Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri 19

Pada suatu hari dimana sebelum rencana padepokan Watu Belah akan menyerang Mangir. Ki Tumenggung Purbasana melangsungkan pernikahan di sebuah desa kecil di Prambanan. Hanya beberapa orang tamu saja yang datang dan menyaksikan pernikahan tersebut. Karena memang pernikahan itu digelar tertutup dan dijaga ketat beberapa pengawal.
Linggar yang mengetahui rencana pernikahan itu, merasa perlu memberitahukannya kepada Rara Widari. Walaupun Linggar sadar. Betapa pedih dan pahit perasaan Widari, terlebih lagi ibundanya. Tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi.
Linggar kemudian membawa Rara Widari ke Prambanan untuk melihat sendiri pernikahan itu berlangsung. Disebuah rumah yang sebelumnya telah disewa Linggar, keduanya mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat.
“Aku tidak bisa membiarkan pernikahan itu berlangsung Linggar!” kata Widari sambil meneteskan air mata.
“Kita tidak bisa mencegahnya Rara. Rumah itu dijaga ketat beberapa pengawal.”
“Hati ibuku akan hancur jika mengetahui akan hal ini,” kata Rara Widari lagi.
“Aku mengerti, tetapi apa yang bisa kita perbuat dalam keadaan seperti ini? Kehadiranmu di pernikahan itu hanya akan menimbulkan masalah baru,” Linggar menasihati.
Sorot mata Widari bagai menyala-nyala. Ia tidak rela melihat ibunya dikhianati. Tiba-tiba ia bangkit hendak menghambur keluar menuju tempat pernikahan itu berlangsung. Tetapi dengan cepat Linggar mencegahnya.
“Gunakan nalarmu Rara! Jangan bertindak tanpa pertimbangan!” kata Linggar, sambil menarik lengan Widari.
“Apa jadinya..? Apa jadinya nanti jika ibunda mengetahui pernikahan ini?” kata Rara Widari, sambil memukul-mukul dada Linggar yang menahannya keluar.
Widari menangis sesenggukan sambil terduduk dihadapan Linggar. Ia merasa terguncang dengan peristiwa itu.
“Tenangkan dirimu, ini adalah suratan yang harus kau hadapi, tegarlah!” kata Linggar lagi.
Widari yang kecewa dengan ayahnya, tak mampu lagi membendung air matanya yang terus-menerus mengalir deras. Ia pun terkulai lemas dipundak Linggar, dengan air mata yang membasahi pundak Linggar. Linggar mengelus rambut panjang Rara Widari.
“Tujuanku membawamu kesini adalah agar kau mengetahui secara langsung apa yang terjadi pada ayahmu. Untuk melihat kenyataan, bukan untuk membuatmu menjadi putus asa, Rara. Jadi tetaplah berserah diri pada yang Kuasa, sambil mencari kalimat yang terbaik untuk memberitahukannya pada ibundamu nanti,” kata Linggar sareh.
Widari tak berkata apapun. Yang terlihat kini hanya tangisnya yang sudah mulai mereda. Kemudian ia melepaskan sandarannya pada dada Linggar dengan wajah memerah.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini, sebelum orang-orang disekitar sini mencurigai kehadiran kita,” ajak Linggar.
Kemudian keduanya meninggalkan rumah itu. Linggar mengambil kuda yang sebelumnya ia tambatkan tidak jauh dari tempat ia dan Widari bersembunyi. Linggar memacu kudanya meninggalkan Prambanan untuk kembali ke Pajang.
Widari duduk dibelakang Linggar dengan tatapan kosong, setelah peristiwa sebelumnya. Linggar sendiri memacu kudanya perlahan. Setibanya di luar Kadipaten, Linggar mengembalikan kuda yang sebelumnya ia sewa dari seorang yang tinggal di dekat pasar. Lalu keduanya berjalan kaki menuju dalem katumenggungan.
Tetapi peristiwa penghadangan kembali terjadi. Dalika dan teman-temannya kembali menahannya di suatu sudut lorong yang sepi.
Jumlah mereka 5 orang dengan Dalika. Dalika sendiri berdiri dimuka diantara teman-temannya yang lain.
“Linggar! Aku sudah cukup bersabar kepadamu. Sekarang kau akan aku buat menyesal karena tidak mengindahkan kata-kataku!” kata Dalika meninggi.
Linggar yang merasa tak bisa terus menghindar dari ulah Dalika menimpali. “Terserah kepadamu. Aku sudah cukup mengalah, Dalika,” kata Linggar dengan nada dalam. Rara Widari sendiri hanya bersembunyi dibalik punggung Linggar ketakutan.
Dalika yang merasa ditantang menjadi naik darah. Kemudian meminta teman-temannya menyerangnya.
“Bereskan anak tidak tahu diri ini! Aku tak mau mengotori tanganku hanya untuk anak kampung macam dia!” perintah Dalika.
Linggar kemudian maju selangkah, lalu meminta Widari menepi. “Menepilah aku sudah kepalang basah. Aku tidak mau harga diriku direndahkan lagi,” katanya dengan mata membara.
Keempat teman Dalika langsung menyerang Linggar secara bergantian. Tetapi mereka memanglah bukan lawan yang sebanding bagi Linggar. Karena sebenarnya Linggar telah memiliki bekal kanuragan dari ayahnya, yang kemudian diteruskan oleh Raden Pamekas. Ke empat orang itu mampu dilumpuhkan oleh Linggar.
Ketika dua orang hendak meninju wajah Linggar, Linggar langsung menangkap pergelangan tangan kedua pemuda itu, kemudian memuntir kedua lengannya kebelakang. Kedua teman dalika itupun meringis kesakitan. Setelah itu Linggar mendorong punggung kedua pemuda tadi. Akibatnya keduanya jatuh tersuruk ditanah.
Dalika sempat tertegun dibuatnya. Ternyata Linggar memiliki kemampuan. Berbeda ketika sebelumnya ia pernah mempermainkannya, Linggar hanya pasrah ketika menjadi bulan-bulanannya. Tetapi hal itu hari ini terbantahkan, ternyata Linggar memiliki kemampuan yang perlu diperhitungkan.
Dua orang lagi yang tersisa pun menjadi tersinggung melihat temannya tak berdaya. Keduanya langsung menyerang dengan garang. Tetapi itu tidak berarti apa-apa. Karena baik pukulan maupun serangan dapat dihindari Linggar dengan mudah. Akhirnya mereka pun bernasib sama dengan dua orang sebelumnya, yaitu jatuh terduduk ditanah. Setelah linggar menanduk perut keduanya secara bergantian, keduanya membungkuk kesakitan. Saat itulah Linggar menghantamkan sikunya ke punggung mereka.
Keempatnya hanya meringis kesakitan, sementara Linggar masih berdiri kokoh tak tergoyahkan. Dalika menjadi gusar, ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya.
“Dasar tidak berguna! Kalian memalukan! Tidak ada artinya kalian selama ini berguru pada Ki Ajar Kesada!” katanya meninggi.
Dalika pun sebenarnya agak ragu dengan kemampuannya sendiri, akan tetapi didepan Rara Widari, ia tidak mungkin menyerah begitu saja.
“He, anak kampung! Boleh jadi kau dapat mengalahkan mereka, tetapi belum tentu dengan aku! Bersujudlah dihadapanku atau kau akan aku buat menyesal kemudian!” ancam Dalika.
Linggar hanya tersenyum, kemudian berkata. “Pergilah,” kata Linggar pendek. “Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini lagi. Sudah cukup sampai disini. Jangan pernah merendahkan orang lain lagi. Kau hanya anak Tumenggung yang baru belajar berkelahi, kau masih terlalu dini untuk bertarung secara jantan. Kau juga masih merengek pada ayahmu jika mempunyai keinginan. Jadi, pulanglah!”
“Jangan asal bicara Linggar! Kau telah menyinggung harga diriku! Aku bisa saja memerintahkan orang Kadipaten untuk menangkapmu, karena telah mengganggu ketenteraman Katumenggungan!”
Linggar tersenyum tipis. “Belum kering mulutku berbicara, kau sudah merengek minta bantuan. Itulah dirimu Dalika, kau tidak bisa berdiri tegak di atas kakimu sendiri, kau hanya mengandalkan kuasa ayahmu. Bercerminlah!”
Dalika menggeram marah. Ia merasa diremehkan, apalagi disitu ada Rara Widari. Rara Widari sendiri hanya berdebar-debar menyaksikan perseteruan itu. Ia tidak menyangka, ternyata Linggar mampu mengatasi masalahnya, meskipun berhadapan dengan jumlah lawan yang 4 orang itu.
Dalika kemudian maju menyerang Linggar, dengan penuh nafsu ingin segera menundukkannya. Tetapi tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena Linggar mampu menghindar dengan gesit. Dalika pun makin kesal dengan gerakan Linggar yang dengan mudah dapat mengelakkan serangannya.
Sebenarnya Dalika belum cukup matang berguru pada Ki Ajar Kesada, Ki Ajar Kesada pun pernah mengakuinya pada Linggar. Hanya saja sikap angkuhnya yang membuat ia hilang pengamatan.
Hingga sebuah pukulan Linggar mendarat di pipinya, ia tak dapat mengelak. Pipinya pun menjadi lebam karenanya. Dalika menjadi makin marah akibatnya, kemudian menyerang Linggar sejadi-jadinya. Linggar sendiri yang terlanjur kesal dengan tindakkan Dalika, tak memberi kesempatan Dalika untuk berbangga diri.. Kembali sebuah tendangan mengenai perut Dalika, Dalika pun terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya.
“Kau akan menyesal.., kau akan menyesal karena berani berurusan denganku!” kata Dalika sambil menggeretakkan giginya. Ia lalu mencabut sebilah belati dari balik bajunya.
Linggar terkejut melihatnya, perselisihan ini semakin meruncing akibatnya. “Jangan menjadi gila Dalika! Permainan ini sudah cukup!” Linggar memperingati.
“Aku tidak perduli! Kau sudah menyinggung harga diriku!” sahut Dalika. “Kau akan bersimbah darah ditempat ini Linggar!” katanya lagi sambil mengacungkan belatinya siap menyerang.
Dalika kemudian menusukkan belati itu sejadi-jadinya kearah Linggar. Ketika belati itu ditusukkan ke lambung Linggar, Linggar berusaha menghindar dengan menggeliatkan diri kesamping. Dalika yang merasa belatinya tidak mengenai sasaran, menarik belatinya. Kemudian menebaskan belatinya menyamping, kearah lambung Linggar. Linggar terkejut, baginya tidak mungkin lagi untuk menghindar, akhirnya ia menangkap pergelangan tangan Dalika. Lalu menarik lengan yang menggenggam pisau itu. Ketika wajah Dalika mendekat ia memukul rahang lawannya dengan kuat.
Akibatnya, Dalika terhuyung-huyung dan matanya berkunang-kunang. Sesaat Dibiarkannya Dalika menyadari keadaannya, teman-temannya yang lain hanya ternganga melihat Dalika tak berdaya.
Beberapa saat kemudian setelah Dalika menyadari keadaan dirinya sepenuhnya. Ia bertambah geram, matanya seolah membara. Sebagai putera Tumenggung Derpayuda belum pernah ia dihinakan begini rupa. Dalika yang jatuh terduduk itu, tangannya kemudian mencengkeram debu disisinya. Lalu dengan liciknya ia taburkan ke wajah Linggar yang sedari tadi memandangnya tajam. Linggar terperanjat tetapi terlambat menghindar. Matanya terasa pedih, lalu dilihatnya samar pisau belati Dalika menyilang di dadanya. Walaupun pandangannya terganggu tetapi ia masih sempat mundur selangkah. Pisau itu tidak melukai lambungnya,akan tetapi sedikit goresan merobek baju Linggar. Dan kini terlihat darah merembes dari baju yang terkoyak itu. Rara Widari yang menyaksikan pun sempat terpekik dibuatnya.
