Pada bagian sayap kanan, Linggar masih
bertempur dengan seorang yang bertubuh jangkung dan berkumis melintang.
Lawannya adalah seorang Lurah Prajurit dari Kadipaten Pajang yang membelot. Lurah
Prajurit itu tentu lebih matang dalam hal bertempur, ketimbang Linggar yang
baru kali ini ikut berperang. Kendati pun demikian Linggar bukanlah orang yang tanpa
bekal apa-apa. Linggar adalah orang yang sudah mendapat tempaan keras dari Ki
Lurah Rangga Jati dan Raden Pamekas.
Orang berkumis melintang itu kini menyerang
Linggar tanpa ampun. Pedangnya mampu mematahkan tebasan sepasang pedang kembar
Linggar.
Linggar sendiri walaupun mampu bergerak
gesit, tetapi kadang terlihat agak ragu untuk melukai tubuh lawannya pada
bagian yang mematikan. Jika pada pertempuran sebelumnya Linggar mampu
mengalahkan beberapa orang penjaga gerbang padepokan, tetapi waktu itu hanya
melumpuhkannya saja, tidak sampai membunuh.
Keragu-raguan itu pula yang coba dimanfaatkan
orang berkumis melintang itu untuk mempengaruhi ketahanan jiwa lawan.
“Kau ternyata hanya berani membunuh
kelinci kecil, anak muda! Kau sepertinya takut melihat darah, bukan?” teriak
orang berkumis melintang itu.
“Sebutkan namamu! Agar aku bisa
menuliskan namamu pada pusaramu nanti. Karena sebentar lagi kau akan terbunuh
olehku,” kata orang itu lagi.
“Aku Linggar!” jawabnya pendek. “Hidup
matiku bukan menjadi urusanmu, kisanak! Hidup matiku sudah digariskan oleh yang
Maha Kuasa. Bukan ditentukan oleh prajurit penjilat sepertimu! Jadi, jangan pernah
berpikir seolah-olah kau tak terkalahkan!”
“Kurang ajar! Sebentar lagi aku akan
membungkam mulutmu Linggar,” kata orang itu yang menjadi geram. “Kau memang
punya semangat yang membara, anak muda. Aku harap nyalimu itu bisa berbanding
lurus dengan ilmu kanuraganmu.”
“Baiklah, tidak adil rasanya jika aku
tidak menyebutkan namaku pula. Aku Ki Mursa, begitu biasa orang memanggilku.”
“Sekarang, bersiaplah! Kita lanjutkan
lagi apa yang sudah kita mulai sebelumnya!”
Ki Mursa kemudian mempersiapkan diri
untuk bertempur kembali. Ia yakin, dengan tubuhnya yang jangkung, akan memberi
keuntungan baginya dalam hal perkelahian. Yaitu dapat menjangkau lawannya lebih
dekat. Bila ia membandingkannya dengan Linggar, ia menjadi semakin yakin, bahwa
ia akan segera dapat menguasainya. Karena Linggar sendiri bertubuh sedang,
tidak setinggi Ki Mursa. Jelas dalam perhitungannya, jangkauannya hanya akan sewajarnya
saja dan sangat mudah untuk dilumpuhkan.
Tetapi Linggar berkeyakinan lain. Dengan
dua pedangnya, ia merasa yakin punya gerakan yang berlipat di bandingkan Ki
Mursa. Itu juga yang telah membuatnya mampu mengimbanginya beberapa saat
sebelumnya.
Tetapi Ki Mursa pun memiliki pedang yang
tak kalah unik. Pedangnya berukuran panjang, beda dari ukuran pedang pada
umumnya. Apalagi jika ditambah dengan jangkauan tangannya yang lebih panjang,
akan menjadi serangan yang mematikan.
Maka beradulah kembali senjata-senjata
keduanya dengan percikan bunga api ke udara. Dentang senjata mereka begitu
keras, ditambah lagi suara teriakan orang-orang disekitarnya. Menambah riuh dan
bising suasana peperangan itu.
Saat Linggar menjulurkan sepasang
pedangnya ke jantung Ki Mursa, dengan cepat Ki Mursa menebas dengan pedang
panjangnya. Maka, terpatahkan tusukan pedang Linggar, disertai suara dentang senjata
keras. Dua pedang Linggar pun urung mengenai sasaran.
Kini giliran Ki Mursa yang menyerang,
pedangnya ditebas mendatar ke arah leher Linggar. Linggar yang melihat pedang
panjang lawan yang hendak memenggal lehernya, segera merendahkan tubuhnya dengan
sedikit membungkuk. Pedang Ki Mursa pun hanya melintas diatas kepalanya. Tidak
sampai disitu, saat pedang itu tidak mengenai sasaran, Ki Mursa menebas dengan
arah berlawanan dari sebelumnya. Kini ia sedikit merendahkan tubuhnya, kemudian
pedangnnya diarahkan menebas kaki Linggar. Beruntung Linggar dengan cepat
melompat dengan dua kakinya ke udara. Kalau tidak, maka pedang itu akan menebas
kakinya.
Setelah itu, sebelum Linggar sempat menguasai
keadaan, Ki Mursa menebaskan kembali pedangnya menyilang, dari arah kanan ke
kiri. Linggar pun terpaksa membenturkan dua pedangnya untuk menahan laju pedang
panjang itu. Pedang panjang Ki Mursa pun akhirnya hanya tertahan di depan dada
Linggar, setelah membentur sepasang pedangnya itu.
Melihat serangannya gagal, Ki Mursa
kembali menyilangkan pedangnya dari arah sebaliknya. Bedanya kini dengan dua
tangan. Linggar pun melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, yaitu membenturkan
dua pedangnya lagi.
Tetapi kali ini dampaknya berbeda dari
sebelumnya. Pedang panjang Ki Mursa kini menghantam lebih keras dari
sebelumnya. Karena dia menebasnya dengan kekuatan dua tangannya, tentu pedang
Ki Mursa kini jauh lebih bertenaga. Akibatnya Linggar tak mampu lagi menahan
laju pedang panjang itu. Dan pedang itu pun akhirnya menyerempet tipis pada
bagian dadanya. Darah pun merembes dari bajunya yang koyak.
Linggar sempat tertegun melihat dadanya
yang tergores dan menitikkan darah segar itu. Ini baru pertama kali dalam
hidupnya, ia dilukai sampai mengeluarkan darah dalam peperangan. Jika dalam
perkelahian biasa ia memang pernah terluka, akan tetapi tentu jauh berbeda
dalam peperangan.
“Kau takut anak muda?” tanya Ki Mursa dengan
suara nyaring. Ki Mursa sebenarnya tahu, bahwa luka itu telah membuat jiwa
Linggar menjadi goyah. Maka ia pun dengan sengaja membiarkan Linggar untuk
mengamati lukanya itu.
Linggar pun tak menjawab pertanyaan Ki
Mursa tadi. Hanya jantungnya saja yang terus berdegup kencang. Bagaimana pun
juga pengalaman ini telah mempengaruhi bathinnya, walaupun ia seorang lelaki
bahkan prajurit sekali pun, tetapi terkena luka pada bagian tubuhnya tentu
sedikit mengguncang jiwanya. Bahkan sempat terbersit dipikirannya bayang-bayang
kematian oleh sebuah tusukan pedang yang menembus jantung.
Ki Mursa yang melihat keraguan di wajah
Linggar itu, sengaja memanfaatka hal itu untuk mempengaruhi ketahanan jiwanya.
“Kau akan merasa sayatan yang lebih
pedih dari luka yang kau alami sekarang ini, Linggar. Pedang panjangku ini akan
menambah guratan-guratan yang lain pada tubuhmu, bahkan sampai menyayat
jantungmu hingga isi perutmu terburai!” kata Ki Mursa mempengaruhi jiwa
lawannya.
“He, anak muda! Baru melihat darah
setetes saja, nyalimu sudah menjadi semenir! Apalagi kalau lenganmu itu yang
menjadi putus? Pastilah kau akan merengek minta ampun!” kata Ki Mursa sambil
tertawa terbahak-bahak.
Linggar dadanya masih berdegup kencang,
napasnya pun terus memburu. Tetapi kemudian ia menguatkan keyakinannya, bahwa
ia tidak boleh menjadi ciut nyali hanya karena luka yang tak seberapa itu.
“Omong
kosong dengan celotehmu, Ki Mursa. Aku masih punya seribu cara untuk dapat mengalahkanmu!”
kata Linggar sambil menggeretakkan giginya.
“Pikirkan kembali niatmu, anak muda!”
sahut Ki Mursa. “Kau masih terlampau hijau untuk mati! Bahkan diusiamu sekarang
adalah masa-masanya menikmati hidup,” kata Ki Mursa lagi.
“Hidupku adalah menjadi urusanku, bukanlah
urusanmu Ki Mursa!” sahut Linggar. “Aku tidak akan menyesal walau harus mati
peperangan ini, asalkan aku yakin dengan jalan yang kutempuh.”
