Novel Cerita Silat Jawa

TDM32

Sementara itu Rara Widari telah sampai pada sebuah kelokan jalan di dekat rumahnya. Ia tampak menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari-cari seseorang. Tetapi kemudian muncullah seseorang lelaki. Setengah berlari lelaki itu menghampirinya.
“Huh.., napasku rasanya seperti tersangkut dikerongkongan, Widari!” keluh Linggar sambil terbungkuk-bungkuk.
“Kau rasakan saja sendiri, ini semua berawal dari ulahmu, bukan?” sahut Widari. “Coba kau tidak mengganggu Dalika, hal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi,” katanya lagi sambil tersenyum-senyum, melihat Linggar yang sepertinya kepayahan.
“Apa sebenarnya yang ingin kau katakan Linggar? Apakah kau ingin mengatakan gombalan yang sama, seperti yang Dalika katakan tadi?” Rara Widari menggoda.
Linggar mencibir. “Tidak akan Widari, aku tidak akan mengobral cinta lagi di depanmu. Lagipula aku pernah menyampaikan hal itu padamu, sebelumnya,” jawab Linggar tak mau kalah.
Widari hanya tersenyum-senyum saja mendengarnya.
“Sudahlah Widari, aku bersungguh-sungguh sekarang. Jangan lagi menggodaku!” pinta Linggar.
“Ya, ya.., aku mengerti. Aku hanya ingin membalasmu sebenarnya. Apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan?”
“Aku hanya ingin pamit!” jawab Linggar pendek.
“Pamit?” sahut Widari terkejut. “Kau ingin pergi kemana memangnya? Pulang ke Matesih?”
“Bukan,” jawab Linggar. “Aku mendapat tugas penting ke Mangir. Untuk itu, mungkin aku tidak akan berada di Pajang untuk beberapa lama. Doakan saja, semoga aku kembali dengan selamat,” kata Linggar sungguh-sungguh.
Dada Widari berdebar-debar rasanya. Perkataan itu seperti mengkhawatirkannya, entah itu karena kedekatan mereka selama ini. Atau karena rasa takut kehilangan.
“Sebaiknya kita tidak membicarakannya disini, Linggar.”
“Tetapi waktuku tidak banyak. Besok aku sudah harus bertolak ke Mangir.”
“Sebentar saja. Ayolah kita ke rumahku, sampaikan pula pada ibundaku. Bukankah, kau sudah mengenal ibundaku? Tidak ada salahnya kau minta restu darinya.”
“Lalu, Bagaimana dengan ayahandamu?” kata Linggar khawatir. Sebagaimana diketahui, ayah Widari begitu menentang hubungan mereka berdua.
“Ayahku sedang tidak ada dirumah, sekarang. Karena semalam sudah terjadi perang hebat dirumahku.”
Walaupun ragu, Linggar akhirnya menyetujui saja usul Widari. Mereka pun kemudian memasuki regol kediaman Tumenggung Purbasana, ayah dari Rara Widari.
Nyi Purbasana yang sedang berada di muka pendapa mengerutkan dahi, melihat puterinya pulang dengan orang yang berbeda.
“Kau sudah pulang Widari? Mana Dalika? Kenapa dia tidak mengantarmu pulang?” tanyanya sambil memandang ke arah Linggar.
“Dalika sedang ada keperluan ibu. Ayahnya memintanya untuk pulang. Dia tadi menitipkan salam hormatnya kepada ibu,” lagi-lagi terpaksa Widari mengarang cerita.
“Oh begitu.., lalu mengapa kalian berdua bisa bertemu?” tanya ibundanya lagi.
Linggar yang menjawab. “Mohon maaf Nyi Tumenggung. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Mas Rara, Tujuanku kesini sebenarnya hanya ingin berpamitan dan minta restu dari Nyi Tumenggung.”
Nyi Tumenggung terdiam sesaat, seperti sedang menimbang-nimbang. Ia merasa kurang mapan sebenarnya pada Linggar, karena sebelumnya sempat berselisih dengan putrinya. Tetapi kemudian, ia pun mempersilahkan Linggar ke pendapa.
Setelah menyediakan minuman, Widari duduk disebelah ibundanya.
“Widari,” kata ibundanya sareh. “Tinggalkan aku bersama Linggar sebentar. Sepertinya, yang akan disampaikan Linggar adalah sesuatu yang sungguh-sungguh.”
Widari agak terkejut dengan permintaan ibundanya itu. Mengapa tiba-tiba saja, ibundanya tidak ingin pembicaraannya didengar olehnya?
Widari pun tidak membantah kemudian, ia hanya mengangguk dan menuju ke pringitan.
Suasana di pendapa itu menjadi hening kemudian. Baik Nyi Purbasana maupun Linggar, masing-masing masih berdiam diri. Linggar tak ingin mendahului pembicaraan sebagai orang yang lebih muda, sementara Nyi Purbasana sendiri, pikirannya masih terganggu kejadian-kejadian beberapa waktu lalu. Yaitu, kejadian dimana puterinya dikecewakan oleh Linggar. Kekecewaan yang membuat puterinya itu begitu terpukul. Walaupun kemudian keadaan Widari berangsur-angsur membaik, tetapi Nyi Purbasana tidak dapat melupakan kejadian itu begitu saja. Dan kini, disaat puterinya telah mampu melupakan kejadian itu, Linggar kembali hadir dihadapannya. Sungguh situasi yang pelik.
“Takdir memang selalu menyatukan kalian berdua. Disaat terakhir aku melihat kekecewaan yang mendalam pada diri Rara Widari, puteriku. Tetapi hari ini aku melihat kembali kedekatan kalian,” Nyi Purbasana mengawali pembicaraan. Sementara Linggar masih tertunduk dihadapannya.
“Aku memang tidak membatasi Widari dalam bergaul, hanya saja kekhawatiran selalu saja muncul dalam benakku ini. Ya, kekhawatiran yang wajar. Kekhawatiran seorang ibu pada anak gadisnya, diusianya yang masih cukup belia,” Nyi purbasana menghentikan kalimatnya, seperti menunggu tanggapan dari Linggar.
“Sebelumnya aku mohon maaf Nyi Tumenggung. Aku telah membuat masalah baru pada keluarga Nyi Tumenggung.”
“Aku pun telah mencoba menyembunyikan perasaan di dalam dadaku ini. Tetapi ternyata aku tak sanggup, Nyi Tumenggung.”
Nyi Purbasana memandangi Linggar yang bertutur sambil tertunduk itu. Tetapi tiba-tiba perasaan aneh menghinggapi hatinya. Tutur kata Linggar pun seperti menusuk ke dalam jantungnya. Bahkan Nyi Tumenggung merasa seperti telah mengenal Linggar sebelumnya.
“Ah, hanya perasaanku saja,” ia membathin.
“Lalu? Kau katakan tadi ingin pamit. Apakah kau tidak akan kembali lagi ke Pajang?” Tanya Nyi Tumenggung.
“Bukan begitu maksudku, Nyi Tumenggung. Tetapi.., kalaupun mau diartikan begitu, bisa saja.”
“Maksudmu?” tanya Nyi Purbasana, tak habis pikir.
“Aku adalah telik sandi Pajang, dan tugas keprajuritan telah mengharuskanku untuk bertugas di Mangir,” Linggar berhenti berkata sejenak.
“Kalau aku gugur, hal itu bisa saja terjadi,” sambung Linggar.
Nyi Purbasana tergetar hatinya. Betapa besar sekali pengorbanan pemuda dihadapannya itu. Kembali angan-angannya melayang ke masa silam. Dimana rata-rata pemuda di Kalihurip mempunyai tekad dan keberanian yang sama seperti Linggar.
Bahkan ada satu keluarga yang semua puteranya pergi ke medan perang, berjuang demi mempertahankan kedaulatan Demak. Mereka tidak begitu risau, walau harus gugur di medan perang. Dalam diri Linggar, Nyi Purbasana melihat jiwa kepahlawanan itu. Rela berkorban dan tanpa pamrih.
Nyi Purbasana menarik napas dalam-dalam, lalu berkata. “Pandanglah aku, ngger!” jangan kau tundukkan lagi pandanganmu.”
“Aku tidak berani, Nyi Tumenggung. Aku sadar kedudukanku.”
Tetapi Nyi Purbasana tetap mendesaknya. “Angkat wajahmu!” katanya lagi pendek.
Linggar pun akhirnya mengangkat wajahnya perlahan. Karena sebenarnya menghadapi bangsawan atau pemangku jabatan mengangkat pandangan adalah kurang lazim.
Nyi Purbasana menatap Linggar yang sesekali tatapan matanya hanya menatap ke bawah tak berani beradu pandang. Tetapi Nyi Purbasana kemudian pandangannya tertuju pada kerah baju Linggar, yang kancing bajunya terbuka.
Nampak olehnya sebuah bekas rajah yang tidak terlalu jelas. “Bolehkah kau buka satu kancing bajumu itu lagi ngger?” tanyanya penasaran.
Linggar terkejut dengan permintaan Nyi Purbasana itu. “Apa maksud Nyi Tumenggung?” tanya Linggar heran.
“Bukalah!” Nyi Purbasana mendesak.
Linggar pun menuruti kemauannya. Tetapi kemudian Nyi Tumenggung terkejut bukan kepalang, matanya terbelalak lebar.
“Kau.., kau dapatkan darimana rajah itu?” katanya dengan jantung berdebar-debar.
Linggar yang merasa tak begitu peduli dengan rajahnya itu pun menjawab. “Aku tidak tahu arti rajah ini, Nyi Tumenggung. Saat usiaku menginjak 10 tahun, ayahku sudah pernah mencoba menghapusnya. Tetapi tidak begitu sempurna, hingga masih ada guratan sisa bayang-bayang. Aku pun tidak tahu dengan pasti, sejak kapan guratan rajah ini ada ditubuhku?”
“Apakah kau berasal dari Kalihurip?” tanya Nyi Purbasana lagi.
Linggar belum menjawab karena tak mengerti apa yang dimaksud.
“Kalihurip yang ada di pesisir lor Demak, maksudku!” Nyi Purbasana kembali memperjelas.
“Aku berasal dari Matesih Nyi Tumenggung, aku tidak tahu dimana itu Kalihurip? Sejak kecil aku dibesarkan di Matesih, sebuah kademangan subur di lembah Tidar.”
Nyi Purbasana menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak mungkin! Hanya orang-orang Kalihuriplah yang mempunyai pertanda seperti itu.”
Linggar hanya terdiam kemudian, sementara Nyi Purbasana masih berdebar-debar jantungnya. Dan juga rasanya ingin tahunya begitu dalam. Karena menurutnya, orang yang memiliki rajah seperti itu, hanyalah orang yang ada sangkut-pautnya dengan Kalihurip.
Tetapi kemudian Nyi Purbasana mencoba mengendapkan rasa penasarannya. Karena sadar bahwa tujuan Linggar menemuinya adalah untuk meminta restu akantugasnya yang berat.
“Baiklah ngger, aku hampir lupa akan tujuanmu kesini. Lain kali aku ingin bertanya lebih banyak tentang jatidirimu.”
“Aku berharap tujuan muliamu itu berhasil. Dan kau pun bisa kembali dengan selamat,” katanya sareh. “Doa dan restuku menyertaimu, ngger.”
“Terimakasih Nyi Tumenggung. Aku mohon maaf kalau tidak tandukku menyinggung perasaan Nyi Tumenggung,” kata Linggar kembali tertunduk.
“Ya, ngger. Aku percaya padamu, kau adalah pemuda yang baik.”
Linggar berlega hati mendengarnya, lalu katanya. “Kalau begitu rasanya sudah cukup, Nyi Tumenggung. Aku mohon diri.”
“Silahkan ngger,” sahut Nyi purbasana.
Widari pun kemudian dipanggil, dan diminta menyertai Linggar sampai ke pintu regol.
“Apa sebenarnya yang kalian bicarakan tadi?” tanya Widari penasaran. “Sepertinya rahasia sekali, hingga aku tak boleh mendengarkannya.”
“Tidak ada yang rahasia, Rara. Ibundamu sudah merestui kepergianku, walaupun sebenarnya aku tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga ini. Tapi ibundamu turut mendoakan, semoga tugasku ini dapat terlaksana dengan baik.”
Widari pun mengangguk-angguk setuju. Tetapi dibenaknya pun terselip perasaan berat untuk berpisah dengan Linggar.
“Kau pasti kembali, bukan?” tanya Widari sendu.
Linggar melihat kecemasan di raut wajah Widari. Ia pun kemudian mencoba menenangkan perasaannya.
“Aku hanya melakukan perundingan dengan penguasa Mangir. Selain itu aku tidak bertindak sendiri dalam tugas ini, karena seluruh prajurit Pajang siap membantuku. Jangan terlalu risau, Rara.”
 Perkataan itu sedikit menyejukkan Rara Widari, sebenarnya ia masih ingin bertanya lebih jauh tentang tugasnya itu. Tetapi ia tidak mengungkapkannya lagi, agar tidak menambah beban dihati Linggar.
Demikianlah, kemudian Linggar pun pulang kerumah. Seperti yang sudah direncakan sebelumnya, pada malam harinya di kediaman Wilamarta berkumpul Raden Pamekas, Ki Lurah Rangga Jati dan Ki Wilamarta sendiri.
“Bagaimana keadaanmu Linggar? Mohon maaf dalam beberapa hari terakhir ini, aku belum dapat menjengukmu,” tanya Raden Pamekas.
“Tidak apa Raden, terimakasih. Aku sudah kembali pulih, berkat perawatan Ki Wila,” jawab Linggar sambil tersenyum pada Ki Wila, yang duduk bersila dihadapannya.
“Tubuhnya kuat Raden, padahal lukanya cukup membuat aliran darahnya terganggu,” sahut Ki Wilamarta renyah.
“Oh ya, bagaimana persiapan pemberangkatan Linggar Ki Wila?” tanya Raden Pamekas.
“Untuk keperluan dalam perjalanan, Rangga Jati sudah mengurusnya, Raden,” jawab Ki Wila.
Ki Lurah pun kemudian angkat bicara. “Hamba sudah menyiapkan beberapa keping uang untuk bekal selama Linggar bertugas. Dan seperti yang kita sepakati bahwa besok Linggar sudah harus bertolak ke Mangir.”
“Linggar,” kata Ki Wila kemudian. “Tugasmu adalah sebagai duta kadipaten Pajang, atas nama Adipati Hadiwijaya. Salah satu tugas pokoknya adalah melakukan perundingan dengan penguasa tertinggi Mangir, yaitu Ki Ageng Wanabaya. Bukan yang lain.”
“Tugasmu adalah menjunjung tinggi kehormatan Pajang. Dalam perundingan nanti, usahakan selunak mungkin. Jangan Gegabah! Keselamatanmu juga harus dipikirkan. Dan tujuan akhirnya adalah meminjam pusaka Tombak Baru Klinthing milik Ki Ageng,” Ki Wilamarta menjelaskan. “Kau ingin menambahkan Rangga Jati?”
“Hamba Ki Wila,” sahut Ki Lurah. “Ada beberapa telik sandi yang disebar, kau dapat memberikan keterangan, jika memang perlu kepada mereka. Telik sandi itu aku tempatkan di seberang Kali Bedog.”
“Jika pusaka itu memang sudah kau dapatkan, kau harus mengabari kepada telik sandi itu. Baru kemudian kita berangkat ke Bukit Sambung untuk menyergap Pangeran Pujapati dan gurunya Jambe Abang.”
Linggar pun mengangguk dan mendengarkan baik-baik pesan dari Ki Lurah maupun Ki Wilamarta.
“Linggar,” kata Raden Pamekas. “Ingat! Gunakan nalarmu dalam setiap tindakan, jangan mengambil keputusan tanpa memperhitungkan dampaknya. Karena setiap tindakan yang tergesa-gesa akan berdampak sia-sia.”
“Hamba Raden,” jawab Linggar.
“Dalam hal ini tidak ada pendamping bagimu, kau harus bertindak dan mengambil keputusan sendiri. Perhitungkan matang-matang setiap langkah,” sambung Raden Pamekas.
“Aku sendiri, harus segera bertolak ke Demak. Bahwa bupati Jepara, kanjeng Ratu Kalinyamat memintaku kembali ke Demak. Karena kekacauan telah meluas disana dan sudah merambah sampai Jepara,” Raden Pamekas menjelaskan.
Setelah dirasa cukup, akhirnya pertemuan itu pun disudahi. Ki Lurah dan Raden Pamekas pun undur diri. Linggar dan Ki Wilamarta menyertai keduanya sampai pendapa.
“Beristirahatlah Linggar!” berkata Ki Wila, sepeninggal tamunya. “Besok kau tidak perlu ke barak, karena segala persiapan telah dibicarakan disini.”
Ki Wila kemudian mengambil sesuatu dari kampilnya, yang ternyata sebuah kelebet berwarna hitam dengan gambar kuning keemasan. “Ini adalah pertanda bahwa kau memang utusan dari kanjeng Adipati Pajang.”
“Ingat Linggar! Berdoalah sebelum tugasmu yang berat ini. Bangunlah saat malam hampir habis.”
“Baik, Ki Wila. Aku mohon diri untuk istirahat,” sahut Linggar.
            Demikianlah, keesokkan harinya Linggar pagi-pagi sekali sudah berangkat dengan kuda milik Ki Wilamarta. Yang menurut pesan Ki Wilamarta, setelah tiba di Prambanan nanti, kuda itu harus dititipkan kepada penduduk setempat.
Linggar memacu kudanya meninggalkan Kota Pajang saat fajar. Diantara jalan sepi yang masih berkabut, Linggar menyusur jalan-jalan sepi untuk menghindari pertanyaan dari para penjaga. Dari sebuah jalan sempit, Linggar melihat lampu penerangan gardu yang sinarnya meredup, tampak pula para penjaga itu bangkit dengan malas dari sandarannya meniup lampu-lampu itu.
“Sebentar lagi akan terang tanah. Aku harus sudah meninggalkan Kota Pajang,” Linggar membathin.
Setelah berputar dan mencari celah jalan sepi, Linggar pun telah melewati perbatasan kota. Tanpa ragu ia memacu kudanya dengan cepat, untuk memperpendek waktu tempuh. Jalan yang dilalui adalah bulak-bulak panjang dan kadang sawah yang hijau membentang, tetapi kemudian melintas pula di jalan sepi yang dipayungi pohon-pohon yang berjajar di kanan dan kirinya.
Maka sampailah ia di daerah Prambanan. Satu daerah yang geliat pertumbuhannya begitu pesat, karena jual beli di daerah itu begitu ramai. Linggar langsung mencari orang dengan ciri-ciri yang dimaksud Ki Wila, untuk menitipkan kudanya. Ia pergi ke salah satu sudut pasar yang paling ujung. Maka ditemuilah sebuah rumah sederhana dengan halaman cukup luas. Tidak berlama-lama, setelah Linggar menambatkan kudanya, ia langsung mengetuk pintu rumah itu.
“Siapa diluar?” terdengar suara serak dari dalam. Sesaat kemudian terbukalah pintu rumah itu.
“Mohon maaf Ki, namaku Linggar. Aku dipesankan Ki Wilamarta untuk menitipkan kudaku padamu. Apakah benar ini rumah Ki Panyaksi?”
“Benar ngger, aku Panyaksi. Mari silahkan masuk!” orang tua itu mempersilahkan.
“Aku sedang terburu-buru, Ki Panyaksi. Mungkin lain kali saja. Aku hanya ingin menitipkan kuda itu,” kata Linggar sambil menunjuk kudanya yang tertambat di halaman.
