Novel Cerita Silat Jawa

TDM 11

Sementara itu Raden Pamekas dan pengiringnya telah sampai di tepian Kali Opak, setelah sebelumnya menembus lebatnya belantara Alas Mentaok. Setelah beristirahat sejenak di tepi aliran Kali Opak mereka melanjutkan perjalanan ke Kadipaten Pajang.
Ketika memasuki Prambanan, mereka melihat daerah yang sudah cukup ramai. Di daerah ini nampak roda kehidupan berjalan begitu cepat. Pasar-pasar ramai pedagang dan pembeli. Bukan hanya penduduk Prambanan saja, akan tetapi banyak para pedagang dari daerah lain juga melakukan jual-beli di Prambanan. Itu semua karena setelah Adipati Hadiwijaya memerintah, Wilayah Pajang menjadi tempat yang aman bagi siapa saja melintas.
Memasuki kawasan kadipaten, mereka melihat daerah yang cukup tertata rapi. Linggar yang belum pernah menginjakkan kaki di kadipaten Pajang berdecak kagum. Rumah-rumah berjajar dan tertata dengan rapi, beberapa prajurit Kadipaten berlalu-lalang menjaga keamanan di wilayah itu. Terlihat pula umbul-umbul berwarna-warni, ketika mereka memasuki Kadipaten tempat Kanjeng Adipati Hadiwijaya atau Karebet berkuasa.
“Kau belum pernah ke Pajang Linggar?”
“Belum Raden! Tempat ini ramai sekali!” jawab Linggar sambil melihat keadaan sekitar.
“Ya, Adipati Hadiwijaya adalah orang yang tegas dalam memerintah. Makanya Pajang menjadi tempat yang aman buat penghuninya.”
“Apakah dia itu sakti Raden?”
Raden Pamekas tersenyum tipis, lalu katanya. “Ya Kanjeng Adipati, memang seorang ksatria yang pilih tanding. Ia pernah mengabdi di Keraton Demak, sebelum Kanjeng Sultan mengangkatnya menjadi Adipati.”
Pembicaraan keduanya terhenti ketika memasuki Dalem Kadipaten Pajang. Dua orang prajurit bersenjata tombak menyilangkan tombaknya satu sama lain.
“Mau apa kalian?” tanya yang seorang prajurit.
Raden Pamekas yang menjawab. “Aku utusan dari Demak! Aku ingin bertemu Kanjeng Adipati.”
“Mana mungkin utusan dari Demak, lusuh seperti kalian!” kata yang seorang lagi sambil memandangi rombongan Raden Pamekas.
Raden Pamekas berusaha menahan diri, kemudian ia mengeluarkan sebuah kelebet berwarna merah dengan gambar matahari ditengahnya.
“Ini pertanda bahwa aku memang utusan Demak!” kata Raden Pamekas dengan nada dalam. “Berikan kelebet ini kepada pemimpinmu, katakan bahwa aku memang bersungguh-sungguh,” katanya lagi.
Kedua prajurit jaga itu pun mengamati kelebet yang ditunjukkan Raden Pamekas. Kemudian keduanya berpandangan seperti ragu. Kelebet itu lalu dikembalikan lagi kepada Raden Pamekas.
“Mohon maaf kisanak! Aku tidak mengenal kelebet yang kau bawa ini. Pergilah, jangan coba-coba membohongi kami!”
Ki Lurah Sembada yang merasa dilecehkan akan maju selangkah, tetapi ditahan oleh Ki Jipayana. “Bersabarlah Sembada, kita menghormati aturan yang berlaku disini.”
Ki Lurah Sembada mencoba menahan diri, karena diperingati Ki Jipayana sebagai Tumenggungnya. Raden Pamekas pun berusaha meyakinkan prajurit jaga itu lagi.
“Kisanak berdua! Aku mengerti kehati-hatian kalian kepada semua tamu yang hendak memasuki dalem Kadipaten. Tetapi aku hanya memiliki kelebet itu saja sebagai pertanda. Berikanlah pada Lurah prajurit atau Tumenggung pimpinan kalian, pasti mereka mengerti arti kelebet itu.”
Seorang prajurit yang berkumis tebal pun menjadi marah. “Kau berani memerintahku!” katanya sambil memandang tajam Raden Pamekas. “Sekali lagi aku peringatkan, tinggalkan tempat ini, sebelum kami menangkap kalian karena dianggap membangkang!”
Raden Pamekas pun menjadi geram, ia memandang tajam kedua prajurit jaga itu. Ia sudah berusaha sabar dan memahami aturan dalem kadipaten, tetapi dua prajurit jaga itu tak mau tahu.
“Aku tidak akan pergi!” ujar Raden Pamekas. “Aku akan tetap memaksa masuk jika kalian tidak mau memberikan kelebet itu pada pimpinan kalian!”
