Novel Cerita Silat Jawa

TDM [02]

Sementara itu iring-iringan prajurit Demak makin mendekati perbatasan Matesih. Iring-iringan itu dipimpin dua senapati, satu orang masih berusia belia, dan yang satu lagi dua kali lipat umurnya dari senopati yang pertama. Iring-iringan itu berhenti di depan Ki Jagabaya dan para pengawal kepercayaannya.


“Kisanak semuanya. Siapakah kalian yang sepertinya berjaga di perbatasan kademangan Matesih ini?”tanya seorang senapati yang lebih tua.


“Mohon maaf sebelumnya tuan-tuan. Aku adalah Jagabaya di kademangan Matesih. Menilik dari pakaian tuan-tuan dan dengan kelengkapan yang ada, sepertinya tuan-tuan adalah prajurit Demak.”


“Kau benar Jagabaya. Aku adalah senapati Demak bersama dengan orang disebelahku ini.”


“Perlu kalian ketahui beberapa waktu lalu telah terjadi pertempuran di lereng Tidar. Kami menumpas laskar Jipang yang bersarang disana, dan kedatanganku kesini adalah mencari dua orang yang melarikan diri dari pertempuran itu.”


“Apakah kalian mengetahui?”


Ki Jagabaya berpandangan sejenak dengan pengiringnya seolah memantapkan niat liciknya. Pengiringnya pun mengangguk-angguk seolah menyetujui niat Jagabaya itu.


“Orang yang tuan-tuan cari ada dirumah Ki Demang di Matesih, Ki Demang Wulungan namanya.”


Dua senapati itu bersama rombongannya terkejut. “Kau berkata sesungguhnya Jagabaya? Berarti Demang di Matesih telah membantu menangkap laskar Jipang?”


“Bukan begitu tuan. Ia telah berkhianat dengan menyembunyikan kedua buron itu.”


“Kau berkata sesungguhnya Jagabaya?” kata senapati itu dengan nada tinggi.


“Begitulah kenyataannya tuan. Aku dan para bebahu lainnya pun merasa prihatin.”


Senapati itu menggeram sambil mengepalkan tangannya. “Bagaimana Raden? Sebaiknya hamba dan beberapa orang saja yang ke kademangan untuk menangkapnya,”kata senapati yang lebih tua itu, berkata pada senapati belia yang dipanggil Raden.


“Berangkatlah. Jangan sampai kau salah tangkap Ki Jipayana! Kalau memang demang di Matesih memberontak, kau boleh menggelandangnya ke Demak. Tapi tentu dengan saksi-saksi yang dapat dipercaya. Pergilah dengan 5 prajurit saja, agar tidak menambah gaduh suasana kademangan!”


“Hamba Raden,”jawab senapati yang dipanggil Jipayana itu.


“Jagabaya! Antar kami ke rumah demang di Matesih itu, jangan sampai dua buron itu kabur!”ujar Ki Jipayana.


Ki Jagabaya mengangguk, tetapi kemudian katanya, “tidak perlu tergesa-gesa tuan, karena sudah ada bebahu dan beberapa orang yang akan membereskan masalah ini disana. Sebaiknya kita memacu kuda perlahan saja agar tidak menjadi perhatian penghuni kademangan.”


“Tapi dua buron itu sangat berbahaya, Ki Jagabaya!”


“Jangan khawatir tuan, kedua orang laskar Jipang itu belum sembuh benar, mereka disembunyikan Ki Demang Wulungan di bilik belakang rumahnya.”


Ki Jipayana dan orang yang disebut Raden itu mengangguk-angguk.


“Baiklah kalau begitu. Marilah kita ke kademangan dengan perlahan saja!”


Lalu berangkatlah Ki Jipayana dengan 5 orang pengiring ditambah Ki Jagabaya dan beberapa pemuda kademangan yang sepaham dengan Jagabaya itu.


Dalam pada itu beberapa orang bersenjata telah masuk ke rumah Ki Demang Wulungan, mereka langsung mendobrak regol pintu masuk tanpa permisi terlebih dahulu.


Tampak Ki Demang Wulungan didampingi Linggar putranya dan dua orang penjaga regol, bersitegang dengan Sura Keling dan beberapa lainnya, tampak pula Ki Bekel.


“Kalian berani masuk rumahku tanpa permisi terlebih dulu! Apa maksudmu Ki Bekel?”kata Ki Demang yang tampak geram.


