggingan senyum yang mengerikan di bibirnya.
“A.., aku Linggar Wulung, prajurit Pajang!” sahut Linggar agak terbata. Rupanya perbawa Ken Anggita mempengaruhi ketahanan jiwanya.
“Hmm.., Linggar Wulung! Nama yang bagus, seperti penampakanmu! Rupanya Pajang mengirimkan pula prajuritnya untuk menggulung kekuatan Pangeran Pujapati.”
“Baiklah,” katanya lalu bangkit dari dipan setelah merebahkan Raden Jaka sebelumnya. “Perkenalkan, aku Ken Anggita! Kau ingin bertarung atau ingin bersenang-senang denganku kisanak?”
Pertanyaan itu menggetarkan jantung Linggar. Memang naluri manusia tidak mengingkari kecantikan dan tubuh padat berisi Ken Anggita, tetapi Linggar masih berpegang teguh pada tujuan utamanya.
“Jangan coba mempengaruhiku dengan gendammu, Ken Anggita! Tujuanku hanya ingin menyelamatkan Raden Jaka, dan merebut kembali pusakanya itu!”
“Kau cukup kuat?” sindir Ken Anggita. Dan pada saat itu pula pengaruh gendam pada dirinya mulai dibangkitkan.
“Kuat apa maksudmu?”
“Kuat berhadapan denganku. Atau kau lebih tertarik bersenang-senang denganku?” katanya lagi menggoda.
Linggar menguatkan diri, walau sebenarnya seperempat bagian dari otaknya mulai disusupi pengaruh gendam. “Bersiaplah! Aku akan meringkusmu sebelum menyelesaikan tugasku!”
Linggar pun telah siap untuk bertarung. Berbanding terbalik dengan Ken Anggita yang tetap terlihat santai, meskipun pandang matanya tak lepas ditujukan pada sorot mata Linggar.
Linggar tak berlama-lama langsung menerjang musuhnya. Yang kendati pun seorang wanita, tetapi mempunyai kemampuan yang mengerikan. Selain gendam, Ken Anggita juga mampu membuat lawan tak berdaya dengan hembusan napas dari bibir mungilnya. Sebenarnya usia Ken Anggita hampir paruh baya, tetapi karena pengaruh ilmu gendamnya ia terlihat seperti gadis berusia matang, kisaran usia tiga puluh tahunan.
Keduanya pun kini telah terlibat dalam suatu pertarungan. Gerakan Linggar pun sudah semakin mantap berkat bimbingan Ki Wilamarta dan Raden Pamekas. Disamping itu pengalaman selama ini dalam peperangan, turut menambah wawasannya dalam bertarung. Apalagi Ken Anggita yang sejatinya umurnya jauh diatasnya, tentu kemampuan kanuragannya tak diragukan lagi.
Pada pertarungan itu masih dalam penjajakan saja. Keduanya hanya menyerang dengan pukulan-pukulan yang tidak mematikan. Baru setelah beberapa lama, Ken Anggita merasa tidak perlu bermandi berkeringat hanya untuk menghadapi bocah ingusan seperti Linggar. Setelah dirasa ajian gendamnya mulai menyelimuti tubuh, ia membuat gerakan-gerakan yang membingungkan. Bahkan terlihat seperti menghindar dan membelakangi Linggar. Ia tidak lagi memukul dengan kepalan tangannya, melainkan hanya menyentuh beberapa bagian tubuh Linggar di dada dan kadang dipunggung. Sentuhan-sentuhan yang tidak menggoyahkan itu, terkesan seperti menggoda saja. Disaat ia mempunyai kesempatan untuk menghantam punggung Linggar, ia tidak melakukannya. Ken Anggita lebih memilih melakukan hal yang sama. Yaitu hanya menyentuh punggungnya, bahkan terkadang bokongnya.
Linggar merasa seperti anak kecil yang sedang dipermainkan saja. Maka kemudian ia tidak tinggal diam, ia pun meningkatkan serangannya dan berusaha agar sentuhan-sentuhan itu tidak lagi menyentuh tubuhnya bertubi-tubi.
Ken Anggita pun merasakan perubahan pada tata gerak Linggar. Ia pun kemudian sempat membathin “Pemuda ini memang cerdas! Ia berusaha mengurangi sentuhanku pada tubuhnya. Belum sempat gendamku merasuk ke sukmanya, gerakanku sudah terbaca olehnya. Padahal, sentuhan-sentuhan itu hanya untuk mengalihkan perhatiannya saja. Sambil menunggu hawa sejuk gendamku merasuk utuh ditubuhku. Kalau saja ia terbawa oleh irama permainanku tadi, maka seketika itu juga pandangannya akan samar dan barulah pada saat itu gendamku akan merasuk ke dalam jiwanya.”
Sementara itu Raden Jaka masih terlihat tergeletak di atas dipan dengan mata terpejam, entah tertidur atau pingsan? Tetapi kalau pingsan rasanya tidak mungkin, karena tentu suara gaduh dari pertarungan yang terjadi di dalam ruangan itu akan membangunkannya. Atau mungkin sudah tak bernyawa lagi? Tetapi juga tidak terlihat luka sedikit pun ditubuhnya. Linggar belum bisa memastikan hal itu, hanya dapat menduga-duga saja.
Tetapi ternyata suara gaduh perkelahian Ken Anggita terdengar pula dari bangunan kedua yang letaknya 15 tombak dari situ. Pada bangunan yang terbuat dari gribik dan beratapkan pelepah daun kering itu, dua orang sedang berbicara dengan sungguh-sungguh.
“Kakek guru, rupanya Ken Anggita sedang kedatangan tamu tak diundang. Apa tidak sebaiknya kita periksa keadaan disana?”
“Tidak perlu anak mas Pangeran. Aku sudah cukup mengenal siapa Ken Anggita. Kemampuannya gendamnya sudah tidak diragukan lagi.”
“Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana kita mempersiapkan kemungkinan lain jika memang kita harus berhadapan langsung dengan salah satu dari mereka yang membawa pusaka Kiai Baru klinthing.”
“Bukankah dengan seruling Nagasengkala itu sudah cukup untuk menandingi pamor pusaka Mangir itu?”
“Tentu anak mas. Tetapi anak mas sendiri baru beberapa hari saja berlatih dengan Nagasengkala itu. Kalau menghadapi pusaka biasa, aku tidak terlalu khawatir anak mas Pangeran yang menyandangnya. Tetapi kali ini adalah pusaka Kiai Baru Klinthing, senjata itu sudah menjadi momok yang menakutkan sejak jaman majapahit.”
“Tetapi orang yang aku hadapi tentunya bukan Ki Ageng Mangir bukan? Jadi Kakek Guru tidak perlu khawatir, aku rasa kemampuannya tidak terpaut jauh dariku.”
Yang dipanggil Kakek Guru itu menarik napas dalam-dalam. “Orang-orang kita yang memiliki olah kanuragan mumpuni, telah gugur satu persatu. Jago-jago bayaran dari Prambanan sebagian telah memilih menyelamatkan diri, disusul dengan Dua Carok dari Madura juga telah tewas, dan satu lagi adalah Getas Angin yang juga belum masuk ke dalam padepokan. Harusnya dia sudah melaporkan keadaan diluar sejak tadi. Kemungkinan pula nasibnya sama dengan Dua Carok tadi.”
“Kalau begitu kita harus turun tangan, Kakek Guru! Sebelum keadaan kita makin terpojok!”
“Janjiku pada ibundamu, Dyah ayu Duhita adalah mewujudkan cita-citanya dan menjaga keselamatan Pangeran. Bila nanti keadaan cukup sulit, aku harap anak mas Pangeran dapat menyelamatkan diri. Tidak perlu memikirkan aku. Keselamatan anak mas lebih penting, ketimbang kakek gurumu yang sudah sepuh ini.”
“Raden Ayu Dyah Duhita ingin kau menjadi Adipati. Walaupun kau putra selir, tetapi ia ingin membahagiakan kau sebagai putranya. Keadaan ibundamu memang tidak terlalu menguntungkan, karena kau terlahir dari garwa selir. Sehingga kau tidak bisa menggantikan tampuk kekuasaan ayahandamu di Bang Wetan. Tetapi ibundamu tidak putus asa, ia tetap memperjuangkan hidupmu untuk mendapatkan tahta yang sama, meskipun tidak menjadi Adipati Purbaya Anom. Harapannya adalah kau bisa menjadi adipati, meskipun tidak di Bang Wetan. Itulah sebabnya ibundamu selalu memanggilmu dengan sebutan Pangeran, dengan maksud kau memiliki derajat yang lebih tinggi dari ayahandamu. Disamping itu ibundamu memang masih trah Brawijaya Pamungkas.”
“Awalnya aku ingin menggulingkan karebet, sebagai pijakan gegayuhan ibundamu itu. Maksudku adalah, dengan menguasai salah satu dari wilayah Pajang atau Mangir, kita bisa membuat landasan yang lebih kuat. Dan selanjutnya kita bisa berbuat lebih banyak lagi, yaitu memanfaatkan tahta Demak yang sedang hilang wibawanya sepeninggal Sultan Trenggana. Tetapi nyatanya membenturkan Pajang dan Mangir bukanlah perkara yang mudah,” kata Kiai Jambe Abang dengan nada menurun.
“Aku mengerti Kakek Guru. Aku akan mewujudkan mimpiku itu. Aku akan menggilas orang-orang yang berniat menghalang-halangi cita-citaku itu!” ujar Pangeran Pujapati berapi-api.
Kakek Guru yang sebenarnya adalah Kiai Jambe Abang itu hanya mengangguk-angguk. Sebenarnya didasar hatinya terbersit juga kesedihan yang mendalam. Ia tahu apa yang dilakukannya untuk mendukung hasrat Raden Ayu Dyah Duhita adalah sesuatu yang salah. Apalagi sampai mengorbankan putranya yang belum cukup matang untuk memaknai hidup.
“Dyah Duhita sebenarnya hanya dendam pada suaminya! Ia merasa sakit hati karena dipinggirkan begitu saja oleh kanjeng Adipati Purbaya,” Kiai Jambe Abang membathin. “Dyah Duhita adalah kemenakanku! Bagaimana pun juga aku harus memperjuangkan nasibnya pula,” katanya lagi mencari pembenaran.
            Dalam pada itu pertarungan antara Linggar dan Ken Anggita sudah berlangsung cukup lama. Kali ini harum semerbak wangi kembang kanthil menyelimuti ruangan itu. Itulah tanda gendam pengasihan mulai menebar sekitar ruangan itu. Bau harum yang menusuk hidung itu membuat kepala pening, bahkan mengacaukan pemusatan pikiran Linggar.
Bebarapa kali Linggar mencoba mengenyahkan pengaruh itu, tetapi seketika itu juga pikirannya menjadi buyar.
“Sudahlah anak muda.., jangan memburuku lagi dengan pukulan-pukulanmu yang tak berarti itu, ambillah kesempatanmu untuk bersenang-senang denganku,” kata Ken Anggita menggoda.
Kata-kata Ken Anggita itu penuh dengan hasrat gila. Tetapi Linggar terus saja mencoba menahan gejolak itu, ia pun teringat akan kata-kata ayahnya yang selalu menceritakan pengalaman-pengalaman terdahulunya.
“Orang dengan kekuatan pengaruh gendam, hanya bisa dikalahkan dengan mengalihkan pandanganmu. Karena jika kau semakin menatap matanya, maka pengaruh gendam itu akan semakin merasuk ke sukmamu!”
Terngiang kata-kata itu, Linggar langsung mengalihkan pandangannya dengan tetap bertindak waspada. Sulit memang berkelahi tanpa melihat mimik muka lawannya, tetapi itu bukan halangan baginya. Asalkan tetap waspada dan melihat gerak tubuh lawannya yang menyerang. Kendati pun bau semerbak itu begitu menghimpit kepalanya, tetapi jurus-jurusnya tetap terarah.
Ken Anggita yang menyadari itu menjadi kesal. “Kurang Ajar! Anak muda ini begitu cerdas menanggapi keadaan. Pengaruh gendamku tidak terlalu kuat untuk menjeratnya dalam pelukanku!” katanya membathin.
Tetapi Ken Anggita bukanlah pendekar wanita kemarin sore. Ia punya seribu cara untuk memuluskan tindakannya. Maka kini ia mulai mengeluarkan udara-udara lembut dari bibir mungilnya. Udara itu seperti asap berwarna hijau tua. Asap berwarna hijau tua itu lama-kelamaan memenuhi ruang dan menyelimuti perkelahian keduanya yang belum juga usai.
Asap-asap itu ternyata pengaruhnya lebih tajam, ketimbang semerbak harum bau kembang kanthil sebelumnya. Kontan saja membuat kepala Linggar menjadi pening dan perlahan pandangannya pun menjadi buyar. Yang tampak kini hanya sosok Ken Anggita yang tubuhnya terus mengganda dan jumlahnya terus bertambah mengelilinginya sambil tertawa yang mengerikan.
Itulah ilmu gendam pamungkas milik Ken Anggita, pantas saja Raden Jaka pun sebelumnya tak kuasa melawannya. Ternyata baik Raden Jaka maupun Linggar belum mampu membentung ilmu puncak dari pendekar wanita itu.
“Kalian hanya mengantar nyawa kesini!” kata Ken Anggita dengan puasnya. “Putra Ki Ageng Mangir pun sebentar lagi akan mati, jika racunku sudah menyeluruh merayap ditubuhnya!”
Linggar mulai terbatuk-batuk dan terhuyung-huyung tak mampu mengendalikan diri. Hawa yang dikeluarkan dari bibir Ken Anggita telah membuatnya mabuk dan sempoyongan. Jika dibiarkan terus-menerus ia akan menjadi hilang kesadaran, pingsan.
Benar saja. Tak berapa lama Linggar pun roboh terduduk di lantai, walaupun masih sadarkan diri. Ken Anggita sendiri tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung menyambar tombak kiai plered yang bersandar pada dipan pembaringannya. Setelah itu ia membuka ploconnya dan siap menghujamkan ke jantung Linggar.
Sejenak perbawa tombak kiai plered cahayanya bersinar menyilaukan, setelah itu baru seperti bara api yang menyala redup. Ken Anggita yang tak menyangka akan hal itu sempat terkejut, tetapi ia kemudian sadar bahwa pusaka itu mempunyai pamor khusus. Ia kemudian mengangkat tinggi-tinggi dan bersiap menghujamkan tombak itu.
Tetapi belum sempat niat itu terlaksana, sebuah sabetan selendang menepis tombak itu dan terlontar jatuh disudut ruangan itu. Ken Anggita pun menjadi naik darah jadinya.
“Kurang ajar! Ada yang berani mengganggu urusanku rupanya!”
Dalam samar asap yang menyelimuti ruang, dilihatnya sosok wanita seperti dirinya yang berdiri bertolak pinggang.
“Anak bau kencur! Masih saja kau membuntutiku he!”
Orang yang mengibaskan selendang tadi pun menjawab. “Aku tidak akan membiarkan ibu tersesat lebih jauh, hanya karena mengejar kekayaan dengan menghamba pada jalan hitam.”
“Tahu apa kau tentang hidupku! Aku sudah cukup menghamba pada ayahmu, tetapi apa yang kudapat? Ayahmu yang demang itu mendepakku begitu saja, setelah mempunyai istri baru!”
“Sudahlah ibu. Ayah sudah bukan lagi bagian dari hidup kita. Ia sudah menjadi demang yang kaya raya dan mabuk kekuasaan. Sebaiknya ibu segera kembali ke Blambangan dan mulai hidup baru lagi!”
“Persetan! Aku juga ingin jadi wanita terhormat dengan memiliki kekayaan yang melimpah. Jadi jangan halang-halangi gegayuhanku. Aku pun tak cukup dapat membahagiakanmu sebagai anakku. Karena secuil pun ayahmu yang demang itu tak memberiku bekal saat mengenyahkanku dari hidupnya!”
Linggar hanya memperhatikan keduanya dengan samar. Nampaknya keduanya mempunyai pertalian darah, yaitu antara ibu dan anaknya. Linggar tak bisa berbuat banyak lagi, seluruh tubuhnya rasanya lemah tak berdaya.
“Manyari! Pergilah sebelum ibumu menjadi marah,” ujar Ken Angita kepada seorang gadis yang berusaha menghalang-halangi niatnya. Dan sudah bisa diambil kesimpulan bahwa Manyari itu adalah anaknya.
Gadis yang disebut Manyari itu tak menggubrisnya, ia langsung mengibaskan selandangnya lagi menampar wajah Ken Anggita, ibunya. Ken Anggita hanya mengumpat-umpat saja, dalam hatinya ia tahu bahwa separuh lebih ilmu yang dimilikinya, Manyari sudah tahu wataknya. Karena ia pun pernah menempa Manyari dengan kanuragan yang dimilikinya. Hanya saja Manyari tidak ingin menyerap sepenuhnya, karena sifat ilmu gendam yang dimiliki ibunya, ia tidak begitu suka.
Manyari paham bahwa setelah mengeluarkan ilmu gendam sampai pada puncaknya, ibunya tidak akan mampu bertindak gesit lagi. Itu karena tenaganya cukup terkuras sebelumnya, paling tidak iamembutuhkan waktu beberapa lama untuk mengembalikan tenaganya. Selendang Manyari terus saja menampar tubuh ibunya, setelah ibunya dirasa tak berdaya, ia menotokkan jarinya dibeberapa bagian tubuh ibunya, sesaat kemudian tubuh ibunya lunglai dan ambruk di pelukan Manyari. Manyari pun kemudian merebahkannya dipembaringan dekat dengan Raden Jaka yang tak sadarkan diri.
Manyari sempat memeriksa denyut nadi Raden Jaka. Tetapi karena dilihatnya denyut nadinya masih berdenyut, ia bernapas lega. Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada Linggar, lalu segera menghampiri Linggar yang lunglai terduduk di tanah.
Manyari menegakkan kepala Linggar yang tertunduk. Linggar sedikit terkejut, tapi tidak berusaha berbuat apa-apa karena kondisinya yang lemah. Ditatapnya gadis dihadapannya yang ternyata adalah putri Ken Anggita yang bernama Manyari.
“Kau ingin membunuhku?” tanya Linggar lemah.
Manyari tersenyum. “Sudah dari tadi kalau aku menginginkannya. Aku akan membiarkan ibuku menghabisimu!”
“Lalu?”
“Aku tak punya banyak waktu. Kau dan sahabatmu itu pun harus segera mendapat pengobatan. Kau masih beruntung belum sampai pingsan, sehingga kau bisa memberi perawatan pada sahabatmu itu!”
“Kau membawa kampil obat?” katanya sambil meraih kampil di pinggang Linggar. Manyari lalu sedikit mencium aroma obat itu.
“Obatmu ini tidak cukup membuatmu pulih,” kata Manyari. “Obat ini hanya menguatkan daya tahan tubuhmu saja, tetapi tidak bisa menangkal racun. Kalau dibiarkan lama-lama kau akan pingsan juga dan mati setelah racun itu menyebar di tubuhmu.”
“Meskipun hanya hawa hijau yang dikeluarkan dari bibir ibuku, tetapi udara itu mengandung racun yang ganas!”
Linggar tak berkata apa-apa, hanya memandangi wajah gadis dihadapannya itu, tentunya memang tak kalah cantik dari Ken Anggita ibunya. Manyari pun sempat dibuat salah tingkah jadinya. Tetapi ia tidak berlama-lama terbawa suasana, ia langsung meminta Linggar untuk menuruti perintahnya.
“Duduklah bersila dengan sempurna, Lalu buka mulutmu lebar-lebar! Jangan berpikir yang macam-macam, lakukan saja perintahku kalau tidak ingin mati keracunan!”
Linggar kemudian menuruti saja perintah Manyari. Setelah melakukan gerakan mengatur pernapasan, Manyari pun mendekatkan bibirnya dengan mulut Linggar yang terngaga. Linggar pun agak terkejut, tetapi tidak berbuat apa-apa.
Manyari beberapa kali mengeluarkan hawa sejuk dari bibirnya. Hawa sejuk itu berwarna keputihan. Hawa sejuk itu masuk ke dalam rongga mulut Linggar dan menyelimuti bagian tubuhnya yang terdalam.
Setelah dirasa cukup. Manyari meminta Linggar menutup mulutnya dan bernapas seperti biasa.
“Bernapaslah seperti biasa.Mungkin setelah ini kau akan menggigil kedinginan, tetapi berangsur-angsur tubuhmu akan terasa hangat. Setelah itu kau akan muntah beberapa kali. Baru kemudian tubuhmu akan bersih dari racun. Kau bisa melanjutkan tujuanmu ke Bukit Sambung ini.”
“Aku akan membawa ibuku pergi dari tempat ini. Ini aku berikan bubuk obat untuk temanmu yang satu itu,” pesan Manyari sambil menyerahkan sebuah bubuk obat yang diberi wadah ruas batang bambu kecil. “Larutkan terlebih dahulu, baru minumkanlah!”
“Terimakasih,” sahut Linggar. “Aku berhutang budi padamu.”
“Ah.., lupakan. Aku hanya ingin membawa ibuku pergi dari orang-orang yang selalu mengupahnya untuk tujuan yang tidak benar.”
Manyari hendak beranjak, tetapi kemudian mendekati Linggar kembali. “Kau memang berhutang padaku, suatu saat aku akan menagihnya,” katanya sambil tersenyum.
“Bagaimana aku bisa menemuimu? Namamu saja aku tak tahu.”
“Aku Manyari. Aku akan mencarimu nanti, untuk menagih hutang budimu,” katanya masih dengan senyuman. Putri Ken Anggita itu nada bicaranya memang ceplas-ceplos, enteng saja semua kata yang keluar dari bibirnya.
“Oh ya satu lagi! Siapa namamu?”
“Aku Linggar Wulung.”
Manyari tidak berkata lebih banyak lagi, kemudian segera mendukung ibunya untuk berjalan, meskipun harus dengan tertatih ia membawanya sampai keluar ruangan itu. Karena ibunya dalam keadaan tertotok jalan darahnya.
    <<< PREV                      >>> NEXT

14 komentar:

  1. Mantab ceritanya pak boss... semakin penasaran... setia menunggu kisah selanjutnya...

    BalasHapus
  2. ku nanti kau ku nantiiiii.... ku tunggu kau ku tungguu...... selalu berharap

    BalasHapus
  3. Ditunggu kelanjutannya. Bikin kecanduan ..

    BalasHapus
  4. Kalau tidak ada lanjutannya sama dengan makan yang nyangkut ditenggirokan.. ganggu sekaki

    BalasHapus
  5. Mas blum ada klanjutanx ya?

    BalasHapus
  6. Trims untuk semua atensinya TDM, TDM msh dalam proses disela kesibukan. Dikarenakan saya sibuk dengan beberapa buku teknik saya..
    https://kursusplcserang.blogspot.com/p/buku-panduan-belajar-plc.html
    Harap maklum...

    BalasHapus
  7. sukses selalu mas broo.... terimakasih sudah mempersembahkan bacaan yg menarik....kami tunggu kelanjutanya..

    BalasHapus
  8. Maaih menanti bapak kelanjutannya

    BalasHapus

Pengikut