Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri : 17

Linggar dan Wurpasa yang tidak ingin penyamarannya diketahui, segera meninggalkan kedai itu setelah membayar dengan beberapa keping uang.
Matahari telah condong ke barat, ketika mereka memasuki kadipaten Pajang. Suasana pinggiran kota, tampak sibuk oleh lalu lalang orang yang akan keluar masuk Kadipaten.
“Perubahan suasana terlihat begitu cepat, Wurpasa. Lalu lalang prajurit itu, terlihat seperti sedang mempersiapkan sebuah perang besar.”
“Benar Linggar. Kita harus bersiap diri menghadapi rencana pemberontakan itu.”
“Yang aku tidak habis pikir. Kenapa Ki Tumenggung Purbasana, yang dalam keadaan mendesak itu ingin menikah lagi?”
“Wajar saja bukan?” tanya Wurpasa. “Beliau adalah seorang tumenggung yang kaya raya, tentu mudah saja memikat hati seseorang gadis.”
“Ya, itu memang benar. Tetapi seperti ada yang kurang pada tempatnya. Disaat mereka akan merencanakan pemberontakan, berdekatan dengan waktu itu ia melangsungkan pernikahan.”
Wurpasa makin bingung dengan arah pembicaraan Linggar. “Maksudmu ada tujuan lain, bukan hanya sekedar perasaan kepincut seorang lelaki terhadap seorang perempuan?”
“Kurang lebih seperti itu. Entah siapa yang diuntungkan diantara Ki Tumenggung Purbasana dan Derpayuda? Atau malah mungkin kedua-duanya sama-sama diuntungkan. Yang jelas, aneh sekali jika Ki Derpayuda sebagai kakak, menikahkan adiknya dengan seorang yang sudah beristri,” kata Linggar menarik kesimpulan.
Wurpasa pun mengangguk-angguk sependapat. “Kasihan Rara Widari. Tentu ini akan sulit baginya, terutama ibunya, Nyi Tumenggung Purbasana.”
“Sebaiknya mereka tidak perlu kita beritahu terlebih dahulu, sebelum semuanya menjadi jelas,” kata Linggar.
Pembicaraan keduanya tak terasa mengantarkan mereka sampai di barak prajurit. Ki Lurah Rangga Jati sebagai pimpinan mereka, langsung menerima keduanya di ruang khusus.
“Apa berita yang kalian dapat dari Prambanan?” tanya Ki Lurah.
Linggar menceritakan dengan gamblang hasil penyelidikan mereka siang tadi. Kecuali tentang rencana pernikahan Ki Purbasana. Karena baginya itu bukan bagian dari tugas utama mereka.
“Jadi! Purbasana dan Derpayuda yang bersekongkol dengan orang-orang Watu Belah?”
“Benar Ki Lurah. Dan sekarang mereka sedang membuat landasan di padepokan itu. Mungkin dalam sepekan, setelah semuanya siap. Mereka akan menggempur Dalem Kadipaten Pajang,” kata Linggar.
Ki Lurah Rangga Jati tampak menegang. Ia harus segera bergerak cepat untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu.
“Baiklah! Kalian berdua boleh pulang. Nanti malam aku akan ke rumah Tumenggung Wilamarta, untuk membicarakan hal ini. Bersiaplah, jika esok ada tugas lain dari kesatuan prajurit sandi!”
“Baik Ki Lurah,” jawab keduanya bersamaan.
Kemudian, malam harinya seperti yang telah direncanakan. Ki Lurah Rangga Jati menghadap Ki Wilamarta, untuk melaporkan keadaan terkini mengenai pergerakan orang-orang di Alas Mentaok. Linggar yang tinggal bersama Tumenggung Wilamarta pun ikut dalam pembicaraan itu.
“Jadi Purbasana dan Wilamarta telah bersekongkol dengan pemimpin Padepokan Watu Belah, yang bernama Pangeran Pujapati itu?”
“Benar Ki Tumenggung Wilamarta,” sahut Ki Lurah.
“Memang selain Arya Jipang, masih ada pihak-pihak yang memanfaatkan perebutan tahta Demak. Siapa sebenarnya Pangeran Pujapati itu akupun tidak tahu? Yang jelas, orang itu ingin merongrong Demak dengan menguasai Kadipaten Pajang terlebih dahulu,” Ki Wilamarta menyimpulkan.
“Atau bisa jadi usaha memperkeruh keadaan ini, akan melibatkan Perdikan Mangir. Atau barangkali mereka ingin Pajang berbenturan dengan kekuatan Mangir?” sahut Ki Lurah Rangga Jati.
“Itu salah satu yang harus diwaspadai. Sepekan lagi siapkanlah pasukanmu, kita akan menggempur Padepokan di Alas Mentaok itu. Tapi ingat! Jangan sampai rencana ini bocor ke telinga Purbasana dan Derpayuda. Aku akan menyampaikan rencana ini pada Kanjeng Adipati, besok.”
“Hamba Ki Tumenggung,” jawab Ki Lurah.
“Dan kau Linggar. Persiapkan dirimu, karena kau akan ikut serta pada usaha memandamkan pergerakan padepokan itu. Jangan sampai, justeru rahasia ini bocor dari mulutmu.”
“Hamba Ki Tumenggung,” sahut Linggar yang sedari tadi hanya mendengarkan.
Begitulah hari-hari berikutnya, semuanya tampak sibuk. Bukan hanya prajurit yang bersekongkol dengan padepokan Watu Belah saja yang mempersiapkan diri, akan tetapi Ki Lurah Rangga Jati telah mengatur orang-orang terpilihnya untuk menempa diri.
