Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri : 13

Semua prajurit yang telah resmi itu tersenyum bangga, bahwa usaha mereka untuk menjadi bagian dari kekuatan Pajang berhasil. Akhirnya semua prajurit pun membubarkan diri menuju barak masing-masing. Hanya Linggar dan satu kawannya yang terlihat berbeda dari yang lain, ia diperbolehkan kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Karena mereka adalah prajurit Telik Sandi, yang walaupun mempunyai ikatan tugas, tetapi tidak diwajibkan tinggal di barak.
“Kau tinggal dimana Wurpasa?”
“Aku tinggal di dalem tumenggungan Ki Purbasana. Ayahku pekathik disana. Kau sendiri?”
“Aku menumpang di dalem tumenggungan Ki Wilamarta,” jawab Linggar.
Linggar dan Wurpasa adalah prajurit terpilih, yang beruntung mendapat kesempatan menjadi telik sandi. Dan sebab itulah keduanya menjadi akrab.
Karena keduanya tinggal di lingkungan dalem tumenggungan, arah yang mereka tuju pun sama. Hanya saja rumah Tumenggung Purbasana lebih dahulu mereka lewati, ketimbang rumah Tumenggung Wilamarta.
“Kau mau mampir Linggar?”
“Terimakasih Wurpasa, mungkin lain kali.”
Linggar pun meninggalkan Wurpasa yang memasuki pintu regol. Lorong regol itu tampak sepi, hanya sesekali terlihat beberapa orang melintas. Tetapi langkah Linggar terhenti setelah jalan meningkung. Dilihatnya seorang gadis sebayanya sedang berjalan tertatih-tatih. Sambil meringis kesakitan, gadis itu berjalan selangkah demi selangkah. Ia memegangi kaki kirinya, yang tampak memar.
Linggar menghampiri dan bertanya. “Kau baik-baik saja?”
Gadis itu menatapnya lalu menjawab, “kakiku terkilir.”
“Mau kupapah kau dan kuantar pulang?” tanya Linggar.
Gadis itu agak ragu menjawab, tetapi kemudian kepalanya mengangguk perlahan.
Linggar akhirnya memapahnya untuk berjalan. Gadis itu berjalan tertatih sambil menopang tangannya dipundak Linggar.
“Apakah rumahmu masih jauh?”
“Tidak. Setelah kelokan jalan ini, disitulah rumahku,” jawab gadis itu, sambil memegang erat pundak Linggar.
Linggar pun sempat membathin, “bukankah dikelokan jalan ini tadi Wurpasa pulang.
Benar saja, setelah jalan menikung gadis itu menghentikan langkahnya dimuka regol. Tepat dimana Wurpasa memasuki rumahnya itu tadi.
“Pengawal! Bukakan pintu!” kata gadis itu.
Kemudian terlihat pintu regol terbuka perlahan. Lalu terlihat dua penjaga regol terbelalak menghampiri.
“Apa yang terjadi Mas Rara Widari?” kata salah seorang penjaga regol itu dengan wajah tegang.
Belum sempat gadis yang dipanggil Mas Rara Widari itu menjawab, terdengar derap kuda memasuki regol. Seorang Pria setengah baya yang baru datang, tampak terkejut melihat apa yang terjadi dirumah itu.
“Rara Widari! Apa yang terjadi?” kata pria itu.
“Kakiku terkilir ayah! Kakiku terantuk batu saat pulang dari latihan tari tadi,” jawab gadis yang dipanggil Rara Widari itu. Tangannya masih menggelayut dipundak Linggar.
Ayah dari Rara Widari itu tampak kurang senang sikap putrinya itu. “Widari! Siapa laki-laki yang bersamamu itu?”
Rara Widari tergagap, lalu ia melepaskan tangannya yang masih menopang dipundak Linggar. “Ia yang memapahku sampai tempat ini, ayah.  Hanya pria ini yang melintas ketika aku terjatuh,  jadi tidak ada pilihan lain bagiku untuk meminta tolong.”
Linggar hanya tertunduk dan terpaku ditempatnya. Tetapi kemudian seorang lelaki yang seusianya datang ketempat itu dan menyapanya.
“Linggar?” katanya.
Ayah dari Rara Widari pun sempat mengalihkan pandangannya pada lelaki yang baru datang itu. “Wurpasa! Kau mengenalnya?”
“Benar. Ia adalah kawanku di keprajuritan Pajang Ki Tumenggung. Kami baru saja di Wisuda.”
“Oh begitu. Ya sudah anak muda, aku ucapkan terimakasih. Sekarang kau boleh meninggalkan rumahku ini.”
Sebenarnya Rara Widari kurang mapan dengan sikap ayahnya yang hanya mengucapkan terimakasih. Padahal sebagai adab, seharusnya ayahnya mempersilahkan Linggar masuk. Tapi ia tidak membantah sikap dari ayahnya itu.
Linggar sendiri kemudian hanya mengangguk hormat pada Ki Tumenggung. Kemudian sekilas dipandangnya Wurpasa temannya. Lalu ia pun berjalan menuju regol.
Tetapi kemudian langkahnya kembali tertahan, ketika seorang perempuan turun dari pendapa.
“Ada apa kang mas Tumenggung? Apa yang terjadi dengan Rara Widari?” katanya khawatir.
“Tidak apa Nyi! Ia hanya terkilir. Lain kali tidak usah kau suruh Widari berlatih tari,” kata Ki Tumenggung.
Linggar yang sempat mendengar, tidak berlama-lama disitu, ia melanjutkan langkahnya meninggalkan regol rumah Tumenggung Purbasana.
Sepeninggal Linggar, Rara Widari dipapah ibundanya memasuki rumahnya. Wurpasa kemudian membuatkan ramuan untuk mengobati luka memar Rara Widari.
Seorang emban pemomong kemudian datang memijit-mijit dan memborehkan ramuan yang diracik Wurpasa, disaksikan Nyi Tumenggung Purbasana.
“Widari.., siapa yang mengantarmu pulang saat kau terkilir tadi?” tanya Nyi Tumenggung ibunya.
“Aku hanya tahu namanya Linggar, ibunda.”
“Linggar,” kata Nyi Tumenggung lirih. Nama itu seperti menggetarkan hatinya, ia sempat termenung beberapa saat.
“Tetapi yang lebih tahu mungkin Wurpasa ibunda,” kata Rara Widari lagi.
Wurpasa yang sedang menumbuk ramuan sempat menengadahkan kepala menatap Nyi Tumenggung, tetapi kemudian tertunduk lagi.
“Kenapa bisa begitu? Kau temannya Wurpasa?”
“Benar Nyi Tumenggung. Linggar temanku di satuan keprajuritan Pajang, kami baru saja selesai di wisuda.”
Nyi Tumenggung mengangguk-angguk. “Lain kali kau ajak dia mampir kesini, sekedar mengucapkan terimakasih.”
“Baik Nyi Tumenggung,” sahut Wurpasa.
Pembicaraan pun terhenti sesaat, setelah ayah Rara Widari memasuki pringitan.
“Bagaimana lukanya, Emban?”
“Sudah aku balut, Ki tumenggung. Mudah-mudahan besok sudah mengepis memarnya.”
Ki Tumenggung Purbasana sesaat memperhatikan luka memar Rara Widari. Kemudian katanya, “sebaiknya ia tidak usah berlatih tari lagi Nyi. Aku khawatir, apalagi sanggar itu terletak diluar dalem kadipatenan Pajang.”
Rara Widari tampak kecewa mendengar ayahnya berkata begitu. “Tinggal sebentar lagi ayah, aku sudah mulai terlatih sekarang.”
“Tetapi siapa yang akan mengawasimu diluar sana? Kau anakku satu-satunya. Apakah ayahmu harus memerintahkan pengawal untuk selalu menjagamu?”
Nyi Tumenggung akhirnya angkat bicara. “Sudahlah Kangmas Tumenggung, biar Widari tuntaskan dulu kegemarannya itu. Baru setelah itu kita bicarakan lagi.”
“Terserah kau sajalah Nyi. Aku hanya mengkhawatirkan keselamatannya,” sahut Tumenggung Purbasana kemudian.
Sementara itu Linggar yang sedang berjalan menuju rumah Tumenggung Wilamarta, sempat membathin.
“Rara Widari.., gadis cantik itu ternyata anak Tumenggung Purbasana.”
“Hmm..., kenapa aku jadi memikirkannya?”
Tak terasa lamunan Linggar membawanya sampai dirumah Tumenggung Wilamarta, tempat dimana ia tinggal sementara.
Linggar tidak berpangku tangan tinggal dikediaman Tumenggung Wilamarta. Ia rajin membantu para abdi dalem dirumah itu, kendati pun ia adalah tamu dari Adipati Pajang. Ketika malam hari ia menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Ki Wilamarta.
“Kau sudah di Wisuda Linggar?”
“Sudah Ki Tumenggung, aku diterima di satuan Telik Sandi.”
“Hmm.., kau prajurit terpilih yang beruntung rupanya. Sebentar lagi tugas berat menantimu, yaitu mengamati pergerakan padepokan Watu Belah. Mudah-mudahan kau dapat segera mungkin menyesuaikan diri.”
“Aku akan berusaha sekeras mungkin, Ki Tumenggung.”
Begitulah, Linggar pun semakin mengenal kepribadian Tumenggung Wilamarta. Seorang tumenggung yang rendah hati dan bijak menyikapi masalah.
Keesokan harinya, Linggar mulai berangkat ke barak prajurit untuk mendapatkan penggemblengan. Ia berjalan menyusuri lorong dalem katumenggungan, melewatki rumah Tumenggung Purbasana. Dimuka regol pun Wurpasa telah menantinya untuk berangkat bersama.
“He Wurpasa, apakah kau telah menungguku lama?”
“Ya. Lama sekali kau baru datang.”
“Apakah kau tidak membantu kesibukkan orang tuamu, sehingga kau bisa bersiap lebih awal?” tanya Linggar.
“Tentu aku membantu, tetapi bedanya denganmu aku bangun saat ayam jantan mulai berkokok,” kata Wurpasa yang kesal menunggu.
“Oh begitu.., aku kira kau tidak melakukan kerja apapun dirumah ini,” kata Linggar menggoda.
“Kau kira aku majikan dirumah ini? Ayahku seorang pekathik, jadi tidak ada alasan bagiku untuk bermalas-malasan,” kata Wurpasa yang tampak mulai tersinggung.
“Jangan marah begitu,” kata Linggar kemudian. “Keadaanmu jauh lebih baik dariku. Aku hanya pemalas yang menumpang hidup dirumah Ki Tumenggung Wilamarta. Sebentar lagi pasti aku akan diusir olehnya,” kata Linggar lagi sambil tersenyum.
Wurpasa pun tersenyum mendengar seloroh Linggar.
“Hei.., ngomong-ngomong gadis kemarin yang aku antarkan pulang, bagaimana keadaannya?”
“Rara Widari maksudmu?” tanya Wurpasa.
“Ya. Apakah lukanya sudah membaik?”
Wurpasa mencibir, katanya, “apa pedulimu?”
“Hei.., jangan berkata begitu. Aku tidak sampai hati melihat gadis itu terluka,” sahut Linggar sambil terkekeh-kekeh.
“Sudahlah, ayo kita berangkat. Jangan sampai kita terlambat sampai ke barak,” ajak Wurpasa.
Keduanya pun akhirnya meninggalkan muka regol rumah Tumenggung Purbasana.
Tetapi ternyata perbincangan keduannya sempat didengarkan Rara Widati. Yang sebelumnya tidak sengaja berada di halaman, karena sedang memetik beberapa kembang untuk hiasan diruang pendapa.
“Hemm.., ternyata pemuda itu teman akrab Wurpasa, terlihat dari cara keduanya berbicara,” Rara Widari bergumam.
Seorang penjaga regol yang melihatnya berkata,” Mas Rara Widari.., kaki anak mas belum sembuh benar. Sebaiknya Mas Rara kembali kedalam.”
“Baik Ki.., aku akan masuk,” jawabnya.
Setelah memetik beberapa kembang, Rara Widari kembali ke pendapa untuk menempatkannya dalam wadah.
Sementara itu Linggar dan Wurpasa yang telah tiba di barak prajurit, segera menggabungkan diri dengan yang lainnya. Ki Lurah Rangga Jati mengasah kemampuan prajuritnya dalam menggunakan senjata dan gelar perang.
Dua kelompok prajurit saling mendesak untuk memukul mundur pertahanan lawan. Gelar jurang grawah dan juga sapit urang diperagakan dalam latihan perang itu. Dengan begitu, makin terasahlah kemampuan prajurit bentukkan baru Ki Lurah Rangga Jati.
Ketika senja telah tiba dan latihan keprajuritan pun telah usai. Linggar tidak langsung pulang, melainkan menempa diri dibawah bimbingan Raden Pamekas di ksatrian.
Di sebuah sanggar yang telah tersedia, Linggar berlatih olah kanuragan dari Raden Pamekas. Gerakan dan serangan-serangan Linggar kian mantap. Pukulan-pukulannya seperti membadai menyerang Raden Pamekas. Raden Pamekas sendiri hanya mengimbanginya dalam batas kemampuan Linggar.
Sesungguhnya Linggar telah memiliki dasar kemampuan olah kanuragan yang diajarkan ayahnya. Kini Raden Pamekas hanya tinggal mengarahkan ke tingkatan yang lebih matang.
“Kau sudah semakin ada peningkatan, Linggar.”
“Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih Raden. Atas bimbingan Raden, aku bisa mencapai tahapan yang sekarang ini,” kata Linggar dengan kepala tertunduk.
“Tidak usah sungkan Linggar, kita ini sudah seperti sahabat. Sebentar lagi tugas pertamamu sudah menunggu, menurut Ki Wilamarta kau dan Wurpasa akan ditugaskan mengamati Padepokan Watu Belah itu.”
“Hamba siap Raden! Kapan pun tugas itu diperintahkan.”
“Ya, tinggal menunggu waktu saja. Sampai kesiapan prajurit benar-benar matang.”
Begitulah, hari demi hari dilewati Linggar dengan kesibukkannya di barak prajurit. Kemudian dilanjutkan dengan olah kanuragan dibawah bimbingan Raden Pamekas.
Di suatu sore saat Linggar hendak pulang dan melintas di lorong dalem katumenggungan, dia melihat Rara Widari sedang berjalan sendiri.
Tetapi Linggar mencoba menahan diri untuk bicara walaupun berpapasan. Hingga Rara Widari menghentikan langkahnya dan memanggil.
“Hei.., bukankah kau yang pernah mengantarkan aku pulang pada waktu itu.”
Dengan kepala tertunduk Linggar menjawab, “Benar, Mas Rara.”
“Kau sudah mengenalku?”
Linggar mengangguk. “Siapa lelaki yang tidak penasaran, dan segera ingin mencari tahu nama gadis secantik dirimu,” kata Linggar terlontar begitu saja.
Mendadak wajah Rara Widari memerah mendengar pujian dari lawan jenisnya. Gadis yang baru tumbuh itu belum pernah mendengar pujian itu selain dari kedua orang tuanya.
Tetapi Kemudian Linggar tersadar dan memohon maaf. “Maafkan kelancanganku Mas Rara Widari, aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung.”
Rara Widari masih terdiam di tempatnya.
“Aku tahu namamu dari Wurpasa, pembantu dirumahmu itu,” kata Linggar mencoba memperbaiki keadaan.
“Oh..,” kata Rara Widari pendek.
“Aku permisi Mas Rara, aku akan pulang,” kata Linggar sambil akan beranjak.
Tetapi langkahnya tertahan, ketika Rara Widari berkata, “aku hanya ingin mengucapkan terimakasih atas bantuanmu waktu itu.”
“Lupakan Mas Rara, itu bukan apa-apa. Hanya sekedar saling membantu saja.”
“Ya, tetapi karena itu aku bisa pulang kerumah, tanpa harus terseok-seok menahan sakit.”
“Sebaiknya Mas Rara lain kali hati-hati,” Linggar menasihati.
“Kalau kau ada waktu silahkan mampir, ibuku juga ingin bertemu dan mengucapkan terimakasih,” pinta Rara Widari.
Linggar hanya mengangguk hormat, kemudian berlalu meninggalkan Rara Widari. “Aku mohon diri.”

Prev         Next-->

5 komentar:

  1. Luar biasa, sempat terkecoh saat membaca cersil ini, namun alurnya meliuk2 sulit ditebak ujungnya dan pastinya selalu membuat penasaran utk melanjutkan membaca pd chapter berikutnya.. Spt melihat soso Singgih Hadi Mintardja kembali hidup..sukses selalu kang, lanjutkan karya ini utk menghidupkan budaya kita yg sdh mulai jarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trims..
      Sang Maestro memang sangat mengispirasi

      Hapus
  2. siplah kutemui cersil, dpt. melepas kerinduanku dmsa. remaja

    BalasHapus
  3. Wajib diikuti. Belum ada lanjutannya kah?

    BalasHapus
  4. Senang sekali bisa belajar byk dari isi ceritanya, ttg sifat, watak, dll.

    BalasHapus

Pengikut