Novel Cerita Silat Jawa

TDM 35

Malam harinya Ki ageng tampak sedang membuka peti pusakanya, yang berisi tombak Kiai Baru Klinting. Ia membuka ploconnya, kemudian mengusap-usap mata tombak itu dengan sejenis minyak.
“Hmm.., tombak ini sudah lama aku istirahatkan. Rasanya memang tidak perlu lagi tombak ini bergentayangan memakan korban,” gumamnya pada diri sendiri.
“Ayah..,” tiba-tiba Raden Jaka masuk ke ruangan ayahandanya itu.
“Jaka! Kemarilah ngger!”
“Apakah tombak ini masih diperlukan untuk menyelesaikan suatu masalah?” tanya Ki Ageng kepada Raden Jaka.
Raden Jaka belum menjawab, melainkan hanya duduk dihadapan ayahandanya dan ikut memperhatikan tombak itu.
“Aku rasa tidak,” Ki Ageng menjawab pertanyaannya sendiri. “Tombak ini seharusnya sekarang hanya jadi barang pusaka saja, perlambang dari kedaulatan Mangir. Dan pamor pusaka ini biarlah jadi dongeng saja, tanpa perlu membangkitkan lagi perbawanya.”
“Ayah. Selama kedaulatan Mangir itu terganggu, tentu tombak itu akan keluar dari sarangnya. Dan dalam hal ini, tentu akulah yang pantas menggenggamnya. Trah dari Mangir sendiri, bukan orang yang mengaku utusan Pajang tadi,” Raden Jaka menanggapi.
Ki Ageng tidak langsung menimpali, melainkan masih meraba-raba runcingnya tombak itu. Sambil sesekali mengoleskan minyak pada mata tombaknya.
“Aku harus membuat keputusan yang tepat, ngger. Dan juga menghargai pendapat utusan tadi. Jangan sampai, jika kita bergerak sendiri malah menimbulkan banyak korban jiwa.”
“Tetapi kita tidak tahu isi hati mereka, ayah. Bisa jadi mereka ingkar dan membawa kabur pusaka yang menjadi perlambang Mangir itu, ayah.”
“Tenanglah Jaka! Aku akan merundingkannya dengan Nataprawira selaku Panglima pasukan Mangir.”
Raden Jaka tidak membantah, ia kemudian hanya mendengarkan saja petuah dari ayahnya.
“Tolong, panggilkan Ki Nataprawira kesini. Aku ingin berbicara dengannya!” perintah Ki Ageng.
Raden Jaka pun kemudian menyuruh pengawal untuk menghadirkan Ki Nataprawira di ruangan khusus ayahandanya. Raden Jaka sendiri tidak ikut dalam pembicaraan, karena Ki Ageng tidak memintanya hadir.
“Ada apakah gerangan Ki Ageng memintaku menghadap?”
“Nataprawira, sesuai saranmu tadi siang. Aku ingin bermusyawarah denganmu mengenai keinginan Karebet untuk meminjam pusakaku. Bagaimana menurutmu? Apakah kita bertindak sendiri saja menyerang padepokan Watu Belah itu? Ataukah kita serahkan saja ke pihak Pajang untuk menumpasnya? Dengan ketentuan aku bersedia meminjamkan Tombak Kiai Baru Klinthing milikku pada utusan tadi?”
“Ada beberapa pertimbangan Ki Ageng,” sahut Ki Nataprawira. “Kalau kita menyerahkan begitu saja tombak itu kepada mereka, rasanya martabat kita sepertinya direndahkan. Tetapi kalau kita bertindak sendiri, tentu korbannya adalah rakyat Mangir. Apalagi kita tidak paham betul kekuatan padepokan itu.”
“Apakah aku harus turun langsung, memimpin rakyatku?” tanya Ki Ageng.
“Jangan Ki Ageng!” sahut Nataprawira. “Kita tahu pusaka Nagasengkala yang dicuri itu, disaat Pajang lengah dan mencurahkan perhatian mereka ke Padepokan itu. Hamba tidak mau hal itu terjadi di Mangir, disaat kepemimpinan Mangir kosong. Mungkin bukan pusaka yang dicuri, tetapi kekacauan yang mereka kobarkan di Mangir.”
Ki Ageng mengangguk-angguk, tanda setuju dengan pendapat Ki Nataprawira. Sebagai seorang ahli siasat dan panglima perang Mangir.
“Lalu, bagaimana sebaiknya?”
“Menurut Ki Ageng, apakah Ki Ageng mempercayai pemuda yang bernama Linggar itu dapat menguasai dengan baik pusaka milik Ki Ageng?”
“Aku tidak tahu pasti, Nataprawira. Tetapi pemuda itu memang memiliki pribadi yang cukup baik, itu menurut pengamatanku. Sedikit banyak aku mengetahui latar belakangnya, sebelum ia menjadi prajurit Pajang. Ia adalah orang yang terusir dari tanah kelahirannya, karena sebuah fitnah yang disebarkan para bebahu di kademangannya. Satu hal lagi, Pajang tidak mungkin mengirim seorang utusan, tanpa diketahui kemampuannya. Pemuda tadi juga mampu menyampaikan pesan yang diamanatkan kepadanya dengan baik, dan juga cara menyampaikannya pun dengan tutur kata yang santun.”
“Tetapi kemampuannya untuk menguasai tombak Baru Klinthing belum teruji, Ki Ageng. Apakah selain Ki Ageng, ada orang lain yang mampu menggunakan senjata pusaka itu dengan baik? Raden Jaka misalnya?”
Ki Ageng menarik napas dalam-dalam. Senjata miliknya bukanlah senjata biasa, maka orang yang menggenggamnya pun harus orang yang sudah memiliki ilmu yang mapan.