“Aku tidak perduli lagi! Bahkan aku pun
telah mengalami hidup yang lebih pahit sebelum ini,” katanya lagi dengan suara
bergetar.
“Pikirkan saja hidupmu! Kau saja yang
sudah setua masih bermuka dua. Kau seperti ular, Ki Mursa! Kau mendesis dan
menjilat kesana kemari,” sambung Linggar.
“Anak bau kencur! Sudah berani kau
mengguruiku he?” sahut Ki Mursa yang menjadi naik darah. “Acungkan senjatamu!
Kita mulai lagi, anak muda!”
Linggar pantang surut kebelakang, ia pun
kembali bersiap menghadapi Ki Mursa. Ki Mursa sendiri langsung mendesaknya
dengan ayunan-ayunan pedang yang kuat dan menggetarkan pedang Linggar.
Linggar beberapa kali merasakan
tangannya seperti bergetar dan kesemutan, tak kala sepasang pedangnya membentur
pedang panjang milik Ki Mursa. Hingga di satu kesempatan Ki Mursa beberapa kali
juga mampu menggores pedangnya pada kedua lengan Linggar. Walaupun tidak
terlalu dalam dan membahayakan.
Linggar keyakinannya mulai goyah, karena
beberapa kali pedang Ki Mursa mampu menggapai tubuhnya dengan mudah. Ia
berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat membalikkan keadaan, yaitu meredam
kemampuan Ki Mursa.
Linggar mengerahkan segenap
kemampuannya. Kedua pedangnya kini bergerak susul-menyusul. Pedang di tangan
kanannya bergerak berputar-putar, sesekali menyabet lawan. Disusul dengan
pedang ditangan kirinya tidak kalah cepat dari tangan kanan.
Pergerakkan itu ternyata membingungkan
Ki Mursa. Pedang Linggar kini terlihat seperti berlipat-lipat jumlahnya. Selain
terlihat berlipat, juga pantulan sinar matahari pada sepasang pedangnya
menyilaukan mata Ki Mursa.
Ketika Linggar mendesak Ki Mursa dengan
pedang yang geraknya begitu luar biasa dan cepat, Ki Mursa berusaha membendung serangan
itu dengan menggerakkan pedangnya lebih cepat mengikuti irama gerakan lawan.
Maka, terdengarlah suara berdentang senjata mereka berdua. Kini terdengar suara
itu lebih sering beradu, ketimbang sebelumnya karena irama gerakannya yang lebih
cepat.
Akhirnya Linggar mendapat juga
kesempatan untuk melukai lawan. Ketika Ki Mursa sedang sibuk membendung
kelebatan pedang di tangan kiri Linggar, pedang di tangan kanannya mampu
ditebaskan ke arah leher Ki Mursa.
Tetapi Ki Mursa ternyata mampu berkelit menghindar,
hanya saja ujung pedang Linggar masih sempat menggores pipinya sedikit. Maka,
melelehlah darah dari pipi lelaki berkumis melintang itu.
“Anak tidak tahu di untung! Kau telah
membuat darahku mendidih, Linggar!” kata Ki Mursa yang menjadi bertambah naik
darah. “Kini, tidak ada ampun lagi bagimu!”
Linggar tak menjawab. Kini ia sedikit
mendapat kepercayaan diri, setelah jurus pedang yang baru saja ia lakukan mampu
melukai wajah lawannya. Maka kemudian diulanginya lagi gerakan pedang serupa
itu, bahkan kini kadang sambil melompat dan berputar.
Ki Mursa makin kewalahan dan surut
setapak demi setapak. Hanya saja kadang ia masih berusaha menghalau pedang
Linggar yang seperti baling-baling itu.
Ki Mursa kini dapat dikuasai Linggar
sepenuhnya. Ki Mursa menjadi gelisah kemudian. Ia bertambah bingung untuk
bertahan dari dua pedang Linggar yang terus-menerus menyambar, dan bayangannya
seperti ingin menggapai-gapai tubuhnya.
Dalam keadaan Ki Mursa yang demikian itulah,
Linggar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Linggar kemudian menjulurkan pedangnya
lurus sejajar mengarah ke bagian lengan Ki Mursa. Ternyata sepasang pedangnya itu
mampu menerobos pertahanan lawan. Maka menancaplah sepasang pedang itu, pada
dua lengan bagian atas Ki Mursa. Ki Mursa pun terpekik beberapa saat menahan
sakit pada kedua lengannya.
Rasa sakit yang dirasakan itu sungguh
luar biasa, karena sepasang pedang itu bukan saja menancap pada daging yang
membungkus lengannya, melainkan sampai pada menyentuh tulang. Terasa ngilu
bercampur pedih Ki Mursa rasakan. Tubuhkan gemetar saat Linggar belum juga
melepaskan pedang yang menancap itu.
Baru setelah Linggar menarik kedua
pedangnya yang masih menancap itu, terperciklah darah dari kedua lengan atas Ki
Mursa itu.
Walaupun dapat melukai kedua lengan Ki
Mursa, tetapi sebenarnya Linggar masih agak ragu membunuh lawan. Sebenarnya
pada kesempatan tadi, Linggar bisa saja menusuk dada lelaki berkumis melintang
itu, tetapi hal itu tidak ia lakukan.
“Setan alas! Kau berani melukaiku,
Linggar. Awas saja kau! Aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk mencincangku sampai
bagian yang terkecil, anak tengik!”
“Bukan salahku, Ki Mursa. Kau yang
terlalu meremehkan aku,” kata Linggar dengan nada dalam.
Ki Mursa makin marah, dengan sorot mata
yang seolah menyala-nyala ia menyerang Linggar membabi-buta. Walaupun dengan
luka di lengannya, ia tetap mampu menyerang dengan ganas.
Linggar pun melayaninya dengan
meningkatkan kewaspadaan, karena bukan tidak mungkin serangan yang tidak beraturan
itu bisa berakibat buruk baginya. Karena bagaimana pun juga luka di dadanya
masih juga menitikan darah, sehingga sedikit menyita perhatiannya dalam
berkelahi.
Ki Mursa makin tidak terkendali, ia
menyerang sejadi-jadinya. Tetapi itu tidak berarti apa-apa lagi bagi Linggar,
karena serangannya mulai melemah akibat luka pada lengannya. Linggar pun dapat
dengan mudah mematahkan tebasan pedang Ki Mursa. Ki Mursa menyerang dengan kekuatan
tangan yang mulai melemah, bahkan tebasan dan tusukan pedangnya lebih sering
meleset.
Ketika Ki Mursa menebaskan pedangnya
dari atas ke bawah, Linggar berusaha membendungnya dengan sedikit berlutut,
kemudian sepasang pedangnya bertahan diatas kepala dengan membentur pedang
panjang Ki Mursa. Terjadilah adu kekuatan, Ki Mursa menekan pedangnya,
sementara Linggar menahannya dengan dua pedangnya. Tetapi karena Ki Mursa sudah
cukup banyak mengeluarkan darah, maka tenaganya pun mulai susut. Linggar pun mendorong
sepasang pedangnya keatas secara perlahan, agar tekanan pedang Ki Mursa
mengendur. Setelah Linggar dapat berdiri tegak dengan pedang yang masih menahan
kekuatan pedang Ki Mursa, Linggar menjulurkan kakinya menendang bagian lambung
Ki Mursa dengan kuat. Akibatnya, Ki Mursa terdorong mundur kebelakang,
bersamaan dengan itu Linggar membenturkan pedangnya dengan kuat pada pedang Ki
Mursa dengan hentakan sekuat tenaga. Ki Mursa pun merasakan pedangnya tergetar
hebat, juga tangannya terasa sakit. Maka, kemudian lepaslah pedang Ki Mursa
dari genggamannya.
Dalam keadaan yang demikian itu, Linggar
tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia tidak menyerang lawannya dengan pedang lagi,
melainkan beberapa kali kepalan tangan Linggar mendarat pada wajah Ki Mursa di
bagian rahang.
Kepala Ki Mursa terasa pening dan
matanya berkunang-kunang akibat dari pukulan itu. Beberapa saat ia limbung, dan
kemudian lelaki bertubuh jangkung itu roboh ditanah dengan mata terpejam.
Linggar sempat berjongkok disisinya, tetapi setelah Linggar meraba denyut nadinya,
Linggar bernapas lega. Ki Mursa ternyata hanya pingsan.
Tumbangnya Ki Mursa kembali disambut sorak-sorai para prajurit Pajang.
Semua mata pun kemudian sempat tertuju pada Linggar. Kemampuannya mengalahkan
penimpin lapis dua mempengaruhi jiwa para pengikutnya, yang tidak lain adalah
para prajurit pembelot dibawah pimpinan tertinggi Tumenggung Derpayuda dan
Purbasana.
<-- Prev Next -->
Mantap ceritanya, semoga sukses selalu
BalasHapuscerita demak,pajang,mataram. knapa bsa beda"
BalasHapus