Satu prajurit yang merasa tugasnya terganggu itu menjadi naik darah. Ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi, hendak memukul pundak Raden Pamekas. Tetapi begitu tombak itu mengarah ke pundak, Raden Pamekas menangkap landean tombak itu. Tombak itu tertahan oleh genggaman tangan putra dari Demak itu.
Prajurit jaga yang tombaknya tak mengenai sasaran itu, terkejut. Kemudian ia berusaha menarik tombaknya yang digenggam Raden Pamekas. Tetapi ternyata itu bukan hal yang mudah. Meski telah berusaha sekuat tenaga, tombak itu tak juga lepas. Wajah prajurit itu menjadi tegang, ia tampak gugup dan sesekali memandang prajurit jaga yang satu lagi, seolah minta bantuan meskipun tak berucap. Raden Pamekas sendiri tidak bergeming dan menatap tajam lawannya.
Prajurit jaga yang seorang lagi merasa tersinggung, karena tugasnya mengamankan keluar masuk kadipaten diganggu. Ia pun mengacungkan tombak, dan ingin menusuk Raden Pamekas.
Tetapi dari dalam dalem kadipaten terdengar suara yang menahan perseteruan itu.
“Cukup pengawal!” berkata orang dari dalam kadipaten. Seketika dua prajurit jaga itu menunduk hormat.
“Tumenggung Wilamarta!” sahut kedua penjaga itu.
“Ada apa ini pengawal!” tanya orang yang dipanggil Tumenggung Wilamarta itu.
Prajurit jaga yang berkumis tebal menjawab. “Ampun Ki Tumenggung! Mereka mengaku utusan dari Demak.”
Tumenggung Wilamarta memandang Raden Pamekas yang masih memegang kelebet ditangan kiri.
“Anak Mas Raden Pamekas!” katanya.
“Benar, Ki Wilamarta!” sahut Raden Pamekas.
Ki Wilamarta langsung menjabat tangan Raden Pamekas, dan memeluknya. Kemudian menjabat tangan ketiga pengiringnya.
“Mohon maaf Raden, atas penyambutan yang tidak ramah ini.”
Raden Pamekas yang sudah mengenal Ki Wilamarta pun tersenyum. “Tidak apa Ki Wilamarta. Aku memang datang tidak dengan kelengkapan khusus.”
Ki Wilamarta mengangguk-angguk, kemudian berkata pada prajurit jaga itu. “Mereka ini adalah benar utusan dari Demak. Dan juga kelebet ini adalah pertanda yang menguatkan itu. Jadi lain kali jangan mengambil keputusan sendiri kalau tidak tahu!”
Kedua prajurit jaga itu pun hanya tertunduk dalam. Sementara Lurah prajurit yang setelahnya datang pun hanya terdiam, tak bisa membela tindakan bawahannya.
Setelah memberi petuah, Ki Wilamarta pun membawa Raden Pamekas dan pengiringnya menghadap Kanjeng Adipati Hadiwijaya di bangsal agung. Raden Pamekas dan pengiringnya menunggu kehadiran Kanjeng Adipati, bersama para pejabat dalem kadipaten, suasana hening saat menunggu pimpinan kharismatik itu hadir.
Beberapa saat menunggu, kemudian masuklah Kanjeng Adipati ke bangsal agung. Kanjeng Adipati kemudian mengambil tempat duduk kehormatan. Seluruh orang yang hadir menundukkan kepala sebagai adab menghadap Sang Adipati.
“Selamat datang para utusan dari Demak!” Adipati Hadiwijaya membuka pertemuan. “Dengan ini pertemuan aku mulai!”
“Adimas Pamekas! Kabar apa yang kau bawa terkait tugasmu memadamkan pemberontakkan laskar Jipang di lereng Tidar?”
“Hamba Kanjeng Adipati,” sahut Raden Pamekas. “Sarang laskar Jipang di lereng Tidar sudah kami tumpas, akan tetapi dua pimpinannya dapat melarikan diri. Yang seorang tewas secara tidak terduga di Kademangan Matesih, sementara yang seorang lagi belum diketahui keberadaannya.”
“Itu artinya yang seorang itu bisa saja menghimpun kekuatan lagi dan kembali merongrong Demak?”
“Mungkin masih membutuhkan waktu Kanjeng Adipati, tetapi hendaknya sisa waktu ini bisa kita pergunakan untuk menentukan langkah selanjutnya. Apalagi hamba lihat, di Alas Mentaok sudah ada pergolakan sebuah padepokan yang perlu diwaspadai. Dan juga timbul keresahan di telatah Mangir, bahwa ada sekelompok orang yang mengaku prajurit Pajang, telah menjarah disisi luar telatah Mangir,” Raden Pamekas menceritakan.
“Lalu kenapa kau ke Pajang hanya berempat saja? Dimana prajuritmu yang lain?” tanya Adipati Hadiwijaya, sambil mengerutkan dahi.
