Novel Cerita Silat Jawa

TDM 30

Ketika Matahari mulai condong ke barat, Wurpasa yang sudah terbangun dari tidurnya langsung menuju kandang kuda. Dimana, di waktu luangnya ia terbiasa menyempatkan diri merawat kuda-kuda milik keluarga Purbasana. Kegiatan itu merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi Wurpasa, walaupun sebenarnya tugas merawat kuda adalah tugas ayahnya, tetapi merawat kuda yang bagus dan tegar adalah suatu kesenangannya sejak kecil. Sementara itu kegiatan itu sudah berhari-hari ia tinggalkan sejak ia bertugas Meantaok. Rasanya hari itu ingin sekali ia membelai dan memberi makan kuda-kuda tegar dan berharga mahal itu.
“Hmm.., kuda putih ini, semakin hari semakin terlihat gagah dan kekar saja,” katanya, sambil membelai rambut halus dikepala kuda putih itu. Kuda jinak itu pun kemudian meringkik dan mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti.
Tetapi kemudian suara seseorang telah mengejutkan Wurpasa dari lamunan.
“Kau kagum dengan kudaku itu, Wurpasa!”
Wurpasa pun menoleh ke belakang dan mengangguk hormat pada orang yang baru saja menegurnya.
“Oh, Mas Rara rupanya,” sahut Wurpasa. “Ya, kuda ini begitu gagah sekali! Rasanya aku ingin sekali menungganginya dan berkeliling kota Pajang. Mungkin dengan begitu, aku akan terlihat seperti bangsawan Pajang bila berada dipunggungnya!” kata Wurpasa penuh percaya diri.
Rara Widari tersenyum-senyum, sambil menutup mulutnya mendengar tingkah Wurpasa yang menggelikan itu.
“Kenapa Mas Rara tersenyum-senyum begitu?” tanya Wurpasa heran, sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kau memang akan terlihat seperti bangsawan, Wurpasa. Tetapi sedikit sekali bangsawan berkulit legam sepertimu!” sahut Rara Widari, sambil melepaskan tawanya yang tertahan sebelumnya.
Wurpasa hanya tersungut-sungut melihat Rara Widari yang tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya itu. Tetapi lama-kelamaan Wurpasa pun geli sendiri dengan ucapannya tadi. Ia pun ikut tertawa sesaat kemudian.
“Tetapi paling tidak, ada bangsawan yang berkulit legam tapi manis, sepertiku bukan?” kata Wurpasa dengan senyum lebar.
Keduanya pun tertawa lepas kemudian. Mereka berdua memang seperti kawan dalam keseharian, walaupun Rara Widari adalah majikan, tetapi seolah tak berjarak. Dan Wurpasa pun pandai menempatkan diri dengan tetap menghormatinya sebagai majikan dengan mengedepankan unggah-ungguh yang berlaku.
“He Wurpasa!” kata Widari kemudian. “Bagaimana kabar sahabatmu itu?”
“Siapa yang Mas Rara maksud?” sahut Wurpasa polos seolah-olah tak mengerti maksudnya.
“Siapa lagi kalau bukan pemuda dari Matesih itu,” jawab Widari seolah acuh.
“Oh.., Arjunamu itu!” sahut Wurpasa menggoda. “Mas Rara masih saja perduli dengannya. Bukankah Mas Rara sudah melupakannya?”
“Jaga bicaramu Wurpasa!” sahut Widari dengan wajah memerah, karena malu. “Aku memang tidak ada hubungan lagi dengannya, tetapi tidak ada salahnya, bukan, kalau aku sekedar menanyakan kabarnya?” kata Widari membela diri.
“Ya, memang tidak ada salahnya, Mas Rara,” sahut Wurpasa sambil tersenyum. “Dan memang sebaiknya Mas Rara harus segera menemuinya, sebelum semuanya menjadi terlambat,” mendadak nada bicara Wurpasa menjadi sungguh-sungguh.
“Maksudmu?” tanya Widari berdebar-debar.
“Linggar beberapa hari yang lalu baru saja kembali dari Mentaok, ia terluka cukup parah saat perang disana. Dan sampai saat ini pun aku belum mengetahui perkembangan keadaannya, ia masih belum bertugas di barak prajurit.”
“Kau bersungguh-sungguh, Wurpasa? Apakah dia terluka?” tanya Widari yang menjadi bertambah cemas.
Wurpasa mengangguk. “Demikianlah, Mas Rara.”
Rara Widari sejenak termenung, pikirannya kembali teringat akan Linggar. Bagaimana pun juga ia masih sangat perduli dengan Linggar, walaupun sebelumnya sempat terjadi perselisihan diantara mereka berdua.
“Kau bisa mengantarku ke rumahnya, Wurpasa?”
“Sulit Mas Rara. Rumah tempat tinggal Linggar adalah kediaman Tumenggung Wilamarta, salah seorang petinggi Pajang yang sangat disegani. Meskipun diantara kami saling mengenal, tetapi tidak pantas rasanya seorang prajurit rendahan seperti aku sowan ke rumahnya.”
Rara Widari mengangguk-angguk dapat memahami maksud dari perkataan Wurpasa. Ia pun seperti sedang berpikir kembali mencari jalan keluar agar bisa menemui Linggar. Tetapi disamping itu jauh di dasar hatinya terbersit juga pertanyaan, untuk apa sebenarnya ia menemuinya? Dan apakah Linggar masih perduli kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, seolah membuatnya menjadi ragu untuk menemui Linggar.
“Entahlah! Mudah-mudahan ia tidak begitu angkuh untuk sekedar menerima aku berkunjung!” Rara Widari membathin.
“Wurpasa! Tolong lepaskan tali kekang kuda itu! Aku mau keluar sebentar.”
Wurpasa tidak segera melepas tali kekang kuda pada tambatannya itu, melainkan menanyakan tujuan akan kemana Rara Widari. “Mas Rara mau kemana? Apakah sudah minta ijin kepada ayahanda Tumenggung?”
“Ah tidak perlu! Ayahku juga sudah jarang pulang, ia sudah tidak perduli lagi dengan isi rumah ini!” sahut Rara Widari, sambil jari telunjuknya tetap diarahkan kepada simpul pengikat tali kekang kuda.
Wurpasa pun mau tidak mau menuruti saja perintahnya, ia menyerahkan tali kekang kuda itu setelah melepas simpulnya pada tambatannya. Lalu Widari meraihnya, kemudian dengan cepat Widari menginjak pelana kuda itu dan beberapa saat kemudian sudah berada diatas punggung kuda.
“Katakan pada ibundaku kalau bertanya, aku ingin keluar sebentar menghirup udara segar! Sekalian aku akan singgah ke sanggar Nyi Ajar Kesada” katanya sambil mengendalikan kuda berjalan melingkar menuju pintu regol.
Wurpasa hanya termangu-mangu sepeninggal Rara Widari. Ia melihat perbedaan sikap selama beberapa hari tidak tinggal dirumah. Widari begitu gesit dan terlatih dalam berkuda sekarang, padahal sebelumnya ia seperti masih begitu berhati-hati dalam berkuda. Belum lagi caranya berpakaian, yang merangkap kain panjangnya dengan celana selutut, membuat Wurpasa semakin terheran-heran.
“Ah sudahlah.., aku tidak mau ambil pusing dengan urusan keluarga Tumenggung Purbasana. Lagipula aku bukan apa-apa mereka, kedua orang tuaku hanyalah abdi dalem di rumah ini,” gumam Wurpasa.
Dalam pada itu Rara Widari memacu kudanya melewati lorong dalem katumenggungan. Ketika melewati sebuah kelokan jalan, dilihatnya Dalika menghadangnya di tengah jalan. Terpaksa ia memperlambat laju kudanya dan berhenti tepat dihadapan Dalika yang berdiri bertolak pinggang.
“Mau kemana kau Widari?”
“Bukan urusanmu Dalika! Minggirlah!”
“Hei.., kenapa kau jadi kasar begitu? Tidak perlu kasar begitu, sebentar lagi aku akan melamarmu!” sahut Dalika sambil terkekeh-kekeh, lalu menggenggam kaki Rara Widari yang masih duduk di punggung kuda. Sementara teman-teman Dalika yang lainnya hanya tersenyum-senyum saja melihat ulah Dalika.
Rara Widari makin muak melihat tingkah Dalika yang menyebalkan. Ia rasanya ingin menampar pipi lelaki teman sepermainannya di masa kecil itu, agar tidak berucap semaunya.
Widari pun akhirnya berusaha melepaskan jemari Dalika yang menggenggam erat pada sebelah kakinya. Tetapi semakin ia menggeliatkan kakinya, genggaman tangan Dalika makin kuat.
“Lepaskan Dalika! Lepaskan!” kata Widari yang menjadi gelisah dan bertambah kesal.
“Hmm.., tidak akan Widari, tidak akan. Sebelum aku puas memandangi wajahmu yang ayu itu!” kata Dalika lagi sambil tertawa.
Rara Widari makin gelisah dan malu dihadapan teman-teman Dalika. Akhirnya, dengan sekuat tenaga ia melecut kudanya kuat-kuat, hingga kuda itu pun meringkik keras dan meluncur dari tempat itu. Dalika sempat terseret dua langkah, tetapi kemudian ia terpaksa melepaskan genggaman tangannya pada kaki Widari.
“Kurang ajar! Lain kali aku sekap kau, supaya tidak terlepas lagi!” katanya kesal.
Teman-teman Dalika yang lain hanya menertawakannya, melihat Dalika yang begitu kesal, sepeninggal Rara Widari.
Rara Widari sendiri terus berkuda menuju keluar dalem katumenggungan. Rupanya arah yang dituju adalah sanggar milik Ki Ajar Kesada. Sesampainya disana Widari langsung menambatkan kudanya dan menemui Nyi Ajar untuk berlatih olah kanuragan.
