Novel Cerita Silat Jawa

TDM 36

Selepas orang-orang yang meninggalkan tempuran sungai. Tampak dua orang sedang berdiri di sekitar tempat itu. Dialah Getas Angin dan Ken Anggita. Dua pendekar dari timur yang cukup disegani. Getas Angin adalah lelaki berusia setengah abad. Sedangkan Ken Anggita, wanita cantik bertubuh sintal dan padat. Tetapi sebenarnya usianya sama dengan Getas Angin yang sudah separuh abad lebih. Ken Anggita sendiri terlihat awet muda, kira-kira mirip wanita seumuran kepala tiga.
“Anggita! Pusaka itu akan aku rebut suatu saat. Sebab dengan pusaka itu aku bisa menguasai seluruh daerah timur.”
“Perhatianmu jangan terpusat pada pusaka itu saja! Kita sama-sama dibayar Selir Adipati Purbaya dari Bang Wetan. Tujuannya untuk mengawal perjuangan Pangeran Pujapati. Agar mempunyai kekuasaan sendiri sebagai keturunan Brawijaya pamungkas!” kata Ken Anggita.
“Ah kau ini! Kau tertarik dengan pusaka itu juga, bukan?” tukas Getas Angin.
“Bagiku mudah saja. Aku mempunyai gendam pengasihan, lelaki mana pun akan mabuk bila sudah kutiupkan hawa sejuknya.”
“Tetapi itu tidak berlaku bagiku, Ken Anggita. Sejatinya kita seumuran, seharusnya kau sudah mulai keriput seperti aku!” kata Getas angin mendongkol.
Ken Anggita tertawa mendengarnya. “Ya itulah kelebihanku! Orang mengira aku masih muda seperti yang nampak. Begitu ia terlena, bisa dari mulutku akan membuat kaku sekujur tubuhnya.”
Getas angin sedikit merinding mendengarnya. “Huh dasar ahli gendam!”
“Kita sudah tahu keadaan Mangir! Tetapi entah, apakah Jambe Abang sudah menyadari bahwa Mangir telah bersiap untuk melakukan perlawanan?”
“Ya. Untung saja kita mengamati Mangir terlebih dulu, sebelum menuju ke Bukit Sambung. Sebaiknya kita segera ke Bukit Sambung untuk mengetahui kesiapan mereka dan melaporkan apa yang terjadi malam ini,” ujar Ken Anggita.
Mereka berdua tidak berlama-lama, kemudian segera bergegas ke Bukit Sambung. Keduanya adalah utusan dari adipati di Bang Wetan untuk mendukung perjuangan Pangeran Pujapati.
Dalam gelap malam itu, keduanya memacu kudanya perlahan saja. Sambil sesekali berbincang.
“Pemuda yang bernama Linggar tadi justeru lebih berbahaya ketimbang putera Ki Ageng sendiri, Ken Anggita!”
“Benar, Getas Angin! Walau tak mampu menggenggam langsung Kiai Baru Klinthing, tetapi apa yang ia pertontonkan sungguh luar biasa.”
“Jambe Abang harus bergerak cepat, kalau tidak ingin keduluan mereka menyerang! Paling tidak orang-orang di padepokannya harus dilatih lebih keras lagi untuk pertempuran yang akan terjadi.”
Ken Anggita mengangguk-angguk. Tak terasa mereka telah melewati jalan sedikit mendaki menuju landasan Bukit Sambung.
            Hari sudah sepertiga malam. Udara dingin menyelimuti sekitar bukit sambung. Para penjaga tampak terkantuk-kantuk bersandar dinding padepokan. Kiai Jambe Abang berkeliling padepokan menemukan beberapa penjaga terkantuk hebat, sampai rebah tak menentu.
“Hmm ada yang menebar sirep rupanya!” gumam Jambe Abang.
Kiai Jambe Abang bergegas keluar padepokan untuk melihat keadaan di sekitar. Dilihatnya dua sosok bayangan hitam di ujung jalan menuju padepokan.
Dengan kemampuannya ia melesat kemudian, sambil meraih dua dahan kayu yang berserak di tepi jalan. Ia kemudian melontarkan dua dahan kayu itu melesat ke arah dua orang tadi. Dua orang tadi pun tidak mau tinggal diam, ia langsung menghindar kesamping dengan kecepatan yang luar biasa pula, untuk menghindari lontaran dahan kayu tadi.
Tidak sampai disitu. Kiai Jambe Abang langsung menyerang kedua orang itu dengan tangan kosong. Maka, kemudian berkelebatan 3 sosok bayangan yang saling serang. 1 orang melawan dua orang.
Kiai Jambe Abang tampak memperhatikan sosok wanita yang beberapa kali menyerangnya dengan sabetan-sabetan selendang, kemudian yang seorang lagi pukulan-pukulannya seperti suara desir angin lembut.
“Cukup!” Kiai Jambe Abang memperingatkan. “Untuk apa kalian bermain-main denganku?” Kalau kau adalah utusan dari Bang Wetan, masuklah dengan cara-cara yang baik!”
Sesaat kedua orang tadi berpandangan satu sama lain, kemudian tertawa.
“Penglihatanmu masih tajam juga Jambe Abang!” kata yang lelaki.
“Aku sudah paham jurusmu itu Getas Angin! Suara desir angin pada jurusmu itu, hanya mampu mengusir anak-anak ayam yang baru menetas!” ujar Kiai Jambe Abang mendongkol.
“Kau juga nenek peyot! Sirepmu tidak mungkin mempan terhadapku, sirepmu hanya membuat ayam jantan kesiangan!”
Terdengar suara tawa perempuan kemudian. “Kau memang tidak lupa dengan wajahku yang ayu, Jambe Abang. Terbukti kau masih mengenal gerak-gerikku. Apakah dulu kau pernah memendam cinta terhadapku?” kata suara itu dilanjutkan tawa berkepanjangan.
“Macam kau, Ken Anggita! Mataku tidak bisa dibutakan oleh pesona gendammu! Otakku masih waras,” Kiai Jambe Abang mendongkol.
Mereka kemudian saling mendekat dan berjabat tangan. Karena sesungguhnya mereka telah saling mengenal.
“Ayo masuklah ke padepokanku yang serba darurat ini. Kita bicara di dalam saja!” ajak Kiai Jambe Abang.
Mereka pun kemudian memasuki padepokan dan saling berbincang diruang utama.
“Setelah padepokan di Mentaok hancur, aku terpaksa memindahkannya ke Bukit Sambung ini. Jadi mungkin disini keadaannya serba darurat. Aku harap kalian maklum!”
“Aku mengerti Jambe Abang. Aku dan Ken Anggita diutus kemari untuk memastikan keadaan kalian. Apakah kalian menemui masalah atau tidak? Tetapi aku sudah menemukan jawabannya. Karena sebelum sampai kesini aku sudah memeriksa padepokanmu yang lama itu.”
“Ya. Padepokanku yang lama memang sudah hancur, Getas Angin!” sahut Kiai Jambe Abang.
“Oh ya, aku ingin tahu, apa yang melatarbelakangi kedatanganmu kesini? Apakah ada pesan penting dari Bang Wetan?” tanya Kiai Jambe Abang bersungguh-sungguh.
“Dyah Ayu Duhita sudah lama berpisah dengan puteranya, Pangeran Pujapati. Semenjak kau bawa Pangeran Pujapati ke daerah ini, tidak ada kabar menggembirakan dari usahamu itu!” Getas Angin menegaskan.
“Aku memang belum dapat mewujudkannya, Getas Angin. Mempertahankan padepokanku yang lama saja aku belum bisa. Kau lihat sendiri, padepokan Watu Belah sudah porak-poranda beberapa waktu lalu. Itu memang karena kekuranganku dalam mengemban tugas ini.”
Ken Aggita yang sedari tadi diam, angkat bicara. “Aku dan Getas Angin diutus untuk segera menyelesaikan urusan ini. Paling tidak dalam waktu dekat, Mangir sudah dikuasai dan menjadi landasanmu!”
“Tidak semudah itu, Ken Anggita! Ada Ki Ageng Wanabaya yang harus kita perhitungkan!”
“Lalu apa yang kau ketahui tentang Mangir, selain hanya menjarah disana-sini untuk keperluan padepokanmu ini?” sindir Ken Anggita.
Kiai Jambe Abang sebenarnya tersinggung, apalagi yang berbicara adalah wanita. Tetapi mengingat keduanya adalah utusan dari selir Adipati Bang Wetan, iameredamnya.
“Aku masih menyusun kekuatan, bahkan aku sudah mengundang Dua Carok dari Madura. Disamping jago-jago bayaran dari Prambanan.”
Getas Angin kemudian menanggapi. “Kau lengah Jambe Abang. Aku baru saja dari Mangir, dan aku menyaksikan sendiri bahwa mereka telah mempersiapkan seorang pemuda untuk memimpin penyerangan ke Bukit Sambung ini.”
“Jadi! Mereka sudah tahu aku membuat landasan disini?” kata Kiai Jambe Abang menegang.
“Ya. Dan sebentar lagi, tombak pusaka Kiai Baru Klinthing itu akan keluar dari sarangnya! Kau punya apa untuk menandingi pamornya, Jambe Abang?”
Kiai Jambe Abang, terdiam sesaat. Ia merasa tidak perlu mengatakan bahwa ia memiliki pusaka Kiai Nagasengkala, yang pamornya tidak kalah dengan tombak milik Ki Ageng itu. Jika ia ungkapkan tentu akan jadi bahan rebutan keduanya.
“Aku yang akan menghadapinya, Getas Angin. Kau ragu dengan kemampuanku? Atau kalian berdua ingin menjajaki kemampuanku?” tantang Kiai Jambe Abang.
“Jaga sikapmu, Jambe Abang! Kau meremehkan kami! Tujuan kami hanya membantumu dan memberikan saran terbaik, yang mungkin bisa menjadi pertimbanganmu, bukannya adu otot untuk membuktikan siapa yang kuat!” Getas Angin menjadi tersinggung.
“Kalau pun kau kerahkan seisi padepokanmu ini untuk menyerang kami berdua, kami tidak akan mundur setapak pun!” Getas Angin balik menantang.
Tiba-tiba melesat dua buah senjata kecil dan berputar di udara, senjata rahasia itu membidik ke arah Getas Angin dan Ken Anggita. Dua senjata berbentuk setengah lingkaran itu hampir saja mematuk kepala mereka. Untung saja Ken Anggita begitu cekatan, dengan kecepatan kilat Ken Anggita mengibaskan selendangnya untuk menangkis. Dua senjata itu pun hanya mematuk tiang penyangga rumah itu, setelah disapu kibasan selendang maut Ken Anggita.
“Kurang ajar! Kau menyimpan musuh dalam selimut di padepokanmu ini, Jambe Abang,” Getas Angin menjadi naik darah.
Belum sempat Jambe Abang menjawab, masuk dua orang dengan kumis melintang. Pakaiannya serba hitam dengan celana selutut. Dipinggangnya menggantung senjata melengkung seperti pengait. Merekalah Dua adalah Carok dari Madura.
“Suara kalian telah mengganggu tidurku!” kata seorang yang terlihat lebih tua. “Tadi kau bilang ingin menantang siapa pun yang ada di padepokan ini! Kamilah Dua Carok dari Madura, akulah Tekabeh dan adikku ini Dengsabeh! Aku terima tantangan kalian tadi!”
Baik Getas Angin maupun Ken Anggita menjadi bertambah marah. Keduanya lalu bangkit berdiri siap menerima tantangan Dua Carok itu. Suasana menjadi menegang, Kiai Jambe Abang jadi bingung menghadapi pendekar-pendekar yang mempertahankan harga diri mereka masing-masing itu.
Kiai Jambe Abang menarik napas dalam-dalam, mengendurkan gejolak dalam dadanya. “Baiklah, aku mohon maaf. Tidak perlu memperbesar masalah ini lagi. Duduklah! Sejatinya kita disini adalah untuk satu tujuan,” katanya mendinginkan suasana yang panas.
Kiai Jambe Abang kemudian mempersilahkan Getas Angin dan Ken Anggita untuk duduk kembali, kemudian meminta Dua Carok itu untuk ikut dalam perbincangan.
“Tidak perlu dibesar-besarkan. Marilah kita menyusun langkah ke depan untuk tujuan kita ini,” katanya sareh.
Setelah suasana cair, kemudian Kiai Jambe Abang kembali berkata. “Bagaimana menurutmu Tekabeh dan Dengsabeh? Kalian tentu ingin turut andil dalam siasat penyerangan ini, bagaimana sebaiknya?”
Tekabeh yang lebih tua menjawab “Kita langsung saja, gempur ke jantung pertahanan Mangir. Tidak perlu menunggu mereka mengepung Bukit Sambung ini. Kalau kita menunggu, mereka hanya akan mencari-cari kesempatan disaat kita lengah.”
“Lalu bagaimana pendapat kalian berdua?” tanyanya pada Getas Angin dan Ken Anggita.
Ken Anggita mengangguk, mengisyaratkan agar Getas Angin saja yang menjawab. “Penyerangan langsung memang baik. Tetapi Mangir begitu luas, kita akankesulitan untuk mengikat dalam satu peperangan. Pastinya mereka menyiapkan prajurit-prajurit cadangan di beberapa desa. Lebih baik sebelum penyerangan, buatlah kekacauan di tempat yang berbeda-beda untuk memecah perhatian!”
Kiai Jambe Abang mengangguk-angguk. Ia seperti mempertimbangkan baik-buruknya. “Kalau kita turun gunung, aku khawatir kekuatan mereka akan bertambah dengan campur tangan prajurit Pajang. Tentunya bertempur di dataran rendah lebih sulit memantaunya. Akan lebih menguntungkan jika kita bertahan di Bukit Sambung saja. Selain berada di ketinggian, kita dapat memantau pergerakan mereka yang ingin memasuki kawasan ini. Selain itu, dapat juga memperkirakan jumlah kekuatan mereka!”
Suasana hening sejenak, para pendekar itu bermain dengan angan-angannya masing-masing. Pendapat Kiai Jambe Abang memang ada baiknya, maka satu-persatu dari keempat pendekar itu mengangguk setuju.
“Baiklah, karena semua telah sepakat. Aku akan menempatkan kekuatan di dua penjuru, yaitu sisi selatan dan sisi timur. Karena dua sisi itulah yang memungkinkan mereka menuju bukit ini.”
“Masing-masing akan mengabari dengan panah sanderan atau kentungan bila ada bahaya. Pintu masuk ke Padepokan ini adalah, sebelah timur dan selatan. Untuk sisi timur, kita akan menempatkan orang dengan kemampuan diatas rata-rata. Sementara itu posisi yang lain biar di isi jago-jago bayaran dari Prambanan.”
Begitulah, perbincangan itu telah mencapai titik temu. Mereka tinggal mempersiapkan para cantrik padepokan dan orang-orang bayaran untuk bertugas di gardu-gardu jaga masing-masing. Persiapan pun esok harinya dimulai.
            Sementara itu di Mangiran telah dilakukan hal serupa. Ki Nataprawira memberikan latihan keprajuritan kepada semua laskarnya, ditambah lagi para pemuda yang merasa tergerak hatinya untuk ikut membela Mangir.
Linggar yang juga sedianya akan terlibat dalam peperangan itu, sudah mengirimkan kabar ke Pajang untuk disediakan beberapa prajurit terlatih. Yang nantinya akanmenyertainya menyerang ke Bukit Sambung.
Maka pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah pasukan dari Mangir menuju Bukit Sambung. Dengan umbul-umbul dan bendera yang berkibar mereka berjalan dengan gagah berani menuju medan perang.
Pasukan Mangir dipimpin Ki Nataprawira dan didampingi Raden Jaka, putera Ki Ageng Wanabaya. Raden Jaka berkuda dengan Tombak Kiai Baru Klinthing dipinggangnya. Perjalanan mereka ke medan perang terlihat sungguh-sungguh, tidak ada perbincangan diantara sesama prajurit Mangir.
Berbeda dengan Linggar, meski berada di iring-iringan terbelakang, dan hanya dengan 20 prajurit. Tetapi suasananya begitu berbeda, terlihat mereka seperti sedang melancong saja, bukan seperti sedang menuju medan perang yang siap untuk mati. Linggar pun seperti biasanya tampak berbincang-bincang dengan Wurpasa.
“Kau sudah seperti Lurah Prajurit saja, Linggar! Dipercaya memimpin 20 orang prajurit Pajang sekaligus.”
“Ya.., paling tidak hanya sementara. Mudah-mudahan aku masih bisa menghirup sejuknya udara pagi esok,” katanya sambil tersenyum.
“Kalau kau sudah tidak bisa menghirup udara pagi esok, biarlah aku menggantikannya,” sahut Wurpasa polos.
“Maksudmu?”
“Ya, mudah-mudahan aku selamat dari perang ini. Aku tak akan melewatkan menghirup sejuknya udara pagi, ditambah lagi menghirup harumnya kembang putri majikanku,” jawab Wurpasa terkekeh-kekeh.
“Dasar jongos!” Linggar mendongkol. “Kalau aku tak selamat dalam perang ini, aku yang akan bergentayangan untuk mencekikmu,” imbuhnya.
Wurpasa hanya tertawa terpingkal-pingkal membuat perhatian prajurit Pajang lainnya. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat candaan keduanya.
Penyerbuan itu dilakukan pada siang hari. Padepokan Watu Belah pun sudah mengetahui akan penyerbuan itu. Di bukit Sambung mereka telah siap siaga dengan menempatkan orang-orangnya pada gerbang masuk ke padepokan.
Kira-kira matahari tinggal sejengkal di atas kepala, kedua kubu telah saling berhadapan. Terdengar suara kentungan tanda bahaya dari atas bukit, suaranya saling susul-menyusul.
Pangeran Pujapati tampak keluar Padepokan bersama Kiai Jambe Abang diikuti Dua Carok dari Madura serta utusan dua selir Adipati Bang Wetan. Tampak pula Bajul Wedi cantrik utama padepokan ikut melihat keadaan.
Dari atas ketinggian mereka menyaksikan tebaran laskar Mangir dan pendukungnya, memenuhi hampir separuh lingkar Bukit Sambung.
“Bajul Wedi! Pertahanan kita pusatkan di sisi timur ini, sementara disisi selatan, biarlah orang-orang bayaran dari Prambanan yang mengurusnya. Mereka telah menyediakan bongkahan batu banyak untuk digelontorkan ke bawah lereng. Pertahanan di sisi selatan akan sulit ditembus karena keadaan tebing yang curam dan terjal,” ujar Kiai Jambe Abang.
“Baik, Kiai. Cantrik-cantrik terlatih serta pemanah sudah aku siapkan. Begitu pun dengan para pelempar lembing, mereka ada di lapis kedua setelah para pemanah itu.”
Kiai Jambe Abang mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada para pendekar itu. “Aku percaya pada kalian, tempatkan diri kalian dimana semestinya kalian berada!” katanya dengan tegas.
“Mari Anak Mas Pangeran kita kembali ke bangunan utama! Kita pantau keadaan dari sana saja, sambil menunggu laporan-laporan terkini. Keselamatanmu adalah menjadi tanggung jawabku,” katanya pada Pangeran Pujapati, lalu kemudian bergegas pergi.
Dua Carok dari Madura dan utusan dari Bang Wetan hanya mendongkol saja, melihat pola tingkah Jambe Abang yang sok jadi pemimpin mereka.
“Kalau bukan karena kau membayarku, sudah kutampar mulutnya sejak tadi!” keluh Tekabeh.
Ken Anggita sendiri hanya tersenyum pada Getas Angin yang merasa tersinggung pula.
Bende tanda perang sudah dipukul sekali-sekali, pertanda seluruh pasukan Pajang harus mempersiapkan diri. Begitu pukulan bende itu lebih sering terdengar dengan tiga kali pukulan dan tiga kali jeda. Maka pasukan Mangir mulai merayap naik bukit dengan senjatanya masing-masing.
Kira-kira jarak sepuluh tombak, laju mereka terhenti oleh panah-panah yang bertebaran di udara kemudian menancap berjajar ditanah. Tentu saja membuat para laskar Mangir terhenti mendadak dan sebagian berlindung di balik-balik pohon disekitar tempat itu.
“Siapkan tameng kalian! Jangan sampai panah-panah itu melukai kalian!” perintah Ki Nataprawira.
Serentak para laskar garda depan, memasang tamengnya melindungi kepala dan tubuh mereka dari hujan panah. Kemudian laskar Mangir terus bergeser maju dengan perlahan.
Tetapi ternyata para cantrik padepokan Watu Belah punya siasat jitu. Mereka tidak menghujani lagi laskar Mangir dengan anak-anak panah, melainkan kini mereka menggelontorkan batu-batu berukuran besar ke lereng bukit. Batu-batu itu bergemuruh menggelinding ke bawah, sesekali sempat berbelok arah karena tertahan batang-batang pohon, tetapi kemudian melaju ke arah para laskar Mangir.
Tentu saja hal itu begitu mengejutkan. Laskar Mangir tak bisa mengendalikan diri. Mereka terhempas batu-batu itu, sebagian ada pula yang anggota tubuhnya terlindas batu. Batu-batu itu melindas semak-belukar dan tanaman-tanaman kecil yang merintangi, kemudian menggilas beberapa orang laskar Mangir yang tidak siap menyelamatkan diri. Terdengar pula jerit laskar Mangir yang tertimpa bongkahan batu itu.
Ki Nataprawira menegang, ia langsung memerintahkan laskarnya untuk berlindung sebisa mungkin, atau menghindari gilasan bongkahan batu itu. Dengan cekatan para laskar Mangir pun bereaksi. Mereka berlindung dibaik batang-batang pohon dan sebagian menjatuhkan dirinya dengan berguling untuk menghindar.
Suara gemuruh batu itu baru berakhir ketika batu-batu mencapai dasar lereng. Suasana kembali mencekam kemudian, kedua kubu masih saling tunggu tindakan selanjutnya. Cantrik padepokan hanya menanggapi serangan, sedangkan laskar Mangir masih menunggu pula petunjuk Ki Nataprawira untuk menembus pertahanan lawannya.
Raden Jaka yang berada di tengah pasukan bersama Ki Nataprawira tampak sedang berbicara sungguh-sungguh tentang bagaimana cara menembus pertahanan mereka, agar bisa sampai puncak bukit dengan mudah.
“Bagaimana sebaiknya Ki Nataprawira?” tanya Raden Jaka. “Beberapa orang kita sudah terluka karena gelontoran bongkahan batu-batu tadi!”
“Memang sulit membongkar pertahanan mereka, Raden. Apalagi mereka diuntungkan dengan berada di ketinggian.”
“Mungkin kita harus menyusup celah lain dari bukit ini untuk menuju puncaknya.”
Linggar yang berada di belakang iring-iringan kemudian mendekat dan berbicara langsung kepada Ki Nataprawira dan Raden Jaka.
“Mohon maaf Raden Jaka dan Ki Nataprawira! Rasanya tidak memungkinkan kita menembus pertahanan mereka dari sisi timur ini.”
“Ya. Kami sedang membicarakannya angger Linggar. Apakah ada usul untuk memecah kebuntuan ini?” tanya Ki Nataprawira.
“Prajurit hamba sudah ada yang mengamati sisi selatan bukit ini. Walaupun medannya cukup terjal dan curam, tetapi terdapat pohon-pohon besar yang rapat berjajar dilerengnya. Maksudku kita bisa memanfaatkannya dengan berlindung di balik pohon-pohon itu.”
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?” Raden Jaka memotong.
“Kalau diijinkan, biarlah aku dengan prajurit Pajang lainnya menyusup dari sisi selatan. Jika berhasil, tentu itu akan memecah perhatian mereka. Dan tentunya pertahanan di sisi timur ini pun akan lebih kendur, selanjutnya laskar Mangir bisa berusaha masuk lewat sisi timur ini.”
Ki Nataprawira mengangguk-angguk, sebagai seorang panglima yang pernah mengabdi di Demak ia sepaham dengan usul Linggar. Ia pun tak menyangsikan lagi kemampuan Linggar sebagai seorang Prajurit Pajang dalam mengamati keadaan.
“Baiklah, masuklah dari sisi selatan. Kami akan menunggu hasilnya, baru kami merangsek maju!”
Raden Jaka tidak menanggapi, ia hanya mendengarkan saja. Karena sesungguhnya baru kali inilah ia ikut dalam suatu peperangan. Cara pandang dan siasat perang ia belum cukup mumpuni, meskipun pernah diberi bekal pengetahuan oleh ayahnya.
Namun dalam hal ini, Raden Jaka agak menurunkan gengsinya sebagai putera Ki Ageng Wanabaya. Meskipun ia masih merasa lebih tinggi kemampuannya dibandingkan Linggar, tetapi ia tidak melarang ketika Linggar memberi usulan untuk menyusup dari sisi selatan.
Linggar kemudian bergerak dari sisi selatan dengan melingkar bersama 20 orang prajuritnya. Mereka merayapi tebing terjal yang menuju ke puncaknya bukit.
“Wurpasa! Mereka ternyata telah menempatkan juga pasukannya di sisi selatan ini!”
“Ya, Linggar. Bagaimana sebaiknya?” sahut Wurpasa.
“Berikan aku seperangkat panah! Aku akan melumpuhkan beberapa orang dipihak lawan. Saat aku mampu mencapai puncak bukit, kalian bergeraklah bersama-sama. Tetapi ingat! Tetap berlindung di balik batang-batang pohon. Bukan tidak mungkin mereka akan menggelontorkan batu-batu seperti di sisi timur tadi.”
“Tetapi, bukankah dapat membahayakan jiwamu, kalau kau bertindak sendiri?” tanya Wurpasa.
“Aku rasa mereka tidak menempatkan pasukan terlalu banyak di sisi selatan ini, Wurpasa. Aku yakin setelah aku lumpuhkan beberapa orang saja, mental mereka akan terpengaruh. Pada saat itulah kau bergerak naik dengan yang lainnya. Dengan 20 orang, rasa-rasanya kita bisa membongkar pertahanan sisi selatan ini.”
Wurpasa mengangguk-angguk mendengar penjelasan Linggar, kemudian segera menyerahkan gendewa dengan beberapa anak panahnya pada Linggar. Wurpasa pun tidak meragukan akan kemampuan Linggar, beberapa kali ia sempat menyaksikan kemampuan Linggar dalam hal memanah. Bidikannya selalu tepat dan dapat melumpuhkan beberapa orang sekaligus.
Linggar menggendong beberapa anak panah dipunggungnya, kemudian ia berlari berkelok-kelok. Terllihat seperti hinggap dari balik pohon yang satu ke pohon lainnya. Tidak lain tujuannya adalah untuk mengecoh perhatian lawan.
Ketika dilihatnya beberapa orang berdiri berjejer di tebingan. Linggar menarik busur panahnya, kemudian anak panah itu melesat mengenai sasaran, diiringi suara pekik tertahan. Orang yang berada disebelahnya cukup terkejut, belum sempat ia berkata atau pun bertindak, sebuah anak panah mengenai pangkal kakinya. Tak pelak ia pun jatuh terduduk sambil mengerang.
Dua orang yang berada didekat dari kedua orang yang terluka tadi, terkejut bukan kepalang. Keduanya langsung bersiaga mengamati keadaan sekitar.
“Kurang ajar, ada penyusup rupanya!” kata salah seorang dari keduanya.
“Waspada ada penyusup di sisi selatan!” teriak yang satu lagi.
Peringatan itu langsung ditanggapi semua jago-jago bayaran yang ada disisi selatan. Mereka tampak tegang melihat dua orang temannya tertusuk anak panah secara tak terduga-duga.
Sementara dua orang yang memberi peringatan tadi, mencoba mengamati keadaan dengan menebarkan pandangan di sekitar lereng bukit itu. Dilihatnya satu sosok berkelebat-kelebat dari batang pohon yang satu ke batang pohon yang lain, sambil beberapa kali melontarkan anak panah.
“Demit! Orang itu seperti kesetanan, ia melontarkan anak panahnya secara membabi buta!”
“Tidak begitu jelas, yang terlihat hanya bayangannya saja!” kata orang yang kedua.
Selagi keduanya tercengang melihat kepandaian Linggar. 4 orang temannya mampu di robohkan dengan anak panah yang terus meluncur dari arah yang berbeda-beda. Kedua orang itu tersadar kemudian, lalu segera mengambil tindakan.
“Cepat gelontorkan batu-batu itu! Jangan sampai orang itu sampai ke atas bukit!”
Perintah itu langsung dilaksanakan dengan segera. Beberapa saat kemudian batu-batu pun digelontorkan dari atas bukit. Linggar yang melihat batu-betu besar itu hampir melindasnya, segera berlindung di balik batang pohon yang besar. Begitupun dengan prajurit Pajang lainnya yang masih berada di belakangnya.
Batu-batu itu tidak meluncur dengan deras, karena keadaan alamnya yang berbeda dengan sisi timur. Batu-batu itu hanya menggelinding perlahan, karena beberapa kali terantuk batang pohon yang bertebaran rapat di sekitar lereng. Maka para prajurit Pajang pun dapat menghindarinya dengan cepat.
Setelah gemuruh suara batu itu terhenti. Maka terdengarlah teriakan lantang Wurpasa dari bawah lereng.
“Maju! Kita tembus pertahanan mereka!”
Para prajurit pun merangkak naik dengan setengah berlari. Panah-panah yang diluncurkan dari para jago-jago Prambanan pun tak berarti. Karena para Prajurit Pajang terlindung batang-batang pohon dan batu-batu yang urung menggelinding kebawah.
Linggar yang ada di garis depan, langsung bergerak cepat mencapai puncak. Ia melesatkan kembali dua anak panah untuk sekedar membuka jalan. Begitu dua orang mampu dilukainya, ia langsung masuk melalui celah itu dan beberapa saat kemudian sudah berada di atas bukit.
Linggar kemudian menghunus pedangnya membentengi tebingan bukit, memberi kesempatan kepada Wurpasa dan yang lainnya untuk mencapai puncak. Dua pedangnya membabat kekanan dan kekiri, sekedar mendesak lawannya agar menjauh dari tebingan.
“Gempur orang itu! Jangan biarkan ia menguasai tebingan!” teriak seorang yang sedari tadi memimpin jago-jago bayaran itu.
Tetapi bagaimana pun juga mereka tak mampu membendung serangan pedang Linggar yang membadai. Pedangnya sesekali beradu dengan pedang jago-jago bayaran itu. Terdengar suara berdentang, disertai raut muka meringis para jago bayaran. Tangannya bergetar seperti tersengat akibat benturan senjatanya.
Maka menyembulah satu-persatu prajurit Pajang dari tebingan. Diawali Wurpasa, kemudian diikuti yang lainnya. Pemimpin jago bayaran itu mengumpat sejadi-jadinya karena tak mampu mengatasi Linggar sebelumnya, padahal Linggar awalnya hanya seorang diri.
Selanjutnya, mereka telah berhadap-hadapan dengan senjata masing-masing. Saling serang dengan sengitnya. Suara dentang senjata dan teriakan-teriakan begitu riuh disisi selatan.
<<<PREV      NEXT>>>

6 komentar:

  1. Mantafffff....ditunggu selanjutnya.

    BalasHapus
  2. waduh jadi makin penasaran nih sama ceritanya.....

    BalasHapus
  3. saya orang madura dengsabeh itu kata orang madura sejenis pisang.kalau di jakarta pisang tanduk.

    BalasHapus
  4. Cerita menarik buat penasaran untuk baca terus

    BalasHapus

Pengikut