Novel Cerita Silat Jawa

TDM [10]

Pagi itu langit cerah, penduduk Mangir telah mekakukan kegiatan sehari-harinya. Tampak para pemuda menyandang cangkul dipundak, siap pergi ke sawah. Perempuan-perempuan desa pun hilir mudik dari dan menuju sungai, untuk sekedar mencuci atau membersihkan diri.
Raden Pamekas dan Linggar berjalan menyusuri sungai Praga yang mengarah ke pantai selatan. Beberapa kali langkahnya terhenti, untuk melihat keadaan tepian. Adakah diantara sulur-sulur tumbuhan dipinggir sungai itu terdapat jasad yang mereka cari. Bahkan tak segan keduanya bertanya pada setiap orang yang ditemuinya.
Ketika matahari mulai terik, keduanya belum juga mendapat keterangan mengenai Ki Wulungan atau prajurit lainnya, termasuk Ki Jipayana pengiring Raden Pamekas dari Demak.
Bahkan ketika sampai pesisir Trisik tidak ditemukan juga mayat atau keterangan mengenai korban-korban itu. Hari telah senja ketika mereka sampai pantai selatan, Linggar menatap deburan ombak yang tiada henti-hentinya mencoba memecah karang. Raden Pamekas menarik napas panjang seolah mengerti perasaan kehilangan Linggar akan ayahnya.
“Bagaimana Linggar? Sampai sejauh ini Ki Wulungan ayahmu belun juga bisa kita temukan.”
Linggar menengadah ke langit seolah berusaha melonggarkan himpitan di dadanya. “Aku menyerahkan semua ini pada kuasa alam pencipta, Raden. Kalau memang dikehendaki, tentulah ayahku masih hidup.”
Raden Pamekas hanya bisa mengangguk-angguk setuju dengan kepasrahan Linggar. Bagaimana pun mereka berdua telah berusaha keras mencarinya, hingga mengantarkan mereka sampai pantai selatan.
“Rasanya aku tidak perlu membawamu ke Pajang, Linggar. Kalau kau memilih kembali ke Matesih aku tidak keberatan, beban yang kau tanggung terlampau berat saat ini.”
“Tidak Raden, aku sudah separuh jalan. Aku ingin menuntaskannya. Aku ingin membersihkan nama ayahku dari tuduhan orang-orang kademangan Matesih,” berkata Linggar dengan tatapan kosong.
“Baiklah kalau itu sudah itu sudah menjadi kebulatan tekadmu, aku akan mendukungmu.”
Senja di pesisir selatan itu perlahan semakin gelap, yang terdengar hanya deburan ombak yang memecah karang. Kedua pemuda itu kemudian duduk disebuah gubuk yang terletak diantara batu karang, beratap pelepah daun kelapa kering. Keduanya sesaat membisu, tak berkata sepatah kata pun.
Beberapa saat kemudian pandangan mereka tertuju pada satu arah, yaitu sebuah bukit kecil yang terletak tidak begitu jauh dari tempat itu. Dari bukit itu memancar cahaya obor kemerah-merahan, seperti ular yang menjalar.
Linggar yang tertarik melihatnya bertanya, “bukit itu Raden! Bukit itu seperti didatangi banyak orang!” kata Linggar sambil berdiri dan menunjuk ke arah bukit itu.
“Bukit itu bernama Pandan Segegeg! Bukit itu menurut cerita yang aku dengar sangat angker!” ujar Raden Pamekas.
Linggar pun bulu kuduknya meremang mendengarnya, “tetapi kenapa banyak orang berjalan menuju bukit itu?”
“Mereka datang dengan tujuannya mereka masing-masing. Mereka ingin sesuatu dengan cepat, tanpa harus bekerja keras.”
“Maksud Raden, mereka menempuh jalan sesat?”
“Bagi mereka yang berpikir jernih, pastilah berkata demikian. Bahwa sesuatu yang kita raih harus dengan kerja keras, bukan menggantungkan diri pada mahluk. Tetapi bagi mereka yang mengandalkan segala cara, cara seperti itu sah-sah saja.”
“Tetapi dibalik itu semua sesungguhnya Pandan Segegeg adalah tempat yang indah. Dari atas bukitnya kita dapat melihat dengan jelas pemandangan disekitarnya.”
Linggar pun akhirnya dapat menarik kesimpulan akan penjelasan Raden Pamekas tentang bukit itu. Ia pun percaya bahwa sesuatu yang diraih dengan keringat sendiri akan lebih langgeng dan bermanfaat, ketimbang sesuatu yang di dapat dengan tidak semestinya.
