Novel Cerita Silat Jawa

TDM 39

Sementara itu perang tanding antara Raden Jaka dan Getas Angin berjalan begitu sengitnya. Mereka telah sampai pada puncak penguasaan tata gerak masing-masing. Jurus-jurus Getas Angin yang semula biasa-biasa saja, kini terdengar seperti siur angin yang cukup menggetarkan jantung lawan. Tetapi Raden Jaka tak mau kalah, ia mampu melayaninya dengan jurus-jurus yang mematahkan. Maka benturan kekuatan mereka kadang seperti terdengan membentur dinding kokoh.
Pertarungan yang belum menunjukkan siapa yang lebih unggul itu begitu menguras tenaga keduanya. Hingga ketika dirasa sampai pada batas penjajakan yang cukup, keduanya mundur beberapa langkah kebelakang seperti sedang mengatur jarak.
“Aku rasa, kita tidak perlu berlama-lama lagi. Sekarang saatnya kau merasakan ajian andalan pamungkasku!”
Setelah mengatur pernapasan, Getas Angin sudah bersiap menggempur Raden Jaka. Raden Jaka sendiri tidak melakukan persiapan khusus, ia hanya harus lebih waspada. Karena, bukan tidak mungkin kekuatannya kini akan semakin berlipat. Terlebih ia telah mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya untuk mendukung jurus-jurus yang mengandung siur angina itu.
Maka pertarungan pun berlangsung lebih cepat. Jurus yang diperagakan mereka begitu cepat. Sehingga terlihat tangan-tangan mereka seperti mengganda jumlahnya. Disuatu saat sentuhan-sentuhan kecil dan benturan dirasakan satu sama lain, Raden Jaka merasakan tangannya seperti kesemutan, begitu pula Getas Angin merasakan pukulannya seperti membentur dinding kokoh yang sulit dijebol.
Suasana pertarungan yang mengucil itu jauh dari keramaian pertempuran disisi timur. Tetapi dampak dari kelebatan jurus mereka membuat daun yang berserakan ditanah sesekali teraduk-aduk oleh geseran perkelahian. Padahal yang bertarung hanya dua orang saja, tetapi cukup membuat arena berkelahi yang luas dan selalu bergeser. Lompatan-lompatan panjang membuktikan keduanya cukup mumpuni dalam hal olah kanuragan.
Sebuah pukulan telak kemudian mengenai wajah Getas Angin, membuatnya sedikit terhuyung ke belakang. Tetapi beberapa saat kemudian ia mampu membalasnya tepat mengenai dada Raden Jaka. Raden Jaka pun merasakan dadanya sesak dan kesemutan. Beruntung tidak terlalu lama rasa sesak itu menderanya, ia sudah mampu mengusai diri selanjutnya.
Saling bentur yang acap kali terjadi itu, ternyata membuat tenaga keduanya menjadi mulai susut. Tetapi yang lebih parah adalah Raden Jaka. Benar saja yang dikatakan Getas Angin sebelumnya, bahwa ilmu kanuragannya akan membuat seluruh tulang belulang lawannya menjadi ngilu dan lemas. Hal itu dirasakan Raden Jaka kemudian, serangannya menjadi kurang bertenaga dan tidak tepat sasaran.
Sebenarnya Ajian yang melandasi dirinya dengan kekuatan angina itu, terbagi tiga tahapan. Dan yang dimiliki Getas Angin itu, baru pada tahapan yang pertama saja, yaitu Bayu Mudal. Tahap selanjutnya adalah Rog-rog Asem yang sudah dimiliki Linggar dari Raden Pamekas sebelumnya. Dan yang paling Pamungkas adalah Bayu Semesta, yang pernah diperagakan pula oleh Ki Wulungan ayah Linggar saat menghadapi Kiai Jambe Abang di sungai Praga beberapa waktu silam.