Dari hari ke hari perkembangan kanuragan Rara Widari makin bertambah pesat kemajuannya. Hingga Nyi Ajar yang membimbingnya terlihat begitu bersemangat melatihnya. Bahkan karena terlalu bersemangatnya, sampai hampir matahari terbenam latihan itu baru disudahi.
“Cukup..! Cukup Widari, sampai disini dulu! Esok kita lanjutkan lagi!” kata Nyi Ajar sambil mengendurkan serangan.
“Baik Nyi Ajar,” sahut Widari. “Terimakasih hari ini atas bimbingannya,” katanya lagi sambil mencium tangan Nyi Ajar.
“Sebaiknya kau segera pulang, karena hari hampirlah gelap!”
“Tunggu sebentar lagi Nyi,” sahut Widari sambil menyeka peluhnya. “Aku lebih senang pulang agak gelap, agar anak-anak muda di katumenggungan itu sudah bubar dan tidak menggangguku lagi.”
“Apakah kau sering diganggu mereka? Bukankah diantara mereka juga ada Dalika, murid dari Ki Ajar?”
“Justeru pemuda itu yang membuatku sebal Nyi, ia begitu sombong dan usil!” keluh Widari.
Nyi Ajar hanya tersenyum-senyum saja. Seolah ia teringat kembali apa yang dialami Widari di masa mudanya dulu. Widari memang begitu cantik, wajar saja kalau ada pemuda yang menaruh hati padanya.
“Ya sudahlah, kalau kau ingin pulang nanti, tidak apa-apa. Sekarang bersihkan dirimu di kulah, sebentar lagi saatnya kita menunaikan kewajiban.”
“Baik Nyi.”
Saat langit telah gelap, Rara Widari baru meninggalkan Sanggar Ajar Kesada. Ia berkuda perlahan menyusuri lorong katumenggungan. Ketika melewati sebuah rumah besar milik Ki Wilamarta, ia menghentikan langkah kudanya. Setelah itu ia menambatkan kudanya disebuah sudut yang tersembunyi disekitar taman kecil ditempat itu.
“Aku penasaran dengan keadaan Linggar. Apakah dia baik-baik saja?” Widari membathin. “Ah, aku akan coba cari tahu.”
“Tetapi bagaimana caranya aku masuk? Apakah aku harus melalui pintu regol rumah itu?” katanya pada diri sendiri. “Ah sungguh tak pantas seorang wanita bertamu malam-malam.”
“Tetapi tidak ada cara lain untuk bisa masuk ke dalam,” katanya lagi gelisah. Widari menatap sekeliling dinding tinggi yang mengelilingi rumah itu. Lalu tatapan matanya tertuju pada sebuah pohon yang terletak di samping dinding rumah itu. Pohon itu batangnya tidak terlalu besar, tetapi menjulang tinggi dan menjuntai ke dalam.
“Apa boleh buat! Aku sudah terbiasa memanjat pohon mangga diwaktu kecil. Aku rasa pohon itu pun tidak terlalu sulit untuk kupanjat.”
Widari ternyata nekat memanjat pohon yang menjuntai ke dalam rumah itu. Dengan penuh hati-hati ia memanjat pohon itu, lalu hinggap dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Kemudian setelah sampai pada dahan yang menjuntai ke dalam, ia bertolak dengan dua kakinya dan berguling di udara. Beberapa saat kemudian ia pun sudah mendarat di halaman samping rumah itu. Walaupun agak goyah kuda-kudanya, tetapi tidak sampai menimbulkan suara yang menarik perhatian. Hanya gemerisik tanaman kecil yang terdengar, karena sempat ia gapai saat ia sedikit goyah.
“Untunglah!” desah Widari. “Hampir saja aku terjatuh kalau aku tidak menggapai tanaman kecil ini.”
Sejenak Rara Widari berjongkok, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah itu.
“Aman!” desahnya.
“Pastilah bilik Linggar tempatnya di serambi kanan atau kiri,” Widari membathin.
Widari kemudian melangkahkan kakinya mengendap-endap, mencari bilik kamar Linggar. Dilihatnya sebuah bilik yang diterangi temaram lampu, yang sinarnya menyusup dari celah-celah kayu sampai luar ruangan.
“Mudah-mudahan aku tidak salah terka! Hanya bilik itu yang menempel pada bangunan utama. Selebihnya, bangunan yang terpisah itu pastilah tempat tinggal para abdi dalem. Linggar adalah tamu dirumah ini, tidak mungkin ia tinggal bersama para abdi dalem,” pikirnya meyakinkan dirinya sendiri. Tetapi lagi-lagi terselip juga kebimbangan di dalam hatinya, untuk apa sebenarnya ia berbuat senekat itu? Apakah pemuda dari Matesih itu sebegitu berharga baginya, sehingga ia harus sampai sedemikian rupa?
Widari mencoba mengenyahkan pikiran itu. Karena ternyata dorongan dihatinya lebih kuat dibandingkan kebimbangan yang menyelimuti pikirannya. Maka ia pun mulai mendekat bilik yang dimaksud, sambil merapatkan tubuhnya pada dinding bangunan. Ketika sampai pada sebuah jendela yang tertutup rapat, Rara Widari mengintip dari celahnya. Dan ternyata memang benar, dilihatnya Linggar sedang bersandar pada dipan kayu tempat tidurnya.
“Linggar! Linggar!” panggil Widari dengan suara ditahan.
Linggar pun terperanjat dan mencoba mencari dimana suara itu berasal. Dan ternyata suara itu berasal dari arah jendela. Ia beranjak tetapi tidak langsung membukanya, melainkan bertanya pada orang yang memanggilnya tadi.
“Siapa kau? Beraninya kau menyelinap masuk ke rumah Tumenggung Wlamarta!” kata Linggar menegang.
“Aku! Bukalah cepat jendela ini cepat, jangan banyak tanya! Waktuku juga tak banyak!” jawab suara itu.
“Ya.., tapi siapa kau?” tanya Linggar terbata-bata, karena panik.
Widari yang enggan menyebutkan jatidirinya menjadi gelisah. Ia pun menjadi tak telaten dibuatnya. “Bukalah! Atau aku yang akan mendobrak jendela ini! Menyebalkan sekali!”
Linggar terkejut mendengarnya. Suaranya seperti suara perempuan, dan suara itu sepertinya sudah cukup akrab ditelinganya. Akhirnya dengan berdebar-debar Linggar mencoba membuka jendela itu, setelah melepas pengaitnya.
Maka kemudian tersembullah sebagian wajah dari orang yang berada diluar tadi. Wajah ayu seorang gadis yang selama ini telah mengisi hatinya. Wajah yang sudah tidak asing lagi dan selalu membuat jantungnya berdebar-debar ketika pertama kali bertemu.
Linggar tak habis pikir dengan kehadiran Rara Widari di tempat itu. Bagaimana mungkin ia mampu menyusup ke dalam rumah Ki Wila yang dijaga ketat dua orang penjaga di regol.
“Kau!” ucap Linggar dengan mata terbelalak.
“Ya, aku! Kenapa?” sahut Widari sambil mencibir.
“Ah kau gila Widari! Darimana kau masuk? Apakah dari pintu regol?” tanya Linggar masih dari dalam bilik.
“Keluarlah! Aku tidak bisa berbicara seperti ini. Cahaya lampu yang menyembul keluar itu bisa memancing perhatian penghuni rumah ini, nanti,” kata Widari gelisah.
“Baiklah!” jawab Linggar. Dengan susah payah Linggar pun berusaha keluar dari jendela. Meskipun sebenarnya badannya masih terasa nyeri, karena sebenarnya dirinya belum pulih benar, tetapi ia paksakan juga. Kemudian Linggar menutup kembali jendela itu dari luar. Lalu keduanya duduk di kursi panjang yang ada di luar jendela.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Rara! Darimana kau masuk?” kata Linggar gelisah.
“Kenapa kau jadi gelisah begitu? Lagipula aku tidak mungkin masuk melalui regol, apa kata prajurit itu nanti.”
“Lalu?”
“Kau ini, tidak menghargai perjuanganku untuk dapat masuk sampai ke tempat ini, ya! Kau terus saja mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting untuk kujawab!” kata Widari yang kesal dibuatnya.
Linggar terdiam sesaat, kemudian mencoba meredakan rasa penasaran dan cemas dalam hatinya.
“Bagaimana keadaan keluargamu Mas Rara?”
“Rara Widari! Itu saja namaku, jangan kau tambah-tambah!” sahut Widari dengan wajah cemberut.
“Oh maaf kalau begitu, bukankah tempo hari kau yang bilang, aku harus memanggilmu lagi dengan sebutan itu,” jawab Linggar sambil tersenyum.
“Itu sudah lewat!” sahut Widari sambil membelakangi Linggar, sambil tersungut manja.
Sesaat keduanya terdiam membisu, seperti kaku untuk saling memulai pembicaraan dengan sungguh-sungguh.
Baru setelah beberapa saat kemudian Widari memulai pembicaraan.
“Bagaimana keadaanmu Linggar?” tanya Widari dengan nada menurun.
Linggar hatinya berdesir mendengar pertanyaan Widari itu. Ternyata Widari masih begitu perduli dengannya, walau dalam keadaan terakhir keduanya sempat berselisih.
“Aku sudah mulai berangsur membaik Widari, terimakasih atas perhatianmu.”
“Siapa yang memberitahumu perihal keadaanku?”
“Siapa lagi, kalau bukan sahabat karibmu itu. Wurpasa.”
Linggar mengangguk-angguk kemudian berkata. “Wurpasa sudah kembali rupanya. Aku terpaksa tidak menyertainya melakukan penyelidikan di Mentaok, karena aku terluka bagian dalam.”
“Syukurlah kalau keadaanmu sudah mulai membaik sekarang. Aku mengkhawatirkanmu.”
Linggar sejenak memandang Widari, lalu menarik napas dalam-dalam. “Terimakasih Widari. Kau masih saja perduli denganku. Padahal aku adalah seorang lelaki yang penuh kebimbangan dan pernah membuatmu kecewa.”
Widari seketika terdiam membisu. Seketika itu timbul pula pertanyaan dihatinya, mengapa ia harus mengatakan demikian? Bukankah itu akan membuat dirinya seolah berpengharapan kepada Linggar? Tetapi tiba-tiba perkataan Linggar membuyarkan angan-angannya.
“Oh ya Widari! Bagaimana kabar keluargamu? Ibundamu maksudku.”
Widari merenung sejenak, kemudian katanya. “Ayahandaku jarang pulang sekarang, ditambah lagi dia sering marah-marah akhir-akhir ini. Ibundaku sering melamun dan menyendiri dibuatnya.”
Linggar merasa prihatin mendengarnya. Lalu katanya, “sebaiknya kau lebih sering menghiburnya, sebelum kau menjelaskan semua yang terjadi. Mudah-mudahan akan ada cara yang terbaik untuk menyampaikannya.”
“Ya mudah-mudahan saja,” sahut Widari.
Linggar mengangguk-angguk dan menepuk-nepuk bahu Widari, sekedar menyemangatinya.
 “Kembali pada pertanyaanku tadi Widari. Apakah kau tadi masuk melalui pintu regol?”
Widari menghela napas, seolah bosan mendapat pertanyaan itu lagi. “Aku memanjat pohon yang menjuntai ke dalam rumah ini tadi.”
“Apa..?” Linggar terkejut. “Bagaimana mungkin? Apakah kau cukup mampu melakukan hal itu,” katanya lagi tak percaya.
“Tentu saja! Nyi Ajar Kesada telah mengajariku olah kanuragan,” tukas Widari.
Linggar terdiam sesaat. Kemudian ia teringat akan Nyi Ajar Keasada, seorang yang memang berkemampuan dalam hal olah kanuragan, wajar saja kalau dia mampu membuat Widari begitu tangkas.
“Kenapa kau menjadi risau begitu?” tanya Widari kemudian. “Tidak ada yang melihatku saat aku masuk dan mengendap-endap sampai ke tempat ini.”
“Ki Wila pasti mengetahuinya, Widari,” sahut Linggar.
“Kenapa bisa begitu?”
“Aku pernah melakukan hal yang sama seperti apa yang kau lakukan tadi. Walaupun sudah tidak menimbulkan suara, akan tetapi tumenggung yang linuwih itu begitu tajam panca inderanya.”
Widari menjadi gelisah, ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah itu. Tetapi yang dilihatnya sepi, hanya suara orang berbincang saja di gardu regol.
“Lalu bagaimana sebaiknya aku keluar?” kata Widari yang menjadi bingung.
Linggar berpikir keras, bagaimana supaya tidak membuat Widari malu dan juga tidak membuat Ki Wila menjadi tersinggung karena hal ini.
“Ayo aku antar kau keluar!” kata Linggar kemudian.
“Lewat mana?” tanya Widari.
“Tentu saja lewat dari mana kau masuk tadi.”
“Apakah nanti tidak akan membuat Ki Wila makin marah?”
“Sudahlah, aku yang menjamin keselamatanmu. Tidak ad acara lain yang lebih baik.”
Widari menurut saja ketika Linggar membimbingnya menuju pohon yang menjorok ke dalam tadi.
“Naiklah ke pundakku!” pinta Linggar sambil membungkukkan badannya.
Widari agak ragu untuk melakukan perintah Linggar.
Linggar yang melihat Widari tidak segera beranjak dari tempatnya berdiri menjadi tidak sabar.
“Kenapa kau malah terdiam disitu? Cepat lakukan!”
“Lagipula kau memakai kain panjang rangkap, bukan? Tidak mungkin aku mengintipmu dari bawah!” kata Linggar sambil menahan tawa.
Widari wajahnya memerah malu. “Macam kau! Berani kau macam-macam denganku, putri dari seorang tumenggung Pajang?” jawabnya menantang seraya bertolak pinggang.
“Sudahlah cepat!” perintah Linggar.
Widari kemudian berusaha memijakkan satu kakinya pada pundak Linggar, seraya menekannya. Linggar pun menjadi agak goyah dibuatnya. Widari tertawa lirih, melihat Linggar yang sepertinya kesulitan mempertahankan kuda-kudanya.
“Rara! Kau masih saja meledekku!” keluh Linggar.
“Rasakan saja sendiri! Kau sendiri yang mulai duluan!” tukasnya.
Rara Widari beberapa saat kemudian sudah berada dipundak Linggar. Lalu dengan kemampuan meringankan tubuh yang sudah dimilikinya, ia bertolak dengan kedua kakinya, kemudian berguling di udara. Sesat kemudian ia sudah berada di dahan pohon yang menjulur ke dalam itu.
Widari sempat tersenyum memandang Linggar, seraya melambaikan tangan untuk sekedar berpamitan. Seleret senyum kemudian menghias dibibir gadis ayu puteri Purbasana itu, membuat Linggar berdesir dibuatnya. Widari lalu menuruni pohon itu dengan melompat dari dahan yang satu ke dahan yang lain.
Linggar hanya menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan itu. Dalam benaknya berkata, Widari telah berubah sama sekali, dari gadis yang anggun, kini menjadi tangkas.
“Ia memang mempunyai kemauan yang kuat, tetapi juga keras kepala!” gumamnya.
Tetapi kemudian sesuatu telah mengejutkan Linggar. “Kau sedang ada tamu Linggar?”
Linggar membalikkan badan dan tergagap. “Ki Wila.., mohon ampun Ki Wila aku tak bermaksud kurang ajar, aku hanya mencoba mengantar tamuku itu pulang, setelah itu melaporkannya kepada Ki Wila.”
Ki Wilamarta hanya tersenyum, kemudian berkata. “Aku tahu, aku pun sudah melihat kehadirannya sejak tadi.”
Linggar hanya tertunduk dalam tak berani menatap wajah tumenggung Pajang itu. Ia pun sebenarnya sudah menduga, bahwa kehadiran Widari tidak luput dari pengawasan Ki Wilamarta.
“Apakah keadaanmu sudah semakin membaik sekarang?” tanya Ki Wila kemudian.
“Ya Ki Wila. Aku sudah makin membaik sekarang.”
“Sebaiknya kau manfaatkan beberapa hari ini untuk beristirahat. Karena beberapa hari lagi, tugas baru akan segera menantimu.”
“Tugas apa kiranya itu Ki Wila, kalau aku boleh tahu?”
“Sudahlah, nanti juga Rangga Jati akan menjelaskannya kepadamu. Sekarang sudah larut, sebaiknya kita segera masuk!” kata Ki Wilamarta sambil tersenyum, lalu melangkah meninggalkan Linggar. Diikuti langkah Linggar dibelakangnya, yang sebenarnya hatinya masih kurang mapan karena kejadian itu.
Dalam pada itu, Widari yang telah berada diluar segera mengambil kudanya yang telah ia tempatkan tersembunyi sebelumnya.
“Aman..!” desisnya. “Sudah hampir tengah malam, aku harus segera sampai di rumah,” katanya lagi.
Widari memacu kudanya tidak terlalu cepat, karena khawatir menarik perhatian para penghuni katumenggungan. Lorong-lorong jalan katumenggungan malam itu tampak sepi, hanya nampak para penjaga regol yang berjaga-jaga di muka regol masing-masing. Sesekali tatapan mata mereka menaruh curiga kepada Widari. Widari sendiri hanya memperlambat kudanya dan sesekali mengangguk hormat ketika melintas di muka regol mereka.
Hati Widari menjadi semakin gelisah karena waktu tempuh menjadi semakin lambat untuk sampai ke rumah. Ia takut membuat ibundanya cemas, belum lagi jika ayahnya menjadi marah.
Beberapa lama kemudian sampailah ia di muka regol rumahnya sendiri. Penjaga regol yang berjaga dengan tergopoh-gopoh menyongsongnya.
“Oh.., Mas Rara rupanya. Seisi rumah ini mengkhawatirkanmu. Cepatlah masuk, sebelum kedua orang tuamu menjadi bertambah cemas karena kehilanganmu!” kata penjaga itu.
“Baik Ki,” jawabnya pendek. Widari menjadi semakin berdebar-debar ketika melihat kuda ayahnya ditambatkan di halaman pendapa. Ia pun segera turun dari punggung kudanya dan menambatkan kuda itu disamping kuda ayahnya pula.
Widari melangkah perlahan-lahan, seolah tidak ingin isi rumah itu mengetahui kedatangannya. Perlahan ia berjalan memutar untuk menuju serambi rumahnya, yang biasanya disana ada pintu yang bisa tembus sampai ke kamarnya. Tetapi langkahnya kemudian terhenti, ketika mendengar perbincangan antara ayah dan ibundanya.
“Kau tidak mendidik Widari dengan baik, Nyi! Kau membiarkan putrimu berada di luar saat malam begini!”
“Bukan maksudku begitu Kang mas,” sahut Nyi Purbasana sareh. “Di usia Widari yang seperti sekarang ini, pengekangan tidak selalu menjadi jalan yang terbaik dalam mendidik perkembangannya. Aku hanya membiarkannya untuk bisa memilah-milah sendiri akan sebuah arti hidup. Agar dia dapat membedakan, mana yang hakiki dan mana yang semu. Bukan lantas menuruti apa yang selalu ada dalam hasratnya, terlebih lagi hasrat tanpa mempertimbangkan nalar.”
