Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih [Seri 18]

Sepeninggal Linggar. Nyi Purbasana termenung sendiri menatap luar jendela dari dalam kamarnya. Pikirannya menerawang jauh diantara awan yang berarak senja itu. Terlintas kembali diingatannya saat meninggalkan Demak, dalam keadaan kacau. Demak kala itu dilanda kisruh, akibat serangan adipati dari daerah timur yang berkomplot dengan orang-orang kulit putih yang menjajah Malaka. Desa tempatnya tinggal hangus terbakar akibat ulah segerombolan pasukan dari timur itu. Walaupun akhirnya Demak dapat merendam kerusuhan itu, tetapi peristiwa itu pula yang mengubah jalur hidupnya untuk berpindah ke Pajang.
“Linggar..!” desah Nyi Purbasana.
“Nama itu.., nama itu mengingatkanku akan seseorang.”
“Sorot matanya..., sorot matanya juga tajam seperti elang!”
“Lalu, kalimat yang keluar dari bibirnya..., kalimatnya juga dalam seperti mampu menembus dinding hati lawan bicara.”
“Ah.., tidak.., tidak.., itu hanya kebetulan saja. Tidak ada yang tersisa di Padukuhan Kalihurip.”
Nyi Purbasana berbicara sendiri, seolah mengingat-ingat sesuatu yang telah lampau. Bahkan ia sampai tak menyadari kehadiran Rara Widari yang memperhatikannya sejak tadi.
“Ibunda.., ada apa ibunda?” tanya Widari keheranan.
“Oh kau Widari...,” katanya tersentak dari lamunan. “Tidak ada apa-apa nduk.., aku hanya sedang mengingat-ingat sesuatu yang telah lewat. Tidak apa, tidak ada yang perlu kau risaukan.”
Walaupun tidak mapan dengan perkataan ibundanya, tetapi Widari tidak mendesaknya lagi. Ia hanya mencoba menghubungkan perubahan sikap ibundanya akan kehadiran Linggar dalam hidupnya. “Apakah kehadiran Linggar telah mengganggu perasaan hati ibu?” tanya Widari.
“Ah tidak.., ia pemuda baik, Widari,” jawab ibundanya walaupun perasaannya tidak mapan.
“Apakah ayahandamu sudah pulang?” tanya ibunya mengalihkan pembicaraan.
“Belum, ibu,” jawab Widari sambil duduk disisi ibundanya.
Nyi Purbasana menarik napas dalam. “Akhir-akhir ini ayahmu sering sekali pulang sampai larut malam. Sepertinya Pajang sedang dalam masalah, Widari.”
Widari pun sependapat dengan perkataan ibunya, bahkan ia menambahkan. “Sikap ayahanda pun banyak sekali berubah ibu. Ia gampang sekali marah sekarang.”
“Jangan berkata seperti itu. Rasa sayang ayahmu padamu melebihi apapun di dunia ini, Widari. Kita doakan saja semoga dalam menjalankan tugasnya, ayahmu diberi keselamatan,” Nyi Tumenggung berkata sareh.
Sementara itu Ki Tumenggung Purbasana makin tenggelam dengan asmaranya kepada Utari, adik dari Tumenggung Derpayuda sahabatnya.
“Sebentar lagi aku akan menikahimu, Utari!”
“Benarkah itu kakang Tumenggung?” sahut Utari dengan mata berbinar.
“Ya. Tinggal beberapa hari lagi, setelah itu kau akan memiliki semua yang aku miliki sekarang,” ujar Ki Tumenggung Purbasana.
“Oh.., aku akan jadi Nyi Tumenggung Purbasana selanjutnya..!” kata Utari manja, sambil duduk di pangkuan lelaki pujaannya itu. Sunggingan senyuman Utari ternyata mampu menyihir Tumenggung Purbasana hingga tak berdaya.
Dalam pada itu, kedekatan Rara Widari dengan Linggar makin membuat hati Dalika terbakar. Ketika Linggar pulang dari barak prajurit, iadihadang Dalika dan teman-temannya. Disebuah lorong tempat dimana Dalika dan teman-temannya biasa berkumpul. Linggar tak bisa melintas, karena Dalika dan teman-temannya berdiri berjejer rapat menghadang.
“He prajurit tengik!” Dalika memaki. “Baru saja kau diterima menjadi prajurit rendahan, sudah berani bertingkah dihadapan kami! Apa kau merasa derajatmu lebih tinggi dari kami, putera dari para tumenggung?”