“Untuk ukuran anak muda seperti Jaka atau Linggar, aku sangsi Nataprawira. Kejiwaan dan nafsu mereka sebagai pemuda, kadang mengalahkan nalar mereka. Usia muda cenderung belum memiliki kejiwaan yang mapan. Sama seperti pertama kali aku memiliki senjata pusaka itu, senjata itu seperti mempengaruhi hidupku. Merasa paling kuat diantara yang lain, belum lagi jika tak memiliki keteguhan hati, senjata itu bisa menebarkan angkara murka bagi pemegangnya.”
Suasana hening beberapa saat diantara keduanya. Masing-masing sedang berpikir, bagaimana mencari jalan yang terbaik?
“Begini saja, Ki Ageng,” kata Ki Nataprawira kemudian. “Biarlah senjata itu dipegang pemuda yang bernama Linggar itu, tetapi penyerangan ke padepokan itu, kita yang mengawalnya. Dengan begitu, Mangir mempunyai martabat tinggi karena mampu mengatasi masalahnya sendiri. Dan juga senjata pusaka milik Ki Ageng yang ada padanya, dapat kita awasi. Tanpa khawatir senjata itu berpindah tangan.”
“Kau tidak boleh mengesampingkan Jaka, Nataprawira. Dia itu Wanabaya Anom, dia akan tersinggung bila dengan mandat ini, ia dilangkahi.”
Ki Nataprawira tampak menemui kesulitan dalam menentukan langkah. Mangir tidak boleh ditinggalkan oleh Ki Ageng, karena Ki Ageng adalah pucuk pimpinan. Akan tetapi jika mengandalkan dua pemuda yang disebutkan tadi, belumlah cukup matang mengemban tugas yang begitu berat.
“Ki Ageng. Bagaimana kalau kita uji saja, antara Raden Jaka dan Linggar?”
“Maksudmu?”
“Seperti sayembara, Ki Ageng. Jika salah satu dari keduanya mampu memenuhi syarat yang ditentukan oleh Ki Ageng, maka dialah yang berhak memegang pusaka tombak itu. Dan yang tidak mampu memenuhi syarat dari Ki Ageng, ia hanya menyertainya menggempur padepokan itu tanpa tombak Kiai Baru Klinthing.”
Ki Ageng menimbang-nimbang usul Ki Nataprawira itu, ia pun akhirnya setuju dengan usulnya. “Baiklah. Mudah-mudahan dengan cara itu, tidak akan menyinggung kedua belah pihak. Dan kalau pihak Pajang tidak setuju dengan syarat ini, maka permintaan mereka akan kita mentahkan saja! Dengan kata lain kita bergerak sendiri!”
Akhirnya keduanya pun sepakat dengan hasil musyawarah itu. Ki Ageng juga merasa mantap atas usulan yang diajukan Ki Nataprawira. Tinggal memikirkan bagaimana sayembara itu akan ia pertandingkan.
Usai pertemuan dengan Ki Nataprawira, Ki Ageng sulit memejamkan mata. Walaupun hari semakin larut matanya sulit sekali terpejam. Itu karena ia sedang memikirkan sayembara apa sebaiknya yang akan ia gelar esok.
“Kalau dengan adu olah kanuragan, tentu akibatnya salah satu akan cedera. Disamping itu juga akan membuat hubungan Linggar dan Jaka semakin merenggang. Masing-masing belum mampu mengendalikan nalar mereka masing-masing. Apakah ada cara lain, selain adu otot?” gumam Ki Ageng sambil merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tak lama kemudian berangsur-angsur Ki Ageng memejamkan mata, terlelap.
Keesokan harinya, Ki Ageng bersama petinggi lainnya sudah berada di paseban agung, begitu juga dengan Linggar. Hari itu adalah hari kedua pertemuan dengan duta Pajang mengenai tanggapan Mangir atas keinginan Pajang meminjam pusaka tombak Kiai Baru Klinthing.
Ki Nataprawira yang duduk bersimpuh disebelah Ki Ageng, berbisik. “Bagaimana Ki Ageng, Apakah Ki Ageng sudah menemukan cara untuk sayembara yang digelar?”
“Belum,” jawab Ki Ageng pendek, dengan senyum tipis.
Tentu saja jawaban itu membuat Ki Nataprawira terkejut. Padahal hari ini adalah penentuan sayembara, tetapi Ki Ageng belum juga menemukan cara, bagaimana sebaiknya sayembara itu dilombakan?
Tetapi begitu melihat raut wajah Ki Ageng yang tetap tenang, Ki Nataprawira tidak begitu khawatir. Ki Ageng adalah orang yang penuh pengalaman, mungkin perkara seperti itu bukanlah perkara yang terlalu sulit.
“Menindaklanjuti pertemuan kemarin. Aku berpendapat, bahwa untuk menumpas orang-orang Padepokan Watu Belah itu, bukanlah perkara yang mudah. Untuk itu aku memutuskan bahwa, penyerangan ke Bukit Sambung harus dipimpin langsung laskar dari Mangir. Karena Mangir merasa orang yang paling dirugikan atas ulah mereka selama ini,” Ki Ageng mengawali pembicaraan.
“Dan untuk tongkat kepemimpinan, aku tetap mengandalkan panglima Mangir, yaitu Ki Nataprawira. Aku tidak ingin Pajang terlibat banyak pada penyerbuan kali ini. Cukup angger Linggar saja sebagai wakil dari Pajang.”
“Perihal pusaka tombak Kiai Baru Klinthing, aku tidak bisa serta-merta menyerahkan pusaka itu pada orang diluar Mangir. Kalau ada orang yang lebih berhak, adalah puteraku sendiri, Wanabaya Anom.”
Raden Jaka mengangguk-angguk membenarkan perkataan ayahandanya. Karena memang dialah pewaris Mangir selanjutnya.
“Tetapi, Kiai Baru Klinthing bukanlah senjata sembarangan. Aku tidak ingin karena pamornya, berdampak buruk pada pemegangnya. Untuk itu aku ingin menguji kemampuan Jaka dalam hal mengendalikan tombak itu.”