“Tidak usah berpura-pura Ki Demang Wulungan! Kau sudah mendukung laskar Jipang, itu artinya kau ingkar kepada Kekuasaan Kanjeng Sultan di Demak,”kata Ki Bekel yang bertubuh gempal.


“Jadi kau sebut aku pemberontak?”


“Apa ada kata-kata yang lebih pantas selain itu!”


Ki Demang Wulungan wajahnya merah padam, “kau berani melawan kuasaku Ki Bekel? Kau menangkap Demangmu sendiri, demang yang seharusnya kau hormati!”


Ki Bekel sejenak tersentuh hatinya mendengar perkataan Ki Demang Wulungan, tetapi dimantapkan juga niatnya untuk menyingkirkan Ki Demang dari jabatannya, bahkan dari kademangannya.


“Jangan mencoba mempengaruhi pendirianku Ki Demang. Aku harus menangkapmu dan membawamu ke Demak,” kata Ki Bekel dengan nada dalam.


“Silahkan kalau kau punya nyali! Aku masih Ki Wulungan yang dulu, demang pernah kalian banggakan sebagai Bantengnya Matesih.”


Ki Bekel dan Sura Keling berdebar juga mendengar julukan Ki Demang yang memang pernah menggetarkan lereng Tidar itu.


Ki Bekel walaupun hatinya ciut, mencoba tersenyum. “Aku tak perlu mengotori tanganku untuk menangkapmu Ki Demang. Hadapilah Sura Keling ini, dia lawan yang sepadan untukmu!”


“Pengecut! Kau melibatkan orang lain dalam niat busukmu Ki Bekel,”Ki Demang mengeretakkan giginya.


Tiba-tiba Suro Keling yang sedari tadi diam, maju selangkah. “Sudah jangan banyak bicara Ki Demang! Ayo kita buktikan, apakah kau masih seperti Banteng Tidar diusiamu yang sekarang ini.”


Ki Demang Wulungan menatap tajam Sura Keling, orang yang bukan dari kademangan Matesih. Lalu ia meminta Linggar putranya yang sedari tadi berdiri tegang menepi.


“Menepilah Linggar! Ternyata kademangan ini sudah dikotori niat busuk para bebahunya.”


Linggar pun tidak membantah perintah ayahnya, ia menempatkan diri tidak jauh dari pendapa. Sementara di pendapa dilihatnya ibu dan adiknya berdiri gemetar, melihat orang yang mengerumuni rumahnya.


Sura Keling, pria berbadan tegap dan berkulit gelap itu sudah siap dengan kuda-kudanya. Ki Demang pun siap melayani lawannya yang sebenarnya memang bukan orang Matesih.


Sura Keling mendahului menyerang dengan pukulan-pukulan yang diarahkan ke wajah. Sesungguhnya ia ingin menjajaki dulu kemampuan demang itu, sebelum dia mengambil sikap pada tingkatan ilmunya.


Ki Demang pun walau usianya tidak muda lagi, mampu bergerak lincah menghindari lawan. Pukulan Sura keling tak ada satupun yang mampu menggapai tubuh Ki Demang di Matesih itu.


Hingga akhirnya Sura Keling meningkatkan serangannya dengan cepat, Ki Demang pun akhirnya tak sekedar menghindar, ia mencoba membentur serangan lawannya, ketika sebuah pukulan mengarah kedadanya. Ditangkapnya kepalan tangan Sura Keling dengan telapak tangan terbuka, lalu dicengakeramnya kepalan jari lawannya itu, kemudian didorong dengan kekuatan penuh.


Sura Keling terdorong mundur, tetapi tetap mampu mempertahankan diri. Ia pun takjub, ternyata pukulannya dapat dibendung Ki Demang Wulungan dengan tetap kokoh berpijak seperti batu karang.


“Kenapa kau Sura Keling? Kau kehilangan nyali?”


“Persetan kau demang!” sahut Sura Keling, sambil mengibaskan jemarinya yang sebelumnya dicengkeram.


Kemudian Sura Keling kembali dengan serangan yang bertubi-tubi, Ki Demang pun melayaninya dengan trengginas. Bagaimana pun juga keperkasaan Banteng Tidar masih tampak pada dirinya.


Sesekali pukulan Demang Wulungan mengenai dada dan wajah Sura Keling, walaupun tidak membuatnya terdesak. Peluh mengalir deras ditubuh dua orang yang berseteru itu.


Terlihat jelas kematangan ilmu Ki Demang Wulungan jauh diatas Sura Keling, lelaki bertubuh gelap itu hanya mengandalkan kekuatan tenaganya.


Tetapi bagi Banteng Tidar hal itu bukan suatu yang menyulitkan, karena keluwesan dalam bertempur lebih utama, bahkan kadang tidak dapat diduga lawan.


Ki Bekel yang makin khawatir melihat keadaan Sura Keling yang makin terdesak dan terdorong mundur ke belakang, segera mencari cara lain.


“Kurang ajar! Demang itu masih setangguh dulu rupanya. Keadaan makin sulit, kenapa Ki Jagabaya dan para prajurit itu belum datang juga,” Ki Bekel bergumam.


Ki Bekel tiba-tiba berteriak nyaring,”tangkap Linggar, anak ini juga membantu ayahnya merawat orang-orang Jipang itu!”


Ki Demang yang mendengar itu tersentak,” jangan kau bawa anakku dalam masalah ini!”


Dua penjaga regol yang sedari tadi terdiam pun segera bertindak, ia menghalangi orang-orang yang akan menuju pendapa.


“Tangkap anak itu! Jangan pedulikan penjaga regol itu,” sahut Ki Bekel lagi.


Akhirnya bentrokan pun tak bisa di elakkan. Dua penjaga regol itu berhadapan dengan empat orang pemuda. Sementara satu orang lagi berusaha menangkap Linggar. Linggar yang melihat itu tak bisa tinggal diam, ia berusaha menyongsong satu orang yang mendekati pendapa.


Ibunya yang menyaksikkan dengan tubuh gemetar, mencoba memperingati Linggar. “Linggar jangan melawan! Orang itu bukan temanmu berlatih ilmu kanuragan, ia bisa membahayakan nyawamu.”


“Tidak ada bedanya ibu, ia akan tetap memperlakukanku dengan kasar! Lebih baik aku melawan meskipun akhirnya harus tertangkap!”


“Para bebahu itu telah bersekongkol. Bukan ayah yang memberontak, tetapi merekalah yang memberontak kepada ayah sebagai Demang di Matesih.”


“Jangan ngger!” kata ibunya dengan mata basah, sambil memeluk adik perempuan Linggar.


Linggar hanya menatap keduanya sejenak, tetapi ia kemudian langsung melangkah mendekati lawannya, setelah ia mengambil sepotong tongkat kayu disudut pendapa.


“Jangan bermain-main denganku tikus kecil! Aku bukan teman sepermainanmu yang kau ajak main pedang-pedangan,” kata pemuda yang hendak menangkap Linggar itu.


“Aku menghormatimu sebagai yang lebih tua, kakang Suwandana. Dan kau pun adalah anak Ki Jagabaya. Tetapi ternyata kau bukan orang yang pantas dihormati, kau sama jahatnya dengan ayahmu.”


Suwandana menggeram. Ia memang termasuk dalam barisan pengawal kademangan, ia tersinggung mendengar Linggar yang masih belajar menggenggam senjata itu menghinanya.


“Kau ternyata sama keras kepalanya dengan ayahmu. Bersiaplah!”ujar Suwandana.


Kedua orang itu lalu  bersiap dengan kuda-kudanya.


Suwandana adalah seorang pengawal kademangan yang telah terlatih dengan ilmu kanuragan, selain itu ia juga mendapat tempaan dari ayahnya yang menjabat Jagabaya. Sedangkan Linggar meskipun umurnya baru lima belas tahun, akan tetapi Ki Demang Wulungan ayahnya, selalu melatihnya dengan ilmu ketangkasan dan ilmu beladiri sejak usianya baru menginjak sepuluh tahun.


Suwandana merasa tidak perlu menggunakan senjata untuk menghadapi anak ingusan seperti Linggar. Sekalipun Linggar menggunakan sepotong tongkat kayu, baginya Linggar bukan lawan yang sepadan. Apalagi umurnya lebih muda dibawah Suwandana.


Linggar menusukkan tongkatnya ke tubuh lawannya, akan tetapi Suwandana cukup terampil mengelak. Linggar tidak menjadi putus asa, ayunan tongkatnya menyapu bagian kaki Suwandana, mau tidak mau Suwandana harus berlompatan menghindari tongkat kayu yang hampir menyentuh tulang keringnya.


“Kurang ajar, Kelinci kecil ini terampil pula rupanya,” Suwandana membathin.


Suwandana akhirnya balik menyerang ketika ayunan tongkat itu melintas diatas kepalanya, ia memukul lambung Linggar.


“Akh..!” Linggar pun terpekik dan surut kebelakang.


Ki Wulungan yang menghadapi Sura Keling pun sempat menoleh. “Kalian pengecut! Anakku itu belum cukup dewasa untuk bertarung!”


Belum sempat bibirnya terkatup pukulan Sura Keling menghantam dahi Ki Demang Wulungan. Akibatnya kepalanya pun terasa pening, untungnya ia cepat menyadari keadaan sehingga tidak menjadi sasaran serangan Sura Keling berikutnya. Ki Wulungan menggeretakkan giginya marah, ternyata keadaan Linggar telah mempengaruhi pertarungannya.


Sementara dua penjaga regol yang bertarung dengan pengawal kademangan pun makin terdesak. Hanya kematangan usia mereka yang mampu menahan gempuran empat pemuda itu, bahkan kadang sesekali mampu mendesak ke empat pemuda itu.


Ki Wulungan yang melihat keadaan tidak menguntungkan itu semakin bertekad ingin menyudahi perlawanan Sura Keling. Tetapi Sura Keling bukanlah lawan yang bisa dianggap remeh, kekasaraannya dalam bertarung menunjukkan ia bukan orang yang pantang menyerah.


Linggar yang berhadapan dengan Suwandana pun makin kepayahan. Pukulan dan terjangan kaki Suwandana membuat Linggar jatuh bangun. Ibunya yang duduk bersimpuh dipenda bersama adik perempuanya sesekali memekik dan menutup wajahnya melihat Linggar yang makin terkuras tenaganya.


Linggar berjongkok dengan tangan kanan bertumpu pada tongkat kayunya. Dari bibirnya meleleh darah dan napasnya terengah-engah. Ki Wulungan yang melihat anaknya seperti itu tak sampai hati, timbul niatnya untuk menyemangati anaknya agar jangan menyerah, akan tetapi tentu akibatnya akan semakin parah bagi Linggar jika kalah.


Ki Wulungan yang bertambah berang tiba-tiba berteriak lantang,” Linggar..! bangkitlah, kau anak Demang Wulungan. Tidak pantas anak dari Banteng Tidar berlutut dihadapan musuhnya!”


Ki Demang Wulungan ternyata mencoba menyemangati anaknya. Linggar yang mendengar seruan ayahnya, seketika darahnya seperti mendidih. Tenaganya pun seolah kembali utuh, matanya membara menatap Suwandana yang bertolak pinggang.


Tanpa berkata-kata lagi tongkatnya menyerang Suwandana secara bertubi-tubi. Walaupun berusaha menghindar dan sesekali menyerang, bayangan tongkat itu laksana berlipat-lipat. Kini giliran Suwandana yang jatuh bangun menghindari ayunan tongkat kayu Linggar. Semakin cepat ia mengarahkan pukulannya ke wajah Linggar, semakin cepat pula tongkat itu menepis serangannya. Akibatnya, tangannya seperti berpatahan terbentur tongkat kayu Linggar.


Hingga disaat Suwandana lengah. Tongkat kayu itu ditusukkan Linggar ke dada Suwandana, dengan posisi kaki kanan berjongkok, lalu kaki kirinya ditarik ke belakang. Dihentakkan tongkat kayu itu ke arah dada Suwandana. Suwandana pun jatuh terbanting ditanah, sambil memegangi sakit di dadanya.


Suasana menegang. Pertarungan pun sempat terhenti, mereka tertegun melihat Linggar yang masih bocah ingusan mampu menumbangkan Suwandana salah seorang pengawal Kademangan Matesih. Diluar regol kademangan orang kademangan yang menyaksikkan saling bergunjing dengan orang disebelahnya.


“Luar biasa anak demang itu, ia seperti banteng ketaton yang sedang mengamuk. Ia tidak memperdulikan luka-luka dan memar ditubuhnya!” kata seorah lelaki paruh baya.


“Ya. Dia seperti ayahnya. Ki demang memang menggembleng Linggar seperti ksatria sejati!” berkata orang yang disebelahnya.


Di halaman pendapa, Suwandana masih menggeliat-geliat kesakitan, sementara Linggar berdiri kokoh bak batu karang dengan tongkat kayu ditangan kanan. Linggar sengaja membiarkan Suwandana bergulat dengan rasa sakit di dada dan pening di kepalanya, karena roboh terbanting di tanah.
Prev-->Seri01                Next-->Seri03

11 komentar:

Pengikut