“Iya tapi sampai larut begini, ia belum kembali. Apa kau tidak merasa cemas?”
“Kecemasan itu memang ada Kangmas, tetapi ia sendiri tadi sudah berpesan, bahwa ia ke rumah Ki Ajar Kesada. Ki Ajar tentu bukan orang sembarangan yang membiarkan Widari pulang malam tanpa pengawasannya, terlebih lagi seorang putri Tumenggung seperti Widari.”
“Bukan perkara yang besar Kang mas!”
Seketika wajah Ki Tumenggung Purbasana menjadi merah. “Kau berani mengguruiku sekarang, Nyi!”
“Aku tidak bermaksud seperti itu Kang Mas. Tetapi marilah kita coba telaah lagi, bentuk perhatian apa yang sudah kita berikan kepada Rara Widari?” kata Nyi Tumenggung dengan nada bicara datar.
“Maksudmu, aku tidak pernah memberi perhatian khusus kepada Widari? Begitu maksudmu?” sahut Ki Purbasana yang mulai tersinggung.
“Apakah Kang mas merasa begitu?” tukas Nyi Tumenggung. “Sudah sepekan lebih Kang mas Tumenggung berada di luar. Dan baru malam ini pula Kang mas Tumenggung kembali, hal itu akhir-akhir ini kerap terjadi. Apakah itu tidak cukup membuktikan, bahwa Kang Mas memang kurang perduli?” sambung Nyi Tumenggung, tanpa menatap wajah suaminya itu.
Kata-kata Nyi Tumenggung makin membuat suaminya bertambah murka. Tatapan mata Ki Purbasana tajam memandang istrinya yang tidak berani memandanganya. Nyi Tumenggung hanya memandang jemarinya yang seolah ia main-mainkan sendiri untuk mengusir kegelisahan.
“Kau berani melawanku sekarang Nyi?” katanya dengan suara keras. “Kau tahu? Aku adalah Tumenggung! Tugasku tidak hanya di kadipaten ini saja Nyi, bahkan sampai wilayah terluar dari kadipaten ini. Jadi wajar saja kalau aku membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyelesaikan tugas-tugasku!”
“Tapi itu baru terjadi akhir-akhir ini saja Kang Mas,” bantah Nyi Purbasana. “Entah apa yang kau perbuat, aku sudah tak perduli lagi. Yang jelas perubahan sikapmu ketika berada di rumah, kau lebih sering marah-marah sekarang,” katanya lagi, sambil tak terasa bulir air matanya menetes dipipi Nyi Purbasana.
Ki Purbasana sejenak terpaku melihat istrinya yang menangis. Tetapi ia sengaja membiarkannya untuk mempertegas bahwa yang ia lakukan adalah hal yang benar. Supaya istrinya tidak menjadi curiga, bahwa ia memang sedang mencari-cari alasan atas keberadaannya yang lebih sering berada di luar. Dan supaya ia bebas datang dan pergi tanpa banyak pertanyaan dari istri tuanya itu. Lalu katanya lagi, “sudah pernah aku katakan! Saat sekarang ini Pajang sedang dalam rong-rongan dari luar, jadi sudah menjadi tugasku untuk nglanglang ke segenap penjuru Kadipaten.”
Nyi Tumenggung tidak berkata-kata lagi, ia hanya mengusap butir-butir air matanya yang meleleh dengan ujung bajunya.
Widari yang mengintip dari celah dinding pringitan, menjadi ikut prihatin. Rasanya tak tertahankan lagi ia ingin segera masuk ke dalam dan memeluk ibunya. Akhirnya ia pun tak kuasa lagi membendung kesedihan, ia pun berlari memutar ke pendapa sebelum masuk ke pringitan.
Purbasana suami-istri terkejut bukan main, ketika pintu pringitan kemudian terbuka dan muncullah Widari yang langsung menubruk ibundanya sambil menangis.
“Kau sudah pulang Widari..,” kata ibundanya lembut sambil membelai rambut Widari. “Kenapa kau menangis begitu? Bukankah kau sudah berjanji ingin menjadi wanita yang kuat?” katanya lagi, tanpa memperdulikan suaminya yang terlihat tak sabar ingin segera menumpahkan kemarahannya pada puterinya itu.
“Kita ini berasal dari Demak Widari. Orang-orang Demak adalah para pejuang yang tangguh. Bahkan tempo dulu prajurit Demak mampu menyeberang lautan sampai Malaka. Para prajurit yang dipimpin Pangeran Sabrang Lor itu berlayar menuju Malaka untuk mengusir penjajah, yaitu orang-orang bermata biru itu.”
“Dan kau tahu? Sebagian ksatria dari Demak itu adalah orang-orang dari Kalihurip. Desa yang telah menghasilkan banyak orang-orang pemberani. Sampai suatu ketika Kalihurip dihancurkan orang-orang dari Timur tanah Jawa ini, saat semua para ksatria sedang berlayar ke Malaka….
Belum selesai Nyi Purbasana bertutur, suaminya langsung memotong dengan nada tinggi. “Cukup Nyi…! Jangan kau buka lagi kenanganmu akan Kalihurip, desa yang sekarang hanya tinggal semak-belukar itu. Apalagi kau menceritakannya pada puteri kita, Widari. Tidak ada gunanya, sama sekali!”
“Jangan pula karena perselisihan kecil ini, kau ungkit lagi masa lalumu. Ingat! Aku sudah dengan rendah hati mendukungmu kala itu, bahkan sampai mengorbankan harga diriku!”
“Berkorban apa maksudmu? Bukankah semua terjadi apa adanya? Atau barangkali baru sekarang niat dalam hatimu itu mulai terbuka?” sahut Nyi Purbasana dengan suara bergetar, dan dengan tatapan tajam memandang suaminya, seolah perselisihan itu telah mengusik harga dirinya.
“Aku tidak ini memperuncing masalah ini lagi, Nyi! Apalagi dihadapan Rara Widari. Aku mau keluar dulu sekarang, udara di rumah ini mendadak menjadi seperti neraka..!” kata Ki Purbasana, lalu melangkahkan kakinya ke tlundak pintu dengan amarah yang masih tertahan didadanya, seolah ingin ia tumpahkan dengan pergi dari rumah itu. Tetapi kemudian langkahnya berhenti dan kembali menoleh kearah istri dan puterinya itu. “Jangan kau ulangi lagi Widari! Kau telah membuat aku dan ibundamu bertengkar malam ini!” Ki Purbasana kemudian meninggalkan pringitan itu sambil membanting pintu rumah itu. Dan beberapa saat kemudian terdengar suara derap kuda yang melemah, meninggalkan rumah itu.
Rara Widari dan ibundanya berpelukan erat, pecahlah tangis Widari di pelukannya.
“Maafkan aku ibu...,” kata Widari dengan suara parau.
“Tidak apa-apa, Widari. Mungkin memang karena ayahmu yang sudah semakin bosan dirumah ini!” Pangkat dan jabatan telah membuatnya melupakan keluarga ini,” kata Nyi Purbasana dengan air mata dalam, yang menetes satu-satu dari pelupuk matanya.
Rara Widari yang mengerti bahwa ayahandanya memang mempunyai tambatan hati lain, selain ibunya. Tak kuasa lagi menyimpan rahasia itu di dalam dadanya sendiri, rasanya ingin segera ia ungkapkan pada ibundanya. Tetapi apa jadinya? Kalau pun ia ungkapkan, tidak akan merubah keadaan. Yang ada hanya menambah pilu hati ibundanya.
Akhirnya keduanya hanya saling duduk bersebelahan, dengan tangan yang saling menggenggam erat satu sama lain, tanpa berkata-kata apapun lagi. Dalam angan-angan Widari yang terbayang hanya wajah istri muda ayahnya yang selalu mengusik pikirannya. Sedangkan Nyi Purbasana sendiri pikirannya jauh melayang ke masa sebelumnya saat masih berada di pesisir Demak. Dimana peristiwa terbakarnya Kalihurip begitu mengganggu pikirannya.
Akhirnya setelah jauh malam tiba, Nyi Purbasana pun membimbing puterinya ke kamar. Malam itu sengaja ia menemani Widari yang terlihat begitu nyaman tidur disisinya.
“Ia sudah menjadi gadis yang cantik sekarang, Kakang!” kata Nyi Purbasana pada diri sendiri. “Sayang kau dan si mbarep tak ada disini.
“Api itu bukan saja telah membakar Kalihurip, tetapi juga masa depan kita.”
Sayup terdengar ditelinga Widari, apa yang baru saja diucapkan ibunya. Tetapi ia tidak mau mengganggu ibunya yang seperti berkata ngelantur itu, ia tetap memejamkan matanya walaupun ia menjadi ingin tahu.
“Kakang Panji.., kenapa semua harus berakhir tanpa sempat kita melihat anak-anak kita tumbuh menjadi dewasa,” sambung Nyi Purbasana sambil membelai rambut Widari. “Orang-orang biadab itu telah meluluh-lantahkan Kalihurip. Aku sangat merindukan Kalihurip. Daerah yang sebelumnya begitu damai dan tenteram, sebelum dijamah tangan-tangan keji.”
Widari yang sebenarnya belum terlelap tidur itu, berdebar-debar mendengar nama-nama yang disebutkan ibundanya. Kalihurip, lalu Kakang Panji, atau si mbarep, nama-nama yang begitu asing ditelinganya. Karena setahu dirinya, ibunya tidak memiliki saudara sekandung, atau ibunya adalah anak semata wayang dari seorang keluarga di daerah Demak.
Widari menjadi prihatin. Mungkin karena perselisihan dengan ayahandanya, telah membuat ibundanya menjadi tertekan. Widari pun kemudian memaksa melelapkan tidurnya kendati hatinya penasaran.
  <<<PREV      NEXT>>

4 komentar:

Pengikut