Novel Cerita Silat Jawa

TDM 05


Ketika cahaya fajar menyembul di ufuk timur, rombongan prajurit itu pun turun ke tepian sungai. Seperti yang mereka rencanakan, pagi itu mereka akan menyeberangi sungai Praga menuju alas Mentaok. Di tepian pasir, tampak pengemudi rakit sedang bersandar disebuah gubuk sambil terkantuk-kantuk.
“Permisi kisanak!” kata seorang Lurah Prajurit.
“Oh..,” orang itu menggeliat.  “Ya tuan! Apakah tuan ingin menyeberang sungai praga?” berkata orang yang bertubuh gemuk.
“Benar!” jawab Lurah Prajurit itu.
Pengemudi rakit yang bertubuh gemuk itu lalu mengguncang tubuh temannya agar bangun. “Kakang Rumbas bangunlah! Ada orang yang ingin menyeberang!”
Rumbas lalu bangkit sambil mengucek matanya. “Silahkan tuan! Tuan-tuan ini jumlahnya cukup banyak, rasanya kami harus membagi dua agar rakit kami tidak tenggelam.”
“Silahkan kisanak, kami akan membagi dua rombongan ini,” berkata Lurah Prajurit itu.
Ki Jipayana lalu mengatur rombongannya yang akan diseberangkan Alas Mentaok. Raden Pamekas, Linggar dan Ki Jipayana diseberangkan pertama kali bersama empat orang prajurit. Sementara lurah prajurit  dan sisanya akan menyusul kemudian.
Langit tampak mendung dihulu. Angin yang bertiup kencang meniup gumpalan awan hitam menuju hilir.
“Sepertinya dihulu hujan sudah turun, mungkin sebentar lagi tempat ini pun akan turun hujan,” kata Ki Jipayana sambil menengadah ke langit.
Ki Wulungan menanggapi,” benar Ki Jipayana! Tetapi yang lebih aku khawatirkan banjir bandang akan melanda sungai ini!”
“Mudah-mudahan tidak, sebelum kita semuanya sampai diujung tepian sana.”
“Ya. Mudah-mudahan.”
Kedua pengayuh rakit itu hanya memandangi air sungai yang tersibak oleh rakitnya, mereka lebih banyak diam ketimbang berbicara dengan penumpangnya. Ki Wulungan yang memperhatikan kedua orang itu tergelitik juga untuk bertanya pada yang bertubuh gemuk.
“Kisanak! Apakah kemarin ada serombongan orang yang menyeberang sungai ini?”
Orang itu tergagap,” Iya.., iya, ada tuan!” jawab pria gemuk itu.
“Apakah kau tahu siapa dan akan kemana mereka itu?”
Pria gemuk itu menggaruk-garuk kepalanya seolah berpikir,” aku tidak tahu pasti siapa mereka, tetapi mereka bilang ingin berburu di pedalaman hutan Alas Mentaok itu,” jawab pria gemuk itu, sambal memandang temannya.
Sementara pengayuh rakit yang satu lagi, hanya sekilas memandang temannya itu, kemudian ia melemparkan pandangan lagi ke aliran sungai Praga.
Ki Wulungan merasa ada yang aneh dengan kedua pengayuh rakit itu, mereka seperti tidak terampil mengarahkan rakit itu, bahkan terkesan terombang-ambing. Kemudian sikap kedua orang pengayuh rakit itu pun sangat kaku dan tidak begitu ramah.
Raden Pamekas dan Ki Jipayana pun merasakan akan hal itu, tetapi mereka hanya diam dan memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu.
Setelah terengah-engah mengayuh rakit, akhirnya sampailah rakit itu di tepian sungai Alas Mentaok. Setelah satu persatu mereka turun dari rakit beserta kudanya, Raden Pamekas dan pengiringnya dibuat tercengang dengan tingah kedua pengayuh rakit tadi. Setelah menerima upah separuh, keduanya tidak kembali mengambil rombongan Ki Lurah, melainkan hanya duduk diatas rakit yang sudah ditarik diatas pasir tepian.
“Kisanak berdua! Kenapa kau tidak kembali untuk menyeberangkan teman-teman kami yang masih tertinggal disana?” tanya Ki Wulungan.
“Apa peduliku!” sahut pengayuh rakit yang sedari tadi lebih banyak diam.
Semua yang mendengar jawaban itu pun terkejut.
“Apa maksudmu kisanak?” tanya Ki Wulungan marah.
“Aku tidak akan menyeberangkan mereka! Kami akan membantai kalian ditempat ini secara terpisah!”
Suasana menjadi tegang, Ki Jipayana maju ke depan. “Siapa kalian? Apa maksud kalian mengganggu perjalananku?”
Kedua pengayuh rakit itu memutar duduknya dan masing-masing meraba bagian bawah rakit bambu itu, kemudian dengan serentak menarik suatu benda dari bawah rakit itu. Benda itu adalah sebilah pedang, kedua orang itu langsung menarik pedang itu dari sarungnya yang basah, air memercik dari dalam sarung pedang itu dan tampaklah dua buah pedang yang berkilat.
Semua prajurit dari Demak terkejut, mereka langsung menarik senjatanya pula. Tetapi sungguh sekali lagi, rombongan dari Demak itu dibuat terçengang. Kedua orang tadi bersuit nyaring, bermunculanlah orang-orang dari balik gerumbul, lalu orang-orang itu turun ketepian.
Tidak jauh beda yang terjadi dengan Lurah prajurit dan orang-orangnya yang belum diseberangkan. Mereka pun di kejutkan dengan kemunculan orang dari atas tebingan.
Lurah Prajurit itu berteriak lantang kepada Ki Jipayana yang ada diseberang sungai, “kita dijebak Ki Jipayana..!”
“Berhati-hatilah...! bertempurlah berpasangan, jumlah mereka lebih banyak!” sahut Ki Jipayana dengan suara lantang pula.
Tidak ada yang dapat Ki Jipayana lakukan untuk membantu Lurah Prajurit itu, karena ia juga menghadapi kepungan orang-orang yang tidak diketahui asal-usulnya.
“Siapa kalian?” kata Ki Jipayana dengan pedang terhunus.
“Aku Rumbas dan temanku ini Buntal, kami adalah laskar Jipang.
“Menyerahlah saja kisanak sekalian, serahkan bangsawan itu! Biarlah pimpinanku menukarnya dengan tahta Demak!” berkata orang yang bernama Rumbas.
Raden Pamekas yang merasa tersinggung berkata, “ siapa pimpinanmu?”
Belum sempat Rumbas menjawab, terdengar suara tertawa yang memekakkan telinga, suara itu melingkar lingkar seperti memantul dari tebing yang satu ke yang lain. Para prajurit yang tidak memiliki tenaga dalam cukup baik, menutup telinganya dengan kedua belah tangannya. Hanya Raden Pamekas, Ki Jipayana dan Ki Wulungan yang tidak terpengaruh suara yang memekakkan telinga itu. Sementara Linggar dan beberapa prajurit lainnya menutup telingannya rapat-rapat, begitu juga Rumbas dan kawan-kawannya.
“Hmm.., ajian Gempar Jagad!” ujar Ki Wulungan.
Ki Wulungan tak bisa membiarkan suara itu terus menggema di sekitar sungai Praga itu, ia pun mengeluarkan suara yang tak kalah membahana menyusup celah-celah tebing sungai Praga.
“Jangan bersembunyi seperti kanak-kanak! Hadapilah kami secara jantan Kisanak!” ujar Ki Wulungan.
Suara Ki Wulungan mampu menekan gema suara tertawa yang dilontarkan dengan tenaga dalam itu. Akibatnya suara itu pun mengecil dan tak terdengar lagi. Kemudian terlihat seorang yang berdiri diatas sebatang pohon Randu alas yang tumbuh di tebingan sungai. Sesosok tubuh itu menuruni pohon Randu itu dengan cepat seolah meluncur deras menuju batang bawah pohon Randu. Pohon Randu itu letaknya hanya lima tombak dari tempat orang-orang yang berseteru, orang itu lalu berjalan mendekati mereka.
“Selamat datang Ki Wulungan!” berkata orang itu.
“Ternyata ajian Gempar Jagad milikku tak mampu menggoyahkan ketahananmu!” katanya lagi.
Ki Wulungan mengerutkan dahi seolah mengingat-ingat orang yang menyebut namanya tadi,” Kiai Jambe Abang!”
Yang disebut Jambe Abang itu tersenyum,” kau masih mengenalku Ki Wulungan?”
“Ya. Kita sama-sama pernah mengabdi bagi kejayaan Demak, aku tidak bisa melupakan itu. Bedanya aku melihatmu kini berdiri dibalik sisa-sisa laskar Jipang, kau telah merubah sendi perjuangan kita selama ini.”
“Tidak perlu mengguruiku Wulungan! Apa yang kudapat setelah Demak berdiri? Tidak lebih hanya prajurit biasa yang serba kekurangan,” kata Kiai Jambe Abang, sambal menatap Prajurit Demak yang menghunus pedang siap bertempur.
Kata-kata Kiai Jambe Abang itu secara tidak langsung menyentuh perasaan Prajurit Demak yang hadir disitu, tetapi Ki Wulungan mencoba berkata bijak.
“Prajurit tidak meminta imbalan untuk membela negerinya sendiri, tetapi adalah panggilan jiwanya untuk menegakkan paugeran yang berlaku,” ujar Ki Wulungan, kata-katanya pun membantah pernyataan Kiai Jambe Abang.
Kiai Jambe Abang kembali menatap tajam para prajurit dari Demak. Sorot matanya membara seolah mengingatkan kembali saat puluhan tahun silam, ia mengabdi sebagai prajurit Demak.
“Dengar semua prajurit Demak! Kalian akan bernasib sama sepertiku. Tidak ada yang akan memperhatikan kesejahteraan kalian, meskipun kalian mati-matian menegakkan panji Demak diatas jawa ini!”
“Puluhan tahun, aku mengabdi di istana Demak. Apa yang kudapat? Kalian tahu?”
“Ya hanya selembar baju keprajuritan yang kalian sandang itu! Beruntung aku masih selamat dalam setiap pertempuran, tetapi sebagian kawan-kawanku tewas. Bahkan ada yang masih hidup tetapi tubuhnya tidak utuh lagi, atau cacat.”
“Apa yang dapat prajurit tua itu lakukan dimasa tuanya? Berdiri tegak saja tidak sanggup, apalagi untuk menggarap lahan di sawah!”
Sejenak para prajurit yang menggenggam pedang itu tergetar hatinya mendengar kisah Kiai Jambe Abang. Pedang-pedang mereka yang tadinya teracung, kini secara tidak sadar mulai merunduk. Kata-kata Kiai Jambe Abang mampu mempengaruhi ketahanan mental prajurit itu.
“Dengar.., dengar sekali lagi kataku!” kata Kiai Jambe Abang lagi. “Kalian tahu nasib prajurit tua itu selanjutnya?”
“Dia berdiri membungkuk di sudut pasar setiap pagi, mengharap belas kasihan orang yang lewat.”
“Ia berdiri dengan kaki timpang karena cacat, beberapa penjahat kambuhan kadang melempari mereka dengan tomat busuk, ketika melintas dihadapannya!”
Ki Jipayana sebagai pimpinan prajurit itu merasa tersinggung. Jika dibiarkan, mental prajuritnya akan semakin redup mendengar celotehan Kiai Jambe Abang.
“Cukup Jambe Abang! Kau tidak lebih dari bekas prajurit yang pengecut! Kau tidak berani menghadapi kenyataan. Kita sudah ada di medan perang, jangan kau pengaruhi prajuritku dengan dongengmu yang tidak seutuhnya benar itu,” ujar Ki Jipayana dengan nada tinggi.
Kiai Jambe Abang menatap Ki Jipayana, katanya, “dari pakaianmu kau tentu seorang Tumenggung dalam tata keprajuritan?”
“Ya, kau benar! Aku Tumenggung Jipayana!”
Kiai Jambe Abang mengangguk-angguk, lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada para prajurit Demak.
“Lihatlah! Lihatlah tumenggung ini para prajurit! Ia dapat hidup berkecukupan di lingkungan keraton Demak.”
“Bagaimana dengan kalian?” ujar Kiai Jambe Abang sambil menatap prajurit yang mulai kendur mentalnya. “Kalian hanya menjadi alas kaki baginya! Ia mendapat tempat tinggal yang pantas, sementara kalian hanya tinggal di barak prajurit yang sempit, terpisah dari anak dan istri kalian di kampung halaman!”
“Itukah yang dinamakan pengabdian? Sungguh suatu keadaan yang timpang sama sekali. Setelah purna tugas kalian pun, kalian harus berjuang bertahan hidup dengan bekal yang seadanya!”
Raden Pamekas yang mendengar keluhan Kiai Jambe Abang pun merasa tersentuh. Selama ini ada yang luput dari perhatian petinggi Demak akan penghargaan bagi prajurit yang purna tugas. Raden Pamekas hanya terdiam tak membantah perkataan Kiai Jambe Abang.
Ki Wulungan yang juga menyadari akan keadaan itu pun tak menyangkal, akan tetapi ia mencoba mencari sudut pandang lain akan pengabdiannya. Bahwa pengabdiannya pasti bermanfaat bagi orang banyak. Meskipun sesungguhnya ia tergolong orang yang beruntung, karena dari garis keturunannya ayahnya seorang Demang di Matesih.
“Wulungan!” Kata Kiai Jambe Abang. Kau pungkiri kesaksianku?”
Ki Wulungan tersentak, lalu ia berusaha berkata meredam kekecewaan Kiai Jambe Abang.
“Aku tidak akan membantah perkataanmu Jambe Abang! Tetapi pengabdian kita selama di Demak bukan tanpa arti. Rakyat ditelatah Demak merasakan keamanan, meskipun tidak seluruhnya. Dan aku yakin dimasa yang akan datang dapat terwujud negeri yang berdaulat di tanah jawa ini.”
“Dan ceritamu tentang prajurit yang jadi pengemis tadi, berbanding terbalik dengan dirimu. Tubuhmu segar bugar, meski kau tidak muda lagi.Tetapi keyakinanmu goyah di masa tuamu. Iri dan dengki membutakan matamu, padahal nikmat yang ada padamu sekarang kau lupakan.”
Kiai Jambe Abang menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada dalam, “sudahlah Wulungan, kita berpijak pada keyakinan yang kita masing-masing, marilah kita bertempur atas keyakinan yang kita percayai itu.”
“Tidak ada yang bisa menghalangiku niatku, kau juga tidak!”
“Semuanya yang ada disini! Mari kita ringkus orang-orang dari Demak ini beserta pengikutnya!” ujar Kiai Jambe Abang lantang.
Prev <  >Next

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut