Novel Cerita Silat Jawa

TDM 38

Dalam pada itu di sisi selatan tidak kalah sengit. Prajurit Pajang dibawah kepemimpinan Linggar masih berusaha menggempur lawan yang terdiri dari jago-jao bayaran dari Prambanan. Linggar dan Wurpasa sendiri masih beradu senjata dengan 4 carok yang mengaku dari perguruan Batu Putih di tanah Madura.
Dua carok jangkung lawan Linggar bergerak dengan cepat dan berputar-putar. Celurit besarnya berkilat-kilat diterpa sinar matahari. Kelebatannya kadang menyilaukan mata. Tubuh jangkung keduanya begitu menguntungkan untuk menjangkau lawan. Beberapa kali Linggar surut kebelakang, karena ragu-ragu bertindak.
Tetapi akhirnya Linggar pun dapat memberikan penilaian atas kelebihan dan kekurangan senjata celurit itu. Meskipun ukurannya besar, dan ujung runcingnya menggetarkan jantung, akan tetapi senjata itu hanya memiliki satu sisi tajam. Berbeda dengan bilah pedangnya, yang bukan hanya runcing diujungnya, akan tetapi disetiap sisi berbentuk pipih dan tajam. Maka, Linggar pun kemudian memadukan gerakannya. Yaitu membabat musuh dengan sisi tajam pedangnya, bila gagal sisi kirinya, sisi kanan memburu musuh yang satunya. Kemudian dengan ujung runcing pedangnya, ia menusuk ketika lawan terdesak mundur.
Hal itu cukup berhasil membuat dua carok jangkung itu terdesak mundur setapak dua tapak. Terlihat gerakannya kini seperti terkesan ragu-ragu. Tetapi kemudian mereka dapat berpikir cepat, mereka tidak ingin dibawah kendali Linggar. Maka, dengan isyarat anggukkan kepala tiba-tiba dua carok itu membacokkan celuritnya dengan kekuatan penuh mengarah ke tubuh Linggar. Linggar pun seketika itu juga membendungnya dengan dua bilah pedangnya. Kekuatan celurit itu membuat pedang Linggar tergetar hebat, tangannya seperti kesemutan. Diiringi suara dentang yang kuat, bersamaan dengan itu sepasang pedang Linggar patah pada bagian tengah. Linggar tak menyangka akan hal itu. Ternyata celurit berukuran lingkar perut orang dewasa itu, mampu membuat sepasang pedangnya patah jadi dua.
Selagi Linggar takjub, dua carok jangkung itu tanpa bersepakat terlebih dahulu menendang Linggar pada bagian dada. Akibatnya ia terjengkang jatuh ke belakang rebah di tanah.
Dua carok dari perguruan Batu Putih Madura itu, tak memberi kesempatan Linggar untuk menyadari keadaan. Mereka kembali memburunya dengan celurit yang siap dibacokkan.
Dengan mata masih berkunang-kunang, Linggar sempat melihat 2 Carok itu berjalan cepat memburunya. Tak ada waktu lagi untuk berpikir panjang, dengan sisa potongan pedang yang sudah tak utuh lagi itu, Linggar coba melontarkannya.
Tak diduga hasilnya, sepasang pedang patah itu mampu bersarang di lambung dua carok itu. Langkah mereka pun terhenti kemudian. Dengan mata melotot dan napas tersengal, seolah tidak menyangka akan terjadi demikian. Dua carok itu pun tumbang kemudian. Lontaran pedang patah yang dilandasi tenaga dalam itu bak pisau belati yang tajam dan menghujam begitu dalam.
Dua carok yang menjadi lawan Wurpasa pun tersentak, mereka tak menyangka dua temannya mampu dilumpuhkan bersamaan. Dengan penuh nafsu mereka mendesak Wurpasa untuk menyudahi perlawanan dan segera memburu Linggar yang berdiri bebas. Wurpasa sendiri tenaganya cukup terkuras menghadapi dua carok yang menjadi lawannya. Beberapa kali pertahanannya goyah meskipun dengan susah payah ia mengimbanginya lagi.
Melihat hal itu, Linggar segera menggabungkan diri. Ia meraih satu celurit milik lawannya yang tumbang. Satu lawan satu, tentu lebih berimbang dibanding sebelumnya. Tetapi Linggar tidak cukup mumpuni untuk menggunakan senjata yang mirip arit pembabat rumput itu. Meskipun beberapa kali ia mampu membendung celurit lawannya, tetapi geraknya malah terkesan ragu. Wurpasa sendiri yang masih menggenggam pedang kembarnya, makin percaya diri. Karena kini lawan tangguhnya hanya seorang saja. Pedangnya menusuk kedalaman menuju jantung, lawannya pun dengan gerakan yang patah-patah menangkisnya. Ia terlihat kaku membenturkan celuritnya karena ukurannya yang cukup besar, apalagi menghadapi senjata pedang yang meskipun membutuhkan jarak tempur, tetapi gerakannya lebih luwes ketimbang celurit.
Kesempatan untuk mengalahkan lawan akhirnya datang juga. Ketika carok itu membacokkan celurit ke leher Wurpasa, Wurpasa merendahkan tubuhnya dan sambil bergeser ke samping dengan pedang sejajar menebas lambung. Akibatnya dari lambung lawannya menyembur darah segar, seketika itu juga tubuhnya jatuh dan tertelungkup ditanah.
Satu carok lagi yang menjadi lawan Linggar makin kalap melihat 3 temannya dapat dikalahkan. Ia makin meningkatkan kemampuannya dalam memainkan celurit. Ia paham betul Linggar tidak terbiasa dengan senjata itu. Maka nampak beberapa kali Linggar bergeser setapak demi setapak kebelakang, terdesak.
“Kisanak!” kata carok itu. “Aku tidak akan mengampunimu, karena telah membuat 3 saudara seperguruanku tewas! Aku akan melubangi matamu atau bahkan mengurai ususmu keluar!” katanya lagi dengan sorot mata membara.
“Sudahlah kisanak! Menyerahlah dan pergilah! Aku bisa saja mengeroyokmu dengan temanku itu. Tetapi aku bersikap jantan, tidak bertarung dengan jumlah lawan yang tak sepadan. Maka bubarkanlah jago-jago bayaran yang tersisa itu! Lihatlah, jumlah kalian pun kini hampir sama dengan kami, hanya 20 orang saja kira-kira!” ujar Linggar, memberi pertimbangan.
Terlihat kebimbangan dimata carok itu, tetapi sepertinya ia mengeraskan hati.
“Lebih baik putih mata dari pada putih tulang!” jawabnya dengan nada tinggi. Itulah peribahasa dari Tanah Garam, pepatah yang menjunjung harga diri setinggi-tingginya ketimbang nyawa.
“Kepalang basah! Aku akan meladenimu sampai akhir! Lebih baik pulang tinggal nama, ketimbang menanggung malu!”
Maka pertarungan pun bertambah sengit. Meskipun tidak terbiasa bersenjatakan celurit, tetapi Linggar tidak berniat mengganti senjatanya itu. Padahal ia kerepotan menghadapi sisa carok dari Batu Putih itu. Tetapi ia adalah prajurit sandi yang cerdas. Beberapa lama menggunakannya, ia pun mulai mengenali watak dari senjata itu.
Ketika carok itu berusaha membacok lehernya, ia menangkap pergelangan tangan lawan, kemudian memuntirnya. Tak pelak membuat carok itu mengerang kesakitan. Dan pada saat itu pulalah, celuritnya lepas dari genggaman. Kemudian Linggar dengan siku lututnya, menanduk berkali-kali perut lawannya hingga ia duduk berlutut tak berdaya. Beberapa pukulan pun sempat ia sarangkan ke wajah carok itu, untuk sekedar membuatnya lemah. Sebenarnya, bisa saja ia membacokkan celuritnya saat lawan tak berdaya, tetapi itu tidak ia lakukan.
Linggar membiarkan carok itu menyadari keadaan. Pukulan-pukulan Linggar, telah membuatnya kepalanya pening dan berkunang-kunang.
Tetapi diluar dugaan, saat Linggar membalikkan badan mencoba memantau medan perang disekitarnya. Carok itu melontarkan celurit-celurit kecil seukuran telapak tangan. Beruntung Wurpasa melihatnya, maka ia pun berusaha mendorong Linggar supaya terhindar dari senjata rahasia itu. Mereka berdua pun kemudian berguling kemudian. Lima celurit kecil yang terlontar itu, tidak mengenai Linggar maupun Wurpasa, akan tetapi bersarang di batang pohon tiga buah, dan yang dua buah lagi mengenai punggung dua orang jago bayaran yang sedang bertarung.
Akibatnya, beberapa saat kemudian dua jago bayaran itu wajahnya memucat, dan kemampuan bertarungnya pun melemah. Kemudian jatuh berlutut, satu orang terkapar dengan busa di mulut. Yang satu lagi masih berusaha membalikkan badan, berusaha mencari siapa yang telah membokongnya dari belakang? Ketika melihat carok itu masih berlutut terengah-engah, jago bayaran dari prambanan itu menarik celurit kecil yang menancap di punggungnya. Kemudian dengan sisa tenaganya, melontarkan balik ke arah pemiliknya.
Celurit kecil itu pun tepat menancap di leher carok itu. Ia pun sempat memekik, setelah itu wajahnya menjadi putih seputih kapas, baru kemudian mulutnya berbusa dan mengejang. Kemudian tak berkutik lagi.
Pemandangan itu menggetarkan mereka yang berperang di sisi selatan itu. Ternyata senjata rahasia itu telah mengandung racun yang mematikan.
Linggar sebagai pimpinan prajurit tidak terpaku terlalu lama. Ia langsung mengambil peran dengan memberi peringatan kepada lawan yang tersisa untuk menyerah.
“Lihatlah jumlah kalian sudah berkurang separuh! Apa kalian masih berniat melanjutkan peperangan? Kalian hanya dibayar, tetapi tidak tahu inti dari sebab terjadinya peperangan ini. Jadi sebaiknya kalian menyingkir dari tempat ini. Sebelum kami berubah pikiran!”
Peringatkan itu cukup menggetarkan jantung lawan. Mereka melihat kenyataan yang terjadi, bahwa dengan pasukan 2 kali lipat saja, mereka tak berdaya, bahkan sudah berkurang separuhnya. Jika terus memaksakan berperang, maka artinya hanya akan sia-sia belaka. Apalagi prajurit Pajang yang dibawa Linggar, cukup terlatih dan terpola dengan baik. Tentu sulit mengalahkan siasat jitu dari keprajuritan Pajang. Maka kemudian mereka pun berangsur-angsur meninggalkan medan pertempuran dan mengambil lereng sisi selatan untuk bertolak pergi. Karena jalur itu aman tidak akan bentrok dengan orang-orang dari padepokan Watu Belah atau pun laskar Mangir.
Sepeninggal mereka, Linggar meninjau beberapa prajuritnya yang membutuhkan pengobatan. Beruntung tidak ada yang terluka parah, karena gelar perang yang mereka terapkan rupanya cukup berhasil.
“Kita segera bersiap untuk mendekati padepokan, dan bergabung dengan Laskar Mangir yang lain! Jangan memisahkan diri untuk menjaga keutuhan prajurit!” pesan Linggar pada bawahannya.
“Apakah mereka membawa cukup banyak carok dari Madura?” tanya Wurpasa.
“Aku tidak tahu. Tetapi mereka memang perlu diwaspadai. Menurut cerita dari ayahku yang pernah mengabdi di keraton Demak. Carok dari perguruan Batu Putih adalah perguruan yang cukup disegani di Tanah Garam Madura. Sejatinya perguruan itu melahirkan ksatria-ksatria pilihan pada masanya. Bahkan oleh Adipati Cakraningrat mereka dijadikan manggala di kadipaten itu, sebagai pengawal pribadi adipati yang siap melindungi adipati jika dalam keadaan bahaya. Tetapi beberapa tahun silam terjadi gesekan didalam perguruan Batu putih itu sendiri. Segelintir orang telah memanfaatkan nama besar mereka, untuk mendukung para pemberontak yang ingin menggulingkan pemerintahan Adipati Cakraningrat. Merekalah kemudian yang kehilangan jatidiri dan berkeliaran disekitar pesisir utara tanah jawa, mereka tersebar di daerah Carbon, Tegal Arum dan Lasem.”
“Itulah sedikit yang aku ketahui tentang mereka. Sekarang marilah kita segera bergegas!” Linggar menyudahi paparannya.
Kemudian bergeraklah 20 Prajurit Pajang itu mendekati pusat padepokan. Mereka makin mengagumi kepiawaian Linggar dalam memimpin. Karena paling tidak, dalam bentrokan pertama ini tidak ada korban jiwa dipihak mereka.
Jarak mereka untuk menuju pusat padepokan, kini hanya berjarak 40 tombak saja. Maka beberapa saat kemudian mereka telah sampai di sekitar bangunan yang dilingkari pagar bambu seukuran dua kali orang dewasa. Linggar tidak berusaha menyergap masuk, melainkan melingkar mendekati medan perang di sisi timur. Maka posisinya kini berada di belakang pasukan padepokan Watu Belah. Terdengar riuh perang masih berlangsung, Linggar dan prajuritnya mencoba mencari sisi luar untuk menggabungkan diri dengan laskar Mangir. Tetapi ternyata kehadirannya terendus juga. Sekelompok Cantrik dan dua pimpinan carok, Tekabeh dan Dengsabeh ternyata sudah siap menyongsong mereka. Maka peperangan pun kembali tak dapat dihindarkan.
Jumlah mereka pun tak banyak, paling tidak sebanding. Karena mereka hanya sekelompok orang yang ditugaskan mengawasi lingkungan sekitar perang. Yaitu, tugasnya berkeliling mencegah penyusup menyerang dari arah yang tak diduga-duga.
Kini kedua kubu telah saling menyerang dengan senjatanya masing-masing. Tanpa diberi aba-aba lagi, mereka telah menemukan lawannya masing-masing. Sementara itu, Linggar merasa perlu memberikan laporan tentang hasil pencapaiannya menjebol sisi selatan. Maka, ia pun menyempatkan diri melepaskan beberapa anak panah yang sebelumnya telah diberi sawangan, mirip seperti peluit. Bunyi sawangan itu, merupakan sebuah isyarat yang telah disepakati. Dengan sekali Tarik, 3 anak panah melesat di udara dengan suara mendesing, menyebar ke tiga titik. Suara itu menjadi pusat perhatian mereka yang berperang disisi Timur. Rata-rata laskar Mangir yang sudah paham akan pertanda itu, menyambutnya dengan sorak-sorai dan teriakan-teriakan yang melemahkan nyali lawan.
“Sisi selatan telah jebol! Kalian telah terkepung!”
“Hidup prajurit Pajang! Mereka yang di sisi selatan, akan segera menggabungkan diri! Padepokan ini akan luluh lantah!” teriak laskar Mangir.
Suara-suara itu tentu saja mempengaruhi ketahanan jiwa lawan. Meskipun mereka pantang menyerah, tetapi itu pertanda lubang-lubang pertahanan mereka telah bocor. Ki Nataprawira tersenyum gembira mendengar desing anak panah di udara itu, ia pun mengangguk puas dengan jerih payah Linggar. Orang yang menurut keyakinannya adalah ksatria yang kuat dan bermental baja sekaligus cerdas.
“Berhasil Raden! Lagi-lagi prajurit Pajang itu mampu menembus pertahanan mereka!”
“Ya, tentu saja Nataprawira. Yang mereka hadapi adalah sekelompok kawanan yang kurang terlatih. Tetapi aku menghargai itu,” Raden Jaka menanggapi. “Tetapi lihatlah, mereka telah berganti kepemimpinan! Orang itu cukup berbahaya, orang yang menggantikan lawanmu tadi!” kata Raden Jaka sambil menunjuk ke satu arah.
Ki Nataprawira sejenak mengamati, kemudian katanya. “Baiklah! Aku yang akan menghadapinya Raden!”
“Jangan! Kau sudah terluka, meskipun tidak parah. Biar aku yang masih segar bugar menghadapinya. Kau masih terlalu letih. Pulihkan dulu tenagamu Ki Nataprawira!”
“Tapi Raden!”
Tak kuasa Ki Nataprawira mencegah, Raden Pamekas langsung menyibak ke muka dan berhadapan langsung dengan lawannya.
“He, siapa kau? Berani membusungkan dada dihadapanku!” ujar orang itu.
“Aku putra Ki Ageng Wanabaya, Raden Jaka! Bersiaplah untuk mati!” katanya penuh percaya diri.
“Oh, baiklah anak bau kencur! Ketahuilah namaku Getas Angin. Kau memilih bertarung dengan tangan kosong atau dengan senjata? Terserah aku sudah siap meladeni!”
“Tidak perlu mengotori pusaku dengan darahmu! Senjataku ini hanya pantas untuk melawan ksatria-ksatria besar seperti Arya Jipang atau Jaka Tingkir. Bukan melawan pendekar kambuhan sepertimu! Senjata pusakaku ini adalah Tombak Kiai Baru Klinthing, tentu kau sudah pernah mendengarnya.”
Getas Angin tersentak mendengar penuturannya. Tetapi memang nafsu ingin memiliki pusaka itu sudah lama ia pendam. Maka ia pun seperti menemukan permata dihadapannya, yang tinggal ia raih saja.
Selanjutnya, tanpa basa-basi lagi keduanya sudah saling menyerang. Jurus-jurus yang mereka peragakan begitu cepat, karena Getas Angin memang pendekar kenamaan dari timur tanah Jawa. Sedangkan Raden Jaka adalah putra Mangir yang telah mendapat tempaan baja dari Ki Ageng Wanabaya. Keduanya saling gempur dengan gerakan yang mantap, saling mendesak dan kadang posisinya bertukar tempat. Gerakan-gerakan cepat keduanya membuahkan suara desir angin dari setiap jurus yang dikeluarkan. Terlebih lagi Getas Angin adalah orang yang melandasi ilmunya dengan kekuatan angin. Kendati pun begitu, Raden Jaka yang watak ilmunya berbeda, mampu juga mengimbanginya.
Getas Angin sempat menggerutu dalam hati. “Anak kemarin sore ini ternyata mampu juga mengimbangi jurus-jurusku yang mengandung kekuatan angin! Tapi ini belum seberapa, kalau aku sudah sampai pada puncak ilmuku, pasti dia akan terkapar!”
Raden Jaka yang melihat perubahan tata gerak Getas Angin, yang seperti nampak lebih bersungguh-sungguh itu mengejeknya. “Hei, Getas Angin! Kenapa wajahmu nampak menjadi tegang begitu? Kau baru tahu kemampuan putra mahkota Mangir?” katanya mencibir.
“Diam kau! Ini baru penjajakan saja, sebentar lagi kau akan merasakan ngilu pada tulangmu akibat kemampuan kanuraganku!” sahut Getas Angin geram.
Kemudian mereka kembali bergelut dengan jurus-jurus andalan masing-masing. Tetapi tersembul juga niat dalam dada Getas Angin untuk menjauhkan Raden Jaka dari medanpertempuran. Niat itu timbul dari dalam dirinya untuk dapat segera merebut tombak pusaka yang menggantung dipunggung Raden Jaka.
Maka hal itu terjadi juga kemudian. Sedikit demi sedikit Getas Angin menggeser arena pertarungan. Raden Jaka sendiri tdak menyadari akan hal itu, ia hanya memusatkan perhatiannya pada tata geraknya. Sementara Ki Nataprawira yang masih disibukkan dengan para cantrik yang sengaja mengurungnya, berusaha memperingatinya dengan teriakan-teriakan. Tetapi hal itu sia-sia saja, Raden Jaka tak menggubrisnya.
“Celaka! Aku tidak bisa lepas dari para cantrik yang mengepungku ini!” Ki Nataprawira membathin. “Mudah-mudahan Raden Jaka mampu mengendalikan diri dan dapat bertindak dengan cermat meskipun jauh dari pengamatanku. Kemampuannya memang tidak diragukan lagi, tetapi jiwa mudanya yang kadang mengkhawatirkan.”
Panglima Mangir itu akhirnya hanya memusatkan perhatiannya kepada para cantrik yang mengurungnya, sambil sesekali memperingati laskarnya dengan teriakan-teriakan. Karena kini tongkat kepemimpinan Mangir hanya ada pada dirinya, maka perhatiannya pun terpecah jadi dua. Sementara itu sepeninggal Getas Angin, para cantrik itu sengaja mengurung ruang gerak Panglima Mangir. Tujuannya, untuk membatasi gerak anak buahnya yang mulai terbangun rasa percaya dirinya akibat kemenangan di sisi selatan.
<<<PREV        NEXT >>>

6 komentar:

Pengikut