Novel Cerita Silat Jawa

TDM [04]

Seperti sudah direncanakan sebelumnya, diujung perbatasan kademangan itu menunggu Raden Pamekas bersama beberapa prajurit pengawal. Mereka menunggu dibawah pohon beringin yang lebat dan teduh. Rombongan yang dipimpin Ki Jipayana pun memperlambat kudanya ketika mendekati tempat itu.

“Kau sudah datang Ki Jipayana!”

“Hamba Raden. Hamba datang bersama Demang di Matesih yaitu Ki Wulungan dan putranya Linggar.”

“Duduklah dahulu! Aku ingin mendengar penjelasanmu kenapa kau bawa Demang di Matesih ini dan putranya?”

Ki Jipayana lalu menceritakan kejadian yang dialaminya di kademangan Matesih, juga perihal nasib dua laskar Jipang yang dicari.

Raden Pamekas mengangguk-angguk sambil sesekali mengerutkan dahi. “Ki Demang Wulungan dan Linggar.., aku adalah Raden Pamekas. Aku diutus ke Matesih ini untuk menumpas laskar Jipang, aku sendiri tidak menuduhmu memberontak, hanya saja keteranganmu sangat kami butuhkan untuk melengkapi penyelidikan kami atas kekuatan laskar itu yang makin banyak dan bertebaran di tlatah Demak.”

“Hamba Raden,” sahut Ki Demang. “Nama hamba Wulungan dan ini anak hamba Linggar. Kami akan memberi keterangan sesuai yang kami ketahui Raden.”

“Aku percaya padamu Ki Wulungan,” Raden Pamekas tersenyum. “Ki Jipayana..!”

“Hamba Raden,” sahut Ki Jipayana.

“Kita tidak perlu ke Demak untuk saat ini, kita sampaikan saja pencapaian kita ini pada kangmas Karebet, adipati Pajang. Itu akan lebih baik daripada kita pergi ke Demak, karena kita tidak perlu lagi mengirim utusan ke Pajang untuk menyampaikan keadaan Laskar Jipang di lereng Tidar itu. Kita telah berhasil menumpasnya, walaupun pimpinannya yang seorang dapat lolos.”

“Hamba sependapat Raden,  dan memang kanjeng adipati Pajanglah yang ditunjuk ingkang sinuwun memadamkan pemberontakan.”

“Baiklah. Kita akan menempuh alas Mentaok setelah menyeberangi sungai Praga. Kita akan beristirahat di pinggiran sungai Praga, sebelum matahari terbenam.”

“Hamba Raden.”

Kemudian berangkatlah rombongan itu meninggalkan Matesih. Matahari mulai condong ke barat ketika mereka melewati Di lembah Tidar. Gunung Tidar tampak hijau dan rimbun tampak dari kejauhan, keberadaan Gunung itu amat menyejukkan udara di Kademangan Matesih. Selain itu anak-anak sungai yang membelah membuat Matesih menjadi subur dan makmur.

Rombongan prajurit Demak itu kini jumlahnya hanya tinggal lima belas dengan Raden Pamekas dan Ki Jipayana. Setelah dalam pertempuran dilereng Tidar, hampir separuh lebih prajurit gugur menghadapi laskar Jipang. Kesedihan membayang diwajah mereka atas teman-teman prajurit yang gugur membela kedaulatan Demak.

Setelah hampir gelap sampailah rombongan itu di atas tepian sungai Praga. Suara Gemericik air terdengar dari atas tebingan sungai. Air yang mengalir cukup deras kala itu, karena malam sebelumnya curah hujan cukup tinggi. Dibawah sungai itu terdapat dua rakit yang ditinggalkan pemiliknya karena hari sudah hampir gelap.

Rombongan prajurit itu lalu mendirikan tiga buah tenda sekedar untuk bermalam. Mereka turun ke sungai untuk membersihkan diri secara bergantian, debu-debu yang melekat ditubuh mereka selama perjalanan, rasanya membuat gatal kulit mereka. Dengan berendam di sungai membuat mereka segar kembali dan sedikit mengurangi rasa lelah.

Saat Ki Wulungan dan Linggar turun ke tepian pasir sungai Praga, samar dilihatnya tapak-tapak kaki yang membekas dipasir. Ki Wulungan bertopang dagu dan memperhatikannya.

Linggar yang ada disebelahnya pun bertanya, “ada apa ayah?”

“Sepertinya ada orang yang menyeberang sungai ini belum beberapa lama.”

“Bukankah itu wajar ayah. Tempat ini adalah penyeberangan.”

“Benar tetapi jarang sekali orang menyeberang sungai dalam jumlah sebanyak ini, semak-semak ditepian ini pun berpatahan.”

“Apakah mungkin ada yang sedang melangsungkan pernikahan di seberang setelah alas Mentaok?” tanya Linggar.

“Hampir dipastikan orang tidak akan mengambil jalan ini untuk sampai ke Pajang atau Prambanan. Jalur ini terlalu beresiko Linggar!”

“Sebaiknya malam ini kita waspada sampai kita menyeberang dengan selamat. Aku akan menyampaikan pada Ki Jipayana.”

Linggar hanya mengangguk, memahami kewaspadaan ayahnya. Keduanya tidak berlama-lama ditepian sungai itu, mereka langsung merendam tubuhnya di bagian pinggir sungai yang dangkal.

Setelah semua bergiliran mandi, dua orang pengawal menyiapkan api unggun. Raden Pamekas, Ki Jipayana dan Ki Wulungan beserta Linggar duduk dalam satu lingkaran.

Raden Pamekas membuka pembicaraan. “Ki Wulungan.., sebelum aku melaporkan ke Pajang, ada baiknya aku mendengar keterangan yang kau ketahui seputar keadaan Matesih.

“Baik Raden. Hamba akan berkata sesengguhnya tanpa dibuat-buat.”

“Kademangan Matesih yang aku pimpin akhir-akhir ini memang sering dilanda kisruh. Kehilangan hewan ternak hampir kerap terjadi setiap hari. Belum lagi, beberapa orang pemuda padukuhan yang tiba-tiba menghilang, tak diketahui.

“Aku sudah berusaha keras menjaga keamanan kademangan Matesih. Tetapi padukuhan yang letaknya terluar, luput dari pengawasan,” Ki Wulungan menarik napas dalam-dalam.

“Dan yang lebih parah, para bebahu kademanganku memfitnah aku sebagai pemberontak dengan dalih menyembuyikan dua laskar Jipang dirumahku,” ujar Ki Wulungan dengan suara berat.

Raden Pamekas mengangguk-angguk. “Apakah bukan tidak mungkin justeru para bebahumu yang menyokong pemberontakkan mereka?”

“Hamba belum berani menyimpulkan demikian sebelumnya, tetapi sekarang hamba yakin. Hampir pasti mereka telah bersekongkol mendukung Jipang, pemuda padukuhan yang tiba-tiba menghilang itu pun aku lihat, berkeliaran di lereng Tidar.”

Raden Pamekas menatap Ki Jipayana, Ki Jipayana sendiri hanya tertunduk dalam.

“Maafkan hamba Raden, hamba telah salah tangkap.”

“Ki Wulungan aku mohon maaf, jika aku telah menyulitkanmu karena kecerobohanku.”

“Aku tidak menyalahkanmu Ki Jipayana. Para bebahuku yang telah bersekongkol itu, membuat kita sulit membedakan siapa kawan dan siapa lawan.”

Suasana menjadi hening beberapa saat, masing-masing dari mereka bermain dengan angan-angannya menyambungkan peristiwa yang terjadi.

Kemudian Suara Raden Pamekas membuyarkan lamunan mereka, “Baiklah Ki Wulungan dan kau Linggar. Aku rasa keterangan yang aku dapat sudah cukup. Aku rasa kau tidak perlu menyertaiu ke Pajang untuk menghadap kangmas adipati Karebet, kalian aku nyatakan bebas dan boleh kembali ke Matesih.”

Sejenak Ki Wulungan dan Linggar saling berpandangan. Tetapi kemudian Ki Wulungan berkata, “Hamba saat berterimakasih Raden, tetapi ada sesuatu yang mengganjal dihatiku.”

“Apa itu? Katakanlah!” sahut Raden Pamekas.

“Rasanya hati kami belum mapan, jika belum mengantarkan rombongan Raden sampai di seberang sungai Praga ini.”

“Apakah ada yang mencurigakan diseputar tempat?” tanya Raden Pamekas penasaran.

“Hamba melihat jejak tapak-tapak kaki ditepian sungai Praga yang mencurigakan, jumlahnya tidak sedikit. Aku pikir ada lebih dari puluhan orang yang sudah menyeberang sungai ini sebelumnya.”

“Ki Jipayana pun sudah mengetahuinya Raden, bukan maksudku mendahului Ki Jipayana melaporkan hal ini, Tetapi karena Raden sudah memutuskan agar aku kembali ke Matesih, maka aku perlu menyampaikan hal ini. Kalau diperkenankan aku akan menyertai iring-iringan Raden, paling tidak sampai seberang sungai ini.”

Ki Jipayana menanggapi, “ mohon maaf Raden, yang dikatakan Ki Wulungan memang benar. Dan kau Ki Wulungan, aku tidak keberatan kau menyampaikan itu, karena semata-mata demi keselamatan seluruh rombongan ini.”

Raden Pamekas mengangguk-angguk, “Baiklah, kalau hatimu sudah mantap Ki Wulungan. Aku sangat berterimakasih. Selanjutnya, marilah kita beristirahat sekedar merebahkan diri.”

“Ki Jipayana. Perketat penjagaan, jangan sampai kita lengah!”

“Baik Raden,” sahut Ki Jipayana.

Ki Jipayana lalu mengatur beberapa prajurit agar berjaga, mereka ditempatkan sepuluh tombak dari tenda Raden Pamekas.

Ki Wulungan dan Linggar pun ikut berjaga secara bergantian.

Dalam pada itu, tidak jauh dari tempat itu dua pasang mata mengintai dari balik gerumbul semak.

“Kita harus bersiap esok pagi, saat terang tanah kita harus sudah berada dirakit!” kata salah seorang diantaranya.

“Jumlah mereka tidak terlalu banyak, aku rasa kita bisa membantai mereka tanpa kesulitan,” berkata yang seorang lagi.

“Jangan gegabah Buntal! Tugas kita hanya menyeberangkan mereka saja, tidak lebih.”

“Dan perlu kau ingat! Usahakan kita menyeberangkan separuh dari jumlah mereka. Agar kita bisa membantainya di dua tempat. Satu di pinggir tepian ini dan satu di seberang tepian Alas mentaok itu.”

“Ya kakang Rumbas, tentu yang akan menyeberang lebih dulu adalah bangsawan yang disebut Raden Pamekas itu. Dan setibanya disana, pimpinan kita sudah menunggu untuk meringkusnya,” kata orang yang dipanggil Buntal.

Kau benar Buntal! Setelah menyeberangkan, kita dapat ikut menangkap bangsawan Demak itu,” ujar Rumbas.

Setelah dirasa cukup, mereka meninggalkan gerumbul semak itu.

Malam merayap semakin kelam, yang terlihat hanya kemilau bintang di langit, membuat bayang-bayang pepohonan sedikit terlihat. Hingga pagi hari tidak terjadi sesuatu yang membahayakan, para prajurit dapat istirahat dan bergantian berjaga.

 Prev  Next

2 komentar:

Pengikut