Novel Cerita Silat Jawa

TDM 34

Langit sore menghias Mangir kala iring-iringan yang membawa Linggar sampai keraton. Suasana berubah di setiap mata memandang, terdapat bangunan-bangunan besar yang menginduk pada sebuah bangunan utama. Keraton Mangir tampak megah dengan bangunan dan gerbang masuk yang tinggi. Sekilas tampak seperti sebuah kerajaan kecil yang sisi luarnya adalah kekuasaan Demak.
Linggar dihadapkan langsung dengan Ki Ageng Wanabaya di paseban agung. Ia berlutut dengan cinde di leher dan tangan yang terikat. Di ruangan itu, Ki Ageng di apit dua orang yang bersimpuh di kanan-kirinya.
“Ada apa Jaka? Kenapa mendadak kau meminta pertemuan di paseban agung ini?” Ki Ageng Wanabaya berkata.
“Mohon ampun, ayahanda. Aku membawa orang yang mengacau di gerbang Mangir, dan orang ini bermaksud memaksa masuk ke Dalem Mangiran,” Raden Jaka menjelaskan.
Ki Ageng memandang orang yang dimaksud. Sejenak ia mengamati Linggar yang masih tertunduk. “Teangadahkan wajahmu, anak muda!” perintah Ki Ageng.
Linggar pun mengangkat wajahnya, kemudian tertunduk lagi.
Ki Ageng mengerutkan dahi, seperti sedang mengingat-ingat. “Bukankah kau pernah singgah ke Mangir, beberapa waktu yang lampau?”
“Hamba, Ki Ageng. Hamba Linggar yang dahulu sempat bermalam di Mangir bersama Raden Pamekas dari Demak,” jawab Linggar masih menundukkan pandangan.
Raden Jaka kemudian memotong pembicaraan. “Ayahanda Wanabaya, orang ini punya maksud lain dengan mencoba memaksa masuk Mangir! Jadi sebaiknya orang ini kita adili saja, ayah!”
“Ah jangan berlebihan Jaka. Aku sudah mengenal anak muda ini, tanyakan dulu baik-baik maksudnya. Jangan langsung menghakiminya tanpa sebab yang jelas.”
“Tetapi ayah, ia telah membuat babak belur prajurit jaga yang bertugas di pintu masuk Mangir. Bukankah itu suatu pembangkangan?” tukas Raden Jaka.
“Apa tanggapanmu, angger Linggar?” tanya Ki Ageng pendek.
Linggar menarik napas dalam-dalam, kemudian mencoba menjelaskan dengan kalimat yang tidak menyinggung para petinggi Mangir.
“Sebelumnya hamba mohon maaf, Ki Ageng. Jika cara hamba untuk dapat bertemu Ki Ageng Wanabaya tidak berkenan dihati para petinggi sekalian. Hamba sudah mencoba mengutarakan maksud hamba datang ke Mangir kepada prajurit jaga, dan hamba sudah menunjukkan kelebet sebagai pertanda bahwa hamba adalah duta dari Kadipaten Pajang. Tetapi mungkin karena kehati-hatian para prajurit, sehingga hamba tidak diperbolehkan masuk ke daerah Mangir. Memang sempat terjadi salah paham, hamba mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.”
“Kau utusan Pajang? Karebet yang mengutusmu?” tanya Ki Ageng penuh minat.
“Benar Ki Ageng. Hamba di utus menanggapi balasan surat Ki Ageng sebelumnya yang ditujukan kepada Kanjeng Adipati Hadiwijaya. Dan juga ada beberapa hal yang ingin dirundingkan, terkait perkembangan baru-baru ini yang begitu meresahkan Pajang maupun Mangir.”
“Jaka!” mendadak Ki Ageng bersuara keras, seolah ada yang tidak berkenan dihatinya.
“Hamba ayahanda Wanabaya,” sahut Raden Jaka tergagap, mendengar nada suara ayahnya meninggi.
“Tidak pantas tamu penting kau perlakukan seperti itu! Lucuti cinde dilehernya itu!”
“Tapi ayahanda..,” Raden Jaka memotong.
“Lakukan kataku!” kata Ki Ageng tegas.
Maka kemudian diperintahkan seorang pengawal melepas cinde di leher Linggar. Sementara wajah Ki Ageng masih memerah karena marah.
“Hal ini tidak perlu terjadi lagi! Duta adalah tugas penting, jangan sekali-kali meremehkan duta apalagi sampai melukainya. Kalau memang duta itu bisa menunjukkan ciri yang menjadi pengutusnya, sebaiknya dipersilahkan masuk dan perlakukanlah dengan baik. Tindak-tanduk kalian mencerminkan pribadi rakyat Mangir, tunjukkanlah bahwa kalian adalah tuan rumah yang baik dan bersahabat dengan siapa pun diluar telatah Mangir,” kata Ki Ageng Wanabaya dengan penuh penekanan.
Seisi paseban agung itu tertunduk dalam mendengar Ki Ageng marah. Mereka terdiri dari Raden Jaka dan juga dua pengapit Ki Ageng Mangir. Ditambah lagi 4 orang lagi lurah prajurit. Ki Ageng Wanabaya adalah pemimpin tertinggi Mangir, segala keputusannya harus dipatuhi bawahannya. Jika masalah kehormatan dan kedaulatan Mangir, Ki Ageng selalu sungguh-sungguh menyikapinya.
Setelah cinde di leher Linggar dilepaskan, mereka pun kemudian menunggu Ki Ageng berbicara kembali.
“Angger Linggar,” kata Ki Ageng sareh. “Mohon maaf atas perbuatan yang tidak sepantasnya itu. Aku sebagai pemimpin Mangir sangat menyesal atas kejadian itu.”
“Hamba Ki Ageng. Hanya salah paham saja, Ki Ageng. Hamba mengerti, karena hamba pun seorang prajurit yang harus bertindak sesuai paugeran yang berlaku,” Linggar menanggapi.
Ki Ageng mengangguk-angguk. “Lalu apa kiranya sampai Karebet mengutus angger Linggar ke Mangir?”
Linggar menarik napas dalam-dalam sebelum mengutarakan hal yang akan disampaikan. Karena salah dalam menyampaikan dapat memberi arti yang berbeda bagi yang mendengarnya.
“Sebelumnya hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya Ki Ageng. Kalau dalam hal, cara hamba menyampaikan masalah nanti tidak berkenan di hati Ki Ageng, atau barangkali membuat para petinggi disini menjadi tersinggung,” Linggar mengawali maksud pembicaraan.
Semua mendengarkan dengan sungguh-sungguh, bahkan para petinggi yang hadir tampak tegang menunggu hal yang akan disampaikan Linggar.
“Hamba hanya bertindak sebagai duta atau utusan. Dalam hal yang akan disampaikan ini, semua keputusan bergantung pada Ki Ageng sendiri, sebagai penguasa Mangir yang berdaulat. Hamba tidak berhak mencampuri, apalagi mempengaruhi keputusan, Ki Ageng.”
“Cepat katakan, tidak usah bertele-tele! Apakah kedatanganmu ini, bermaksud meminta agar Mangir tunduk pada kuasa Pajang, begitu?” potong Raden Jaka tak sabar.
“Jaka…,” Ki Ageng mengingatkan puteranya untuk menjaga sikapnya. Raden Jaka pun terdiam kemudian.
“Dalam keadaan terakhir ini, bahwa di Mangir ini ada sekelompok orang yang mengacau Mangir dan mengatasnamakan prajurit Pajang. Setelah pihak Pajang menyelidiki, ternyata itu bukan ulah dari prajurit Pajang, melainkan segerombolan orang yang menamakan dirinya dari Padepokan Watu Belah. Dan perlu diketahui juga bahwa, padepokan itu tidak bergerak sendiri, melainkan bersekongkol dengan prajurit bayaran dari Prambanan.”
“Untuk meredam hal itu, Pajang sudah menggempur Padepokan itu beberapa waktu yang lalu. Walaupun kami dapat menghancurkan sekaligus mengusir para penghuninya, tetapi masih ada masalah yang tertinggal.”
“Apa itu?” tanya Ki Ageng penasaran.
“Saat terjadi penyerbuan ke Padepokan Watu Belah, penyusup berhasil mencuri pusakan dari gedung perbendaharaan di keraton kadipaten. Pusaka itulah kemudian yang membuat kami menunda menangkap orang-orang Padepokan itu. Pusaka itu adalah Seruling Kyai Nagasengkala.”
“Karena pengaruh pusaka itu yang membahayakan maka kami menunda menangkap pimpinan padepokan itu. Dan celakanya mereka melarikan diri justeru mendekati arah Mangir, yaitu di Bukit Sambung. Mereka kembali membuat landasan disana, kami khawatir mereka akan semakin membuat kekacauan di Mangir, terlebih lagi mereka selalu menjadikan Pajang sebagai tameng perbuatannya.”
Mendadak paseban itu menjadi agak gaduh, mereka saling bergunjing dengan orang disebelahnya. Tetapi kemudian Ki Ageng memberi isyarat untuk kembali tenang.
“Lanjutkan ngger! Aku ingin tahu siapa pimpinan padepokan itu?”
“Baik Ki Ageng. Pimpinan padepokan itu adalah Kiai Jambe Abang, bersama muridnya yang disebut Pangeran Pujapati. Mereka bercita-cita merebut tahta Demak dengan cara mereka.”
“Kemudian Ki Ageng, aku telah sampai pada pokok permasalahan yang ingin dirundingkan kepada Ki Ageng.”
“Maksudmu?” tanya Ki Ageng pendek.
“Pusaka Kiai Nagasengkala yang dicuri itu punya pamor yang luar biasa, pusaka itu sebenarnya milik aliran hitam, dan sedianya ingin dimusnahkan karena pengaruh jahatnya. Tetapi sudah terlanjur cengkar dari gedung pusaka.”
“Kanjeng Adipati merasa, yang bisa menandingi pamor pusaka itu hanyalah dua. Yang pertama adalah Tombak Kiai Plered dan yang satu lagi adalah milik Ki Ageng sendiri, yaitu Kiai Baru Klinthing.”
“Masalahnya adalah, Tombak Kiai Plered disiapkan Kanjeng Adipati untuk menghadapi Arya Jipang yang selama ini melakukan pemberontakan. Arya Jipang mempunyai pusaka keris Setan Kober yang sangat berbahaya, dan Kiai Plered adalah tandingannya.”
“Lalu?” Ki Ageng bertambah penasaran.
Linggar telah sampai pada hal pokok yang sulit diungkapkan, karena siapa pun yang mendengar, tentu akan beragam tanggapannya.
“Begini Ki Ageng. Kami dari pihak Pajang meminta kesediaan Kiai untuk meminjamkan tombak itu pada hamba. Karena menurut perhitungan kami hanya pusaka Ki Agenglah tandingannya. Kami berjanji akan mengembalikannya jika nanti tugas ini selesai.”
Ki Ageng dan seluruh petinggi Mangir terkejut mendengarnya. Terlebih lagi Raden Jaka.
“He! Kau kira pusaka Baru Klinting itu barang mainan yang bisa dipinjamkan begitu saja? Karebet yang sudah tidak mampu meredam pemberontakan, kenapa kami yang harus dilibatkan?” kata Raden Jaka meninggi. “Kata-katamu itu menyinggung harga diri kami sebagai orang Mangir, seolah Mangir adalah bawahan kalian yang harus tunduk Patuh!”
Linggar hanya terdiam tak menjawab, karena bukan wewenangnya untuk mempengaruhi keputusan. Ki Ageng sendiri wajahnya menegang, seolah-olah permintaan untuk meminjamkan senjata miliknya yang mempunyai sifat kandhel itu melangkahi harga dirinya.
“Menurut angger Linggar sendiri, apakah aku harus menuruti kemauan karebet?” tanya Ki Ageng.
“Bukan tugasku untuk mempengaruhi keputusan Ki Ageng. Aku hanya penyambung lidah dari Kanjeng Adipati di Pajang. Kalau pun Ki Ageng tidak setuju, kami tidak memaksa. Jika Ki Ageng dan rakyat Mangir ingin mengatasi sendiri kami persilahkan. Yang jelas setelah ini, jika terjadi lagi kisruh yang mengatasnamakan Pajang, maka kami tidak bertanggungjawab atas apa pun yang akan terjadi. Dan kami pun akansegera menindak prajurit kami yang bersekongkol dengan mereka. Atau dengan kata lain, kami akan membatasi bahwa perbuatan itu murni ulah Padepokan Watu belah.”
“Kau mengancam kami!” kata Raden Jaka yang menjadi naik darah.
“Tidak, Raden. Aku hanya penyampai berita, bukan pengambil keputusan,” jawab Linggar dengan nada bicara santun tetapi tegas.
Raden Jaka tangannya mengepal dan bergetar, seolah amarahnya sudah tak terkendali. Tetapi ketika dilihat ayahandanya, ia mencoba mengendapkan perasaannya agar tidak menambah kacau pertemuan itu.
Ki Ageng Wanabaya tampak berbisik pada orang berada di sebelahnya yang sedang duduk bersimpuh.
“Bagaimana menurutmu, Ki Nataprawira?”
Lelaki berjanggut putih dan seumur dengan Ki Ageng itu, terdiam sesaat. Ia sekilas memandang Linggar yang masih tertunduk, kemudian memandang Raden Jaka dan para petinggi lainnya. Ia melihat para petinggi Mangir menjadi panas hatinya, seolah menunggu titah Ki Ageng untuk segera mangambil sikap.
“Ki Ageng. Ada baiknya kita menunda keputusan ini. Kita harus berpikir jernih untuk mengambil keputusan yang tidak menyinggung kedua belah pihak. Kita adakan saja pertemuan lagi setelah kita bermusyawarah diantara kalangan sendiri.”
Ki Ageng mengangguk-angguk, kemudian berkata. “Angger Linggar, aku hormati keinginan Karebet untuk menjernihkan hubungan Mangir dan Pajang. Tetapi, untuk permintaannya dalam perundingan ini, aku terpaksa menunda memberi jawaban. Nanti aku putuskan setelah aku bermusyawarah dengan para pemangku jabatan di Mangir. Jadi aku nyatakan pertemuan ini selesai, dan akan dilanjut setelah ada titik terang dari kami.”
Keputusan Ki Ageng itu sebenarnya kurang memuaskan para petinggi Mangir yang ingin segera bertindak langsung, akan tetapi tidak ada pilihan lain, selain mematuhi Ki Ageng yang ingin mendalami persoalan itu sebelum memutuskan.
Akhirnya kemudian pertemuan itu pun dibubarkan. Linggar selanjutnya menjadi tamu kehormatan yang ditempatkan di dalam keraton Mangir.
“Angger Linggar, silahkan beristirahatlah. Tentu perjalanan angger cukup jauh untuk sampai Mangir ini. Ki Nataprawira akan membantu kebutuhanmu selama disini,” kata Ki Ageng, yang kemudian disambut ramah Ki Nataprawira.
“Silahkan Ngger, akan aku tunjukkan dimana angger dapat beristirahat,” sahut Ki Nataprawira mempersilahkan.
Linggar pun kemudian mengikuti langkah Ki Nataprawira yang berjalan menuju arah samping bangunan utama itu. Setelah melewati pintu keluar, maka terlihat bangunan berderet terdiri dari banyak pintu. Disitulah Linggar ditempatkan.
“Tidak usah sungkan ngger! Jika butuh sesuatu, katakan saja. Abdi dalem yang berjaga disini akan membantu,” kata Ki Nataprawira ramah.
“Terimakasih Ki Nataprawira,” sahut Linggar.
Karena hari menjelang malam, Linggar pun kemudian segera membersihkan diri di kulah dan melaksanakan kewajibannya.

<< PREV  NEXT >>

3 komentar:

Pengikut