Tidak mau tenaganya susut bertambah parah, Raden Jaka terpaksa mengeluarkan tombak pusakanya dari ploconnya. Dan hal itu pula rupanya yang sudah ditunggu-tunggu Getas Angin. Ia mundur dua langkah ke belakang karena pesona pamor Kiai Baru Klinthing itu membuatnya terperangah. Tombak itu berkilat sesekali ketika diterpa cahaya matahari.
Raden Jaka hanya tersenyum tipis, melihat Getas Angin yang terkesima melihat pusaka piandhel tanah Mangir itu.
“Kau gentar Getas Angin? Bersimpuhlah kalau kau memang mengaku kalah!” kata Raden Jaka dengan wajah angker, bersanding dengan tombaknya.
“Tidak akan! Senjata pusakamu itu sudah aku tunggu-tunggu sejak tadi. Aku berusaha memisahkanmu dari pasukanmu agar aku bisa merebut pusakamu itu!”
“Jangan bermimpi! Rebutlah kalau kau memang cukup mampu!” tukas Raden Jaka.
Perang tanding pun kembali berlangsung, Getas Angin meskipun tak memiliki senjata pusaka, tetapi ia begitu nekat ingin menaklukkannya. Maka dengan berbekal pedang yang dimilikinya ia melawan kekuatan pamor tombak Baru Klinthing. Benturan-benturan kecil pedang dengan tombak itu disertai percikan bunga api. Tetapi yang membuat Getas Angin terperangah adalah, pedangnya seperti gompal sedikit demi sedikit bila beradu dengan tombak itu.
Getas Angin bingung dibuatnya. Sebenarnya dia hanya butuh satu kali lagi untuk memukul dada Raden Jaka dengan ajiannya itu, maka Raden Jaka akan terkulai lemas. Karena menurut pengalamannya, orang yang terkena ajian Bayu Mudal dua kali, maka ia akan merasakan tulangnya seperti terlolosi.
Getas Angin tak patah arang. Ia kembali mencoba mencari celah untuk dapat menghantam dada Raden Jaka dengan kekuatan penuh. Maka setelah itu, selesai sudah perlawanan musuhnya itu.
Getas Angin mencoba mengatur jarak untuk mencari saat yang tepat. Terlihat ia selalu menghindar dan tidak berusaha menyerang terlalu dalam. Usaha itu membuat Raden Jaka mendongkol, Getas Angin seperti kurang bersungguh-sungguh meladeninya. Maka kemudian, Raden Jaka membenturkan landean tombaknya pada pedang lawannya. Tak disangka-sangka, pedang Getas Angin patah jadi dua dan lepas pula dari genggaman. Getas Angin ternganga, dan pada saat itulah Raden Jaka menendang dadanya. Ia pun jatuh terjengkang di tanah.
Belum puas, Raden Jaka kemudian mendekatinya. Dicengkeramnya lingkar leher bajunya, lalu diangkat dan diberdirikan.
“Kau ingin merasakan tombak ini bersarang ditubuhmu?” ancamnya dengan mata membara.
Hal inilah yang sebenarnya dikhawatirkan Ki Nataprawira sebelumnya. Bahwa gejolak darah muda Raden Jaka sulit terbendung, terlebih lagi pamor pusaka itu turut mempengaruhinya. Karena itu Raden Jaka jadi hilang pengamatannya.
Keadaan itulah yang kemudian dimanfaatkan Getas Angin. Walaupun sudah susut kekuatannya, ia menghimpun sisa-sisa tenaga yang ada. Kemudian sambil tangannya mengepal, iamelancarkan pukulan terakhirnya yang dilambari tenaga dalam.
Raden Jaka yang tidak menyangka akan hal itu, tak mampu menghindar. Ia terdorong surut dua langkah ke belakang, dari bibirnya menitik darah. Kemudian seketika itu juga terjongkok lemas, dengan lututnya sebelah menekuk ditanah. Sementara tombaknya masih menopang dirinya mempertahankan posisinya. Tubuhnya lemas dan matanya berkunang-kunang. Pandangannya menjadi kurang jelas melihat Getas Angin yang berdiri dua langkah didepannya. Getas Angin sendiri walaupun masih bisa berdiri, tetapi tidak berpijak dengan kokoh, alias sempoyongan.
Getas Angin tak menyia-nyiakan kesempatan, ia hanya tinggal merampas tombak itu dari Raden Jaka yang sudah tidak berdaya. Ia kemudian berjalan dua langkah ke depan. Tetapi tak disangkanya. Raden Jaka masih mampu menusukkan mata tombaknya ke tubuh lawannya. Maka, Getas Angin pun kemudian terpekik ketika tombak itu menembus jantungnya. Ketika di cabut kembali oleh Raden Jaka maka ia pun roboh tak berkutik.
Raden Jaka bernapas lega. Hampir saja kelengahannya tadi berdampak buruk terhadap keselamatannya. Beruntung ia masih mampu melihat lawannya meskipun samar-samar. Dan dengan sisa tenaganya ia mampu menyudahinya. Ia kemudian menyarungkan tombaknya pada ploconnya. Setelah itu mengatur pernapasannya setelah bertarung cukup lama. Memang tenaganya tidak pulih kembali seperti semula, tetapi paling tidak separuhnya.
Ia berdiri memandang tubuh Getas Angin yang tergeletak di tanah, kemudian memandang sekelilingnya. Cukup sepi. Ternyata ia telah terseret jauh dari medan pertempuran. Ia berencana kembali ke sisi timur pertempuran, tetapi langkahnya tertahan ketika dilihatnya sesosok tubuh berdiri disamping batang pohon sambil tersenyum memandangnya. Sosok itu selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Cukup lama ia berputar-putar mengejar sosok itu yang selalu menghindar dan menghilang.
“Sepertinya seorang perempuan, memakai pakaian berbalut warna hijau!” ia membathin. “Siapa dia? Jangan-jangan ia bagian dari musuh!”
Tidak lama sosok itu sudah ada dibelakangnya dan memanggil dengan lembut. “Raden.., aku disini!”
Dengan cepat Raden Jaka membalikkan badan, dan dilihatnya seorang perempuan berusia matang, berwajah cantik dan bertubuh padat. Raden Jaka sempat terkesima memandangnya.
“Kau mencariku..?” katanya lagi dengan suara manja dan tak ragu-ragu berdiri mendekatinya.
“Si.., siapa kau?” sahut Raden Jaka.
“Ikutlah denganku kalau kau ingin tahu siapa aku..,” perempuan cantik itu kembali menggodanya dengan isyarat ujung jari telunjuk mengajaknya pergi.
Raden Jaka seperti tak kuasa menolaknya, ia mengikuti saja dari belakang. Sementara jari telunjuk perempuan itu terus saja dimainkan sambil berjalan membelakanginya. Telunjuknya laksana sihir yang mampu mempengaruhi lawan bicaranya.
            Dalam pada itu Linggar dan prajuritnya masih berperang dengan orang-orang yang menghadang sebelumnya, yaitu dua pimpinan Carok dari Madura. Linggar yang tak bersenjata lagi menggenggam celurit milik lawannya yang sebelumnya dapat ia taklukkan.
Menyaksikan itu, Tekabeh dan Dengsabeh menjadi menegang. Senjata kebanggaan yang menjadi ciri perguruannya ternyata ada ditangan oranglain.
“He, siapa kau yang telah berani menggunakan ciri dari perguruan kami?” tanya Tekabeh.
“Aku pimpinan prajurit Pajang, Linggar!”
“Darimana kau dapatkan senjata itu?” potong Dengsabeh
“Dari orang-orangmu yang mampu kami lumpuhkan!” jawab Linggar pendek.
