Novel Cerita Silat Jawa

TDM 37

Sementara itu disisi timur kubu padepokan Watu Belah menjadi panik. Suara-suara teriakan dan dentang senjata disisi selatan menandakan bahwa pertahanan mereka disisi selatan sudah jebol. Kontan saja membuat Bajul Wedi menjadi gelisah dan segera memerintahkan seperempat pasukannya membantu di sisi selatan.
“Pasukan lapis dua!” teriak Bajul Wedi. “Cepat sebagian bergerak ke selatan! Pertahankan sisi selatan jangan sampai jebol!”
Perintah Bajul Wedi itu dengan serta-merta dipatuhi bawahannya, maka berkuranglah jumlah pasukan di sisi timur. Keadaan itu dimanfaatkan laskar Mangir. Ki Nataprawira kemudian meminta laskarnya untuk bersiap.
“Kita gempur sekarang Raden! Sisi selatan sudah berhasil dijebol Linggar dan prajuritnya.”
“Kau yakin Ki Nataprawira?” Raden Jaka menegas.
“Tentu Raden! Seorang penghubung telah memberitahu hamba, bahwa Linggar berhasil masuk dari sisi selatan.”
“Bagaimana mungkin? Mereka hanya 20 orang!”
Ki Nataprawira mencoba mengerti kekhawatiran Raden Jaka, maka ia pun menjelaskan.
“Linggar berhasil membuka ruang bagi prajuritnya untuk dapat sampai ke puncak bukit. Dengan kemampuan bidiknya, ia berhasil melesatkan anak-anak panahnya dengan cepat dan tak terlihat, hingga mampu merobohkan beberapa jago-jago bayaran yang berjaga disana!”
Raden Jaka terdiam sesaat, memang ia tidak meremehkan kemampuan Linggar. Tetapi baginya jago-jago bayaran itu bukanlah orang terlatih, tentu bukan hal istimewa baginya atas pencapaian Linggar itu.
“Baiklah Ki Nataprawira, mari kita jebol juga sisi timur ini. Yang tentunya kekuatannya lebih besar ketimbang yang berada di sisi selatan itu!”
Ki Nataprawira hanya mengangguk dan tidak menanggapi terlalu jauh. Kemudian segera memerintahkan laskarnya bergerak naik, dengan sebelumnya menghujani dengan anak-anak panah dan lembing ke puncak bukit.
Lesakan lembing dan anak panah yang berterbangan di udara dibalas pula dari puncak bukit dengan hal serupa. Di atas bukit yang keadaannya lebih lapang banyak korban yang terluka akibat aksi saling serang tersebut. Berbeda halnya dengan laskar Mangir, meski berada di dataran yang lebih rendah, tetapi tameng dan pepohonan sedikit mengurangi korban luka di pihak mereka.
Maka kemudian terdengarlah suara teriakan-teriakan membakar semangat dari lereng bukit menggema menggetarkan jantung lawan. Secara bersama-sama laskar Mangir menyembul ke permukaan bukit dengan senjata masing-masing berupa tombak dan pedang, ditambah lagi bendera dan umbul-umbul menambah semarak suasana perang di puncak Bukit Sambung itu.
Tetapi di pihak lawan, perawakan cantrik padepokan Watu Belah cukup membuat ketar-ketir laskar Mangir, karena mereka tidak murni hanya prajurit terlatih Mangir. Melainkan bercampur dengan para pemuda relawan yang bersedia membela tanah kelahirannya dari gangguan luar.
Melihat tampang yang kasar dengan senjata yang tidak biasa, membuat laskar relawan menjadi sedikit gugup. Tetapi Ki Nataprawira tidak membiarkan hal itu terus berlangsung, ia memerintahkan laskar terlatihnya untuk menempel terus mereka yang belum berpengalaman.