“Kiai Baru Klinthing akan liar jika pemegangnya bukan aku sendiri, ia akan langsung bereaksi jika tuannya orang lain. Untuk meredam pusaka itu dibutuhkan kemampuan tenaga dalam yang baik, dan kecepatan gerak sangat diperlukan.”
Semua mendengarkan baik-baik keterangan dari Ki Ageng tentang senjata yang menjadi piandhel keraton Mangiran.
“Aku juga akan memberi kesempatan kepada Angger Linggar sebagai utusan Pajang untuk mencoba kekuatan pamor senjata pusaka itu,” lanjut Ki Ageng.
Raden Jaka merasa tidak suka mendengar hal itu, ia pun langsung memotong. “Tetapi ayahanda! Bukankah hanya aku yang berhak atas pusaka itu selain ayah?”
“Benar Jaka,” sahut Ki Ageng sareh. “Aku hanya ingin melihat apakah kau siap menerima senjata itu? Tetapi kalau kau belum siap, biarlah senjata itu angger Linggar yang memegangnya. Itupun jikalau dia mampu!”
Semua menjadi tegang mendengar itu. Dalam benak mereka senjata pusaka itu bak senjata yang buas dan sulit dikendalikan.
“Lalu ayah, siapa orang pertama yang akan mencoba mengendalikan Kiai Baru Klinthing?” kata Raden Jaka tak sabar.
“Tunggu Jaka. Ada syaratnya!”
“Maksud ayahanda?”
Ki Ageng terdiam beberapa saat, kemudian ditatapnya Ki Nataprawira. Ki Nataprawira hanya mengangguk mencoba meyakinkan Ki Ageng, akan sayembara yang akan ia gelar.
“Syaratnya adalah, masing-masing dari kalian harus mampu mampu menaklukan perbawa pusakaku itu. Jika salah satu dari kalian berhasil, maka ia berhak meminjam senjataku itu. Tetapi bila tidak, ia hanya jadi pengiring dalam penyerbuan ke Bukit Sambung nanti.”
“Aku tidak meragukan kesanggupanmu, Jaka,” kata Ki Ageng pada puteranya. “Yang aku butuh sekarang hanyalah, tanggapan angger Linggar sendiri sebagai utusan Pajang. Aku bersedia mengeluarkan pusakaku asalkan dengan syarat yang sudah aku tentukan tadi,” Ki Ageng berujar.
Linggar terdiam beberapa saat, ia sulit untuk memutuskan. Ki Ageng memang tidak menolak pusakanya keluar dari sarangnya, asalkan puteranya yang menggunakan. Dan bisa saja pusaka itu berpindah tangan kepadanya, jikalau Raden Jaka tak mampu memenuhi syarat.
Setelah berpikir masak-masak, Linggar pun akhirnya mengambil keputusan. Walaupun sebenarnya dengan kata lain, Mangir ingin berbuat lebih banyak untuk menumpas padepokan Watu Belah itu, tanpa campur tangan Pajang.
“Baik Ki Ageng, hamba setuju dengan usul Ki Ageng. Mudah-mudahan hamba mampu menyelesaikan sayembara itu sesuai keinginan Ki Ageng. Dan kalau pun gagal, hamba bersedia hanya sebagai pengiring laskar Mangir dengan jumlah prajurit Pajang yang tidak terlalu banyak.”
Ki Ageng mengangguk-angguk dan tersenyum dengan tanggapan Linggar. Ia senang melihat Linggar yang selalu bersungguh-sungguh dan rendah hati dalam menyikapi suatu hal. Wajar saja jika Pajang mengirimnya sebagai utusan.
“Nah, aku pikir sudah tidak ada masalah lagi!” suara Ki Ageng memecah keheningan. Nanti malam saat wayah sepi bocah, kita berkumpul di tempuran Kali Bedog. Saat itulah sayembara akan dimulai, dan pesertanya adalah Raden Jaka dan Linggar utusan dari Pajang.”
Begitulah, akhirnya tercetus juga ide dari buah pemikiran Ki Ageng untuk melihat ketahanan jiwa pemuda yang akan menggenggam tombaknya. Ki Nataprawira pun mengangguk-angguk mendengar apa yang disampaikan Ki Ageng Wanabaya. Ia memang tidak meragukan lagi kepiawaian Ki Ageng sebagai pemimpin besar Mangir dalam memecahkan suatu masalah.
Setelah pertemuan itu dibubarkan, Linggar meminta ijin kepada Ki Nataprawira untuk sekedar berjalan-jalan berkeliling Mangir.
“Apakah perlu aku temani?” tanya Ki Nataprawira dengan ramah.
Linggar tidak menolak, ia pun paham maksud baik Ki Nataprawira. Mungkin tujuannya untuk memastikan Linggar tetap dalam pengawasan atau perlindungan Mangir.
“Sebaiknya kita berkuda saja, tentu akan lebih menyenangkan ketimbang berjalan kaki.”
“Terimakasih Ki Nataprawira,” sahut Linggar.
Keduanya kemudian meninggalkan Keraton Mangiran untuk berkeliling melihat-lihat keadaan Mangir. Di pusat Mangiran itu terlihat tanah lapang yang cukup luas dengan beberapa pohon lebat disekelilingnya, seperti tempat berkumpul rakyat Mangir, mirip alun-alun. Ki Nataprawira menjelaskan dengan gamblang setiap tempat yang mereka lewati.
Tidak jauh dari tempat itu terdapat pula tempat ibadah, bangunannya cukup luas juga dengan cungkup yang mengerucut berundak pada atapnya.
Lama-lama perjalanan mereka telah membawa ke tepian Kali Bedog, kali yang menyatu dengan sungai Progo.
“Ditempat ini kalau tidak salah angger Linggar pertama kali menginjakkan kaki di tanah Mangir beberapa tahun lalu.”
“Ya, Ki Nataprawira. Kala itu aku bersama Raden Pamekas, mencari beberapa prajurit Demak yang ikut hanyut oleh arus banjir bandang. Dan juga saat itu pula ayahku hilang dan hingga kini aku belum tahu nasibnya,” kata Linggar sambil tertunduk murung.
“Mudah-mudahan ayahanda angger segera dapat ditemukan,” Ki Nataprawira menepuk bahu Linggar, sambil menarik napas dalam-dalam.
Pandangan Linggar kemudian tertuju pada seseorang yang sedang duduk memancing di tempuran sungai itu.
“Mohon maaf Ki Nataprawira, bolehkah aku berbicara dengan orang yang sedang memancing itu?”
Ki Nataprawira sebenarnya merasa agak aneh, tetapi sebagai panglima ia paham dan tersenyum. Tentu ada maksud yang dituju, pastinya Pajang juga mengirimkan telik sandi penghubung.
“Apa istimewanya pemancing itu ngger, tetapi aku tidak akan melarangmu, silahkan saja! Aku akan menunggumu di simpang jalan yang terdapat kedai tadi. Siang begini rasanya enak sekali menenggak dawet,” katanya sambil tersenyum, kemudian berlalu meninggalkannya.
Linggar kemudian menambatkan kudanya, lalu menyusuri tepian sungai mendekati pemancing itu. Merasa ada yang mendekati, pemancing itu pun menoleh dan mengamati Linggar. Linggar yang kemudian juga semakin dekat, menjadi jelas bahwa pemancing itu adalah orang yang sudah ia kenal.
“Hei, Wurpasa!” kata Linggar nyaring. “Ternyata kau yang ditugaskan kesini, sehingga aku tidak perlu repot lagi menyebutkan kata sandi untuk memastikannya.”
Orang yang disebut Wurpasa itu tidak langsung menjawab, melainkan masih memberengut menatapnya.
“Kau lama sekali datangnya, Linggar. Lihatlah! Matahari sudah semakin terik. Kau telah membuat kulitku menjadi hitam legam.”
Linggar tertawa mendengarnya. “Memangnya kulitmu putih?” katanya masih dengan derai tawa.
“Macam kau!” keluh Wurpasa. “Sudahlah! Berita apa yang kau dapat dari Mangir?” tukas Wurpasa masih dengan wajah cemberut.
“Nanti dulu!” potong Linggar. “Sebelum aku ceritakan. Katakan dulu! Bagaimana kabar majikanmu itu?”
“Tumenggung Purbasana maksudmu?” Wurpasa balik bertanya, dengan mata mendelik. “Apa urusanmu menanyakannya?”
Linggar kembali menggoda. “Majikanmu itu bukan saja Purbasana suami-istri saja, bukan? Masih ada gadis ayu, di bilik tersembunyi rumah majikanmu itu.”
“Mulutmu itu ya.., baru beberapa hari meninggalkan Pajang, sudah galau. Bayar upahku dulu sebelum aku menceritakan!” tantang Wurpasa.
“Ah.., aku hanya bercanda,” kata Linggar sambil mengajak Wurpasa kembali duduk di tepian.
“Begini Wurpasa. Ternyata perundingan dengan Mangir tidak semudah yang kita bayangkan. Mereka tetap mempertahankan harga diri mereka sebagai daerah yang berdaulat.”
“Artinya, mereka akan bergerak sendiri?” sahut Wurpasa.
“Tidak! Aku diijinkan terlibat tetapi tidak dengan pasukan yang lebih besar, dan kendali kepemimpinan ada ditangan mereka.”
Linggar kemudian menceritakan hasil apa yang didapat selama berunding dengan para petinggi Mangir. Termasuk sayembara yang sedianya akan di gelar nanti malam.
Wurpasa mendengarkan sungguh-sungguh perkataan Linggar. Agar nantinya, saat menyampaikan berita ke Pajang bisa serinci mungkin. Wurpasa pun tertarik dengan sayembara yang di gelar itu. Bahwa Linggar harus mampu menaklukkan perbawa pusaka itu sebelum jadi tuannya.
“Apakah kau pernah memegang pusaka dengan pamor seperti itu, sebelum ini?”
“Belum pernah Wurpasa.”
“Kenapa kau menyanggupinya?”
“Tidak ada pilihan lain, Wurpasa. Aku harus turut andil dalam penyerangan itu, sebagai bentuk Pajang bersungguh-sungguh ingin menjernihkan biang keladi kerusuhan selama ini.”
Wurpasa mengangguk-angguk, lalu katanya. “Aku tidak bisa membayangkan, Linggar. Kau adalah cermin ksatria Pajang, kalau kau gagal, tentu pandangan mereka akan kekuatan Pajang akan rendah,” Wurpasa memperingatkan.
“Ah, tidak perlu khawatir begitu, aku hanya prajurit rendahan di Pajang,” kata Linggar sambil tersenyum. “Kalau ksatria Pajang yang pinunjul tentu bukannya aku, masih ada Ki Lurah Ranggajati, Ki Wilamarta dan juga sinuwun Adipati. Aku hanya berusaha sepenuhnya sebagai prajurit yang dibebankan amanat, supaya kewibawaanku sebagai utusan Pajang tidak dianggap sepele.”
 Wurpasa hanya mendengarkan saja. Ia tidak meragukan kemampuan Linggar dalam hal olah kanuragan. Karena selain sudah memiliki dasar ilmu dari ayahnya, Raden Pamekas dan Ki Wilamarta sesekali memberi arahan.
“Ya sudah kalau begitu Wurpasa. Aku tidak bisa berlama-lama lagi. Orang yang tadi datang bersamaku, tentu sudah lama menungguku.”
“Baiklah,” sahut Wurpasa. “Eh, tetapi tunggu dulu!”
Linggar mengurungkan niatnya untuk meninggalkan Wurpasa. “Ada apa lagi?”
Wurpasa tersenyum-senyum. “Apakah tidak ada pesan untuk putri dari majikanku itu?” katanya meledek.
Linggar tersenyum melihat Wurpasa yang mencoba menggodanya. “Ya. Jagalah puteri majikanmu itu untukku, sampai saatnya nanti aku kembali ke Pajang!”
“Ah.., tapi aku tidak bisa jamin itu Linggar!” tukas Wurpasa.
“Kenapa?” Linggar menjadi bersungguh-sungguh.
“Aku ini kadang tidak bisa mempertahankan akal sehatku!” jawab Wurpasa sambil menepuk dahi.
“Maksudmu?” tanya Linggar makin penasaran.
“Musim kemarau seperti sekarang ini, aku terpaksa mengalirkan air ke kulah saat malam hari. Itu karena sumber air baru mulai penuh saat menjelang gelap.”
“Apa hubungannya dengan Rara Widari?” tanya Linggar menjadi tak sabar. Sementara Wurpasa masih saja dengan santai menjawabnya.
“Iya dan puteri ayu pujaanmu itu, selalu mandi saat malam menjelang. Aku khawatir tidak mampu menahan diri, untuk mengintipnya saat mandi!” sahut Wurpasa sambil tertawa berkepanjangan.
Linggar yang merasa diledek pun memerah wajahnya, lalu berkata. “Dasar jongos tidak tahu diri! Awas kau!” sambil mendorong Wurpasa.
Keduanya pun saling dorong dan tertawa satu sama lain. Linggar terus saja memburu Wurpasa yang masih terkekeh-kekeh. Wurpasa sendiri berkelit menghindar sambil sesekali membalas dengan dorongan. Keduanya memang terikat dalam satuan telik sandi Pajang, tetapi keduanya pun sudah benar-benar akrab dan saling bercanda.
Beberapa saat kemudian keduanya pun menyudahi candaannya dan saling berjabat tangan dan meninggalkan tepian.
Linggar kemudian menuntun kudanya menuju simpang jalan, tempat dimana Ki Nataprawira menunggunya.
“Kau sudah selesai?” tanya Ki Nataprawira.
Linggar tidak menjawab hanya mengangguk saja.
“Kalau begitu, ayo minumlah dulu dawet asli Mangir ini, tentu akan membuatmu ketagihan!” katanya lagi ramah.
“Baik Ki. Semangkuk Dawet tentu akan menyegarkan disaat panas begini,” sahut Linggar, lalu memesan semangkuk dawet pada pelayan kedai.
Keduanya, kemudian hanya saling berbincang sampai matahari kira-kira lewat diatas kepala. Baru setelah itu mereka kembali ke keraton Mangiran.
Siang itu dilewati tanpa sesuatu hal yang menarik hati Linggar. Ia lebih memilih beristirahat untuk menghadapi sayembara nanti malam. Langit pun berangsur berganti warna dari terang benderang menjadi redup kemerahan menuju senja. Tak berapa lama langit sudah mulai hitam pekat.
Ketika wayah sepi bocah, maka berkumpulah mereka di tempuran Kali Bedog yang menghadap langsung ke arah hutan di depannya. Tidak ada pengumuman khusus sayembara itu pada rakyat Mangir, tetapi tetap saja berita itu tersiar juga. Maka nampaklah berduyun-duyun pemuda Mangir berdatangan secara bergerombol.
Ki Ageng dan Ki Nataprawira mengedarkan pandangannya pada mereka yang datang. Cukup mengejutkan juga bagi keduanya, ternyata sayembara itu menarik perhatian pemuda Mangir.
“Nataprawira! Mengapa jadi seramai ini?”
“Ya, Ki Ageng. Aku pun tak menyangka. Biarlah, mungkin dengan sayembara ini, rakyat Mangir bisa menyaksikan langsung kehebatan pusaka yang menjadi piandhel bagi kedaulatan Mangir.”
Suasana begitu ramai tapi tidak satu pun dari mereka yang berbicara keras, masing-masing hanya bicara setengah berbisik karena sungkan kepada Ki Ageng.
Linggar dan Raden Jaka sudah berdiri sejajar dengan Ki Ageng Wanabaya dan Nataprawira. Tinggal menunggu saja, Ki Ageng memulai sayembara itu. Ki Ageng pun kemudian maju beberapa langkah dan memutar badan menghadap mereka yang hadir di tepian kali Bedog itu.
“Terimakasih kepada semua yang hadir disini!” kata Ki Ageng dengan suara lantang. “Hari ini, aku mengadakan sayembara kepada putraku Jaka dan Linggar seorang utusan dari Pajang. Sayembaranya adalah, kedua pemuda ini akan mencoba kekuatan pusaka Tombak Kiai Baru Klinthing. Tombak pusaka yang selama bertahun-tahun telah menjadi perlambang bagi kedaulatan Mangir. Aturannya adalah, jika satu dari mereka ada yang berhasil mengendalikan kekuatan tombak ini, maka orang itu nantinya yang akan ditugaskan menumpas perusuh yang selama ini menjarah Mangir!”
“Para perusuh itu kini telah mendirikan landasannya di Bukit Sambung, maka mulai dari saat sekarang Mangir harus lebih waspada. Untuk itu, setelah sayembara malam ini, kita akan mengatur siasat untuk menumpas mereka. Jangan sampai kita yang didahului oleh mereka!”
Semua mendengarkan dengan berdebar-debar sesorah Ki Ageng Wanabaya. Rakyat Mangir sebagian besar memang tidak tahu, bahwa tertanya para perusuh itu telah semakin dengan Mangir. Oleh karena itu mereka menjadi cemas, jika mereka telah menghimpun kekuatan kembali di landasan barunya itu.
“Nah! Sekarang adu kemampuan aku mulai!”
“Yang pertama mencoba kemampuan pusakaku ini adalah, putraku sendiri. Wanabaya Anom, pewaris trah Mangir untuk selanjutnya!” Ki Ageng bersuara lantang.
Tentu saja disambut riuh tepuk tangan para pemuda Mangir. Mereka yang hadir pada malam itu, rata-rata berusia muda, hanya beberapa saja para tetua yang hadir.
“Bersiaplah!” kata Ki Ageng kepada Raden Jaka. Semua penonton pun menyibak, mereka mundur  menjauhi tepian Kali Bedog memberi ruang.
Ki Ageng kemudian mencoba membuka plocon tombaknya yang sedari tadi ia genggam di tangan kanannya. Perlahan sekali ia buka, berangsur-sngsur mata tombaknya pun mulai terlihat dengan cahaya yang berwarna kuning emas menyilaukan. Setelah terbuka penuh warna yang menyilaukan itu sejenak menerangi tepian Kali Bedog, baru beberapa saat kemudian cahayanya mulai meredup secara perlahan. Dan kini warnanya hanya seperti bara api pada arang kayu. Ki Ageng pun menarik napas dalam-dalam, keringat di dahinya pun sempat menetes membasahi wajahnya.
KI Ageng kembali menatap Raden Jaka puteranya. “Bersiaplah!”
Setengah berjongkok, Ki Ageng kemudian melemparkan tombaknya ke udara dengan tenaga dalam yang luar biasa. Tombak Kiai Baru Klinthing pun melesat dengan kecepatan tinggi ke udara, dengan cahaya yang menebar di sekeliling Kali Bedog. Cahayanya lama-kelamaan hanya tinggal titik cahaya di angkasa. Karena tombak itu begitu jauh melesat ke udara.
Semua kepala mendongak ke atas dengan jantung berdebaran, menunggu tombak itu turun kembali ke bawah.
Beberapa saat kemudian tombak itu pun mulai turun ke bawah, cahayanya awalnya redup hanya seperti kerlip bintang. Tetapi begitu mendekati bumi, perlahan cahayanya kembali menebar ke penjuru tepian Kali Bedog itu. Tombak itu tidak menghujam ketanah, melainkan mengambang di atas tanah. Tepat dihadapan Raden Jaka, dengan posisi menyamping. Cahayanya masih menyala timbul tenggelam pada bagian mata tombaknya.
Setelah menghimpun tenaga dalam Raden Jaka maju dua langkah bermaksud memegang landean tombak itu. Tetapi tombak itu mengelak saat akan di pegang. Sontak membuat Raden Jaka bertambah penasaran. Diulanginya lagi untuk kedua kali, tetapi tetap saja tombak itu menghindar dari tangkapan. Raden Jaka kemudian bergerak dengan cepat dengan tangkapan-tangkapan dua tangannya. Tombak itu pun mempertahankan dirinya agar tidak tertangkap.
Kini arena bergeser, Raden Jaka dibuat seperti sedang bermain-main dengan tombak itu. Tombak itu terus saja dengan gesit menghindar. Kadang tombak itu berada setinggi dada Raden Jaka, tetapi kadang merendah setinggi lutut dihadapannya. Raden Jaka pun kadang harus berguling kesana-kemari mencoba meraih landean tombak itu. Ia seperti sedang bergulat dengan Kiai Baru Klinting.
Raden Jaka sampai bermandi keringat, tetapi gerakan gesit tombak itu belum mampu ia kalahkan.
“Ki Ageng! Apakah Raden Jaka pernah mencoba hal sedemikian itu?”
“Belum Nataprawira! Aku sebenarnya tidak ingin senjata itu keluar dari gedung pusaka. Walaupun Jaka sebenarnya adalah pewarisnya, tapi di usianya kini aku merasa dia belum cukup siap menerimanya.”
“Senjata itu menjadi buruan pada jamannya, Nataprawira. Bahkan orang-orang dari Blambangan, Tuban, dan daerah timur Jawa lainnya, berdatangan memperebutkannya. Aku tidak ingin senjata itu menarik perhatian para pendekar di tanah jawa ini. Sudah cukuplah Mangir yang menjadi masa depanku, setelah Majapahit runtuh,” ujar Ki Ageng sambil terus memperhatikan Raden Jaka.
Sementara itu Raden Jaka masih bergelut dengan Kiai Baru Klinting. Kini ia mengerahkan kemampuannya, hingga di suatu saat kecepatan geraknya hampir menyamai pusaka itu. Raden Jaka Mampu menangkap landean tombak itu, Tombak itu bergetar seolah ingin melepaskan diri. Raden Jaka tak mampu menahan laju tombak itu, tombak itu menariknya dan berputar-putar diatas tanah. Membumbung dari bawah ke atas, kira-kira setinggi tingga kali orang dewasa.
Tombak itu dengan nyala api yang kembali membara, memutar-mutar tubuh Raden Jaka dengan cepat. Pemandangan yang cukup menegangkan bagi mereka yang melihat.
“Aku harus bisa mengendalikan pusaka ini! Aku adalah pewarisnya kelak,” Raden Jaka membathin.
Lalu dengan segenap tenaganya, dengan masih berputar-putar di udara, Raden Jaka menggenggam kuat dengan dua tangannya. Raden Jaka memutar arah mata tombak itu sekuat tenaga. Maka setelah berbalik arah, mendadak tombak itu berhenti menarik tubuh Raden Jaka. Bahkan berhenti mendadak dan lansung mendarat.
Raden Jaka mendarat dengan setengah berjongkok, lutut kanannya menyentuh tanah. Sementara tombak Kiai Baru klinting menancap ditanah dengan landean digenggam erat Raden Jaka. Peluhnya bercucuran dan tampak pula kelelahan yang sangat. Beberapa saat kemudian Ki Ageng menghampirinya, lalu mencabut tombak itu dan menyarungkan pada ploconnya.
“Kau berhasil ngger,” katanya sambil tersenyum.
Raden Jaka menengadahkan kepalanya, tetapi kemudian jatuh lemas, dihadapan ayahandanya.
Semua yang hadir menarik napas lega melihat akhir dari pergulatan itu. Raden Jaka berhasil menaklukkan perbawa pusaka Mangir itu.
Ki Ageng pun kemudian memberi isyarat kepada pengawal untuk membaringkannya Raden Jaka di luar arena, dan mengistirahatkannya disitu.
“Sekarang giliranmu anak mas Linggar! Bersiaplah!”
Dengan degup jantung berdebar-debar, Linggar menghampiri Ki Ageng, bersiap untuk menaklukkan perbawa tombak pusaka Kiai Baru Klinthing.
Kemudian Ki Ageng melakukan hal sama seperti di awal, ia melambungkan Kiai Baru Klinthing ke udara. Linggar pun dengan sikap sempurna menunggu tombak pusaka itu mendekati bumi. Beberapa saat menunggu, kemudian tombak itu meluncur turun dan berhenti tepat dihadapan Linggar.
Linggar mengerahkan tenaga dalam yang ada pada dirinya. Tenaga dalamnya sudah semakin matang semenjak berguru pada Raden Pamekas. Raden Pamekas adalah salah seorang yang telah menguasai Aji Rog-rog Asem. Dan ilmu itu pun telah diturunkan pada Linggar, kendali watak dari perwujudan ilmu itu masih kasar.
Linggar menatap tajam tombak itu, setelah menarik napas dalam-dalam. Tangan kanannya meraih landean tombak itu. Dan sungguh diluar dugaan. Tombak itu mampu ia genggam dengan baik, walaupun tombak itu seperti meronta ingin melepaskan diri. Terjadi adu kekuatan kemudian, Linggar dengan dua tangannya menahan tombak itu untuk meluncur.
Semua tertegun melihat pemandangan itu, termasuk Ki Ageng sendiri. Mereka berpikir sayembara itu akan usai, dan Linggar pun mampu menaklukkannya. Tetapi ternyata tidak. Mata tombak itu kembali mengeluarkan sinar yang menebar, kemudian menarik Linggar ke udara, sama seperti yang terjadi pada Raden Jaka sebelumnya.
Beberapa saat berputar di udara, Linggar mampu membelokkan arah mata tombak itu. Sama seperti yang dilakukan Raden Jaka sebelumnya. Tetapi kali ini dampaknya beda. Tombak Kiai Baru Klinthing bertambah liar, berbelok arah menuju permukaan Kali Bedog. Pusaka itu menyeret Linggar pada permukaan air hingga menyeretnya 20 tombak ke depan mengarah ke tempuran. Air pada permukaan Kali Bedog pun seketika itu juga menyibak.
Raden Jaka yang telah kembali pulih tenaganya, sempat melihat juga dari kejauhan.
“Tidak mungkin utusan Pajang itu menaklukkannya,” ia bergumam.
Sementara yang tak kalah khawatirnya adalah Ki Nataprawira, ia langsung meminta Ki Ageng menghentikan sayembara itu. Khawatir terjadi sesuatu dengan Linggar.
“Mohon ampun Ki Ageng! Apa tidak sebaiknya kita sudahi saja sayembara ini, sebelum perbawa pusaka itu membahayakan Linggar?”
“Tidak usah khawatir Nataprawira! Kita tunggu saja sebentar! Aku lihat pemuda itu tenaga dalamnya lebih baik daripada Jaka,” kata Ki Ageng dengan tenangnya.
Linggar memang ksatria yang baru tumbuh. Meskipun belum dikatakan mempunyai kemampuan seperti pendekar, tetapi bekal pada dirinya sudah menunjukkan ke arah itu.
Beberapa saat terseret laju tombak. Linggar tak mau membiarkan dirinya dikuasai tombak itu. Ia mengeluarkan segenap tenaga dalamnya, seperti hendak melontarkan ajian Rog-rog Asem. Sambil mengikuti laju tombak itu, ia mengatur pernapasannya. Tangan kirinya memegang tombak yang menyeretnya, sementara tangan kanannya bergerak naik-turun di permukaan air seperti hendak memuntahkan tenaga yang dahsyat.
Tombak Kiai Baru Klinthing seperti paham, tuannya sedang mempersiapkan kemampuannya. Ia menyeret Linggar berkelok-kelok untuk memecah pemusatan tenaga dalamnya. Tetapi Linggar telah sampai pada puncaknya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Tangan kanannya ia lipat dengan telapak tangan terbuka. Kemudian ia hentakkan telapak tangannya itu dengan kemampuan tenaga dalam yang telah ia himpun sebelumnya.
Dampaknya sungguh dahsyat, tombak itu melesat ke permukaan dengan cepat seperti terlontar. Mata tombak itu mengarah pada sebuah batu besar seukuran kerbau. Semua mata yang memandang tertegun tak berkedip menunggu hasil akhir dari benturan antara tombak itu dan batu besar tadi.
Dan kemudian terdengarlah letusan dahsyat, diiring suara gemuruh batu besar tadi terbelah jadi dua. Tetapi tidak sampai disitu. Tombak Kiai Baru Klinthing mampu menembus batu itu dan kemudian menancap pada batang pohon berukuran besar, seukuran lingkar lengan orang dewasa.
Tombak itu pun sempat menggetarkan pohon besar itu, ketika menancap. Baru kemudian tombak itu diam tak bergeming. Linggar sendiri yang ikut terlontar dengan ajiannya terseret ke tepian pasir tempuran sungai.
Semua orang ternganga melihat kejadian itu. Meskipun tombak itu tidak berada di genggaman Linggar, akan tetapi suara letusan yang dahsyat, serta getaran pohon besar yang bergoyang hebat itu membuat tercengang yang melihatnya.
Beberapa saat kemudian Ki Ageng baru menyadari keadaan, ia pun turun ke tepian dan mendekati Linggar yang tergolek lemas di tepian.
Ki Ageng bernapas lega. Linggar hanya kelelahan, tetapi tidak terjadi kelelahan pada dirinya. Ki Ageng lalu meminta Ki Nataprawira mendudukannya, dan menopang dibelakangnya. Ki Ageng memijit-mijit beberapa bagian tubuh Linggar untuk melancarkan peredaran darahnya. Setelah Linggar dapat duduk dengan baik, lalu Ki Ageng memintanya mengatur pernapasannya.
Semua yang hadir kecuali Ki Ageng dan Ki Nataprawira masih ada di tebingan. Hanya Ki Ageng dan Ki Nataprawira yang turun ke tepian dan membantu memulihkan keadaan Linggar.
“Sudah membaik!” gumam Ki Ageng.
“Terimakasih Ki Ageng,” sahutnya dengan nada lemah.
Ketiganya kemudian bangkit berdiri meninggalkan tepian. Ki Ageng meminta Ki Nataprawira membimbing Linggar kembali ke tempat semula sayembara itu dimulai. Ki Ageng sendiri menghampiri tombak pusakanya yang tertancap pada pohon. Tidak perlu bersusah payah, ia ia hanya menarik senjatanya itu dari jarak jauh, dengan telapak tangan terbuka dan bergetar ia menarik senjata itu. Senjata itu pun terlepas dari batang pohon itu dan melaju mundur ke arah Ki Ageng. Dengan cepat ia menangkapnya kemudian memasukkannya ke dalam ploconnya.
Semuanya pun kembali dapat menyaksikkan pemimpin Mangir itu mampu mengendalikan pusakanya yang menjadi piandhel tanah Mangir.
Setelah semua kembali ditempat semula. Ki Ageng mencoba mengumumkan kesimpulan dari sayembara itu. Ia pun tampak berpikir sejenak dan menimbang-nimbang untuk memutuskan.
“Baiklah!” kata Ki Ageng lantang. “Sayembara ini aku anggap selesai.”
“Kalian yang hadir disini sudah menyaksikkan kemampuan kedua pemuda tadi! Raden Jaka putra Mangir mampu menangkap pusaka itu dengan baik, sedangkan Linggar utusan Pajang, meskipun tidak sampai menggenggam dengan tangannya sendiri pusaka itu. Tetapi ia berhasil membuat senjata itu membelah batu besar dan menancap di batang pohon.”
“Dan aku memutuskan Raden Jakalah yang berhak menyandang pusakaku dalam penyerbuan ke Bukit Sambung nanti. Dan Linggar adalah pemuda yang memang layak sebagai pengiring Raden Jaka, karena kemampuannya tidak perlu dipertanyakan lagi!”
Maka kemudian terdengarlah sorak-sorai dari mereka yang menonton. Raden Jaka tersenyum bangga sambil memandang rakyatnya, sementara Linggar dengan ikhlas menerima keputusan Ki Ageng. Itu karena ia telah berusaha sekeras mungkin.
Mereka pun kembali pulang meninggalkan tepian beberapa saat kemudian. Nampak mereka berjalan sambil berkelompok menggunjingkan dua ksatria muda yang baru saja mengikuti sayembara. Mereka masing-masing memberi penilaian akan dua pemuda itu.
Raden Jaka masih merayakan kegembiraannya. Ia tampak berbincang-bincang akrab dengan para pemuda dan lurah prajurit. Sedangkan Ki Ageng yang berkuda paling depan dengan diapit Linggar dan Ki Nataprawira tampak mereka berbincang pula.
“Kau hanya kurang beruntung ngger! Pusaka itu sebenarnya sudah mampu kau kendalikan. Hanya saja kau lebih memilih melontarkannya membelah batu besar dan kemudian menancap di batang pohon. Kalau kau lebih sabar, mungkin kau bisa mengendalikannya seperti Jaka,” ujar Ki Ageng Wanabaya.
“Hamba Ki Ageng. Raden Jaka memang lebih cakap Ki Ageng,” kata Linggar mengakui keunggulan putra Mangir itu.
Ki Ageng tersenyum, sambil menepuk bahunya. “Bergabunglah dengan Jaka! Sebentar lagi kalian akan menjadi dua ksatria yang akan menggegerkan Bukit Sambung.”
Linggar pun mengangguk hormat, kemudian menghampiri Raden Jaka dan yang lainnya. Ia menjabat tangan dan mengucapkan selamat. Raden Jaka yang memang sedang bergembira, langsung saja menyambut jabatan tangan Linggar.
Ki Ageng sendiri masih berbicara sepanjang perjalanan dengan Ki Nataprawira.
“Bagaimana menurutmu Nataprawira? Apakan keputusanku tadi sudah benar?”
“Tentu.., tentu Ki Ageng,” jawabnya. “Raden Jaka memang mampu menggenggam pusaka itu dan Linggar tidak.”
“Aku tahu kau ragu, Nataprawira!” kata Ki Ageng sambil tersenyum.
“Jaka memang mampu. Tetapi yang dipertontonkan Linggar sungguh dahsyat!”
“Maksud Ki Ageng?”
“Ya. Pusaka itu sudah mengenali Jaka, karena ia memang trah keturunanku. Sedangkan Linggar, pusaka itu lebih liar padanya, karena ia asing bagi pusaka Kiai Baru Klinthing.”
“Mudah-mudahan aku tidak salah memutuskan. Karena bukan hanya jiwa pemegang tombak yang dipertaruhkan dalam hal ini, tetapi pusaka itu kalau berpindah tangan bisa jadi buruan para pendekar lagi,” ujar Ki Ageng cemas.
“Tetapi kekhawatiranku menjadi berkurang, karena aku yakin dengan adanya Linggar, ia bisa jadi pengiring sekaligus penjaga kalau-kalau pusaka itu ada berpindah tangan,” kata Ki Ageng mengusir kegelisahan.
Ki Nataprawira tidak menanggapi terlalu jauh tentang kekhawatiran Ki Ageng. Dalam sayembara tadi memang kedua-dua mempunyai kelebihan masing-masing. Terlebih lagi kemampuan yang ditunjukkan Linggar sungguh mencengangkan untuk pemuda seusia dia.

<<PREV      NEXT>>

5 komentar:

Pengikut