“Kurang ajar! Berarti kau telah berani berurusan dengan kami, orang-orang dari perguruan Batu Putih yang sudah tersohor. Ketahuilah! Kami berdua adalah pemimpinnya. Sekarang marikita bertempur sampai titik darah yang penghabisan!” tantang Tekabeh.
Wurpasa yang sedari tadi tidak menyela pembicaraan, langsung ambil bagian untuk menghadapi Dengsabeh. Maka kini mereka telah saling berhadapan, dan mendapatkan pasangan bertempurnya masing-masing.
Linggar yang telah memiliki pengalaman bertarung sebelumnya dengan lawan yang menggunakan senjata celurit, tidak canggung lagi menghadapi lawannya, terlebih lagi ia juga menggunakan senjata yang serupa. Maka watak dan cara penggunaannya telah ia ketahui. Tetapi ternyata berbeda dengan Wurpasa, kendati ia pernah menghadapi musuh dengan senjata melengkung itu, tetapi otaknya tidak terlalu encer untuk dapat mengimbangi permainan celurit lawannya.
Wurpasa beberapa kali terdesak, apalagi yang dihadapinya adalah pemimpin tertinggi para carok Batu Putih. Tentu saja kemampuannya beda dengan orang yang dihadapi sebelumnya. Hal itu juga menjadi kekhawatiran bagi Linggar. Kalau dibiarkan terlalu lama, bisa berakibat buruk buat keselamatan Wurpasa. Linggar kemudian memacu diri untuk dapat menyudahi perlawanan musuhnya, kendati ia sadar kemampuan Tekabeh lebih mumpuni ketimbang anak buahnya.
Tekabeh sendiri celuritnya seolah menari-nari seperti seribu bayangan. Membuat sulit membedakan mana senjata yang sedang mengancam jiwa musuhnya. Maka disuatu kesempatan celurit itu hampir saat merobek lambung Linggar, beruntung Linggar surut selangkah ke belakang. Hanya bajunya saja yang koyak. Celurit keduanya tidak jarang saling membentur dan memercikkan bunga api, diiringi umpatan Tekabeh yang berusaha memberi penekanan pada lawan tarungnya. Tetapi tentunya Linggar juga bukan bocah kemarin sore, yang terpengaruh dengan gertakan lawan. Ia tetap mampu mengamati keadaan, meskipun kemahiran Tekabeh dalam memainkan senjatanya begitu terampil.
Melihat Linggar yang tak jua terdesak, Tekabeh memadukan unsur gerakannya secara acak. Usahanya itu untuk mengelabuhi terkaan lawan akan setiap serangannya. Hal itu ternyata cukup berhasil. Linggar seperti menerka-nerka gerak mematikan dari lawannya. Ia sulit mengambil kesimpulan atas tata gerak dari Tekabeh. Hingga akhirnya Tekabeh mampu juga melukainya. Ketika celurit Linggar luput mengenai tubuh Tekabeh, Tekabeh balik membacokkan celuritnya ke dada Linggar. Linggar terpaksa membendung ayunan tangan Tekabeh dengan siku lengannya. Meskipun celurit itu gagal menembus dadanya, tetapi ujung runcingnya mematuk pundaknya satu ruas jari.
Linggar mengeluh pendek. Darah kemudian sedikit merebes dipundak kanannya. Linggar yang geram kemudian menendang lambung Tekabeh. Dia pun akhirnya terdorong tiga langkah ke belakang.
“Bagaimana? Masih meragukan kemampuanku?” sindir Tekabeh. “Senjataku mempunyai dampak mengerikan buat korbannya. Bukan hanya mampu mencabik-cabik, tetapi cukup untuk membuat isi lambungmu terburai!”
Linggar tak menjawab, hanya menatap tajam musuhnya. Rasa pedih dipundaknya begitu menyengat, apalagi sudah bercampur keringat.