Diantara kesibukan itu Linggar masih menyempatkan diri bertemu dengan Rara Widari. Bahkan kini hati kedua insan itu makin terpaut rapat. Hingga di suatu  kesempatan, Linggar memberanikan diri menyetujui ajakan Rara Widari untuk berkunjung ke rumahnya.
Linggar diterima baik oleh Nyi Tumenggung Purbasana, walaupun sebenarnya ia merasa was-was dengan sikap suaminya. Beruntung hari itu suaminya sedang bertugas, sehingga ia dapat sedikit bernapas lega dengan sikap suaminya yang selalu memandang rendah derajat orang lain.
“Siapa namamu ngger?”
“Namaku Linggar, Nyi Tumenggung.”
“Oh.., nama yang bagus,” kata Nyi Tumenggung. Entah mengapa ketika nama itu disebut, hati perempuan setengah bayah itu berdebar-debar. Seolah ada kegundahan didalam hatinya. Tetapi ia mencoba menghapus kesan itu dimata tamunya.
“Darimana sebenarnya kau berasal? Dan dimana saat sekarang kau tinggal?” tanya Nyi Tumenggung lagi.
“Aku berasal dari sebuah daerah di lereng Tidar, Nyi Tumenggung. Di Pajang ini, aku hanya menumpang di dalem katumenggungan Ki Wilamarta.”
Kembali, keterangan yang disampaikan linggar membuat jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih dalam lagi tentang Linggar, tetapi ditahannya rasa ingin tahu itu. Ia hanya menatap Linggar yang tertunduk, ditatapnya dari ujung rambutnya sampai kaki ia mengamati.
Tentu saja perubahan sikap ibunda Rara Widari itu membuat putrinya bertanya-tanya. “Ada apa ibunda? Kenapa ibunda memandang Linggar seperti itu?”
“Oh.., tidak apa Widari,” kata ibundanya yang tersentak dari lamunan. “Linggar.., Rara Widari adalah putriku satu-satunya, aku harap kau dapat bergaul dengan baik dan sewajarnya. Sementara ini, biarlah waktu yang menjawab akhir dari hubungan ini. Aku tak bisa memastikan apakah yang akan terjadi kelak.”
Linggar masih tak bergeming ditempatnya. Kemudian dicobanya berkata, walaupun dengan keraguan.
“Aku memang hanya kembara jalanan, Nyi Tumenggung,” kata Linggar mengawali kalimatnya. “Ketika angin yang menghembuskanku langkahku ke Pajang, aku pun tak kuasa menolak. Seperti juga ketika takdir mempertemukanku dengan Mas Rara Widari, aku pun tidak dapat membohongi kata hatiku.”
“Meskipun rasanya aku cukup deksura, jika aku berharap terlalu besar kepada putri Nyi Tumenggung. Karena aku juga sadar sepenuhnya siapa diriku sebenarnya, yang sudah berani ingin meraih rembulan padahal lenganku pendek. Akan tetapi, ketulusan hatiku yang telah membulatkan tekadku, Nyi tumenggung,” kata Linggar dengan kepala tertunduk dalam.
Rara Widari yang mendengar penuturan Linggar, kelopak matanya basah. Kantung matanya tak mampu lagi menahan air mata yang menggenang dipelupuk matanya. Lama-kelamaan berjatuhan menetes dipipi.
Nyi Tumenggung Purbasana yang tak sampai hati melihat putrinya bersedih, menarik napas dalam-dalam. Lalu berkata. “Aku hargai keberanianmu Linggar. Untuk selanjutnya, aku tidak akan masuk terlalu dalam, kedalam perasaan hati kalian berdua. Aku hanya dapat mendoakan, semoga Kang Mas Tumenggung menyetujui hubungan kalian.”
Setelah pembicaraan selesai, Rara Widari mengantarkan Linggar pulang sampai pendapa. Di pendapa Linggar sempat berbicara sedikit kepada Rara Widari.
“Mas Rara..,” kata Linggar.
“Jangan kau panggil aku seperti itu Linggar lagi! Bukankah aku pernah katakan sebelumnya?”
Linggar hanya mengangguk, lalu melanjutkan kalimatnya, “aku hanya akan berpesan kepadamu. Apa pun yang terjadi dengan sikap ayahmu selanjutnya, jangan pernah menjadi putus asa.”
“Walaupun seandainya kelak aku tak berjodoh denganmu, itu sudah ketetapan yang Maha Kuasa. Jadi janganlah menjadi patah arang karenanya. Sebab manusia hanya dapat berusaha, sedangkan keputusan mutlak kehendakNya. Sungguh karunia yang besar, aku dapat mengenalmu saat ini. Disaat sebelumnya, hatiku limbung dan putus asa karena terbuang dari Matesih. Di saat itu pula kau hadir mengisi kekosongan bilik hatiku.”
“Mudah-mudah semua ini akan menjadi mudah,” sambung Linggar.
Rara Widari menatap dalam bola mata Linggar, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri atas kesungguhan hati Linggar. Tatapan Widari itu membuat Linggar berdesir, seolah tatapan itu menembus jantungnya yang terdalam.
“Aku akan mencobanya Linggar. Mudah-mudahan itu tidak serumit yang kita bayangkan.”
Linggar meninggalkan kediaman Tumenggung Purbasana dengan kelegaan hati. Walaupun di keluarga bangsawan itu, hanya Nyi Tumenggung yang menyetujui hubungannya. Tetapi paling tidak, ia telah terbuka kepada ibunda Rara Widari mengenai hubungannya.

<--Prev  Next -->

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut