Novel Cerita Silat Jawa

TDM 26

Pada bagian sayap kanan, Linggar masih bertempur dengan seorang yang bertubuh jangkung dan berkumis melintang. Lawannya adalah seorang Lurah Prajurit dari Kadipaten Pajang yang membelot. Lurah Prajurit itu tentu lebih matang dalam hal bertempur, ketimbang Linggar yang baru kali ini ikut berperang. Kendati pun demikian Linggar bukanlah orang yang tanpa bekal apa-apa. Linggar adalah orang yang sudah mendapat tempaan keras dari Ki Lurah Rangga Jati dan Raden Pamekas.
Orang berkumis melintang itu kini menyerang Linggar tanpa ampun. Pedangnya mampu mematahkan tebasan sepasang pedang kembar Linggar.
Linggar sendiri walaupun mampu bergerak gesit, tetapi kadang terlihat agak ragu untuk melukai tubuh lawannya pada bagian yang mematikan. Jika pada pertempuran sebelumnya Linggar mampu mengalahkan beberapa orang penjaga gerbang padepokan, tetapi waktu itu hanya melumpuhkannya saja, tidak sampai membunuh.
Keragu-raguan itu pula yang coba dimanfaatkan orang berkumis melintang itu untuk mempengaruhi ketahanan jiwa lawan.
“Kau ternyata hanya berani membunuh kelinci kecil, anak muda! Kau sepertinya takut melihat darah, bukan?” teriak orang berkumis melintang itu.
“Sebutkan namamu! Agar aku bisa menuliskan namamu pada pusaramu nanti. Karena sebentar lagi kau akan terbunuh olehku,” kata orang itu lagi.
“Aku Linggar!” jawabnya pendek. “Hidup matiku bukan menjadi urusanmu, kisanak! Hidup matiku sudah digariskan oleh yang Maha Kuasa. Bukan ditentukan oleh prajurit penjilat sepertimu! Jadi, jangan pernah berpikir seolah-olah kau tak terkalahkan!”
“Kurang ajar! Sebentar lagi aku akan membungkam mulutmu Linggar,” kata orang itu yang menjadi geram. “Kau memang punya semangat yang membara, anak muda. Aku harap nyalimu itu bisa berbanding lurus dengan ilmu kanuraganmu.”
“Baiklah, tidak adil rasanya jika aku tidak menyebutkan namaku pula. Aku Ki Mursa, begitu biasa orang memanggilku.”
“Sekarang, bersiaplah! Kita lanjutkan lagi apa yang sudah kita mulai sebelumnya!”
Ki Mursa kemudian mempersiapkan diri untuk bertempur kembali. Ia yakin, dengan tubuhnya yang jangkung, akan memberi keuntungan baginya dalam hal perkelahian. Yaitu dapat menjangkau lawannya lebih dekat. Bila ia membandingkannya dengan Linggar, ia menjadi semakin yakin, bahwa ia akan segera dapat menguasainya. Karena Linggar sendiri bertubuh sedang, tidak setinggi Ki Mursa. Jelas dalam perhitungannya, jangkauannya hanya akan sewajarnya saja dan sangat mudah untuk dilumpuhkan.
Tetapi Linggar berkeyakinan lain. Dengan dua pedangnya, ia merasa yakin punya gerakan yang berlipat di bandingkan Ki Mursa. Itu juga yang telah membuatnya mampu mengimbanginya beberapa saat sebelumnya.
Tetapi Ki Mursa pun memiliki pedang yang tak kalah unik. Pedangnya berukuran panjang, beda dari ukuran pedang pada umumnya. Apalagi jika ditambah dengan jangkauan tangannya yang lebih panjang, akan menjadi serangan yang mematikan.
Maka beradulah kembali senjata-senjata keduanya dengan percikan bunga api ke udara. Dentang senjata mereka begitu keras, ditambah lagi suara teriakan orang-orang disekitarnya. Menambah riuh dan bising suasana peperangan itu.
Saat Linggar menjulurkan sepasang pedangnya ke jantung Ki Mursa, dengan cepat Ki Mursa menebas dengan pedang panjangnya. Maka, terpatahkan tusukan pedang Linggar, disertai suara dentang senjata keras. Dua pedang Linggar pun urung mengenai sasaran.
Kini giliran Ki Mursa yang menyerang, pedangnya ditebas mendatar ke arah leher Linggar. Linggar yang melihat pedang panjang lawan yang hendak memenggal lehernya, segera merendahkan tubuhnya dengan sedikit membungkuk. Pedang Ki Mursa pun hanya melintas diatas kepalanya. Tidak sampai disitu, saat pedang itu tidak mengenai sasaran, Ki Mursa menebas dengan arah berlawanan dari sebelumnya. Kini ia sedikit merendahkan tubuhnya, kemudian pedangnnya diarahkan menebas kaki Linggar. Beruntung Linggar dengan cepat melompat dengan dua kakinya ke udara. Kalau tidak, maka pedang itu akan menebas kakinya.
Setelah itu, sebelum Linggar sempat menguasai keadaan, Ki Mursa menebaskan kembali pedangnya menyilang, dari arah kanan ke kiri. Linggar pun terpaksa membenturkan dua pedangnya untuk menahan laju pedang panjang itu. Pedang panjang Ki Mursa pun akhirnya hanya tertahan di depan dada Linggar, setelah membentur sepasang pedangnya itu.
Melihat serangannya gagal, Ki Mursa kembali menyilangkan pedangnya dari arah sebaliknya. Bedanya kini dengan dua tangan. Linggar pun melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, yaitu membenturkan dua pedangnya lagi.
Tetapi kali ini dampaknya berbeda dari sebelumnya. Pedang panjang Ki Mursa kini menghantam lebih keras dari sebelumnya. Karena dia menebasnya dengan kekuatan dua tangannya, tentu pedang Ki Mursa kini jauh lebih bertenaga. Akibatnya Linggar tak mampu lagi menahan laju pedang panjang itu. Dan pedang itu pun akhirnya menyerempet tipis pada bagian dadanya. Darah pun merembes dari bajunya yang koyak.
Linggar sempat tertegun melihat dadanya yang tergores dan menitikkan darah segar itu. Ini baru pertama kali dalam hidupnya, ia dilukai sampai mengeluarkan darah dalam peperangan. Jika dalam perkelahian biasa ia memang pernah terluka, akan tetapi tentu jauh berbeda dalam peperangan.
“Kau takut anak muda?” tanya Ki Mursa dengan suara nyaring. Ki Mursa sebenarnya tahu, bahwa luka itu telah membuat jiwa Linggar menjadi goyah. Maka ia pun dengan sengaja membiarkan Linggar untuk mengamati lukanya itu.
Linggar pun tak menjawab pertanyaan Ki Mursa tadi. Hanya jantungnya saja yang terus berdegup kencang. Bagaimana pun juga pengalaman ini telah mempengaruhi bathinnya, walaupun ia seorang lelaki bahkan prajurit sekali pun, tetapi terkena luka pada bagian tubuhnya tentu sedikit mengguncang jiwanya. Bahkan sempat terbersit dipikirannya bayang-bayang kematian oleh sebuah tusukan pedang yang menembus jantung.
Ki Mursa yang melihat keraguan di wajah Linggar itu, sengaja memanfaatka hal itu untuk mempengaruhi ketahanan jiwanya.
“Kau akan merasa sayatan yang lebih pedih dari luka yang kau alami sekarang ini, Linggar. Pedang panjangku ini akan menambah guratan-guratan yang lain pada tubuhmu, bahkan sampai menyayat jantungmu hingga isi perutmu terburai!” kata Ki Mursa mempengaruhi jiwa lawannya.
“He, anak muda! Baru melihat darah setetes saja, nyalimu sudah menjadi semenir! Apalagi kalau lenganmu itu yang menjadi putus? Pastilah kau akan merengek minta ampun!” kata Ki Mursa sambil tertawa terbahak-bahak.
Linggar dadanya masih berdegup kencang, napasnya pun terus memburu. Tetapi kemudian ia menguatkan keyakinannya, bahwa ia tidak boleh menjadi ciut nyali hanya karena luka yang tak seberapa itu.
 “Omong kosong dengan celotehmu, Ki Mursa. Aku masih punya seribu cara untuk dapat mengalahkanmu!” kata Linggar sambil menggeretakkan giginya.
“Pikirkan kembali niatmu, anak muda!” sahut Ki Mursa. “Kau masih terlampau hijau untuk mati! Bahkan diusiamu sekarang adalah masa-masanya menikmati hidup,” kata Ki Mursa lagi.
“Hidupku adalah menjadi urusanku, bukanlah urusanmu Ki Mursa!” sahut Linggar. “Aku tidak akan menyesal walau harus mati peperangan ini, asalkan aku yakin dengan jalan yang kutempuh.”
“Aku tidak perduli lagi! Bahkan aku pun telah mengalami hidup yang lebih pahit sebelum ini,” katanya lagi dengan suara bergetar.
“Pikirkan saja hidupmu! Kau saja yang sudah setua masih bermuka dua. Kau seperti ular, Ki Mursa! Kau mendesis dan menjilat kesana kemari,” sambung Linggar.
“Anak bau kencur! Sudah berani kau mengguruiku he?” sahut Ki Mursa yang menjadi naik darah. “Acungkan senjatamu! Kita mulai lagi, anak muda!”
Linggar pantang surut kebelakang, ia pun kembali bersiap menghadapi Ki Mursa. Ki Mursa sendiri langsung mendesaknya dengan ayunan-ayunan pedang yang kuat dan menggetarkan pedang Linggar.
Linggar beberapa kali merasakan tangannya seperti bergetar dan kesemutan, tak kala sepasang pedangnya membentur pedang panjang milik Ki Mursa. Hingga di satu kesempatan Ki Mursa beberapa kali juga mampu menggores pedangnya pada kedua lengan Linggar. Walaupun tidak terlalu dalam dan membahayakan.
Linggar keyakinannya mulai goyah, karena beberapa kali pedang Ki Mursa mampu menggapai tubuhnya dengan mudah. Ia berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat membalikkan keadaan, yaitu meredam kemampuan Ki Mursa.
Linggar mengerahkan segenap kemampuannya. Kedua pedangnya kini bergerak susul-menyusul. Pedang di tangan kanannya bergerak berputar-putar, sesekali menyabet lawan. Disusul dengan pedang ditangan kirinya tidak kalah cepat dari tangan kanan.
Pergerakkan itu ternyata membingungkan Ki Mursa. Pedang Linggar kini terlihat seperti berlipat-lipat jumlahnya. Selain terlihat berlipat, juga pantulan sinar matahari pada sepasang pedangnya menyilaukan mata Ki Mursa.
Ketika Linggar mendesak Ki Mursa dengan pedang yang geraknya begitu luar biasa dan cepat, Ki Mursa berusaha membendung serangan itu dengan menggerakkan pedangnya lebih cepat mengikuti irama gerakan lawan. Maka, terdengarlah suara berdentang senjata mereka berdua. Kini terdengar suara itu lebih sering beradu, ketimbang sebelumnya karena irama gerakannya yang lebih cepat.
Akhirnya Linggar mendapat juga kesempatan untuk melukai lawan. Ketika Ki Mursa sedang sibuk membendung kelebatan pedang di tangan kiri Linggar, pedang di tangan kanannya mampu ditebaskan ke arah leher Ki Mursa.
Tetapi Ki Mursa ternyata mampu berkelit menghindar, hanya saja ujung pedang Linggar masih sempat menggores pipinya sedikit. Maka, melelehlah darah dari pipi lelaki berkumis melintang itu.
“Anak tidak tahu di untung! Kau telah membuat darahku mendidih, Linggar!” kata Ki Mursa yang menjadi bertambah naik darah. “Kini, tidak ada ampun lagi bagimu!”
Linggar tak menjawab. Kini ia sedikit mendapat kepercayaan diri, setelah jurus pedang yang baru saja ia lakukan mampu melukai wajah lawannya. Maka kemudian diulanginya lagi gerakan pedang serupa itu, bahkan kini kadang sambil melompat dan berputar.
Ki Mursa makin kewalahan dan surut setapak demi setapak. Hanya saja kadang ia masih berusaha menghalau pedang Linggar yang seperti baling-baling itu.
Ki Mursa kini dapat dikuasai Linggar sepenuhnya. Ki Mursa menjadi gelisah kemudian. Ia bertambah bingung untuk bertahan dari dua pedang Linggar yang terus-menerus menyambar, dan bayangannya seperti ingin menggapai-gapai tubuhnya.
Dalam keadaan Ki Mursa yang demikian itulah, Linggar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Linggar kemudian menjulurkan pedangnya lurus sejajar mengarah ke bagian lengan Ki Mursa. Ternyata sepasang pedangnya itu mampu menerobos pertahanan lawan. Maka menancaplah sepasang pedang itu, pada dua lengan bagian atas Ki Mursa. Ki Mursa pun terpekik beberapa saat menahan sakit pada kedua lengannya.
Rasa sakit yang dirasakan itu sungguh luar biasa, karena sepasang pedang itu bukan saja menancap pada daging yang membungkus lengannya, melainkan sampai pada menyentuh tulang. Terasa ngilu bercampur pedih Ki Mursa rasakan. Tubuhkan gemetar saat Linggar belum juga melepaskan pedang yang menancap itu.
Baru setelah Linggar menarik kedua pedangnya yang masih menancap itu, terperciklah darah dari kedua lengan atas Ki Mursa itu.
Walaupun dapat melukai kedua lengan Ki Mursa, tetapi sebenarnya Linggar masih agak ragu membunuh lawan. Sebenarnya pada kesempatan tadi, Linggar bisa saja menusuk dada lelaki berkumis melintang itu, tetapi hal itu tidak ia lakukan.
“Setan alas! Kau berani melukaiku, Linggar. Awas saja kau! Aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk mencincangku sampai bagian yang terkecil, anak tengik!”
“Bukan salahku, Ki Mursa. Kau yang terlalu meremehkan aku,” kata Linggar dengan nada dalam.
Ki Mursa makin marah, dengan sorot mata yang seolah menyala-nyala ia menyerang Linggar membabi-buta. Walaupun dengan luka di lengannya, ia tetap mampu menyerang dengan ganas.
Linggar pun melayaninya dengan meningkatkan kewaspadaan, karena bukan tidak mungkin serangan yang tidak beraturan itu bisa berakibat buruk baginya. Karena bagaimana pun juga luka di dadanya masih juga menitikan darah, sehingga sedikit menyita perhatiannya dalam berkelahi.
Ki Mursa makin tidak terkendali, ia menyerang sejadi-jadinya. Tetapi itu tidak berarti apa-apa lagi bagi Linggar, karena serangannya mulai melemah akibat luka pada lengannya. Linggar pun dapat dengan mudah mematahkan tebasan pedang Ki Mursa. Ki Mursa menyerang dengan kekuatan tangan yang mulai melemah, bahkan tebasan dan tusukan pedangnya lebih sering meleset.
Ketika Ki Mursa menebaskan pedangnya dari atas ke bawah, Linggar berusaha membendungnya dengan sedikit berlutut, kemudian sepasang pedangnya bertahan diatas kepala dengan membentur pedang panjang Ki Mursa. Terjadilah adu kekuatan, Ki Mursa menekan pedangnya, sementara Linggar menahannya dengan dua pedangnya. Tetapi karena Ki Mursa sudah cukup banyak mengeluarkan darah, maka tenaganya pun mulai susut. Linggar pun mendorong sepasang pedangnya keatas secara perlahan, agar tekanan pedang Ki Mursa mengendur. Setelah Linggar dapat berdiri tegak dengan pedang yang masih menahan kekuatan pedang Ki Mursa, Linggar menjulurkan kakinya menendang bagian lambung Ki Mursa dengan kuat. Akibatnya, Ki Mursa terdorong mundur kebelakang, bersamaan dengan itu Linggar membenturkan pedangnya dengan kuat pada pedang Ki Mursa dengan hentakan sekuat tenaga. Ki Mursa pun merasakan pedangnya tergetar hebat, juga tangannya terasa sakit. Maka, kemudian lepaslah pedang Ki Mursa dari genggamannya.
Dalam keadaan yang demikian itu, Linggar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia tidak menyerang lawannya dengan pedang lagi, melainkan beberapa kali kepalan tangan Linggar mendarat pada wajah Ki Mursa di bagian rahang.
Kepala Ki Mursa terasa pening dan matanya berkunang-kunang akibat dari pukulan itu. Beberapa saat ia limbung, dan kemudian lelaki bertubuh jangkung itu roboh ditanah dengan mata terpejam.
Linggar sempat berjongkok disisinya, tetapi setelah Linggar meraba denyut nadinya, Linggar bernapas lega. Ki Mursa ternyata hanya pingsan.
Tumbangnya Ki Mursa kembali disambut sorak-sorai para prajurit Pajang. Semua mata pun kemudian sempat tertuju pada Linggar. Kemampuannya mengalahkan penimpin lapis dua mempengaruhi jiwa para pengikutnya, yang tidak lain adalah para prajurit pembelot dibawah pimpinan tertinggi Tumenggung Derpayuda dan Purbasana.
<-- Prev     Next -->    

2 komentar:

Pengikut