Tekabeh memang usianya jauh diatas Linggar. Tentu saja ia memiliki kematangan dalam bertarung. Sedangkan Linggar masih cukup belia untuk ukuran seorang pendekar, walaupun sudah mengalami beberapa pengalaman yang berharga. Tetapi mental bajanya tak membuatnya menyerah, selain cerdas petuah-petuah bijak ayahnya begitu terpatri dalam di hatinya. Tiada pilihan lain bagi Linggar kecuali menuntaskan perlawanan Tekabeh yang ganas dan liar itu. Maka ia pun kembali menyerang dengan penuh kewaspadaan dan mencari titik dimana dia bisa melumpuhkan lawan.
Akhirnya sampai juga batas pengamatannya pada serangan celurit Tekabeh yang diayun tinggi. Linggar menangkap tangan Tekabeh dan memuntirnya. Hingga celurit Tekabeh pun lepas dari genggaman. Kemudian Linggar melakukan gerak yang luar biasa. Dua kakinya menyilang menggunting leher Tekabeh, lalu membantingnya di tanah. Tekabeh tak berdaya dan seketika itu juga rebah ditanah dengan leher terjepit. Linggar beberapa kali menghantam perutnya untuk melumpuhkan.
Tetapi Tekabeh bukan malah jera, dalam kondisi terjepit itu ia menarik senjata rahasianya berupa celurit kecil yang telah dilumuri racun. Senjata itu diguratkan ke salah satu kaki Linggar yang menjepit. Linggar pun sempat meringis kecil. Tetapi begitu sadar Tekabeh berbuat curang, ia menangkap tangan yang masih menggenggam senjata rahasia itu, kemudian mengguratkan balik ke dada Tekabeh.
Tekabeh kemudian hanya tertawa lemah, ia tidak melakukan perlawanan kemudian. Linggar sendiri dengan cepat melepas kunciannya. Dia mencoba mengamati luka guratan itu, karena iasadar senjata itu mengandung racun yang berbahaya.
“Kau dan aku akan sampyuh! Kau dan aku sama-sama telah terkena racun ganas dari senjata rahasiaku. Maka kau pun tidak akan selamat!” ujar Tekabeh yang masih rebah di tanah.
Linggar yang masih dalam keadaan terduduk, merasakan perubahan suhu pada tubuhnya menjadi menjadi dingin, dan wajahnya pun berangsur memucat. Ia pun melihat itu pada diri Tekabeh. Tak mau racun itu beredar ganas ditubuhnya, Linggar mengambil sebutir obat dari bungbung obat dipinggangnya. Masih ada sebutir lagi, ia bermaksud memberikannya pada Tekabeh. Tetapi Tekabeh hanya menolaknya dan bahkan menertawakannya.
“Tak ada yang tahan dengan racun itu, anak muda! Walaupun kau minum pil dewa sekali pun!”
“Ambillah penawar ini, mungkin bisa menangkal racun yang menyebar ditubuhmu!” saran Linggar. Meskipun berada dipihak lawan Linggar masih menjunjung tinggi nilai kemanusian.
Tetapi ternyata Tekabeh tetap bersikeras dengan keyakinannya. Bahwa racunnya akan membuat keduanya sampyuh. Tetapi kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Meskipun tubuhnya makin melemah, Linggar masih bisa duduk mengatur pernapasannya. Berbeda dengan Tekabeh yang wajahnya mulai memucat seputih kapas dan berangsur dari mulutnya tersendak busa kemerahan. Melihat kenyataan itu Tekabeh hanya mampu mendongkol dalam hati, ternyata racunnya tak berdampak parah terhadap Linggar. Tak berapa lama kemudian setelah mengejang, Tekabeh pun menghembuskan napas terakhir.
Dengsabeh yang masih bertarung dengan Wurpasa menjadi naik darah. Matanya membara sambil terus menyerang Wurpasa. Umpatannya tak habis-habisnya ditujukan pada Linggar yang masih mencoba menguasai diri. Sebenarnya Linggar ingin segera membantu Wurpasa yang mulai kepayahan, tetapi bagaimana mungkin? Untuk berdiri saja ia begitu sulit. Penawar racunnya masih melawan cairan jahat yang merusak aliran darah dalam tubuh.
Wurpasa sendiri makin kepayahan, beberapa kali sabetan celurit Dengsabeh nyaris menimbulkan luka yang cukup dalam. Beruntung Wurpasa selalu berusaha menghindar dan menangkis. Tetapi walau begitu, Dengsabeh mampu melukai dengan guratan-guratan tipis dilengan dan dadanya Wurpasa. Luka-luka kecil itu makin bertambah jumlahnya. Bahkan bajunya kini mulai memerah oleh darah. Dan disuatu saat Dengsabeh mampu menjatuhkan Wurpasa dengan tendangannya, tinggal selangkah lagi celuritnya akan merobek lambung Wurpasa.
Linggar yang belum bisa berbuat banyak, akhirnya mengambil tindakan tepat. Ia melemparkan batu seukuran kepal tangan, dengan sisa tenaganya ia lemparkan ke matakaki Dengsabeh. Dan tepat. Dengsabeh mengerang kesakitan kemudian ambruk. Dan setelah itu terpaksa Linggar, melontarkan senjata rahasia Tekabeh yang tergeletak ditanah. Ia membidik leher Dengsabeh. Dengsabeh pun terkejut, ia kemudian bangkit memburu Wurpasa yang berada di depannya. Ia ingin menumpahkan kemarahannya pada Wurpasa yang sudah kepayahan itu. Tetapi sia-sia saja, perlawanannya hanya sebentar saja. Karena Wurpasa dengan gigih meladeninya. Setelah itu tubuh Dengsabeh mengejang dan berbusa sama seperti yang terjadi pada Tekabeh sebelumnya.
Sementara lingkungan peperangan disekitar sudah mulai mereda. Orang-orang yang dibawah dua carok itu dapat ditaklukan. Sebagian dari mereka lari meninggalkan arena begitu dua carok itu tewas. Sebagian yang terluka masih mengerang kesakitan dan ada pula yang tak bernyawa lagi. Tetapi beberapa saat kemudian terdengar suara kentungan dengan nada khusus. Terdengar pula teriakan dari kejauhan perintah mundur kepada para cantrik padepokan Watu Belah. Di benak Linggar dan prajuritnya bertanya-tanya, mungkinkah di sisi timur perang sudah di menangkan laskar Mangir? Mereka tak tahu jawabnya sebelum mendekat ke sisi timur.
Kemudian Linggar dan semua prajuritnya masih mengamati keadaan. Beberapa yang sudah terlatih, mengobati mereka yang terluka. Linggar pun masih memusatkan diri menangkal racun yang merasuk ditubuhnya. Pun begitu dengan Wurpasa, beberapa goresan luka ditubuhnya ditaburi dengan bubuk obat.

<<< PREV       NEXT >>>

5 komentar:

  1. Mantaps. Terima kasih Ki. Btw penasaran dengan TDM 40. Heheheh...

    BalasHapus
  2. apakah sudah ada dalam bentuk buku yang lengkap? jadi penasaran nih...hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. TDM rencananya saya buat Trilogi.
      Setelah Teroesir Dari Matesih, lanjutannya adalah penyerangan ke malaka oleh Ratu Kalinyamat. Dan sebagai penutup adalah Kembali Ke Matesih. Kembali Ke Matesih (KKM) sudah kelar, tetapi Penyerangan ke Malaka belum tuntas. Edisi KKM belum publish karena ceritanya akan loncat terlalu jauh, sebelum membaca petualangan Linggar di ke Tanah Malaka. Trims sudah sowan...

      Hapus
  3. ceritanya menarik..saya tunggu episod berikutnya sampai tuntas.... saya sangat mengapresiasiasi karya Anda ...

    BalasHapus
  4. Lama tak membaca semakin menarik, lanjutken...

    BalasHapus

Pengikut