Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri : 16

Linggar mengangguk-angguk, kemudian menatap raut wajah Rara Widari yang teduh. Hatinya berdesir, melihat putri tumenggung yang ayu dan bisa menjadi tempat berbagi itu.
Rara Widari sendiri tertunduk dibuatnya. Baginya, pertemuannya beberapa kali dengan Linggar menimbulkan perasaan baru baginya. Entah apa itu? Tetapi kedatangannya di sanggar tadi menunjukkan perhatian lebih bagi dirinya.
Kendati pun Linggar mencoba menekan perasaan itu, tetapi akhirnya ia tak kuasa menahannya.
“Widari..,” kata Linggar kemudian. “Aku tak tahu perasaan aneh apa yang menyelinap di sudut hatiku? Tetapi aku jujur, perasaan itu muncul saat mulai mengenalmu.”
Rara Widari hatinya pun berdesir mendengar pengakuan itu. Sekilas disambarnya wajah Linggar, kemudian tertunduk lagi. “Aku pun demikian Linggar. Tetapi aku tak mungkin mengatakannya terlebih dulu.”
Linggar terkejut mendengar pengakuan Widari yang tak disangka-sangkanya itu, pengakuannya bagai gayung bersambut. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi aku tidak mengharapkan perasaanmu berbanding lurus terhadapku, Widari. Aku hanya mencoba mengutarakan, apa yang tertahan di dalam dadaku ini. Karena aku sepenuhnya sadar, aku ini seperti damar kanginan. Tak jelas asal-usulnya dan tak mempunyai hari depan yang pasti. Jadi Deksura rasanya jika aku harus menggantungkan harapanku kepadamu, Widari.”
Bibir Widari seperti kaku, rasanya sulit sekali untuk digerakkan karena pembicaraan ini ada perasaan hati kedua insan. Tetapi sekali lagi dicobanya untuk menanggapi perasaan Linggar.
“Tidak ada perbedaan diantara sesama manusia. Siapa pun dia, jika dengan niat tulus, tentunya bukan suatu penghalang.”
“Tetapi kau adalah putri Tumenggung Widari. Masa depanmu kelak akan bersinar dengan seseorang yang sepadan denganmu.”
“Aku hanya mengatakan setulus hatiku, bukan untuk mempengaruhi pendirianmu. Aku tak peduli walau nantinya tak berbalas. Aku sudah cukup puas asal hatimu mengerti apa isi hatiku.”
“Tidak seperti itu Linggar. Aku menerimanya dengan seluruh kesadaranku, biarlah waktu yang akan memastikan akhir dari perasaan kita ini.”
Keduanya berdiam diri mematung setelah mencurahkan isi hati mereka masing-masing. Kini makin jelas dan rapatlah hubungan keduanya, walaupun belum tentu Tumenggung Purbasana merestuinya.
Sementara itu beberapa hari kemudian Linggar dan Wurpasa sudah mulai ditugaskan. Keduanya ditempatkan disekitar kali Opak untuk melihat perkembangan Padepokan Watu Belah.
Linggar tidak ragu lagi dengan tugasnya, bahkan lebih mantap. Setelah hatinya tertambat pada Rara Widari. Wurpasa yang mengiringinya melihat perubahan aneh pada diri sahabatnya itu. Kadang terlihat terdiam dan kadang tersenyum sendiri.
“Hei Linggar! Kau ini seperti orang tidak waras ya? Senyum-senyum sendiri tanpa alasan.”
Linggar yang tersentak menjawab. “Begitulah orang yang sedang bahagia, Wurpasa. Jangan kau ganggu lamunanku.”
Wurpasa mengerutkan dahi. “Kau.., kau sudah kurang ajar ya? Memikat majikanku Rara Widari?”
“Bukan salahku Wurpasa, kau yang kurang cepat,” kata Linggar terkekeh-kekeh.
“Macam kau Linggar,” katanya tersungut-sungut. “Berhati-hatilah dengan ayahnya! Ia bukan orang yang senang dengan golongan rendah seperti kita.”
“Entahlah Wurpasa. Untuk sementara, kami hanya memastikan perasaan kami berdua.”
Wurpasa hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat kebulatan tekad sahabatnya itu.
“Kenapa bukan aku yang lebih dulu memikatnya ya?” gerutu Wurpasa.
Linggar pun geli mendengarnya. “Memang kenapa Wurpasa? Kau menyesal?”
“Bukan itu,” sahut Wurpasa.
“Lalu apa?” tanya Linggar penasaran.
“Macam kau yang seperti itu saja, hati Rara luluh. Apalagi aku yang rupawan begini,” katanya menepuk dada.
Linggar makin terpingkal dibuatnya, ia memegangi perutnya saking gelinya.
Dalam pada itu perubahan pun nampak pada diri Rara Widari. Sebagai remaja yang baru tumbuh, seperti kuntum bunga yang baru mekar dari kelopaknya. Indah dipandang dan selalu berhias diri.
Nyi Tumenggung Purbasana sebagai seorang ibu menyadari akan perubahan pada diri putrinya itu. Walaupun perubahan pada diri putrinya wajar, tetapi sebagai orang tua, ia cukup khawatir jikalau arahnya salah.
“Widari..,” kata ibundanya. Mengejutkan Widari yang sedang berhias di cermin.
“Ya. Ibunda.”
“Kau tidak seperti biasanya nduk..,” tanya ibundanya.
“A.., aku biasa saja ibu. Apa yang ibu maksudkan?” tanya Widari agak tergagap.
Ibunya tersenyum tipis, lalu katanya. “Ibu tahu yang sedang kau rasakan sekarang. Kau sedang jatuh cinta pada seseorang.”
“Ibu…!” sahut Widari merajuk. Wajahnya memerah dan tersipu-sipu.
“Ceritakanlah nduk.., ibu ingin tahu siapa lelaki yang beruntung itu.”
Rara Widari gemetar, keringat dingin mengalir didahinya. Mendengar pertanyaan yang tak disangka-sangka itu membuat lidah kaku.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya terucap juga dari bibir mungil Widari. “Linggar ibu..,” katanya sambil tertunduk dalam.
Entah mengapa, lagi-lagi jantung Nyi Tumenggung berdegup kencang jika nama itu disebut. Padahal bertemu orangnya saja Nyi Tumenggung belum pernah.
“Baiklah Widari. Perkenalkanlah laki-laki itu pada ibu, aku ingin tahu pribadinya. Bagaimana pun juga hubunganmu harus ibu ketahui, karena aku wajib memberi nasihat kepadamu.”
“Baik ibu. Tetapi bagaimana dengan ayah?” tanya Widari dengan suara menurun.
Nyi Tumenggung menghadapi situasi yang sulit, karena suaminya lebih memilih Dalika ketimbang Linggar yang belum jelas asal usulnya. Tetapi ia mencoba melihat keadaan terlebih dulu, yang penting hati putrinya tidak terguncang karenanya.
“Bawalah saat ayahmu sedang tidak ada dirumah. Soal bagaimana ayahmu, biarlah nanti ibu yang akan meyakinkannya.”
Widari mengangguk pelan menyanggupi permintaan ibundanya.
Sementara itu di daerah Prambanan, Linggar dan Wurpasa singgah di sebuah kedai dekat pasar. Mereka ingin mengisi perut dan mendengar keadaan terkini di prambanan.
Begitu keduanya hendak memasuki pintu kedai, seorang pria berkumis lebat menahannya.
“Kalian berdua mau makan di kedai ini?”
“Ya, kisanak,” jawab Wurpasa.
“Baiklah. Masuklah disebelah kiri ruangan ini! Jangan yang sebelah kanan! Itu ruang makan khusus prajurit Pajang,” kata lelaki berkumis lebat itu.
Wurpasa dan Linggar menurut saja apa yang diperintahkan lelaki tadi. Keduanya memilih duduk merapat dinding gebyok, yang tingginya sedada lelaki dewasa. Jika berdiri, maka ruang sebelah dapat terlihat dengan jelas. Tujuannya agar bisa menyelidiki keadaan diruang sebelah tempat para prajurit Pajang bersantap.
Linggar dan Wurpasa memesan dua piring nasi dan minuman hangat. Keduanya lahap menyantap makanan yang dihidangkan, karena sebelumnya mereka menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Kemudian diruang sebelah, tempat para prajurit Pajang berkumpul. Masuk dua orang yang terlihat sangat dihormati, oleh beberapa orang yang sudah hadir sebelumnya.
“Silahkan Tumenggung Purbasana dan Tumenggung Derpayuda! Rasanya kami sudah tak sabar menunggu kehadiran Ki Tumenggung berdua,” berkata salah seorang diantara mereka.
“Bagaimana kabar yang kau bawa dari Watu Belah?” tanya Tumenggung Purbasana.
“Kami sudah siap bergerak, Tumenggung Purbasana. Pangeran Pujapati ingin segera mendengar kabar dari Tumenggung berdua, tentang keadaan Kadipaten.”
Tiba-tiba seseorang menyela pembicaraan, tidak lain adalah orang yang datang bersama Tumenggung Purbasana, yaitu Tumenggung Derpayuda. “Tunggu dulu, Bajul Wedi! Kau sebagai cantrik di Padepokan Watu Belah, harus menunggu sepekan lagi?”
“Mengapa begitu, Ki Tumenggung Derpayuda?” tanya Bajul Wedi.
“Ki Tumenggung Purbasana akan menikah di Prambanan ini beberapa hari lagi. Jadi kalian harus bersabar. Setelah itu selesai, baru kita bergerak ke Mangir untuk menguasai,” kata Derpayuda sambil tersenyum memandang semua yang hadir.
Semua yang hadir saling mengangguk mendengar kabar pernikahan itu, mereka lalu menjabat tangan Tumenggung Purbasana untuk mengucapkan selamat. Ki Tumenggung sendiri hanya tersenyum-senyum, dan tampak kaku di depan orang-orang yang berkumpul itu.
Linggar dan Wurpasa mendengarkan dari ruang sebelah dengan jantung berdebar-debar. Rupanya dalam kumpulan prajurit Pajang itu terdapat orang-orang Padepokan Watu Belah, yang ternyata telah bersekongkol untuk menjatuhkan Adipati Hadiwijaya. Dan yang membuat keduanya tercengang adalah, diantara orang-orang yang berkumpul itu terdapat Ki Tumenggung Purbasana. Yaitu ayah dari Rara Widari. Dari perbincangan mereka didapat pula keterangan bahwa, Ki Tumenggung Purbasana berencana menikah lagi dengan seorang gadis. Gadis itu adalah adik dari Tumenggung Derpayuda. Dan sedianya pernikahan sederhana itu akan dihelat disekitar Prambanan.
Linggar dan Wurpasa yang tidak ingin penyamarannya diketahui, segera meninggalkan kedai itu setelah membayar dengan beberapa keping uang.


<--Prev   Next-->

1 komentar:

Pengikut