Setelah beberapa menyampaikan pesan-pesan dan perintah, para tumenggung pun membubarkan diri. Ki Wilamarta kembali menemui kanjeng Adipati Hadiwijaya. Kemudian menjelaskan langkah-langkah yang dapat diambil Pajang untuk selanjutnya. Sang Adipati kemudian meminta agar Pamekas dihadirkan dalam pembicaraan itu. Tetapi Raden Pamekas ternyata tidak menghadap sendiri, ia membawa serta Linggar.
“Mohon ampun Kangmas Adipati, hamba datang membawa Linggar teman hamba ini.”
“Apa maksudmu membawanya ikut serta dalam pembicaraan ini Adimas Pamekas?”
“Mohon maaf Kangmas, aku telah menyeret pemuda yang bernama Linggar ini dalam tugasku menumpas laskar Jipang dilereng Tidar. Sebelumnya, Linggar adalah anak Demang di Matesih yang bernama Ki Wulungan. Karena sebelumnya ia bersama ayahnya difitnah mendukung laskar Jipang, maka kedua ayah dan anak itu aku tangkap. Dan selanjutnya mereka berdua rencana akan aku bawa ke Pajang ini untuk memberi keterangan mengenai landasan yang ada di lereng Tidar itu.”
“Tetapi ternyata aku keliru. Dalam perjalanan menuju Pajang, Ia berjuang mati-matian melindungi prajuritku yang kalah jumlah. Bahkan akhirnya ia sampai terseret banjir bandang dan sampai kini belum diketahui nasibnya,” kata Pamekas dengan wajah tertunduk.
Adipati Hadiwijaya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sesekali ia mengerutkan dahi mencoba mengerti cerita yang dituturkan Raden Pamekas.
“Kau berhutang budi pada pemuda ini Pamekas?” kata Adipati, lalu memandang Linggar yang sedari tadi hanya menunduk.
“Katakan apa yang kau mau anak muda! Aku akan meluluskan permintaanmu.”
Linggar menoleh ke arah Raden Pamekas yang ada di sebelahnya, dengan tatapan ragu dan tubuh gemetar.
“Katakanlah!” Raden Pamekas mengangguk kecil.
“Hamba hanya ingin nama baik ayah hamba, Ki Wulungan menjadi baik kembali. Dan tidak dinyatakan bersalah, baik oleh Demak maupun Pajang. Karena sesungguhnya yang kami lakukan pada waktu itu hanya unsur kemanusiaan saja. Bahwa orang yang sudah terluka dan kepayahan itu memang harus segera ditolong. Terlepas dia orang baik ataupun jahat,” dengan suara gemetar Linggar berkata.
Adipati Hadiwijaya mengangguk-angguk. “Baiklah, aku menghargai keyakinan yang ditanamkan ayahmu, bahwa manusia hidup adalah untuk saling tolong-menolong. Tanpa membedakan orang latar belakang orang itu. Aku pun menghargai jasanya dalammenyelamatkan Pamekas, hingga bisa sampai ke Pajang dengan selamat. Dan oleh sebab itu, maka aku sebagai orang yang diberi mandat kanjeng Sultan di Demak untuk menumpas laskar Jipang. Dengan ini akan memberi keputusan, bahwa Ki Wulungan dan kau kunyatakan bebas dari segala tuduhan. Dan untuk selanjutnya, Ki Wulungan dapat menempati jabatannya kembali sebagai Demang Di Matesih, jika ia kelak kembali dengan selamat.”
Kemudian Adipati Hadiwijaya meminta Ki Wilamarta menulis sebuah surat penetapan, yang nantinya menjadi serat kekancingan. Isi dari surat itu, sama persis seperti apa yang diucapkan Adipati tadi. Setelah itu serat kekancingan itu diberikan kepada AdipatiHadiwijaya, setelah beliau mengamati isinya Adipati sendiri kemudian yang mengulurkan tangannya kepada Linggar.
Linggar menyongsongnya dengan penuh haru serat kekancingan itu. Kini walaupun entah ayahnya masih hidup atau tidak, iasudah membersihkan nama ayahnya dari tuduhan memberontak kepada kekuasaan Demak. Mata Linggar basah dan tak mampu berkata-kata.
“Terimakasih Kanjeng Adipati. Hamba cukup lega sekarang, karena bisa membersihkan nama ayah hamba dari tuduhan para bebahu di kademangan Matesih. Seandainya ayah hamba ada disini, tentu dia akan sangat senang. Sayangnya sampai saat ini,hamba belum tahu nasibnya,” kata Linggar dengan kepala tertunduk.
Adipati itu menatap Pamekas sejenak, Pamekas sendiri hanya sekilas memandang Adipati, setelah itu tertunduk kembali.
“Linggar!” ujar Adipati. “Tinggalah beberapa lama di Dalem Kadipaten Pajang. Tenangkan dirimu sebelum kau memutuskankembali ke Matesih.”
Linggar sempat menoleh ke Raden Pamekas, Raden Pamekas sendiri mengangguk kecil, seolah menyetujuinya.
“Hamba menerima dengan tulus atas kemurahan hati Kanjeng Adipati,” jawab Linggar.
“Baiklah kalau begitu. Nah! Tumenggung Wilamarta, tempatkanlah Linggar sebagai tamuku dilingkungan Kadipaten Pajang ini.”
“Hamba Sinuwun,” sahut Tumenggung Wilamarta.
Begitulah, Linggar akhirnya menempati salah satu rumah milik Ki Tumenggung Wilamarta. Yaitu lingkungan rumah dalemTumenggungan. Disitu para pejabat kadipaten Pajang bertempat tinggal.
Dalam setiap kesempatan Raden Pamekas menempa ilmu kanuragan Linggar hingga mapan. Ilmu yang diperolehnya dari Sang Adipati Karebet atau Joko Tingkir itu, diturunkan seluruhnya. Sesekali Kanjeng Adipati pun menyempatkan diri memantau perkembangan Linggar.
Dalam pada itu, dalam menghadapi keadaan yang keruh di telatah Mangir. Kadipaten Pajang merasa perlu mengadakanpenerimaan calon prajurit. Yang sedianya calon prajurit itu terbagi ke dalam dua golongan. Satu golongan prajurit Kadipatenandan satu golongan lagi prajurit Telik Sandi.
Raden Pamekas yang belum melihat arah ke depan yang pasti bagi Linggar setelah ayahnya belum diketemukan, berkata, “Linggar.., apakah kau tidak ingin mengisi kekosonganmu selama di Pajang ini untuk mencoba melamar menjadi prajurit?”
“Entahlah Raden. Aku masih bingung, jika aku harus pulang ke Matesih, apa jawabku jika ibu dan adikku bertanya tentang ayahku. Aku tidak mempunyai jawab yang pasti atas pertanyaan itu. Dan Lagi, aku masih berharap, jika ayahku masih hidup, paling tidak ia tahu bahwa aku dibawa ke Pajang. Mudah-mudahan dia mencariku ke kadipaten ini.”
“Itu artinya, kau memang ingin tinggal beberapa lama disini, sampai ada kabar yang pasti bukan? Nah, aku berharap kau tidak menolak tawaranku ini. Kau bisa terpilih menjadi prajurit sandi, tanpa harus terikat di dalam barak. Karena aku yakin kau akan dapat lolos dengan mudah dari pendadaran itu.”
Linggar pun merenung beberapa saat. Setelah ia menimbang-nimbang, pada akhirnya ia pun setuju dengan tawaran itu.
Linggar pun akhirnya berkesempatan mengikuti pendadaran calon prajurit Telik Sandi. Meskipun dia adalah tamu kehormatanSang Adipati, tetapi perlakuan dalam pendadaran tetap sama seperti yang lainnya.
Tetapi berkat dasar-dasar ilmu yang didapat dari ayahnya, serta petunjuk dari Raden Pamekas. Linggar tak menemui kesulitan, ia mampu lulus dari setiap ujian pendadaran itu. Maka, kini seutuhnya ia menjadi prajurit Telik Sandi dibawah pimpinan seorang lurah prajurit yang bernama Ki Rangga Jati.
Dari 20 orang yang menyatakan kesiapan diri menjadi prajurit, hanya 15 orang diterima menjadi prajurit Kadipatenan. Sedangkanuntuk prajurit Telik Sandi yang pendadarannya cukup berat, hanya 2 orang yang lulus pendadaran. Dan Linggar termasuk dari 2 orang yang dianggap mampu menjadi Telik Sandi.
Pendadaran Telik Sandi cukup berat, karena mereka harus bisa menentukan arah yang tepat untuk kembali dari hutan. Yaitu dengan melihat keadaan alam, serta ketajaman dalam melihat keadaan sekitar.
“Nah kini kalian semua telah resmi menjadi prajurit kadipaten Pajang!”
Luar biasa
BalasHapus