Linggar sempat meraba luka didadanya. Terasa pedih tapi lukanya tidak terlalu dalam. Pandangannya yang kabur kini telah pulih kembali, walaupun matanya menjadi pedih dan merah. Ia sebenarnya bisa saja segera menyelesaikan perkelahian itu, tetapi kebimbangan masih meliputi hatinya. Walaupun hatinya bergejolak tetapi dicobanya untuk menekan perasaan itu, untuk kepentingan yang lebih luas.
Dalika sendiri masih berdiri tegak dengan pisau yang teracung. “Kau masih tetap dengan pendirianmu, Linggar? Atau kau masih ingin melanjutkan pertunjukkan yang menarik ditempat ini!”
Linggar menggeram marah. “Kau licik Dalika! Kau menggunakan segala cara untuk menundukkan lawanmu. Itu bukan sifat ksatria sejati!”
“Omong kosong dengan celotehmu itu, Linggar. Majulah kalau masih ingin pisau ini bersarang ditubuhmu!” ancam Dalika.
Linggar merasakan pedih luka didadanya, karena keringat yang bercucuran ditubuhnya. Tetapi kemudian pernyataan yang diluar dugaan keluar dari bibirnya.
“Aku mengaku kalah Dalika!” katanya dengan mata redup.
Rara Widari sempat terkejut mendengar pernyataan itu. Tetapi ia masih menahan diri, karena melihat Dalika yang masih mengacungkan belatinya dihadapan Linggar.
Dalika pun terkejut mendengarnya. Kemudian katanya, “itu artinya kau akan menjauh dari Rara Widari untuk seterusnya?”
Linggar dengan berat akan menjawabnya, tetapi ia sempat berpaling pada Widari. Dilihatnya ia menjadi cemas dan kecewa atas pengakuannya tadi. Akhirnya walaupun berat hati ia menganggukan kepalanya.
“Linggar!” kata Widari suaranya seolah tersumbat dikerongkongan. Dadanya terasa sesak melihat sikap Linggar yang menuruti kemauan Dalika.
“Kau yakin dengan apa yang kau katakan?” kata Widari dengan suara bergetar. “Lalu, apa arti semuanya ini?” katanya sambil mengguncang-guncang tubuh Linggar dengan kedua tangannya.
Linggar tak berkata sepatah kata pun ia hanya tertunduk. Sementara Widari meneteskan air mata, ia tak kuasa menahan kekecewaan itu. Kemudian ia berlari meninggalkan tempat itu, sambil menyeka air matanya. Hatinya hancur berkeping-keping, seolah semuanya menjadi gelap karenanya.
Sepeninggal Rara Widari. Dalika yang masih berdiri berhadapan dengan Linggar, menyarungkan belatinya. Kemudian katanya sambil mencibir. “Pergilah..! Untuk saat ini cukup sampai disini. Tetapi jika kau masih mencoba mendekati Widari. Aku dapat berbuat apa saja untuk menghalanginya, bahkan melenyapkanmu bila perlu!”
Linggar mencoba menguasai perasaannya yang bergejolak. Meskipun gemuruh didalam dadanya seolah ingin berontak, tetapi beberapa pertimbangan masih mengganjal langkahnya. Linggar akhirnya tak menjawab, hanya mengayunkan langkahnya meninggalkan Dalika dan teman-temannya dengan kepala tertunduk.
Sebenarnya dalam hati teman-teman Dalika dapat mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya Dalika hanya mengandalkan berbagai cara untuk mengalahkan Linggar, bahkan dengan cara licik sekalipun. Tetapi nurani mereka sebenarnya mengakui akan kelebihan Linggar. Namun hal itu tidak diungkapkan mereka, karena khawatir Dalika menjadi marah. Karena ayah Dalika, yaitu Tumenggung Derpayuda adalah orang yang cukup disegani, terlebih lagi kedudukannya hampir sepadan dengan Ki Tumenggung Wilamarta. Seorang kepercayaan dari Kanjeng Adipati Hadiwijaya.

<--Prev  Next -->

3 komentar:

Pengikut