“Jangan mencari-cari perkara Dalika, aku sudah berusaha sebisa mungkin menghindarimu,” kata Linggar sambil menatap tajam.
“Kau berani bermain api dibelakangku Linggar! Kau sengaja menyulut api!”
“Aku tak mengerti apa yang kau maksud,” sahut Linggar
Teman Dalika yang lain menjadi tidak sabar melihat keduanya berbantahan, salah seorang yang bertubuh besar berkata. “Hajar saja Dalika, tidak perlu berputar-putar begitu!”
Mendengar perkataan temannya, Dalika pun akhirnya segera bertindak. Ia memukul pipi kiri Linggar dengan kepalan tangan kanannya. Linggar tak berdiam diri, ia berusaha mengelak dengan menarik wajahnya ke belakang. Reaksi linggar itu membuat Dalika menjadi naik darah. Ia memukul bertubi-tubi ke arah Linggar, di bagian wajah maupun perut. Tetapi tak satupun pukulan itu mendarat dengan mulus ke tubuh Linggar. Linggar mampu bergerak lebih cepat, dengan menghindar, bahkan sesekali menepis.
“Jangan bertindak pengecut Linggar! Kau hanya mampu berkelit, tetapi tidak mampu membenturkan serangan,” ujar Dalika dengan napas memburu.
Linggar tak menjawab, hanya mencoba menilai keadaan sambil terus menghindari serangan. “Kalau aku ladeni terus-menerus bisa akan bertambah runyam akibatnya. Tetapi aku tidak mungkin terus-menerus menghindar,” katanya membathin.
Kali ini Linggar terlihat aneh, ia membiarkan pukulan Dalika mengenai tubuhnya. Sesekali Linggar terkena pukulan Dalika, kadang di dahi dan kadang di perut. Sementara Dalika sendiri tertawa lepas, sambil terus melancarkan serangan.
“Sudah kubilang anak tengik! Kau tak akan mampu melawanku. Murid dari Ki Ajar Kesada!” Dalika memaki.
Linggar makin membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan Dalika. Tidak sampai disitu, teman-teman Dalika pun ikut mendorong dan menendang sesukanya. Linggar pun terhuyung-huyung terdorong kesana-kemari. Linggar diperlakukan seperti barang mainan yang dilemparkan sesukanya.
Tetapi tidak jauh dari tempat itu, sepasang mata mengamati dengan amat tajam. Sambil menggeram orang itu mengepalkan tangannya.
“Keterlaluan anak-anak itu! Aku tak pernah mengajarkan ilmu kanuragan untuk merendahkan sesama,” kata orang itu membathin.
“Kenapa pemuda itu tidak melawan?” desahnya lagi. Orang tua itu tak tahan ingin segera menghentikan permainan konyol itu. Ia pun kemudian berlari kearah kerumunan itu.
Para pemuda yang sedang mempermainkan Linggar itupun kemudian dikejutkan olah kehadiran orang tua yang mengamati dari kejauhan tadi.
“Berhenti…, berhenti kataku!” kata orang tadi. Seorang lelaki tua yang berjanggut putih.
Dalika dan yang lainnya terkejut bukan kepalang. Lelaki tua itu langsung masuk kalangan, lalu menendang dan memukul untuk melerai perkelahian yang tidak seimbang itu. Dalika dan teman-temannya terdorong dan sebagian terjatuh ditanah, akibat lelaki tua tadi.
Dalika yang juga terlempar jatuh, sekilas memandang lelaki tua tadi. Lalu katanya, “Ki Ajar Kesada!”
Semua teman-temannya terkejut mendengar nama itu disebut. Semua dengan sigap berdiri berjajar sambil menundukkan kepala di hadapan orang yang disebut Ki Ajar Kesada itu. Seolah orang itu adalah orang yang sangat mereka segani.
 Linggar sendiri masih berusaha bangkit, setelah sebelumnya terombang-ambing dan jatuh di tanah.
“Tidak pernah aku mengajarkan kalian berbuat serendah ini! Apa yang kalian dapat setelah berguru padaku he? Kesombongan dan sikap pengecut seperti ini?” kata Ki Ajar Kesada dengan wajah memerah.
Dalika dan teman-temannya tak bergeming dari tempatnya. Mereka hanya terdiam dan menundukkan pandangan.
“Apa katamu Dalika?” kata Ki Ajar sambil mendorong dada Dalika dengan satu tangannya. Dalika surut selangkah, tetapi tak berkata-kata selain tertunduk.
“Aku tidak melihat jiwa ksatria pada diri kalian, yang aku lihat hanya kesombongan semata. Aku minta besok kalian dapat mempertanggungjawabkan hal ini padaku di sanggar. Sekarang aku minta, kalian bubar..!” kata Ki Ajar dengan nada tinggi.
Dalika dan teman-temannya pun kemudian meninggalkan Linggar yang berdiri terengah-engah bersandar pada dinding lorong. Ki Ajar Kesada pun menghampirinya. “Kau baik-baik saja?”
Linggar tak menjawab, hanya mengangguk perlahan. Kemudian Ki Ajar membimbingnya pada sebuah gardu yang terletak tidak jauh dari tempat itu. Setelah itu keduanya duduk di gardu itu.
“Siapa namamu ngger?” tanya Ki Ajar Kesada.
“Aku Linggar, Kiai.”
“Oh.., nama yang bagus. Aku Kesada, orang biasa memanggilku Ajar Kesada.”
“Kenapa kau tidak melawan tadi?” tanya Ki Ajar, sambil mengerutkan dahi.
“Maksud Kiai?” sahut Linggar.
“Kenapa kau biarkan dirimu jadi sasaran Dalika dan teman-temannya tadi?” tanya Ki Ajar lagi.
“Mana mungkin aku melawan mereka, Kiai? Jumlah mereka ada 6 orang, Kiai,” jawab Linggar.
Ki Ajar Kesada tersenyum simpul, lalu katanya. “Mata tuaku ini tak dapat kau bohongi Linggar. Kau dapat mengalahkan Dalika, bahkan kau bisa mengalahkan murid-muridku yang lima orang lagi itu sekaligus.”
Linggar termenung sejenak. Dalam hatinya ia berpikir, tentu Ki Ajar Kesada bukanlah orang sembarangan. Karena orang tua itu mampu menilai lahiriahnya. Akhirnya Linggar pun berusaha jujur dihadapan Ki Ajar Kesada, walaupun sebenarnya ia tidak mau menonjolkan siapa dirinya.
“Aku hanya tidak ingin masalah ini menjadi semakin melebar, Ki Ajar. Jangan karena kehadiranku di lingkungan katumenggungan ini, membuat resah para penghuninya.”
“Kau salah kalau berpendapat seperti itu. Kau berhak mempertahankan diri, jika diperlakukan tidak adil. Semua ada aturannya, kau berhak membela diri.”
“Aku hanya tamu disini, Kiai. Aku hanya menumpang dirumah Ki Tumenggung Wilamarta. Deksura kiranya aku melawan putra dari para Tumenggung, yang justeru penghuni katumengunggan. Terlebih lagi murid dari Ki Ajar sendiri.”
“Linggar..,” kata Ki Ajar kemudian. Yang pertama.., aku tidak pernah mengajarkan murid-muridku itu merendahkan orang lain. Seperti yang Dalika tunjukkan tadi. Hanya saja.., memang kedudukan mereka sebagai putra dari para Tumenggung, membuat mereka kadang merasa lebih mulia dibandingkan orang lain. Itu aku merasa prihatin.”
“Dan yang kedua. Aku kenal baik Tumenggung Wilamarta, ia adalah orang yang bijak dalam menyikapi suatu masalah. Jadi! Aku harap lain kali, bersikaplah sebagaimana mestinya. Jangan pernah lagi merendahkan harga dirimu didepan orang lain, Bahkan dihadapan Dalika sekalipun.”
“Baik Ki Ajar, aku akan berusaha,” jawab Linggar.
Ki Ajar Kesada tersenyum, sambil mengangguk-angguk. “Baiklah Linggar. Aku yakin kau di usiamu yang masih muda ini, kau memiliki kelebihan. Bila dibandingkan murid-muridku tadi, kau adalah ksatria pinunjul. Berkunjunglah ke sanggarku kalau kau ada kesempatan, kita akan berbicara lebih banyak disana.”
“Baik Ki Ajar, mungkin lain kali,” jawab Linggar.
Setelah perkenalannya yang singkat itu Ki Ajar mohon diri. Lalu meninggalkan Linggar dengan wajah geram. Geram pada tingkah laku muridnya yang sudah diluar batas.
Linggar sendiri kemudian pulang ke rumah Ki Tumenggung Wilamarta. Ia tidak menjadi dendam atas perlakuan Dalika sebelumnya. Karena sepenuhnya ia sadar, bahwa Dalika hanya belum cukup dewasa dalam bersikap.

<--Prev   Next-->

1 komentar:

  1. Coming soon next episode..
    sekedar menambah khasanah cersil konten lokal

    BalasHapus

Pengikut