Maka pertempuran pun terus berlangsung dengan sedemikian sengitnya. Ki Nataprawira sengaja menerapkan gelar perang Emprit Neba, yaitu gelar perang yang seperti burung bergerombol kemudian mematuk ke sasaran secara bersama-sama disaat ada kesempatan atau celah dari kelemahan lawan. Gelar ini ia pilih karena ia sadar tidak seluruhnya laskar Mangir adalah laskar terlatih, sehingga gelar ini cocok untuk menekan sekecil mungkin jatuh korban karena kurangnya pengalaman.
Di pihak padepokan Watu Belah, meskipun tidak menerapkan gelar perang, tetapi mendesak kekuatan mereka bukanlah perkara yang mudah. Mereka telah terbiasa melakukan latihan-latihan kanuragan di padepokan, bagi mereka olah kanuragan sudah seperti makanan sehari-hari saja. Maka, pertempuran pun berlangsung alot dikedua belah pihak.
Beberapa kali benturan-benturan senjata tak mampu mendesak lawan satu sama lain. Para cantrik begitu gesit menghadapi gelar emprit neba yang menyerang secara bergerombol dan sekonyong-konyong itu. Mereka menanggapinya dengan langsung menyatukan diri, apabila mendapat serangan yang mendadak.
Tetapi lama-kelamaan terlihat juga siapa yang mulai mengungguli, beberapa laskar Mangir terpaksa menarik diri karena goresan pedang dan sabetan bandil bergerigi tajam milik beberapa cantrik Watu Belah.
Ki Nataprawira menjadi cemas. Ia terpaksa merangsek ke garis depan kemudian dengan kemampuan ilmu pedangnya menyerang dengan cepat dan berputar-putar, seolah ingin mengacau pertahanan lawan. Terbukti usahanya itu berhasil, beberapa orang cantrik terpekik dengan goresan luka di dada dan beberapa orang lagi punggungnya tergores dengan luka melintang.
Sementara Bajul Wedi yang merasa garis depannya menjadi kacau akibat ulah pemimpin Mangir, tak tertahankan juga ikut menyibak ke muka. Dengan senjata Bandil berbandul 3 buah bola bergerigi tajam, ikut memecah gerombol laskar Mangir. Tak pelak, beberapa orang terlukai sekaligus ketika bandilnya diputar dan dihantamkan ke kerumunan.
Beberapa orang yang terkena dampak hantaman bandil, mengerang dengan tulang rasanya seperti patah dan meninggalkan luka yang menitikkan darah. Sementara yang tersambar bandil, lukanya seperti goresan parut dengan garis memanjang.
Maka, garis depan pun menyibak dengan menyisakan dua orang pemimpin dua kubu. Yaitu Ki Nataprawira dan Bajul Wedi. Kedua-duanya terengah-engah setelah mampu menyingkirkan beberapa orang sekaligus.
“He kisanak! Kau sekarang berhadapan lansung dengan Cantrik utama padepokan ini! Akulah Bajul Wedi, sebentar lagi aku akan membuatmu tunduk dihadapanku kemudian diikuti laskarmu yang lain. Jadi bersiaplah!”
“Aku sudah siap Bajul Wedi! Aku Nataprawira panglima Mangir!”
Bajul Wedi meludah. “Sejak kapan Mangir punya panglima? Kalian hanyalah tanah perdikan yang membelot!” katanya mengejek.
“Terserah apa katamu! Karena kau sudah membuat keresahan di Mangir. Maka, akulah lawanmu sepadan!”
Bajul Wedi merasa tak perlu berbasa-basi lagi, ia langsung menyerang dengan Bandil berbandul tiga miliknya. Ketika bandil itu hendak menghantam kepala, dengan cepat Ki Nataprawira menghindar kesamping. Bandil itu akhirnya hanya menumbuk tanah, luput dari sasaran.
Orang-orang disekeliling pertempuran itu pun sedikit tersita perhatiannya mendengar suara bandil tadi. Tak terbayangkan jika menghantam tempurung kepala, dapat berujung maut. Tetapi mereka yang bertarung di sekitar, kemudian segera memusatkan perhatian pada lawannya masing-masing.
Kini ganti Ki Nataprawira yang mengamuk. Pedangnya di tebaskan menyilang berulang-ulang, bermaksud mendesak lawan. Tetapi Bajul Wedi mampu menghalau laju geraknya, sesekali bandilnya ditibankan, ketika Ki Nataprawira berusaha mendesaknya mundur. Senjata mereka pun kadang saling membentur, disertai dengan percikan bunga api dan sedikit kepulan asap.
Bajul Wedi adalah cantrik utama. Oleh karena itu banyak sudah ilmu yang diwariskan Jambe Abang kepadanya, meskipun belum sampai pada tahapan mumpuni, tetapi bisa dikatakan ia telah menguasai separuh dari ilmunya. Kiai Jambe Abang sendiri adalah pendekar yang biasa bermain-main hawa panas pada ilmu kanuragannya. Maka watak ilmu itu sendiri tersirat pada Baju Wedi yang disalurkan lewat senjata bandilnya.
Diterik matahari itu senjata bandil Baju Wedi berubah menjadi bola api yang membara, tak ayal membuat apapun yang dilintasi bulatan bandil itu seperti terpanggang api. Rumput-rumput yang sempat terseret bandilnya pun berubah hitam kering dan mengepulkan asap. Sungguh membuat mereka yang melihat menjadi merinding.
“Kau telah bermain-main dengan cantrik utama Watu Belah, Nataprawira! Sebentar lagi, bandil ini tidak hanya membuat tulang belulangmu remuk, melainkan sekujur tubuhmu akan seperti daging panggang!” ancam Bajul Wedi.
“Aku tidak akan surut menghadapimu, Bajul Wedi. Sedahsyat apapun ilmumu, karena aku berpijak pada kebenaran, tidak akan menggoyahkan nyaliku.”
Ki Nataprawira kemudian menyarungkan pedangnya. Rasanya ia harus mengganti senjata untuk menghadapi bandil yang berubah menjadi ganas dan liar itu. Ia kemudian terlihat melepas ikat pinggangnya, kemudian mengurainya sampai menjuntai ditanah.
Senjata panglima Mangir itu pun bukanlah senjata sembarangan. Senjata yang ia miliki itu, terbuat dari kulit binatang yang telah direndam dan dan dijemur selama bertahun-tahun. Meskipun senjata itu bersifat lentur, tetapi memiliki kelebihan yaitu liat dan tidak mudah putus.
“Oh.., senjatamu kiranya hanya sebuah timang usang, yang tak terpakai lagi. Timangmu itu lebih patas menjadi tali kekang kuda, ketimbang senjata andalan!” Bajul Wedi mencibir.
“Aku tidak minta pendapatmu atas senjataku, Bajul Wedi! Buktikan saja, apakah kelerengmu itu mampu menghadapi timangku ini!”
Dikatakan begitu, Bajul Wedi merasa tertantang. Ia pun kembali memutar bandilnya diatas kepala, sambil sesekali dijulurkan. Ki Nataprawira yang juga panglima jempolan tidak mau kalah, dengan gesit ia merendahkan tubuhnya menghindar. Bandil itu hanya melintas diatas kepalanya sejengkal. Tidak menyia-nyiakan kesempatan Ki Nataprawira langsung melecut timangnya yang tak berbandul. Bajul Wedi terlambat menghindar, timang kulit itu melecut pundaknya. Membuat bajunya koyak dengan meninggalkan rasa panas menyengat dipundak.
Kini Bajul Wedi meningkatkan serangan dengan memutar bandilnya menyilang dimuka. Ki Nataprawira tampak bergeser dan terdesak mundur menghindari serangan yang sulit ditembus celahnya itu.
Sentuhan kecil tadi membuat Bajul Wedi mendongkol, karena tak menyangka akibat yang akan ditimbulkannya. Bandil milik Bajul Wedi itu kini seolah memburu Ki Nataprawira. Ia terpaksa melompat ke kanan dan ke kiri menghindar. Ia seperti tak mempunyai celah untuk membalas serangan itu dengan lecutan timangnya. Akhirnya Bajul Wedi mempunyai kesempatan juga untuk mengenai sasaran. Ketika Panglima Mangir itu berguling menghindar karena kewalahan, pada saat itulah ia berusaha menumbukkan bandil ke punggung Panglima Mangir itu.
Untuk Ki Nataprawira sempat melihat ketika bandil itu hampir meniban punggungnya. Tetapi terlambat, karena tubuhnya terantuk batang pohon saat berguling. Tentu saja membuatnya sulit untuk berguling kembali.
Dengan cepat ia mengambil tindakan sigap. Timangnya ia pecutkan ke salah satu dahan pohon yang berada tidak jauh dari tempatnya terpojok. Timang itu kemudian ujungnya melilit pada dahan pohon tersebut, kemudian Ki Nataprawira berayun layaknya seekor kera hutan. Hal itu ia lakukan untuk menghindari bandil yang hampir menghantam punggungnya itu.
Terdengar suara keluhan tertahan. Ternyata bandil itu masih juga menyerempet punggungnya sedikit. Tentu saja meninggalkan luka parut pada punggungnya, dan bajunya pun sedikit koyak juga.
Ki Nataprawira sempat meraba punggungnya yang terasa pedih itu. Dilihat hasil rabaannya itu, ternyata tangannya memerah darah. Ia pun menjadi berang jadinya.
“Demit! Aku tidak akan mengampunimu!” katanya dengan nada tinggi.
“Ha.., ha.., ha..! Kau akhirnya merasakan juga luka parut pada tubuhmu Panglima bodoh! Lihatlah lukamu itu lagi! Buka hanya menitikkan darah, akan tetapi juga hitam dan gosong!” kata Bajul Wedi dengan bangganya.
Ki Nataprawira tidak berusaha menanggapi. Melainkan mengambil kesimpulan atas jenis senjata lawannya untuk lebih berwaspada menghadapinya. Memang diakuinya luka yang timbulkan tidak hanya pedih melainkan seperti luka bakar.
Sementara peperangan telah berkobar disana-sini, baik disisi timur maupun selatan. Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan mereka dengan senjata dan kemampuannya masing-masing. Linggar dan Wurpasa yang bertempur disisi selatan, bak sepasang senopati andalan yang bergerak teratur menyerang celah pertahanan lawan. Ya, karena keduanya memang prajurit yang telah dididik dalam suatu pola tata keprajuritan. Terlihat sekali keduanya mampu saling mengisi kekosongan dan mendesak kelemahan pada barisan jago-jago bayaran dari Prambanan.
Jumlah kedua kubu yang memang seimbang, membuat pertempuran begitu alot. Belum ada pihak yang terdesak mundur akibat gempuran lawan. Diantara jago-jago Prambanan itu terdapat beberapa orang yang berpakaian lain. Sepertinya berasal dari seberang pesisir tanah Jawa. Pakaiannya serba hitam, dengan senjata celurit yang ukurannya pun tidak biasa. Mereka terdiri dari 4 orang. Dan 4 orang itulah yang diwaspadai Linggar, dapat menentukan hasil pertempuran yang terjadi.
Keempat orang itu membabatkan celuritnya tak beraturan, sepertinya mereka terkesan kasar dan tak berjantung. Linggar dan Wurpasa langsung mengikat keempat orang itu dalam satu pertarungan.
Keempat orang bersenjatakan celurit itu pun menyadari apa yang dilakukan kedua orang yang berada dipihak lawannya itu. Mereka berempat seperti dibatasi dalam peperangan, sehingga sulit sekali untuk bergeser ke medan peperangan yang lain. Mereka pun menjadi jengkel.
“Hei prajurit rendahan! Siapa kalian yang telah berani beradu dada dengan kami, Laskar Carok dari Madura?” katanya dengan sengit.
Yang menjawab Linggar. “Aku Linggar pimpinan prajurit Pajang! Cara bertempur kalian membahayakan, kadang membokong dari belakang. Kalian harus kami bereskan terlebih dahulu!”
“Kurang ajar! Tak ada aturan dalam perang, yang ada hanya membunuh atau dibunuh!” kata salah seorang Carok dengan nada tinggi.
“Itu pendapatmu! Aku bukan ksatria urakan sepertimu, ayo selesaikan saja pertarungan ini!” sahut Linggar.
“Kau menantang maut kisanak. Ketahuilah! Kami adalah murid perguruan Batu Putih dari Madura. Dan dua orang yang berada di selatan Sambung ini, dialah pimpinan kami. Tekabeh dan Dengsabeh. Yang lebih dikenal di pesisir Jawa dengan sebutan, Dua Carok dari Madura!”
“Aku tidak peduli dengan asal-usulmu! Yang jelas, kalian adalah orang-orang bayaran yang ikut memperkeruh keadaan di sekitar Pajang dan Mangir!” tukas Linggar.
Kini pola pertempuran menjadi dua lawan dua. Dua carok bertubuh jangkung melawan Linggar dan dua carok lagi yang bertubuh pendek melawan Wurpasa. Tidak seimbang memang, tetapi kedua prajurit sandi dari Pajang itu begitu yakin dapat mengatasi mereka.
Dua orang bertubuh jangkung yang menghadapi Linggar, langsung mengikat dengan memisahkan Linggar dari pertempuran yang lain. Celurit seukuran perut orang dewasa milik dua carok itu, dibacokkan ke arah Linggar secara bergantian. Satu disabetkan ke lambung dan satu lagi ke batok kepalahnya. Linggar mundur setapak kebelakang menghindari sabetan celurit yang mengarah ke lambung, tetapi kemudian menyusul satu serangan lagi yang mengarah ke kepalanya. Linggar terpaksa menangkisnya dengan pedang diangkat di atas kepalanya. Laju celurit itu pun kemudian hanya tertahan pedang Linggar.
Linggar makin waspada dengan senjata yang tak biasa itu. Karena sesungguhnya dia belum pernah menghadapi lawan dengan senjata sebuah celurit sebelumnya. Untuk menghadapi kedua musuhnya itu, ia terpaksa mengeluarkan satu bilah pedang lagi. Yaitu seperti biasanya ia memainkan dua pedangnya tak kala menghadapi musuh yang jumlahnya tidak sebanding.
Sepasang pedangnya berkali-kali membentur celurit dua musuhnya yang terus memburunya bertubi-tubi. Senjata celurit seukuran lingkar perut orang dewasa itu sungguh mengerikan. Apabila sudah mengait perut, maka akan membuat isi perut terburai.
Tidak jauh beda dengan yang dialami Wurpasa. Ia pun butuh menyesuaikan diri jenis senjata musuhnya. Apalagi menghadapi musuh yang tubuhnya berukuran pendek. Meskipun kadang cenderung mati langkah. Tetapi keduanya begitu mahir memainkan senjata celuritnya, sehingga Wurpasa belum juga mampu mendesak salah satu dari mereka.
Dengan senjata dua belah pedang seperti Linggar, Wurpasa pun mencoba membendung senjata celurit dua lawannya itu. Meskipun harus dengan berjungkir-balik untuk mempertahankan diri, Wurpasa tidak patah semangat. Ia tetap yakin dengan bekal kemampuan yang didapat di keprajuritan Pajang.
            Dalam pada itu di sisi selatan, pertarungan antara Ki Nataprawira dan Bajul Wedi makin bertambah sengit. Mereka masing-masing telah mengeluarkan puncak kemampuannya. Kini terlihat Ki Nataprawira makin mampu mengendalikan pertarungan. Beberapa kali Timangnya sempat mengenai lengan dan betis Bajul Wedi. Kontan saja Bajul Wedi menjadi marah dan gusar.
Kini gentian Bajul Wedi yang menyabetkan bandil mengarah ke bagian tubuh lawan. Kadang menumbuk bahu, bahkan kadang kepala. Tetapi Ki Nataprawira mampu bergerak lebih gesit sebelum senjata bandil itu menggapainya. Tetapi akhinya disuatu kesempatan, bandil itu mampu juga melibat kaki kanan Ki Nataprawira, meskipun tidak sampai membuatnya tumbang. Tetapi libatan yang kuat, ditambah tenaga tarik Bajul Wedi, membuat kuda-kuda panglima Mangir itu sedikit tergannggu. Apalagi ditambah bulatan bandil itu menjadi panas membara.
Ki Nataprawira merasakan panas yang menyengat di betis kanannya. Ia meringis menahan rasa panas itu. Tetapi kemudian ia berusaha memusatkan pikirannya untuk mengeluarkan tenaga sakti dalam tubuhnya. Tujuannya untuk melawan hawa panas pada bandil yang disalurkan Bajul Wedi.
“Aku tidak boleh membiarkan betisku terbakar sampai lumat! Aku akan melawannya dengan ajian Tameng Wajaku!” Ki Nataprawira membathin
Maka seketika itu juga tubuh Ki Nataprawira menjadi tergetar hebat, setelah ajian Tameng Wajanya ia munculkan. Mendadak pula betis kanannya menjadi keras seperti baja, sehingga hawa panas bandil Bajul Wedi tak dapat mempengaruhinya. Walaupun sempat menghitam betisnya, tetapi Ki Nataprawira tidak terlambat mengeluarkan ajian Tameng Wajanya.
Pemandangan yang menegangkan itu membuat area disekitar menjadi terkesima. Tak terkecuali Raden Jaka yang belum turun ke gelanggang. Ia pun terkesan dengan kemampuan Ki Nataprawira, tidak salah rupanya ayahnya mengangkatnya menjadi panglima Mangir. Selain umur Ki Nataprawira tidak terpaut jauh dari Ki Ageng Wanabaya, tetapi ternyata juga kemampuannya tidak diragukan lagi.
Bajul Wedi yang melihat lawannya seperti tidak merasakan sengatan panas jerat bandilnya, matanya terbelalak tak percaya. Disaat Bajul Wedi yang terkesima itulah Ki Nataprawira segera bertindak cekatan. Timangnya dilecutkan memantul, ke arah lengan yang masih menggenggam erat bandil itu. Pada saat itu juga bandil itu terlepas, dan lengan Bajul Wedi bukan hanya memerah terkena sabetan timang. Melainkan kehitaman. Itu akibat sabetan timang yang di landasi tenaga dalam Ki Nataprawira.
Bajul Wedi mengerang kesakitan bukan kepalang. Saking tak kuat menahan sakitnya ia berguling-guling ditanah. Tangannya bukan hanya pedih, melainkan seperti tersengat bara api.
Ki Nataprawira mengambil kesempatan untuk melepaskan bandil yang menjerat kakinya. Setelah bandil itu terlepas, ia genggam erat di tangan kirinya. Kemudian ia kembali menyerang Bajul, untuk sekedar melumpuhkannya tanpa membunuh. Ia melompat sambil melecutkan timangnya berkali-kali tanpa ampun. Akibatnya Bajul Wedi hanya mengerang kesakitan sambil terus beringsut mundur.
Lecutan timang itu merobek bajunya dan meninggalkan luka menghitam, di beberapa bagian tubuhnya. Matanya menyala-nyala tak terima menerima kekalahan itu. Tetapi tidak ada yang bisa diperbuatnya, bandilnya telah berpindah ke tangan lawan. Sementara untuk mendesak lawan begitu sulit, karena Ki Nataprawira terus melecutkan timangnya bertubi-tubi.
Melihat Bajul Wedi yang duduk berlutut tak berdaya, Ki Nataprawira tidak melanjutkan serangannya. Kemudian ia malah mengembalikan bandil milik Bajul Wedi ke hadapannya.
“Raih lagi senjatamu itu! Lawanlah aku kalau kau masih bernafsu ingin menundukkanku!” tantang Ki Nataprawira.
Bajul Wedi yang sedang duduk berlutut tak menghiraukannya. Tangannya lunglai tak berdaya, akibat lecutan timang yang bertubi-tubi menderanya. Walaupun sebenarnya ia merasa tertantang, tetapi ia masih berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Dalam hatinya sebenarnya ia merasa bimbang, walaupun ia raih bandil itu untuk menyerang Ki Nataprawira, maka hasilnya akan sama saja. Bahkan mungkin akan lebih parah. Maka, ia pun memutuskan untuk melampiaskan sasaran kepada yang lain. Untuk sekedar mengobati kekecewaannya tak mampu menundukkan panglima Mangir itu.
Sambil menggeram ia kembali meraih bandilnya dengan tangan sedikit gemetaran. Dengan sorot mata yang menyala-nyala ia meninggalkan Ki Nataprawira. Ia kemudian menibankan bandilnya sembarang saja, tetapi mengarah ke laskar Mangir. Hal itu pun membuyarkan peperangan yang sedang berlangsung. Beberapa laskar Mangir yang tak menduga dibokong dari belakang, mengalami luka parah. Ada yang bahunya mengalami retak, adapula yang jatuh tersungkur karena punggungnya dihantam bandil.
Ki Nataprawira menjadi naik darah, melihat Bajul Wedi yang tidak terkendali itu. Maka, dengan dua kali lompatan panjang, ia memantulkan timangnya menjerat leher Bajul Wedi. Serangan Bajul Wedi pun sempat tertahan kemudian. Napasnya terasa sesak dileher, tetapi ia tak menghiraukan itu. Bandilnya terus saja menyasar laskar Mangir yang berusaha mengepungnya.
Banyak yang terluka akibat aksi brutalnya itu. Maka, Ki Nataprawira tidak dapat mengampuninya lagi. Timangnya yang masih menjerat pada leher Bajul Wedi ditarik kuat-kuat. Bajul Wedi posisinya menjadi makin sulit, timang itu membuatnya tercekik dan napasnya terasa tertahan di kerongkongan. Pada saat itu pula serangnya menjadi terhenti.
Dengan secepat kilat Ki Nataprawira menerjangnya dengan tendangan melayang di udara menghatam punggungnya. Seketika itu juga Bajul Wedi roboh di tanah, dengan kepala terantuk batu. Ia pun tak bergeming lagi kemudian.
Semua yang menyaksikan terpaku beberapa saat ditempatnya. Baru kemudian suasana pecah ketika salah seorang berteriak memberikan semangat.
“Lihatlah Bajul Wedi sudah terkapar! Siapa selanjutnya ha?”
“Hidup Panglima Mangir! Hidup Ki Nataprawira,” teriak salah seorang laskar Mangir. Yang kemudian disambut riuh sorak-sorai kemenangan dari seluruh laskar.
Kemenangan Ki Nataprawira membuat Raden Jaka dapat bernapas lega. Itu artinya pasukan garda depan di pihak lawan sudah kehilangan tongkat kepemimpinan. Disamping itu, kekalahan itu dapat mempengaruhi ketahanan jiwa lawan.
     <<<PREV                    NEXT>>>

4 komentar:

Pengikut