Raden Pamekas menarik napas panjang. Lalu ia menceritakan perihal pertempuran di tepian sungai Praga, dimana seluruh prajuritnya tenggelam dan terseret banjir bandang, saat bertempur dengan laskar Jipang. Dan sebagian besar prajuritnya tewas dan terdampar di telatah Mangir. Dan atas kebaikan Ki Ageng Mangirlah, seluruh jasad prajuritnya dapat disemayamkan.
Seluruh isi bangsal itu menjadi hening mendengar cerita yang menegangkan dari Raden Pamekas. Ternyata meskipun sarang laskar Jipang di lereng Tidar sudah dibasmi, mereka masih banyak berkeliaran di tepian sungai Praga. Bahkan tidak menutup kemungkinan, ada diantara lebatnya belantara Alas Mentaok.
Kanjeng Adipati sejenak terdiam, ternyata perebutan tahta Demak menimbulkan dendam berkepanjangan. Sepeninggal Sultan Trenggana, yang kemudian dilanjutkan Sunan Prawata anaknya yang bertahta. Dendam terus membara diantara keluarga kerajaan, yang merasa menjadi pewaris yang syah. Arya Jipang yang juga mempunyai garis keturunan dari Sultan Demak, juga merasa berhak atas tahta itu. Arya Jipang dan prajurit Kadipaten Jipang yang setia, membela mati-matian pemimpinnya.
“Baiklah.., aku kira masalah ini perhatian khusus,” Sang Adipati berkata pada para Tumenggungnya.
“Keberadaan padepokan Watu Belah dan beberapa kawanan yang mengaku prajurit Pajang itu perlu diselidiki. Terlebih lagi mereka telah mengganggu Mangir, tentu akan menimbulkan ketegangan antara Mangir dan Pajang.”
“Dan surat permintaanku kepada Ki Ageng Mangir belum juga dibalas. Bahwa Pajang mengusulkan agar telatah Mangir bersedia menjadi bagian dari Pajang. Dan juga Pajang menghormati kedaulatan Mangir, tidak ada niat sedikit pun untuk mengusik ketenteraman Mangir.”
Raden Pamekas yang mendapat titipan surat balasan dari Ki Ageng Wanabaya segera memberikan surat balasan itu, pada Adipati Hadiwijaya.
“Ini surat balasan yang dititipkan Ki Ageng Wanabaya kepadaku Kanjeng Adipati!” kata Pamekas, lalu memberikan rontal kepada Ki Wilamarta. Ki Wilamarta kemudian diminta membacakannya untuk Kanjeng Adipati.
Isi rontal balasan itu tidak lain adalah. Ki Ageng menghargai niat baik Adipati untuk menjadikan Mangir menjadi bagian dari Pajang. Tetapi Mangir saat ini merasa butuh pertimbangan yang mendalam akanhal itu. Karena mangir telah berdiri sebelum Pajang menjadi Kadipaten.
Hal yang kedua adalah. Mangir menghormati kedaulatan Pajang, seperti Pajang menghormati Mangir. Untuk itu Mangir bersedia bekerjasama jika dibutuhkan, terutama untuk membasmi beberapa perusuh yang mengatasnamakan prajurit Pajang.
Adipati Hadiwijaya mengangguk-angguk. “Jadi Wanabaya menolak menjadi bagian dari Mangir, begitu?”
“Kurang lebih begitu kanjeng Adipati,” sahut Ki Wilamarta.
“Baiklah untuk saat ini biarlah Mangir berdiri sendiri, selama tidak ada gangguan terhadap Pajang. Tetapi masalah-masalah yang masih mengganjal, selesaikanlah Wilamarta! Jangan sampai kita saling curiga dengan Mangir!”
Setelah dirasa cukup Sang Adipati meninggalkan paseban agung. Sementara itu Ki Wilamarta masih menyempatkan diri berbicara kepada para Tumenggung lainnya. Raden Pamekas dan Linggar sendiri sudah meninggalkan paseban menuju tempat istirahat yang disediakan, yaitu di Ksatrian.
“Dalam hal ini. Kita semua wajib membantu kanjeng adipati untuk menciptakan suasana damai, disekitar Kadipaten Pajang. Terlebih lagi menghadapi kawanan yang mengatasnamakan prajurit Pajang itu, aku sangat mengecam tindakan yang tidak bertanggungjawab itu.”
“Mudah-mudahan itu bukan ulah dari dalam Pajang sendiri. Dalam hal ini pun, aku terpaksa mengambil alih tugas. Karena dikhawatirkan kisruh di  Mangir ini menyangkut  petinggi Pajang ,” ujar Ki Tumenggung Wilamarta dengan nada dalam.
“Karena menurut berita yang aku dengar. Orang-orang yang membuat kisruh itu memakai kelengkapan prajurit Pajang. Jadi hal yang tidak mungkin ini ulah orang diluar Kadipaten ini. Meskipun tidak dipungkiri hal itu bisa saja terjadi.”
Yang lain pun mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Dalam benak mereka pun sempat menduga-duga, siapa diantara mereka yang berbuat pengecut seperti itu? Tetapi walaupun begitu sulit menebak hati seseorang.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut