Novel Cerita Silat Jawa

TDM 44

Iring-iringan 10 prajurit Pajang yang dipimpin Linggar, telah menuruni Bukit Sambung dengan perlahan. Ketika pagi hari mereka telah sampai di pedalaman Mentaok. Linggar tidak memerintahkan prajuritnya untuk membelenggu Kiai Jambe Abang seperti layaknya seorang tawanan, Melainkan hanya menempatkan Kiai Jambe Abang ditengah-tengah rombongan. Linggar pun sesekali sempat berbincang dengan Kiai Jambe Abang. Sepertinya rasa dendamnya pada Kiai Jambe Abang sudah tidak ada lagi sekarang.
“Kiai.., kami terpaksa membawamu ke Pajang sebagai tawanan.”
“Memang seharusnya begitu ngger.., aku menyadari sepenuhnya akan hal itu. Jadi kau tak perlu sungkan!”
Entah sebenarnya apa yang ada dalam benak Linggar? Ia seperti kurang mapan, membawa Kiai Jambe Abang sebagai tawanan ke Pajang. Mungkin karena dalam bentrokan terakhir Kiai Jambe Abang tidak sampai hati membunuhnya dengan pusaka Kiai Nagasengkala. Ia pun seperti terdorong untuk membantu orang tua itu tak kala para Manggala berbuat semena-mena terhadapnya. Mungkin hal itulah yang membuatnya melunak pada buron yang selama ini diburu Pajang maupun Mangir.
“Linggar!”
“Ya Kiai.”
“Kau mewarisi apa yang ada pada diri Wulungan, ayahmu. Aku berharap suatu saat kau akan menjadi satria pinunjul dikemudian hari.”
“Apakah Kiai begitu dekat mengenal ayahku?” tanyanya penuh minat.
“Tentu, sudah aku katakan sebelumnya bahwa hitam-putih Wulungan aku tahu.”
“Samar dalam ingatanku Kiai, saat aku masih kecil ada huru-hara yang melanda desaku.”
“Ya kau benar! Saat usiamu belum genap 5 tahun, di Kalihurip telah terjadi ontran-ontran. Di Kalihurip telah terjadi kekacauan yang cukup besar, hingga membuat padukuhan itu menjadi karang abang. Rumah-rumah dan lumbung padi terbakar. Beberapa kapal kecil yang belum selesai dirakit, dibakar pasukan dari Bang Wetan.”
“Kalihurip menjadi sasaran kemarahan para penjajah yang ingin mendaratkan pasukannya di tanah Demak. Karena Kalihurip adalah salah satu daerah yang dimandatkan Sultan Demak untuk membuat kapal-kapal laut sebelum dikirim ke pelabuhan Jepara. Mereka mencoba mencari sekutu dengan kekuatan yang berpengaruh di Bang Wetan. Mereka itu adalah orang-orang suruhan dari orang dari belahan samudera lain yang berambut jagung. Yang kemudian seperti diketahui telah mampu menguasai pelabuhan di tanah Malaka.”
“Demak dianggap sebagai kekuatan yang sangat berbahaya kala itu, karena mempunyai armada laut yang cukup besar. Adipati Unus adalah salah seorang yang telah memprakarsai terbentuknya armada laut itu, yang kemudian diteruskan oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat. Pada masa itu, Demak telah mampu membuat kapal dengan ukuran yang sangat besar, yang kemudian dikenal dengan nama kapal Jung. Kapal Jung sendiri Mampu mengangkut hampir 1000an prajurit dan mampu pula menampung persediaan bahan makanan dan perlengkapan perang.”
“Aku dan Wulungan ayahmu, kembali ke Kalihurip pada saat padukuhan itu terjadi kekacauan. Dan setelah Kalihurip hancur lebur, aku tidak tahu lagi keberadaan ayahmu. Dari kabar yang aku dengar, ia mengundurkan diri dari prajurit Demak dan kembali ke Matesih membawa keluarganya,” katanya sambil menarik napas dalam-dalam seolah terbersit kembali peristiwa beberapa tahun silam.
“Apakah Kiai kenal dengan ibuku?” tanya Linggar.
“Tentu aku mengenalnya, ngger!” sahut Kiai Jambe Abang.
“Apakah Kiai tahu keberadaan ibuku saat itu?”
Kiai Jambe Abang agak terheran. “Bukankah ayahmu memboyong seluruh keluarganya ke Matesih?”
Linggar menarik napas dalam-dalam. “Tidak Kiai. Ibuku hilang pada waktu itu. Menurut cerita ayahku, hampir satu bulan ayah mencari keberadaan ibu kala itu. Aku sendiri terpisah dengan ibu saat berada disebuah pasar, kalau tidak salah.”
“Dan ayahku menikah lagi di Matesih. Karena aku yang masih kecil pada waktu itu, butuh sosok seorang ibu dalam masa pertumbuhanku. Aku menyayangi ibuku itu dengan sepenuh hatiku, Kiai. Karena berkat beliaulah aku bisa sampai sekarang ini, meskipun beliau adalah seorang ibu tiri.”
Kiai Jambe Abang mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu sampai sejauh itu ngger. Keluargaku sendiri tidak ada yang selamat, maka setelah itu aku putuskan keluar juga dari keprajuritan. Dan karena kekecewaanku, aku pun menyalahkan Demak yang tidak memberikan penghormatan kepada mereka yang telah berjuang. Maka dalam kekalutanku itu, aku sempat bergabung dengan para pemberontak di pesisir utara. Sampai akhirnya aku mendapat mandat dari selir Adipati Bang Wetan untuk mewujudkan Pujapati menjadi pemimpin. Dan seperti yang angger lihat, semua telah gagal. Aku tidak menyesali semua itu, mungkin Pujapati yang masih kemenakanku itu memang sebaiknya kembali kepada keluarganya di Bang Wetan,” Kiai Jambe Abang mengakhiri ceritanya sambil berkaca-kaca.
Linggar pun memaklumi perjalanan panjang yang membuat alur hidup Kiai Jambe Abang yang berubah arah. Pertemuannya dengan Kiai Jambe Abang, paling tidak membuka wawasan baru tentang pribadi ayahnya yang pejuang tangguh. Juga tentang pribadi Kiai Jambe Abang yang tak sejahat perkiraannya.
Perbincangan mereka tak terasa mengantarkan mereka sampai Kali Opak. Setelah beristirahat sejenak dan memberi minum kuda-kuda mereka, perjalanan pun dilanjutkan.
Kemudian setelah memasuki Prambanan dan beberapa daerah lainnya mereka sampai juga di jantung Kadipaten Pajang. Kira-kira hampir matahari tenggelam mereka sampai disana.
            Sementara itu di kediaman Raden Purbasana, ayah dari Rara Widari, kedatangan tamu dari Demak. Dia adalah kakak kandung Raden Ayu Purbasana, Raden Mas Aksata.
“Diajeng Mulatsih! Maksud kedatanganku yang pertama adalah melihat keadaan Diajeng Mulatsih sekeluarga. Dan yang kedua adalah, aku bermaksud menegaskan kembali bahwa ada beberapa warisan dari ayahanda yang menjadi hak Diajeng. Dan semua itu sudah dikukuhkan dalam sebuah surat.”
“Terimakasih Kang mas Aksata! Keadaan kami disini baik-baik saja. Mohon maaf sebelumnya, jika kang mas Purbasana tidak turut menyambut kedatanganmu. Dia sedang bertugas di Prambanan saat ini.”
“Aku maklum Diajeng. Tugas keprajuritan memang lebih diutamakan, ketimbang kepentingan pribadi.”
“Kang Mas. Semua warisan yang Kang Mas utarakan tadi, aku percayakan semua pada Kang mas Aksata. Sebab, aku yang jauh disini tentu tak mungkin mengelolanya. Lagipula kita ini adalah bersaudara, selama warisan itu dikelola keluarga sendiri, aku sendiri tidak berkeberatan.”
Raden Aksata mengangguk-angguk. “Apakah Diajeng tidak ingin melihat beberapa peninggalan ayahanda yang ada di Demak? Mungkin sekedar berkunjung ke sanak kadhang disana?”
Raden Ayu menarik napas dalam-dalam. “Untuk saat ini belum Kang Mas Aksata! Mungkin di lain waktu aku akan menyempatkan diri datang kesana.”
Raden Aksata seperti melihat sesuatu yang membebani adik kandungnya itu. “Apakah kiranya yang memberatkan Diajeng? Apakah ada masalah dengan keluarga Diajeng Mulatsih?”
Sesaat Raden Ayu Purbasana tersentak. “Tidak.., tidak ada!” katanya dengan cepat. “Mungkin setelah Kang Mas Tumenggung Purbasana memiliki waktu luang dalam tugas-tugasnya, aku akan segera berkunjung ke Demak, bersama Rara Widari.”
Raden aksata tidak mendesaknya lagi, mungkin memang begitulah keadaannya. Lebih karena alasan jabatan tumenggung yang disandang suaminya, hingga harus merencanakan waktu yang matang untuk berpergian jauh. “Oh ya Diajeng! Mana Rara Widari? Seperti apa dia sekarang? Pastinya cantik, seperti Diajeng Mulatsih!”
Raden Ayu tersenyum, kemudian matanya tertuju pada Rara Widari yang berjalan hendak menyajikan suguhan.
“Itulah kemenakanmu Kang Mas! Aku sengaja meminta Widari yang menyuguhkan minuman,” katanya sambil tersenyum.
Rara Widari kemudian meletakkan suguhannya dan mencium tangan pamannya itu.
“Paman Aksata!” katanya girang, kemudian memeluknya.
“Widari.., kau sudah besar sekarang! Tetapi jangan memelukku seperti ini! Sudah tidak pantas,” katanya sambil tertawa kecil.
Rara Widari tersipu-sipu.
“Dulu.., aku sering menggendongmu keliling Katumenggungan saat kau masih kecil, kalau aku tak mau kau sering merajuk,” katanya lagi.
“Paman..!” katanya manja.
“Kau cantik seperti ibundamu, Widari!”
“Sudah.., sudah! Jangan memuji terus Kang Mas, nanti Widari bercermin terus jadinya!” Raden Ayu turut menggodanya.
Maka keakraban pun kembali terjalin diantara mereka. Karena terpisah jarak, mereka memang jarang bertemu. Paling 2 atau 3 tahun sekali Raden Aksata berkunjung ke Pajang. Maka, Raden Aksata pun akhirnya bermalam beberapa hari di kediaman kakaknya itu. Raden Aksata umurnya terpaut 2 tahun lebih tua dari Raden Ayu Purbasana. Tetapi penampakannya ia terlihat awet muda.
Keesokan harinya Rara Widari menyempatkan diri mengajak pamannya itu berjalan-jalan di sekitar kota kadipaten Pajang. Mereka masing-masing berkuda. Widari sempat menunjukkan sanggar Ki Ajar Kesada tempat dirinya menimba ilmu kanuragan. Mereka hanya memandang dari seberang sanggar tanpa masuk kedalamnya. Tampak beberapa pemuda Katumenggungan sedang berlatih.
“Disitu para pemuda dilatih kanuragan, paman! Dan aku adalah satu-satunya murid perempuan disana, paman,” kata Widari sambil tersenyum.
“Oh jadi kemenakanku ini tertarik juga dengan olah kanuragan?” katanya kagum. “Kau tidak takut tanganmu itu luka Widari? Ada baiknya kau latihan menari saja!”
“Tadinya aku ikut latih tari bersama Nyi Ajar! Tetapi kemudian aku menjadi tertarik dengan olah ketangkasan dan beladiri.”
“Ya setiap orang memang ada baiknya membekali diri dengan ilmu beladiri. Selain untuk menjaga diri sendiri, tentunya untuk melindungi keluarga, dan yang lebih besar lagi adalah negara,” katanya membenarkan.
Sebenarnya sejak keberangkatan mereka dari dalem katumenggungan, mereka telah dikuntit seseorang. Raden Aksata sendiri tahu, tetapi ia mengacuhkannya saja. Ia ingin tahu, sampai sejauh mana maksud orang tersebut menguntitnya.
“Hmm.., bukankah itu Widari?” kata orang yang menguntit tadi. “Dengan siapa dia sebenarnya? Orang itu tinggi gagah, meskipun usianya hampir separuh abad!”
“Aku akan melintas dihadapannya, coba apa tanggapannya nanti?”
Lelaki itu yang tidak lain adalah Linggar, lalu melintas dihadapan Widari yang sedang bersama dengan pamannya Raden Aksata. Tetapi Widari yang sebelumnya sudah melihat Linggar dari kejauhan, acuh saja.
“Hmm..,” katanya dalam hati. “Bukankah itu Linggar? Sudah kembali rupanya dia dari Bukit Sambung. Biar saja aku akan mengacuhkannya,” katanya sambil tersenyum tipis.
“Gila!” Linggar membathin. “Kenapa Widari diam saja? Baru sebulan lebih aku meninggalkan Pajang, kenapa dia jadi aneh begitu?” katanya lagi penasaran.
Sementara Raden Aksata yang melihat gerak-gerik Linggar tadi menanggapi. “Kau kenal lelaki yang baru melintas tadi?”
“Tidak, tidak paman..,” jawab Widari tergagap.
“Oh benarkah?” katanya dengan senyuman. “Lelaki tadi sudah menguntit kita sejak dari katumenggungan. Apakah dia kekasihmu?” pamannya menggoda.
“Paman..!” Widari merajuk, dengan wajah memerah.
“Ya, sudah.., sudah..! Barangkali kalian segan bertegur sapa karena ada aku,” kata Raden Aksata. “Aku akan mendahului pulang ke katumenggungan, nanti kau menyusul ya?”
Widari tak menjawab hanya tertunduk tersipu malu. Raden Aksata sendiri tak menunggu jawaban, langsung memacu kudanya perlahan meninggalkan Rara Widari. Rara Widari kemudian memandang sekitar seolah-olah mencari seseorang. “Kemana perginya ya Linggar tadi? Cepat sekali hilangnya!” gumamnya. Widari kemudian memutar arah menuju ujung pasar, tempat pandai besi. Biasanya Linggar memang senang menghabiskan waktu disana. Tetapi Linggar tak dijumpainya pula disana. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan pasar dan kembali ke Katumenggungan.
Baru beberapa tombak saja meninggalkan pasar, Widari dikejutkan dengan kehadiran Linggar yang berkuda membayanginya. “Hmm.., sombong sekali dara yang satu ini!” Linggar menggoda.
“Kau mengejutkanku Linggar!” sahut Widari.
“Salah sendiri, kau jual mahal didepan lelaki yang bersamamu tadi!” tukas Linggar. Sambil menghentikan laju kudanya, mengikuti Widari.
“Tadi itu paman Aksata, kakak ibundaku dari Demak!”
“Oh..!” Linggar mengangguk-angguk. “Aku kira calon suamimu, meskipun usianya sudah matang, tetapi masih tampak gagah dan segar!”
“Mulutmu ya! Mulai kurang ajar! Aku ini puteri Tumenggung Purbasana, petinggi Pajang!” kata Widari dengan mata melotot.
“Baik Mas Rara Widari! Maafkan kalau anak padesan ini terlalu lancang!” kata Linggar sambil membungkukkan badan, memberi hormat.
Mereka berdua saling bercanda setelah hampir 1 bulan lebih tak bertemu. Tentu rasa rindu keduanya sebagai insan remaja begitu menggebu-gebu. Mereka kemudian menuju ke sebuah telaga, sekedar melepas rindu dengan berbincang-bincang.
“Bagaimana kabar ibundamu Widari?”
“Hmm..,” katanya menghela napas. “Ibu sudah pasrah sepertinya. Ayahandaku telah berterus-terang bahwa dia memperistri Utari. Walaupun berat tetapi ibundaku telah merelakannya.”
Linggar tak mau menanggapi terlalu jauh tentang kehidupan pribadi Tumenggung Purbasana, hanya masih melihat kesedihan di wajah Rara Widari, melihat kenyataan itu. Ia pun mencoba memberi semangat kepada Rara Widari.
“Mudah-mudahan ibundamu tidak terlalu larut dalam kesedihan Widari.”
“Ya, aku pun berharap demikian. Asalkan yang menjadi hak ibundaku sekarang tidak diganggu gugat oleh Utari istri barunya itu!”
“Oh ya!” Linggar mencoba mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana perkembangan ilmu beladirimu setelah berguru pada Nyi Ajar Kesada? Tentunya kemajuanmu bertambah pesat.”
“Oh tentu! Nyi Ajar semangat mengajariku, karena menurutnya aku orang yang cerdas!” jawab Widari penuh semangat.
“Ah tetapi aku menjadi kecewa!” keluh Linggar.
“Kenapa begitu?” Widari menanggapinya dengan sungguh-sungguh.
“Tangan halusmu kini mungkin sudah berubah kasar seperti parut kelapa. Kau kini bukan puteri Tumenggung yang berjemari halus dan lentik lagi. Tanganmu mirip anak petani yang sering memotong padi di sawah dengan ani-ani!”
“Macam kau! Kau mau coba beladiriku?” tantang Widari yang merasa diejek. Dia telah siap dengan kuda-kuda dan jemari mengepal. Kemudian langsung menyerang Linggar.
“Hei..! Aku hanya bercanda Widari!” kata Linggar, sambil mengelak dari satu pukulan.
Widari tak menggubrisnya ia terus saja menyerang Linggar dengan jurus-jurus yang diajarkan Nyi Ajar Kesada.
“Widari! Tidak usah tersinggung begitu, meskipun tanganmu kasar, aku tetap menyayangimu,” kata Linggar lagi menggoda. “Kau tahu kenapa?”
Widari tak menjawab, hanya sedikit menahan senyum.
“Karena aku tidak punya pilihan lain!” Linggar tak henti-hentinya menggoda.
Rara Widari makin sewot dibuatnya. Wajahnya merah tersipu, nampak jelas pada kulitnya yang putih bersih. Hingga makin terus bernafsu untuk menyerang Linggar.
Di tepi telaga di cuaca yang cerah itu, kedua insan yang hatinya telah terpikat satu sama lain itu, seperti sedang menari-nari dalam bayang cermin telaga. Widari mengeluarkan segenap jurus kemampuannya, karena yakin dengan tingkat kanuragan Linggar yang tentu berada beberapa lapis diatasnya.
Linggar mencoba mematahkan serangan-serangan Widari tanpa membalasnya. Suatu saat ketika Linggar mampu menangkap pergelangan tangan Widari satu demi satu. Kemudian Linggar membelenggu kedua tangan Rara Widari di belakang punggungya sendiri. Widari tak mampu berontak, dan wajahnya semakin cemberut sambil terus meronta.
“Lepaskan! Lepaskan Linggar! Kau main curang!” keluh Widari
Linggar memegang erat dua tangan Widari, sambil tersenyum merayunya. “Lihatlah Widari!” katanya sambil mendekatkan wajahnya ke pipi Widari, kemudian menghadap permukaan telaga yang bersih. “Lihatlah wajahmu di permukaan telaga itu! Kau tampak makin cantik jika sedang marah-marah!” kata Linggar seraya tertawa kecil.
Rara Widari makin jengkel, tetapi dia memang gadis yang pantang menyerah. Kakinya kemudian dihentakkan sekuat-kuatnya menginjak jemari kaki Linggar. Tentu saja Linggar tak menduga, ia sempat terpekik, pada saat itulah Widari berontak lepas dari cengkeraman tangan Linggar yang mengendur.
Linggar terduduk sambil memegangi jemari kakinya yang sakit. Rara Widari sendiri terkekeh-kekeh seraya memegangi perutnya.
“Rasakan sendiri ya! Kau pikir mudah mengalahkan murid tunggal Nyi Ajar Kesada?” masih dengan derai tawanya.
“Huh..! Kau ini memang cerdik ya, kupikir kau sudah menyerah.”
Keduanya kemudian duduk di tepian telaga. Sambil berbincang pengalaman Linggar di Bukit Sambung. Widari mendengarkan dengan sungguh-sungguh, peperangan yang mengerikan dan menimbulkan banyak korban.
“Sudah berapa lama sebenarnya kau kembali ke Pajang?”
“Sudah hampir tiga hari, cuma aku memang baru sempat menemuimu. Karena harus melaporkan kepada Sinuwunun Adipati hasil peperangan di Bukit Sambung, dan juga penyerahan beberapa tawanan dan benda pusaka.”
“Bukankah Wurpasa juga sudah kembali pulang? Apakah dia tidak memberitahumu?”
“Hmm.., si hitam itu sibuk mengurusi kuda-kuda ayahandaku yang selama ditinggalkannya diurus ayahnya. Memang bukan tugas utama Wurpasa, melainkan tugas ayahnya. Tetapi dia anak yang cukup rajin dan berbakti kepada orang tuanya,” puji Rara Widari.
“Bagaimana dengan Dalika? Apakah putera Tumenggung Derpayuda itu masih mengganggumu?” tanya Linggar.
“Ah tak perlu lagi risau tentang dia, dia masih konyol seperti yang lalu-lalu. Tetapi aku lebih memilih menghindarinya jika berpapasan di jalan. Sekarang aku sering menunggangi kuda kalau keluar, jadi gampang untuk kabur dari pengawasan Dalika,” kata Widari sambil tersenyum lebar.
Linggar menggeleng-gelengkan kepala. “Kau memang cerdik dan punya seribu cara dalam segala hal. Termasuk dalam hal memikatku, kau hembuskan mantra-mantra sakti yang mengandung gendam!” seloroh Linggar.
“Apa? Apa kau bilang?” potong Widari dengan mata melotot. Pipinya terlihat kemerahan ranum dan juga bibirnya sedikit menahan senyum. Puteri Tumenggung Purbasana itu pun menjadi terlihat semakin ayu.
“Tidak! Tidak.., aku hanya bercanda!” sahut Linggar. Tetapi Widari terus saja mencubitnya berkali-kali.
Tetapi keakraban keduanya kemudian dikejutkan kehadiran beberapa orang pemuda. Mereka terdiri dari 4 orang pemuda. Mereka rata-rata berpakaian layak seperti anak-anak orang kaya.
Linggar dan Rara Widari segera bangkit berdiri melihat kehadiran mereka. Keduanya pun dapat memastikan, bahwa mereka bukan dari dalem katumenggungan atau pun teman-teman Dalika yang biasa mengganggunya.
“He.., lihat dua sejoli ini! Nampaknya mereka sedang bermesraan!” kata salah seorang yang berkulit putih.
“Ya jarang sekali ada pekathik yang memiliki kekasih seorang majikan!” kata yang bertubuh gemuk. “Kau lihat yang laki-laki ini pakaiannya tidak menunjukkan orang yang berharta, tetapi anehnya gadisnya cukup terawat. Bahkan kulitnya putih halus!”
Linggar yang diejek menahan hati. Ia hanya terdiam saja, tidak ingin ada benturan terjadi. Sementara Rara Widari dadanya bergejolak ingin mengoyak kedua orang yang berujar seenaknya itu.
Salah satu dari mereka mendekat ke arah Linggar. “He anak dungu! Aku melihat sepasang kuda ditambatkan dibawah pohon itu, kalian kemari berkuda?”
Linggar tak menjawab hanya mengangguk.
“Hmm.., orang sepertimu mampu membeli kuda? Aku tak yakin! Kau pasti telah mencurinya!” kata orang yang bertubuh kurus.
“Tidak itu miliku!” jawab Linggar pendek.
“Tidak mungkin!” kata seorang pemuda yang sedari tadi hanya menyimak. “Dapat uang dari mana kau mampu membelinya he?”
Linggar tak menjawab hanya menunduk saja, tetapi tetap waspada berada disamping Rara Widari.
Tiba-tiba yang berkulit putih diantara mereka menyela. “Mungkin saja dia mempunyai kuda, mungkin dari hasil memeras anak majikannya itu!” katanya sambil tertawa, diikuti dengan ketiga pemuda lainnya.
Widari yang menjadi tidak telaten. Tangannya mengepal, ingin segera meloncat meninjunya. Tetapi Linggar segera menggamitnya.
“Kisakak semua!” kata Linggar mencoba berbicara. “Jika kalian ini singgah di telaga ini silahkan! Kami sudah selesai, kami akan meninggalkan tempat ini!”
“Enak saja! Tidak semudah itu!” sahut yang berkulit putih.
“Kami adalah pemuda padukuhan dekat sini. Kami adalah anak para bebahu di padukuhan ini.”
“Jadi! kalau kau mau pergi, silahkan! Tetapi tinggalkan gadis itu, aku akan membawanya pulang ke padukuhanku!” katanya dengan tawa yang mengejek. “Gadis itu lebih pantas berada disampingku, ketimbang kau yang hanya seperti pekathik itu!”
Linggar sulit menghindari benturan yang terjadi, ia pun akhirnya mengambil sikap tegas.
“Siapa diantara kalian yang menginginkan gadisku ini?”
Semuanya terkejut, termasuk Widari. Tetapi Linggar langsung memberi isyarat agar Widari tenang.
Keempat pemuda itu kemudian mengacungkan jarinya. Linggar hanya tersenyum tipis.
“Tidak mungkin 1 gadis secantik ini untuk 4 laki-laki! Apakah kalian begitu bodoh untuk berbagi!”
Widari menjadi tersinggung mendengar pernyataan Linggar yang kasar itu. Rara Widari menginjak kaki Linggar kemudian. Linggar hanya sedikit meringis sambil tersenyum.
“Tenanglah! Ikuti permainanku!” bisiknya lirih.
Widari akhirnya hanya memberengut sambil menyilangkan kedua tangannya bersedekap.
“Kau benar juga anak muda!” kata yang berkulit putih. “Keluargaku adalah yang terkaya, diantara ketiga kawanku ini. Jadi aku yang layak memilikinya!”
“Tunggu dulu!” kata yang gemuk. “Walaupun kau kaya tetapi pangkat ayahku adalah Jagabaya di padukuhan! Jadi akulah yang lebih berhak!”
Yang dua orang lagi pun sama, akhirnya mereka saling berbantahan. Linggar hanya tersenyum-senyum pada Widari menyaksikan itu. Widari sendiri masih memberengut saja.
“Ini permainan menarik Widari! Lihatlah, mereka saling ngotot untuk mendapatkanmu!” katanya sambil tertawa lirih. Sementara mereka saling berbantahan, Linggar menggamit lengan Widari untuk meninggalkan tepian telaga.
Tetapi sebelum keduanya melepaskan tambatan kuda mereka, keempat pemuda tadi tersadar dan memperingatinya.
“He pemuda dungu!” kata yang berkulit putih. “Jangan kabur! Kami sedang menentukan siapa yang lebih berhak akan gadis itu!”
“Kalian terlalu lama menentukan keputusan, aku tidak mau berlama-lama lagi disini!”
“Jangan bertindak bodoh anak dungu! Biarlah kau pergi, tetapi gadis itu biarkan ia tetap disini! Kami nanti yang yang menentukan siapa yang lebih berhak, atau mungkin akan kami nikmati bersama-sama!” kata yang bertubuh gemuk dengan mata liar.
Telinga Widari makin panas mendengarnya, tetapi Linggar kembali bermain-main dengan mereka.
“Begini saja! Aku ingin melihat diantara kalian berempat, siapakah yang lebih jantan?”
“Maksudmu?” kata yang berkulit putih, yang seolah begitu bernafsu.
“Kalian saling beradu dada satu sama lain. Nanti dua orang yang mampu bertahan bisa mengambil gadis yang bersamaku ini!”
“Baik!” kata yang gemuk. Diikuti yang lain ikut mengangguk.
“Lihatlah Widari!” bisik Linggar. “Mereka begitu bodoh mengikuti permainanku!”
“Kau sama menjengkelkannya dengan mereka Linggar! Aku sendiri sudah tidak sabar merobek-robek mulut lancang mereka!”
Maka kemudian 4 pemuda itu pun saling baku hantam. Yang berkulit putih dan berbandan tegap itu, sengaja mencari lawan salah satu dari dua orang temannya yang bertubuh kurus. Begitu juga yang bertubuh gemuk, ia mengandalkan kekuatan tubuhnya yang gempal dan tak tergoyahkan.
Yang berkulit putih itu ternyata cukup tangkas, ia menyerang lawannya dengan pukulan-pukulan yang begitu terarah. Maka tak lama kemudian lawannya itu pun terdesak. Si kurus bukan tak melawan, meskipun sempat berkelit dan mempunyai kesempatan memukul. Tetapi seolah arah pukulannya dapat terbaca dengan mudah. Maka beberapa kali serangannya dapat terpatahkan. Akhirnya diujung perlawanannya ia terjerembab mencium tanah, ketika pria berkulit putih itu memuntir tangannya ke belakang, kemudian menendang dengan satu kakinya. Si kurus pun hanya mengeluh kesakitan sambil meludah beberapa kali, akibat debu yang masuk ke dalam mulutnya.
“Edan..! kau kasar sekali! Kau berniat membunuhku!” Si Kurus memaki.
“Apa boleh buat! Aku tak akan menyia-nyiakan gadis itu!” kata yang berkulit putih sambil mencibir.
Si Kurus pun mengangkat tangan tanda menyerah. Sementara kembarannya yang berkelahi dengan yang bertubuh gemuk, bernasib sama. Meskipun terhitung gesit tetapi pukulan-pukulannya bak menghantam batu karang. Si gemuk tak tergoyahkan, meskipun geraknya kaku, ia mampu membanting lawannya hingga terlentang tak berdaya. Maka kini tinggal tersisa dua orang yang berdiri tegak sebagai pemenang.
Linggar yang mengamati jalannya perkelahian, dapat menilai. Bahwa sesungguhnya mereka tidak memiliki bekal kanuragan sama sekali, Hanya mengandalkan jasmani mereka yang kuat, bahkan terlihat seperti anak kecil yang berebut mainan.
“Nah anak dungu! Kami sudah mengalahkan dua teman kami! Apakah kami harus mencari pemenang tunggal diantara kami berdua?” tanya yang berkulit putih.
“Tidak perlu!” sahut Linggar.
“Maksudmu?” kata yang bertubuh gemuk.
“Silahkan kau bawa gadis itu! Aku sudah tidak perduli lagi!”
“He..? bocah edan!” kata yang berkulit putih mengumpat. “Apa kau sudah pasrah dengan nasibmu! Kalau begitu enyahlah dari tempat ini!”
“Aku sudah bosan dengan gadis itu! Silahkan kalian bawa kalau mau! Tetapi aku masih ingin disini!” kata Linggar sambil bersandar dengan santainya di batang sebuah pohon.
Widari tambah sewot dengan ulah Linggar yang seperti acuh-tak acuh, bahkan sebagai wanita Widari merasa dilecehkan.
“Apa katamu Linggar?” Katanya dengan wajah memerah. “Kau tidak main-main bukan?”
“Sudahlah Widari! Nikmati saja permainan ini!” kata Linggar lirih. “Lagi pula kau belum pernah bukan berkelahi secara sungguh-sungguh? Inilah saatnya!”
Widari hanya menggerutu sendiri mendengar ucapan Linggar. Kemudian kedua pemuda terkuat itu tanpa bersepakat telah mendekati Widari.
“Ayo anak manis, aku adalah anak saudagar kaya di padukuhanku. Kau akan bahagia denganku!” kata yang berkulit putih.
Widari yang kemarahannya sudah sampai ubun-ubun, memperingati mereka.
“Cukup! Berhenti disitu! Jangan mendekat!” bentak Widari
“Hei.., liar juga gadis ini!” kata yang gemuk, sambil mencoba menggenggam pergelangan tangan Widari. Widari dengan cepat mengibaskan lengannya. Disusul kemudian pemuda yang berkulit putih, ia mencoba menyentuh dagu Widari. Tetapi Widari bertambah marah, ia menepis dengan sisi lengannya, tetapi sekaligus ia menampar wajah pemuda itu dengan telapak tangan kanannya. Pemuda berkulit putih itu mengumpat dengan kata-kata kasar, pipinya terasa panas oleh tamparan telapak tangan Widari. Ditambah lagi tamparan yang keras itu menimbulkan titik darah di sudut bibirnya.
“Tidak tahu diuntung!” katanya dengan nada tinggi. “Kami akan menyekapmu dan menikmati tubuhmu secara beramai-ramai!” ancamnya lagi.
Widari hanya terdiam tetapi waspada. Ia pun tak menyangka ternyata tamparan tangannya cukup keras, hingga melukai bibir pemuda itu. Linggar hanya mengamati dari tempatnya bersandar tadi, tetapi tetap meningkatkan kewaspadaan.
Kemudian lelaki berkulit putih itu mencoba menjamah pundak Widari, tetapi lagi-lagi Widari mampu berkelit. Pemuda itu menjadi bertambah geram, ia terus saja merangsek meskipun Widari menghindar dan menepis tangan-tangan yang berusaha menjamahnya.
“Aku tidak akan main-main kali ini! Ternyata kau licin seperti belut!”
Widari tidak bisa terus-menerus menghindar, akhirnya ia memutuskan untuk memberi pelajaran kepada para pemuda jahil itu. Ketika tangan kanan pemuda itu mencoba menarik baju dibagian dadanya, Widari menangkap lengannya, kemudian dengan kepalan tangan kanannya memukul lambung pemuda berkulit putih itu beberapa kali. Pemuda itu pun terbungkuk-bungkuk sambil menahan sakit. Kemudian Widari melepaskannya, saat pemuda itu hilang keseimbangan tendangan kaki kanannya bersarang di tubuh lawannya. Pemuda itu pun terdorong mundur dan jatuh terduduk di tanah.
Si Gemuk yang melihat kawannya tak berdaya, menjadi naik darah. Saat Widari lengah, ia telah membokong Widari dari arah belakang. Ia berusaha mendekap Widari dari arah belakang. Meskipun hanya sekejap, sinar matahari membantu Widari menyadari bayangan lelaki gemuk itu dari arah belakang. Maka dengan satu kakinya di jejakkan kakinya ke belakang. Lelaki gemuk itu terkejut tetapi tak ada kesempatan untuk menghindar. Lambungnya pun menjadi sasaran tendangan Widari, tetapi lelaki gemuk itu hanya surut selangkah. Tendangan Widari ternyata tak mampu menggoyahkan pijakan kakinya.
Widari kemudian berbalik menghadapnya. Ia pun tak menunggu serangan, melainkan mendahuluinya. Ia memukul wajah pemuda gempal itu beberapa kali, tetapi ia tidak menghindar, bahkan menyediakan bagian tubuhnya untuk disakiti. Sungguh aneh bagi Widari. Tetapi bahayanya pemuda gemuk itu terus mendesaknya, hingga Widari kebingungan bagaimana cara melumpuhkannya.
“Ayo pukulah terus anak manis, aku menyediakan tubuhku untuk kau sakiti. Yang penting aku bisa menerkammu hidup-hidup!” katanya.
Pernyataan itu membuat bulu kuduk Widari meremang, tetapi melihat Linggar yang santai-santai saja, membuat ia terpaksa harus memecahkan masalahnya sendiri. Widari kembali mencoba memukul dengan tangan kanannya, tetapi kali ini Si Gemuk mampu menangkap kepalan tangannya yang mungil itu. Widari tak mampu melepaskan cengkaraman jemari pria yang besar-besar itu. Maka kini dengan kepalan tangan kirinya diulangi lagi memukulnya. Tetapi yang terjadi sama, kedua kepalan tangannya terperangkap.
Untunglah Widari berpikir cepat. Ia menghantam lambung pria gemuk itu dengan lutut kakinya berkali-kali maka pemuda itu pun mengeluh kesakitan dan melepaskan cengkeraman tangannya. Pada saat itulah Widari mempunyai kesempatan untuk melumpuhkannya.
Rara Widari sadar pemuda gemuk itu cukup kokoh, makanya tidak mungkin melemahkannya dengan menebas batangnya, melainkan dengan menebas pucuknya. Maka kemudian Widari bergerak melayang seperti elang menukik menyambar mangsa. Didukung dengan tubuhnya yang ramping ia menapakkan satu kakinya pada perut tambun lawannya, kemudian dengan punggung kaki kanannya bergerak menyapu kepala pemuda gemuk itu. Pemuda gemuk itu merasakan matanya menjadi gelap dan kepalanya pening, kemudian terhuyung-huyung dan jatuh tumbang.
Linggar sempat terkesima melihat gerakan luar biasa yang ditunjukkan Rara Widari, ia berdecak kagum ternyata Nyi Ajar Kesada menempanya menjadi tangguh.
2 orang terkapar sudah. Sedangkan 2 orang kembar bertubuh kurus masih menyaksikan dari tepi kalangan, dilihatnya dua temannya itu masih meringis kesakitan.
Linggar kemudian mendekati Widari, yang dadanya masih bergejolak dan napasnya masih memburu.
“Ayo Widari, kita tinggalkan mereka!”
Widari pun menyadari kemudian, ia mengendurkan kuda-kudanya. Tak ada gunanya lagi diteruskan, karena mereka sudah benar-benar dikalahkan. Tetapi mereka kemudian menyatukan diri. Dua orang yang terkapar itu didukung untuk bangkit oleh si kembar kurus yang sebelumnya kalah dalam undian, meskipun tubuh mereka masih terasa sakit, tetapi dipaksakan untuk bangkit juga.
“Kurang ajar! Tanpa sadar kita telah dipecundangi! Mau saja kita menuruti perintahnya!” kata salah seorang dari yang kembar, setelah mengamati keadaan.
“Kau benar kakang!” kata kembarannya. “Anak muda itu telah memperdaya kita! Bagaimana kalau kita tangkap keduanya bersama-sama?”
Semua mengangguk setuju kemudian. Linggar menjadi naik darah mendengarnya, ternyata mereka belum jera juga.
“Cukup!” bentak Linggar. “Aku tak segan menghabisi kalian berempat jika masih bernafsu mengganggu kami!”
“Lihatlah keadaan kalian! Menangkap 1 gadis saja kalian tidak bisa, apalagi aku ikut campur!”
“Sombong sekali kau!” kata yang bertubuh gemuk. “Kalian akan menyesal, aku akan kembali ke padukuhan dan membawa kawan-kawanku!”
“Jangan gegabah! Sebelum aku menjadi tak terkendali dan menceburkan kalian satu-persatu ke tengah telaga itu!” ancam Linggar. “Ingat aku tidak akan mengampuni kalian lagi setelah ini!”
Ancaman Linggar itu membuat 4 pemuda itu terdiam beberapa saat. Jika mereka melihat kedalam diri mereka masing-masing, maka mereka tak memungkiri mustahil untuk melanjutkan perseteruan.
Tetapi disaat mereka berdiri terpaku ditempatnya masing-masing. Datang seorang berkuda diiringi beberapa orang pemuda yang berlari-lari. Rupanya keributan itu telah mengundang perhatian orang padukuhan terdekat.
“Itu disana Ki Jagabaya! Aku tadi sedang merumput dan tak sengaja menyaksikan keributan itu!” kata salah seorang yang berlari-lari diantara mereka.
“Kurang ajar! Bukankah itu para pemuda dari padukuhan Sangkrah?” kata orang yang disebut Jagabaya.
“Benar Ki! Aku melihat putera Ki Jagabaya juga terlibat perkelahian disana!”
Beberapa saat kemudian rombongan Jagabaya itu telah tiba di tepian Telaga itu. Ditatapnya para pemuda padukuhannya yang babak belur.
“He, Udaya!” kata Ki Jagabaya kepada yang bertubuh gemuk. “Kenapa wajahmu dan yang lainnya menjadi babak belur begitu?”
Orang yang dipanggil Udaya itu pun seperti mendapat angin segar ketika orang padukuhannya datang. Apalagi Ki Jagabaya yang tidak lain adalahn ayahnya. Maka ia pun mulai berpikir licik.
“Ayah! Sepasang muda-mudi ini telah berbuat bejat di tepian telaga ini! Kami berempat mencoba memperingati mereka berdua, tetapi ternyata mereka bukan orang sembarangan. Kami dihajar habis-habisan!” Udaya mengarang cerita licik.
Linggar yang mendengarnya darahnya menjadi mendidih. Dia pun menyela pembicaraan kemudian. “Jangan gegabah dengan mengarang cerita! Akibat fitnahmu itu akan membahayakan orang lain!”
Ki Jagabaya yang menjadi tersinggung kemudian, apalagi disitu ada anaknya yang bernama Udaya telah dipermalukan. Belum lagi ketiga yang lainnya adalah anak-anak orang berpengaruh di padukuhan.
“Jangan ingkar anak muda! Kau telah membuat keresahan di wilayah padukuhan Sangkrah! Sebaiknya kalian segera kami bawa ke Sangkrah untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!”
“Ki Jagabaya,” Linggar mencoba mendinginkan suasana. “Kami berdua hanya singgah di telaga ini, dan menikmati keindahannya. Kami tidak melakukan hal-hal yang diluar batas kesusilaan. Jadi tidak benar yang dituduhkan Udaya putramu itu, ia hanya mengarang cerita.”
“Lalu kenapa kau buat babak belur 4 pemuda dari padukuhanku itu?”
“Mereka yang telah mengganggu kami Ki Jagabaya. Mereka mencoba mengganggu gadis yang bersamaku ini.”
“Bohong ayah! Mereka mencoba berkilah ayah! Kita tangkap saja beramai-ramai, lalu seret ke padukuhan! Mereka itu berbahaya ayah!” Udaya mencoba mempengaruhi ayahnya. “Di padukuhan Sangkrah banyak gadis serupa dia, buat apa kami begitu bodoh memperebutkannya!”
“Kau dengar anak muda! Tidak ada alasan bagi pemuda Sangkrah untuk memperebutkan seorang gadis. Jadi aku rasa, kau saja yang mungkir dari perbuatan bejatmu!”
Linggar makin tak telaten menghadapi Ki Jagabaya yang mudah terhasut itu. Sepertinya unggah-ungguh sudah tidak lagi diperlukan untuk menghadapi Jagabaya yang seperti ini.
“Ki Jagabaya! Gunakan nalarmu. Kami bukan binatang yang mempertontonkan hal tak sepantasnya ditempat terbuka! Kalau kau tak percaya, tanya saja gadis yang bersamaku ini!”
Tiba-tiba yang kurus kemudian juga ikut menghasut dan memanasi suasana. “Gadis itu sama gilanya Ki Jagabaya! Mana mungkin ia mau mengaku?”
“Sudah! Sudah! Aku yang memutuskan sekarang!” potong Jagabaya.
“Kisanak! Kalian berdua harus ikut ke padukuhan kami, untuk kami adili! Jika kalian melawan, aku terpaksa menyeret kalian ke padukuhanku secara paksa!”
“Kami akan melawan!” sahut Linggar pendek. “Ternyata kau tidak pantas menyandang jabatan sebagai Jagabaya, kisanak! Orang sepertimu mudah dihasut, bahkan demi memanjakan anakmu yang gempal itu, kau tak menggunakan akal sehatmu!”
“Jangan mengguruiku! Bersiaplah jika kau ingin melawan!”
“Aku sudah siap! Silahkan Ki Jagabaya mau pakai cara apa untuk menangkap kami berdua? Mau keroyokan seperti bocah memperebutkan mainan, seperti yang telah dicontohkan 4 pemuda tadi? Atau Ki Jagabaya akan mengajakku berperang tanding?”
“Sombong sekali kau! Aku masih mampu meringkusmu sendiri, tanpa melibatkan yang lain. Kau pikir aku anak kemarin sore, yang dapat kau bodohi seperti anak-anak itu?” Ki Jagabaya menjadi gusar.
“Terserah Ki Jagabaya! Perlu kau ketahui, bahkan anakmu Udaya itu tidak mampu mengalahkan gadis yang bersamaku ini! Ia hanya anak manja yang memanfaatkan kuasamu!”
Ki Jagabaya seperti diperingati, mendengar itu. Artinya dua orang itu bukan tanpa kemampuan sama sekali. Tetapi ia sudah memutuskan untuk menyeret keduanya ke padukuhan Sangkrah untuk diadili. Maka tidak ada kata mundur.
Maka kemudian Ki Jagabaya dan Linggar telah bersiap untuk bertarung. Yang lain hanya menyaksikan dari jarak yang tidak terlalu dekat. Sementara Rara Widari pun menjadi sedikit cemas, apalagi yang dihadapi Linggar orang yang sudah cukup berumur. Tentu Ki Jagabaya mempunyai kemampuan yang lebih, apalagi ditambah pengalamannya sebagai Jagabaya. Walau begitu Widari masih yakin, Linggar mampu mengatasinya. Karena Linggar adalah prajurit yang punya pengalaman di medan perang.
Ki Jagabaya mendahului menyerang, ia menerjang dengan kakinya ke arah dada Linggar. Dengan cepat Linggar menepisnya dengan sisi lengan kirinya. Tetapi kemudian menyusul pukulan Ki Jagabaya ke arah wajah, Linggar menghindarinya dengan kepala ditekuk ke samping, sambil sisi lengannya membentengi di wajah. Kini giliran Linggar balik menyerang, tangannya memukul dengan gerakan cepat ke arah wajah dan dada. Awalnya Ki Jagabaya sempat terkejut, tetapi sebagai orang yang memiliki pengalaman, ia dapat menyesuaikan diri kemudian. Debu-debu mengepul akibat gerakan dan sapuan-sapuan kaki mereka. Memang kali ini keadaannya beda dengan perkelahian sebelumnya, karena kali ini yang berkelahi adalah orang-orang yang memiliki kemampuan jauh di atas para pemuda tadi. Beberapa orang pemuda yang sebelumnya mengiringi Ki Jagabaya dari Sangkrah pun jantungnya berdebar-debar menyaksikan pertarungan yang cukup sengit. Tetapi dalam hatinya mereka yakin bahwa Ki Jagabaya adalah orang yang memiliki kemampuan kanuragan yang cukup disegani di padukuhan Sangkrah. Hanya saja memang mereka akui bahwa Jagabaya itu kadang penuh amarah dalam setiap menyelesaikan persoalan, kadang malah berpihak pada mereka yang memiliki uang banyak.
Sementara pertarungan terlihat imbang, mungkin karena keduanya belum meningkatkan kemampuan. Saling serang tetapi belum ada yang mampu melukai atau pun membuat lawannya tersakiti. Tetapi lama-kelamaan terlihat juga siapa yang mulai setapak demi setapak terdesak. Ki Jagabaya sepertinya mulai meningkatkan serangan, ia bergerak cepat menembus pertahanan lawan. Linggar pun menyadari hal itu, oleh karenanya ia pun mulai mengimbanginya. Tetapi ternyata kecepatan gerak Linggar lebih unggul, ada beberapa celah kosong pertahanan Ki Jagabaya. Maka Linggar pun memanfaatkan hal itu, pukulannya bersarang di dagu Ki Jagabaya. Ki Jagabaya merasakan pedih dimulutnya. Ternyata pukulan itu melukai rongga mulut yang beradu dengan giginya. Ia pun meludah darah dan mengumpat kasar.
“Keparat..! Kau telah membuat darahku mendidih. Aku tak akan mengampunimu lagi. Sebut siapa namamu, sebelum aku membunuhmu sebentar lagi!”
“Aku belum ingin mati, Ki Jagabaya! Tapi perlu kau ketahui juga namaku, aku Linggar. Akulah nanti yang akan membenamkanmu di telaga itu disaksikan para pemuda Padukuhan Sangkrah. Sebagai contoh Jagabaya yang bertindak ceroboh!” kata Linggar dengan nada nyaring.
Ki Jagabaya tidak menyahut lagi, tetapi makin terpacu untuk segera menghabisi Linggar. Namun ternyata begitu sulit untuk menaklukkannya, beberapa upayanya untuk menembus pertahanan Linggar, tetapi sia-sia saja karena Linggar geraknya tak mudah ditebak. Maka kemudian mulai nampak keletihan di wajah bebahu Sangkrah itu. Ia mulai terdesak dan beberapa kali harus jatuh-bangun untuk menghadapi Linggar. Linggar tidak memburunya lagi ketika tendangannya membuat Ki Jagabaya jatuh terduduk. Dia memberi kesempatan Ki Jagabaya untuk menilai keadaan.
“Cukup Ki Jagabaya! Sebaiknya kita sudahi saja, perkelahian yang tak berguna ini, hanya akan menguras tenaga saja! Aku akan pergi meninggalkan tepian telaga ini!” Linggar memperingati.
“Tidak akan kulepaskan! Aku belum kalah, Linggar! Jangan berbangga diri dulu!” kata Ki Jagabaya sambil terengah-engah.
Rupanya Ki Jagabaya menjadi gelap mata. Ia meraba sesuatu dipinggangnya, ternyata sebilah keris. “Kau telah merendahkan aku sebagai Jagabaya, maka kau harus mati!”
“Jangan bermain-main dengan senjata tajam itu, Ki Jagabaya! Aku tidak merendahkanmu, justeru kau yang merendahkan dirimu sendiri!”
“Persetan!”
Ki Jagabaya menjadi buas. Ia menyerang dengan kerisnya sejadi-jadinya. Rupanya dia telah kehilangan akal, untuk meladeni Linggar. Karena dengan tangan kosong, Linggar tidak juga tergoyahkan. Maka tidak ada cara lain, selain memanfaatkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya.  Kerisnya dijulurkan ke arah lambung Linggar, dengan mudah Linggar menghindarinya dengan surut selangkah ke belakang, kemudian dengan telapak tangannya menepis lengan Ki Jagabaya yang menggenggam keris. Serangan itu memang dapat dipatahkan, tetapi Ki Jagabaya tidak menjadi putus asa. Jagabaya mencoba merubah cara menggenggam kerisnya, kerisnya itu kini tidak dalam keadaan terhunus, melainkan bilah kerisnya dihadapkan membelakangi. Dengan begitu, Ki Jagabaya lebih leluasa menyambar-nyambar dan merobek-robek, ke arah lambung dan dada Linggar. Linggar tak bisa terus-menerus menghindar menghadapi lawan dengan cara menggenggam keris yang tak lazim itu. Keris itu seperti bersembunyi dibalik lengan lawannya, dan secara tiba-tiba dapat mencuat merobek dada lawan, bahkan bisa menghujam jantung lawan dengan kekuatan penuh. Maka kini Linggar mencoba untuk segera menyudahi perlawanan Ki Jagabaya.
Pola serangan Linggar kini berubah, ia bergerak terus mengitari lawannya, tujuannya untuk membuyarkan perhatian lawannya. Linggar bergerak lebih cepat lagi sehingga Ki Jagabaya menjadi kesal, sasarannya terus saja berpindah tempat. Disaat ada kelengahan, Linggar menerjang dengan kakinya, menendang punggung Ki Jagabaya. Ki Jagabaya kuda-kudanya menjadi goyah dan tergeser surut beberapa langkah beberapa langkah, mendekati tepian telaga. Linggar tak memberi kesempatan Ki Jagabaya untuk menyadari keadaan. Ia langsung memukul rahangnya. Akibatnya pandangan Ki Jagabaya menjadi buram dan kepalanya terasa pening. Ia pun kemudian roboh di tepian telah dengan wajah terbenam ke air. Kedua tangannya kemudian digunakan untuk menopang tubuhnya agar wajahnya tidak terbenam ke dalam air, ia menjadi terbatuk-batuk karena air telah masuk ke dalam mulut dan hidungnya.
Linggar mendekatinya dan sedikit membungkuk, kemudian menarik baju Ki Jagabaya, agar wajahnya tidak terbenam air. “Kau menyerah Ki Jagabaya? Sekarang perintahkan para pemuda itu untuk kembali ke Sangkrah!”
“Tidak! Tidak akan!” katanya sambil menelah ludah dan terbatuk-batuk. “Akan aku perintahkan mereka meringkusmu beramai-ramai!”
“Bodohnya kau!” Linggar menjadi bertambah marah. “Lihatlah dirimu sendiri, dan 4 pemuda tadi yang sebelumnya sudah tak berdaya, kau masih mau mungkir dari kenyataan?”
“Persetan!” sahut Ki jagabaya.
Dibenamkannya kembali wajah Ki Jagabaya ke dalam air beberapa saat, maksudnya untuk memperingatinya agar menyerah. Ki Jagabaya tangannya menggapai-gapai dan meronta, kemudian di angkat lagi wajahnya ke permukaan dan tak sengaja menarik baju Linggar. Maka tersembulah sebuah kalung yang membuat Ki Demang tercengang melihatnya.
“Kau.., kau prajurit Pajang?” katanya sambil terbatuk-batuk.
Linggar yang menyadari jatidirinya terungkap, kemudian menjawab. “Ya Ki Jagabaya. Aku sengaja tak memamerkannya di hadapanmu dan para pemuda Sangkrah itu, karena memang tak sepantasnya hal itu dipamerkan!”
Ki Jagabaya kemudian berusaha untuk duduk, meskipun masih digenangan air. Linggar sendiri tak berusaha membenamkannya lagi.
“Ngger!” nada bicara Ki Jagabaya agak merendah. “Kenapa tidak sedari tadi kau katakan, kalau kau adalah seorang prajurit Pajang?”
“Aku bukanlah orang yang suka pamer dengan sebuah jabatan Ki Jagabaya, apalagi untuk bertindak sewenang-wenang terhadap sesama. Aku hanyalah prajurit biasa, deksura kiranya jika aku membanggakannya. Berbeda dengan Ki Jagabaya yang lebih menuruti hawa nafsu dengan kuasanya, ketimbang akal yang jernih!”
Tiba-tiba saja Ki Jagabaya bersimpuh dan memohon ampun. “Maafkan aku angger Linggar! Aku telah bertindak melampaui batas, justeru yang kulawan adalah penegak hukum di kadipaten Pajang,” katanya penuh penyesalan.
Linggar akhirnya mereda juga amarahnya, mendengar pengakuan Ki Jagabaya. “Baiklah Ki Jagabaya! Jangan bersimpuh seperti itu! Aku lebih muda daripadamu, lagipula aku bukanlah sinuwun Adipati ataupun Raja Demak yang jadi sesembahan.”
Linggar mendukung Ki Jagabaya untuk segera bangkit berdiri. Pemandangan itu aneh dan tak dimengerti bagi para pemuda Sangkrah. Kenapa Ki Jagabaya yang mereka andalkan tiba-tiba melunak dan bertekuk lutut dihadapan Linggar? Anak Ki Jagabaya tidak terima ayahnya dilecehkan, maka tiba-tiba saja Udaya memerintahkan kawan-kawanya untuk maju mengeroyok Linggar. Ki Jagabaya sendiri terlambat memperingati.
“Habisi beramai-ramai pemuda tak tahu diri itu! Bila perlu ceburkan ke telaga, sebagaimana dia memperlakukan Ki Jagabaya!” kata Udaya dengan suara nyaring.
Linggar sebenarnya sudah mereda kemarahannya, akan tetapi menjadi berang kemudian. Dia menyongsong ke empat pemuda yang diantaranya adalah Udaya. Dengan sekali kelebatan saja empat pemuda Sangkrah berjatuhan, Linggar bergerak begitu cepat sehingga lawan sulit mempertahankan diri maupun menghindar.
“Hei.., hentikan! Apa yang kalian lakukan!” kata Ki Jagabaya meninggi. “Aku yang memutuskan! Kita kembali ke Sangkrah, biarkan pemuda ini pergi!”
“Aku mohon diri ngger! Mudah-mudahan kesalahpahaman ini angger maafkan!” kata Ki Jagabaya yang tidak ingin perbuatannya diketahui keprajuritan Pajang. Sebenarnya Linggar tidak akan menghubungkan persoalan ini dengan keprajuritan Pajang, hanya saja Ki Jagabaya yang merasa khawatir jika jabatannya terancam.
“Pergilah Ki Jagabaya! Ajari pemuda Sangkrah bersikap jantan dan menjunjung tinggi unggah-ungguh!”
“Baik, baik nger..!” jawabnya, sambil tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu dan membantu Udaya dan lainnya bangkit.
Orang-orang Sangkrah pun kemudian terlebih dahulu meninggalkan tepian telaga. Terdengar beberapa kali ia mengumpat dan menggerutu.
“Bodoh sekali kalian semua! Terutama kau Udaya!”
Udaya hanya terdiam sambil mengeluh sakit disekujur tubuhnya.
“Kalian telah berani bermain api! Kalian mencoba berurusan dengan prajurit Pajang! Untung saja pemuda tadi tidak membunuh kalian semua! Ia dari kesatuan prajurit sandi, aku paham dari ciri khusus yang pada kalungnya!”
Semua pemuda Sangkrah terkejut mendengar penuturan Ki Jagabaya, tak terkecuali Udaya. Kali ini mereka tidak bisa memaksakan kehendak mereka. Ini jadi pelajaran bagi mereka, bahwa dunia tidak sekecil Kademangan Sangkrah saja.
Sementara Linggar dan Rara Widari telah meninggalkan tepian telaga untuk pulang. Keduanya berkuda perlahan sambil berbincang.
“Mereka rupanya biasa berbuat sekehendak hatinya!”
“Ya, Linggar! Menyebalkan sekali para pemuda itu!” keluh Widari.
“Tetapi mungkin tindakan mereka yang kelewat batas itu karena didukung yang tua-tua. Makanya mereka jadi hilang kendali.”
Widari menatap Linggar kemudian. “Ah tetapi kau juga yang banyak tingkah!”
“Maksudmu?”
“Kau meladeninya, seperti menikmati permainan yang menyebalkan itu!”
Linggar hanya tersenyum, tetapi tidak menanggapinya lagi. Bebarapa saat kemudian keduannya memasuki pasar, kemudian segera memisahkan diri ketika memasuki dalem katumenggungan, untuk sekedar menghindari perhatian para pemuda di Katumenggungan.

32 komentar:

  1. Mohon maaf lahir dan bathin...
    Selamat membaca...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2...mohon maaf jg.
      Dilanjut bro..ojo suwe2 update nya(udah terlanjur ketagihan n penasaran kelanjutan ceritanya)

      Hapus
  2. sama-sama...semangat...ditunggu kelanjutannya....bravo

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah...setelah ditunggu sekian bulan akhirnya nongol juga. jangan lama2 update nya mas.

    BalasHapus
  4. aduh sayang belum selesai, kalau dibuat buku akan lebih menarik nih, lanjut mas......

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. Terimakasih Ki Slamet Riyadi..
      Lagi padat ini isi kepala saya .. he..he..
      Antara Logika dan dunia khayal yg liar..wk.. wk..
      Masih garap buku teknik, Insya Alloh kalau dah selesai publish lagi ..
      Matursuwun...

      Hapus
  6. LANJUT.... SELALU SETIA MENANTI.... SEMOGA AUTHOR SEHAT SELALU DAN SEMAKIN SUKSES... AMIN.

    BalasHapus
  7. Kelanjutannya sedang dikonsep

    BalasHapus
  8. semoga author hari ini berbaik hati mau upload kelanjutan cerita ini langsung beberapa episode.... sehat dan sukses selalu ya bossqu...

    BalasHapus
  9. masih belum ada kelanjutannya.... sabar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf untuk saat ini blog saya sedang error. Tidak tahu kenapa? tidak bisa unggah halaman baru...
      Bila ada yang bisa kasih solusi mungkin? saya sudah searching di google, tetapi belum berhasil..
      Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.., mau buat blog baru, sayang soalnya usia blog ini sudah lumayan lama.., terimakasih

      Hapus
  10. Menunggu kisah selanjutnya mas....sudah terlalu lama gak di update.

    BalasHapus
  11. BELUM ADA LANJUTANYA.... EMAN REK.. CERITA YANG BAGUS....

    BalasHapus
  12. Ke su wen,
    Sampai saat ini mungkin sudah banyak yang mati penasaran karena kelanjutannya belom juga terbit

    BalasHapus
  13. Senoga Ki Penulis Sehat Sejahtera selalu... amin

    BalasHapus
  14. Mana lanjutanya nih..

    BalasHapus
  15. Ditunggu kelanjutannya

    BalasHapus
  16. Mana yg Episode ke 45 nya min?

    BalasHapus
  17. Ditunggu seri 45 dstnya yaa

    BalasHapus
  18. kok tidak dilanjutkan, September 2023.

    BalasHapus

Pengikut