“Linggar!” bisik Raden Pamekas. “Ada dua orang yang mengamati kita dari balik bongkahan karang dibelakang kita!”
Linggar terperanjat, belum habis terkesimanya ia akan bukit itu, kini Raden Pamekas memberitahu ada dua orang yang mengintainya. “Siapa mereka Raden?”
“Bersikaplah biasa, kita belum tahu apa maksud mereka dengan bersembunyi dan mengamati kita dari balik batu karang itu.”
Linggar pun akhirnya menyesuaikan diri, seolah-olah tidak perduli bahwa ada dua orang yang mengintainya. Tetapi sungguh walaupun begitu, bulu kuduknya tetap saja berdiri. Karena Linggar belum terbiasa keluar pada malam hari, apalagi bertualang seperti Raden Pamekas.
Raden Pamekas lalu meraba hulu pedangnya, untuk bersiaga menghadapi keadaan yang belum pasti itu. Raden Pamekas membalikkan badan dan memandang bongkahan batu karang yang terlihat samar di gelapnya malam. “Keluarlah dari persembunyianmu itu! Atau aku hancurkan batu karang itu!”
Belum ada jawaban. Raden Pamekas menarik kedua telapak tangannya seolah siap melontarkan tenaga yang disalurkan melalui kedua belah telapak tangannya yang terbuka.
“Tunggu!” terdengar suara dari balik bongkah batu karang itu, disusul dua sosok bertubuh tegap dengan senjata pedang ditangan. Dua sosok itu berjalan menghampiri Raden Pamekas dan Linggar.
Alangkah terkejutnya Raden Pamekas ketika sosok itu makin jelas terlihat, walaupun hanya samar diterpa sinar bulan, “Ki Jipayana! Dan kau Ki Lurah Sembada!”
Keduanya menjawab bersamaan, “hamba Raden!”
“Kalian berdua selamat? Bagaimana dengan yang lain? Ki Wulungan?” kata Raden Pamekas penasaran.
Kemudian mereka berempat duduk melingkar di gubuk tempat Raden Pamekas dan Linggar sebelumnya beristirahat.
“Raden! Aku sempat menguburkan beberapa prajurit yang gugur,” Ki Jipayana tertunduk dalam. Lalu katanya lagi, “tetapi Ki Wulungan tidak terdapat diantara mereka.”
Raden Pamekas sekilas melihat Linggar, yang kemudian menundukkan kepala. “Kalian terdampar dimana? Dan bagaimana kalian berdua bisa bertemu?”
Yang menjawab Ki Lurah Sembada, “kami terdampar tidak jauh dari Mangir. Dengan susah payah kami terus menyusuri sungai Praga sampai pesisir selatan ini, untuk mencari korban yang belum ditemukan. Hanya saja kami lebih dulu sampai tempat ini sehari sebelum Raden.”
Ki Jipayana kemudian menambahkan, “kami sempat bertanya kepada penduduk yang ada didaerah Trisik. Tetapi kami memang belum menemukan Ki Wulungan.”
Raden Pamekas menarik napas panjang, lalu katanya kepada Linggar. “Kita telah berusaha Linggar, tetapi kau dengar sendiri penuturan mereka berdua. Mudah-mudahan ayahmu selamat meskipun kita belum menemukannya.”
Linggar yang sedari tadi tertunduk, mengangkat wajahnya. “Hamba telah menyerahkan semuanya pada kehendak yang Maha Esa. Mudah-mudahan aku masih bisa dipertemukan kembali pada ayahku,” ujar Linggar.
Semua yang mendengar pernyataan Linggar atas musibah ini, mengangguk-angguk. Bagaimana pun manusia hanya berusaha, dan akhirnya Yang Maha Kuasalah yang berkehendak. Suasana menjadi hening beberapa sesaat, masing-masing mereka diingatkan kembali atas peristiwa pertempuran di sungai Praga sebelumnya. Terbayang para prajurit bersimbah darah melawan laskar Jipang, lalu kemudian gemuruh banjir bandang menghanyutkan mereka hingga tempuran Kali Bedog dan sampai sekitar telatah Mangir.
“Aku kira semuanya sudah menjadi suratan takdir. Esok kita berangkat ke Pajang bersama-sama. Baru setelah itu kita minta pertimbangan Adipati Hadiwijaya untuk langkah selanjutnya. Lagi pula aku mendapat amanah dari Ki Ageng Wanabaya untuk menyampaikan surat darinya,” berkata Raden Pamekas memecah kebisuan.
Keempatnya akhirnya sepakat untuk berangkat ke Kadipaten Pajang esok hari. Kemudian menyampaikan laporan mengenai pencapaian mereka atas usaha memadamkan pemberontakkan Laskar Jipang.
Mereka malam itu tidur bergantian untuk sekedar melepas lelah, dua orang berjaga dan dua orang lagi tidur. Hingga fajar tiba tidak terjadi sesuatu yang membahayakan, mereka kemudian beranjak meninggalkan pesisir selatan.
Disepanjang jalan mereka pun berbincang-bincang, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Raden Pamekas menceritakan kembali pertemuannya dengan Ki Ageng Wanabaya, peminpin dari tanah perdikan Mangir. Ki Jipayana dan Ki Lurah Sembada mendengarkan penuh minat, karena seperti diketahui orang banyak, telatah Mangir tidak terikat pada kekuasaan Kadipaten Pajang maupun kerajaan Demak.
Ketika mereka berempat mulai memasuki Alas mentaok, timbullah suasana yang berbeda. Walaupun sudah tengah hari, udara di lebatnya alas Mentaok tetap semilir. Daerah bekas kerajaan Mataram kuno itu kini menjadi semak belukar dan ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Cahaya matahari yang hanya menyusup celah-celah dedaunan, membuat daerah itu lembab. Walaupun sebenarnya matahari bersinar dengan teriknya.
Ketika memasuki sebuah tanah datar yang kanan kirinya dipayungi pohon-pohon besar, langkah mereka terhenti. Di depan mereka terhilat sebuah batu besar seukuran kerbau yang terbelah dibagian tengahnya. Raden Pamekas yang mempunyai pendengaran tajam, menahan langkahnya, yang lainnya pun mengikuti.
“Berhenti! Ada beberapa orang yang bersembunyi dibalik batu belah itu!” bisik Raden Pamekas.
Akhirnya mereka bersiaga menunggu orang-orang yang ada dibalik batu belah itu muncul. Benar saja, tak berapa lama muncul 4 orang melompat dari batu itu dan berguling diudara, kemudian mendarat dengan sikap sempurna. Terlihat wajah-wajah kasar dengan menggenggam pedang dan diacungkan ke depan.
“Kalian bernasib kurang baik hari ini! Karena kalian mendekati batu belah ini!” berkata salah seorang dari mereka yang berambut gondrong.
Ki Jipayana kemudian menanggapi, “apa salahnya? Aku hanya ingin lewat saja, tidak ada urusan dengan kalian!”
“Sudah jangan banyak berdalih!” sahut yang bermata cekung. “Sebelum kalian aku bunuh. Katakan! Apakah kalian mata-mata dari Pajang?
Ki Lurah Sembada kemudian menimpali. “Bukan kalian yang menentukan hidup mati seseorang, apakah kalian juga tidak akan mati pada akhirnya?”
“Ya. Tetapi kami akan menghabisi kalian terlebih dahulu! Karena kalian berani mendekati batu belah ini!”kata yang bertubuh kurus.
Raden Pamekas yang sedari tadi hanya memperhatikan saja, akhirnya angkat bicara. “Apa istimewanya batu itu? Kau dapat menjumpainya disepanjang sungai Praga!”
“Kau menghina lambang padepokan kami he! Batu itu adalah lambang bahwa kau telah memasuki padepokan Watu Belah, dan kau tahu? Tidak ada yang dapat meninggalkan tempat ini hidup-hidup!” berkata orang terakhir diantara kawanan itu yang berkumis tebal.
Raden Pamekas mengangguk-angguk. Akhirnya secara tidak langsung ia telah mengorek keterangan dari para kawanan itu, tanpa harus bertanya terlebih dahulu.
“Aku tidak ada sangkut pautnya, baik dengan Pajang maupun Mangir. Tetapi jika kalian menghambat perjalananku, terpaksa aku melawan!”
Yang berkumis lebat itu pun menggeram. “Kalian punya nyali juga rupanya! Kalian akan aku buat bertekuk lutut dan memohon ampun dihadapan kami nanti!”
“Bersiaplah!”
Keempat orang yang mengaku dari padepokan Watu Belah itu lalu manempatkan diri masing-masing. Dua orang yang bertubuh kurus dan satu lagi yang bermata cekung menyingkap bajunya. Seketika itu juga tampaklah pisau belati yang berjajar. Dengan cepat keduanya melontarkan pisau belati kecil itu secara beruntun. Rupanya dua orang dari padepokan Watu Belah itu pandai dalam hal membidik dengan pisau belati.
Raden pamekas yang berdiri diapit, menjadi sasaran utama. Sebuah pisau mengarah kedada kirinya, dengan lentur iamenggeliatkan dada kirinya kesamping. Belati itu pun hanya melintas didepan dadanya.
Kemudian disusul dua buah pisau lagi melesat kearah sepasang kelopak matanya, Raden Pamekas yang sudah mendapat tempaan dari Karebet tak lagi menghindar. Dia mengangkat kedua tangannya, kemudian merapatkan kedua ujung jari telunjuk dan jari tengahnya. Kedua pisau yang melesat itu urung mengenainya, melainkan terjepit disela-sela jari tangan Raden Pamekas. Sambil mengambil napas dalam-dalam, ia melontarkan balik kedua pisau itu kearah dua lawannya. Mata pisau itu pun melesat dengan kecepatan tinggi kearah dua orang yang melontarkan sebelumnya. Tidak sampai sekedipan mata, pisau itu telah menancap di paha dua lawannya hingga menitikkan darah. Dua orang lagi musuh yang berdiri bebas dibuat tercengang dengan kemampuan bidik Raden Pamekas.
Sementara itu beberapa pisau lain yang mengarah ke tiga pengiring Raden Pamekas dapat dipatahkan. Ki Jipayana yang juga mendapat serangan pisau belati beruntun mencabut pedangnya. Lalu dengan gesit ia menepis pisau-pisau yang mengarah kepada dirinya dan Linggar. Pisau-pisau itu ditebas habis oleh Ki Jipayana, dan kemudian jatuh bergeletakan ditanah. Pun tidak jauh beda yang dialami Ki Lurah sembada. Pedangnya berkelebat menyongsong pisau-pisau belati melesat dengan cepat. Pisau-pisau itu pun akhirnya berguguran tak mengenai sasaran.
Setelah itu, Ki Jipayana dan Ki Lurah Sembada langsung merangsek menggempur dua orang dari padepokan Watu Belah yang masih berdiri tegar. Sementara dua orang lagi yang berhasil dilumpuhkan sebelumnya, jatuh terduduk menahan sakit di bagian paha, akibat lontaran pisau belati dari Raden Pamekas.
Akhirnya terjadi perkelaian satu lawan satu antara Ki Jipayana dan Ki Lurah, melawan orang padepokan Watu belah. Dua prajurit Demak yang sudah berpengalaman itu tak menemui kesulitan melawan orang-orang padepokan Watu Belah. Hanya dengan beberapa jurus saja, dua orang dari Watu Belah itu sudah terdesak.
Melihat temannya yang terdesak, salah seorang dari yang terluka itu bersuit nyaring. Seketika itu juga suitan itu disambut kemunculan orang-orang dari balik gerumbul di dekat batu belah tempat pintu masuk kawasan padepokan. Jumlahnya kira-kira sepuluh orang, masing-masing dari mereka bersenjatakan pedang.
Ki Jipayana dan Ki Lurah Sembada yang sedang terlibat pertarungan dengan dua orang padepokan tadi, seketika itu menghentikan perkelahian.
Dua orang yang menjadi lawannya, tersenyum dan bertolak pinggang.“Tidak satu pun dari kalian yang bisa selamat dari tempat ini, apalagi bagi mata-mata dari Pajang!”
Raden Pamekas dan pengiringnya menjadi tegang. Sebab, untuk menghadapi lawan yang jumlahnya berlipat, bukanlah hal yang mudah. Dan tentu mereka harus cermat dalam bertindak, kalau tidak ingin mati sia-sia.
“Ki Jipayana!” kata Raden Pamekas. “Bawa Ki lurah dan Linggar menjauh dari tempat ini!”
Ki Jipayana agak terkejut dengan perintah yang dikatakan Raden Pamekas. “Apakah itu artinya Raden akan bertempur sendiri melawan puluhan orang itu? Itu dapat membahayakan jiwa Raden”
“Apa boleh buat, dibelakang mereka masih ada 10 orang lagi. Mereka telah membuat penjagaan berlapis di kawasan ini. Lakukanlah Jipayana!”
Ki Jipayana tidak dapat menolak perintah Raden Pamekas. Ia pun kemudian mengajak Linggar dan Ki Lurah Sembada menyingkir.
Sementara di pihak padepokan Watu Belah, kini kekuatannya menjadi 12 orang. Bahkan Raden Pamekas sudah memperkirakan bahwa masih ada penjagaan berlapis dibelakangnya. Terlihat dua belas orang itu berlari menghunus pedang ke arah Raden Pamekas. Mata-mata liar dan teriakan kasar orang-orang padepokan Watu Belah itu, menunjukkan bahwa padepokan mereka adalah padepokan bukan dari golongan putih.
Raden Pamekas sendiri tampak berdiri memusatkan pikiran. Matanya tajam menatap 12 orang yang akan membantainya. Kemudian ketika 12 orang bersenjata pedang itu makin dekat dan kira-kira jaraknya tinggal lima langkah dari tempatnya berpijak, Raden Pamekas menggerakkan tangannya cepat. Kedua tangannya ditarik teratur kebelakang diiringi tarikan nafas. Dilanjutkan dengan dorongan tangan perlahan, diiringi hembusan napas. Seketika itu juga tubuhnya menjadi gemetar, sementara orang-orang liar padepokan Watu Belah makin mendekat. Ki Jipayana yang menyaksikan dari kejauhan jantungnya berdegup kencang. Apajadinya jika belasan orang padepokan itu mencingcang bangsawan Demak itu. Tentunya menjadi pemandangan yang sangat mengerikan.
Tetapi alangkah mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Begitu belasan orang Watu belah makin mendekat dan siap mencincang Raden Pamekas, Raden Pamekas menghentakkan kedua belah tangannya ke depan dada, diiringi teriakkan lantang. Seketika orang-orang Watu Belah yang  berada dihadapannya terlontar jatuh terbanting ditanah dan mengerang kesakitan. Dada mereka terasa sesak dan pandangannya pun menjadi gelap gulita. Orang-orang padepokan itu berguguran dan berguling-guling di tanah memegangi dadanya. Daun-daun kering yang berserakan pun ikut terhempas dan berhamburan.
“Ajian Rog-rog Asem!” Ki Jipayana berdesis. Ki Jipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat kemampuan Raden Pamekas. Tetapi dia adalah orang yang cukup mengenal putra dari Demak itu. Raden Pamekas menjadi ksatria pilih tanding karena telah mendapat tempaan dari Karebet sebelumnya.
Sementara itu Linggar dan Ki Lurah Sembada, hanya terkesima melihat kemampuan Raden Pamekas.  Belum pernah mereka melihat pemandangan serupa itu, 1 orang bisa melontarkan belasan orang.
Raden Pamekas yang mengeluarkan tenaga cukup besar pun sempat terengah-engah. Tetapi ia tidak berlama-lama terpaku, ia langsung berlari menghampiri Ki Jipayana dan yang lain.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini! Tidak ada gunanya melawan mereka, hanya akan menguras tenaga kita saja. Jumlah mereka akan semakin bertambah banyak,” perintah Raden Pamekas.
Mereka pun akhirnya berlari meninggalkan kawasan batu belah itu.
Dalam pada itu benar saja, bahwa setelah belasan orang padepokan watu belah itu dapat dilumpuhkan. Datang puluhan orang lagi menuju tempat itu. Tetapi Raden Pamekas dan yang lain sudah tidak tampak dari pandangan mereka. Salah seorang pimpinan mereka yang baru datang, hanya mengumpat-umpat saja melihat teman-temannya bergelimpangan.


Prev  Next

5 komentar:

  1. Mantaaaaap....trimakasih telah mengingatkanku akan nama nama daerah tersebut hampir semua yang tertulis disini saya mengenal wilayahnya walaupun saya bukan orang Jawa tapi saya pernah di gembleng di Wates ....serasa bernostalgia 20 tahun yang lalu

    BalasHapus
  2. Sangat menarik critanya, enak dibaca dikereta dari Purwokerto ke Jakarta

    BalasHapus
  3. kebetulan aku tinggal daerah deket Trisik dan Pandan Segegek, agak jauh dari Mangir..

    BalasHapus
  4. Saya senang membaca cerita2 sprti ini....mengandung sejarah.Selamatberkarya.

    BalasHapus

Pengikut