Ki Panyaksi mengangguk-angguk. “Apakah kau prajurit Pajang?”
“Benar, Ki. Aku adalah utusan Ki Wilamarta yang ditugaskan ke Mangir.”
“Oh baiklah. Hati-hati ngger, kau akan menembus Mentaok untuk dapat sampai kesana. Berhati-hatilah!”
Linggar mengangguk, lalu undur diri dari tempat itu. Ki Panyaksi hanya menatapnya dari tlundak pintu rumahnya.
“Hmm.., pemuda yang gagah. Mudah-mudahan tugasnya berhasil,” gumam Ki Panyaksi.
“Siapa Ki..?” tanya seseorang dari dalam rumahnya.
Ki Panyaksi bergeser dari tempatnya berdiri, memberi ruang pada orang yang memanggilnya tadi.
“Utusan dari Pajang Nyi. Utusan Wilamarta sahabatku.”
“Akan pergi kemana utusan itu Ki?” tanya nenek tua disebelah Ki Panyaksi.
“Akan ke Mangir untuk suatu tugas penting,” jawab Ki Panyaksi.
“Hmm.., lagi-lagi Karebet mengorbankan anak-anak muda untuk kepentingannya,” gerutu nenek itu, istri dari Ki Panyaksi.
“Jangan berkata begitu, Nyi! Itu adalah rangkaian tugas untuk menjaga kedaulatan Pajang, bukan atas nama pribadinya.
“Kau ini, Ki. Masih saja membela Karebet! Kau sudah lama berhenti jadi prajurit, tetapi ternyata darah prajurit masih saja mengalir dalam darahmu. Sudahlah! Kenyataannya, tidak ada yang kau dapat setelah kau berhenti bertugas,” keluh Nyi Panyaksi, lalu dengan acuh masuk ke dalam rumahnya.
“He.., dengarkan aku dulu! Aku berhenti karena kemauanku sendiri, bukan atas perintah siapa pun. Jadi tidak perlu menyalahkan orang lain, dalam hal ini!” tukas Ki Panyaksi yang melihat istrinya acuh meninggalkannya.
“Huh.., masih saja dia tidak ikhlas. Padahal tujuanku berhenti mengabdi karena ingin hidup damai, bukan yang lain,” gerutu Ki Panyaksi.
            Dalam pada itu Linggar meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki. Di pasar Prambanan ia menyempatkan diri mengisi perutnya yang terasa lapar. Iamemasuki sebuah kedai yang terlihat ramai.
“Mau pesan apa kisanak?” tanya seorang pelayan.
“Sediakan aku sepiring nasi dengan lauknya. Jangan lupa minuman hangat,” sahut Linggar.
“Sebelumnya aku beritahu dulu, kalau tidak ada uang yang cukup sebaiknya kau urungkan niatmu untuk makan disini!” pelayan itu mengingatkan.
Linggar terkejut dengan pelayan yang kurang ramah itu, tetapi ia pun tak mau ambil pusing. Karena perutnya sudah begitu lapar. “Sediakan saja, aku akan membayar!”
Maka kemudian pelayan itu menyediakan apa yang diminta Linggar. Linggar pun tanpa basa-basi langsung menyantapnya. Nasi yang mengepul ditambah lauk yang menggoda, serta sambal pedas yang menambah selera, membuat tubuhnya berkeringat saat menyantap. Sesekali Linggar memandang orang-orang yang ada di dalam kedai itu.
“Hmm.., rata-rata mereka membawa pedang dilambung, dan juga mereka menggunakan seragam prajurit Pajang. Rupanya disini kedai tempat biasa para prajurit Pajang makan,” Linggar membathin.
Tetapi kemudian perhatian Linggar tertuju pada sebuah keributan di salah satu sudut meja makan yang lain.
“He..! Bukankah sudah aku peringatkan sebelumnya, jangan coba-coba makan disini kalau uang di sakumu tidak mencukupi?”
“Mohon ampun kisanak. Aku akan membayar kurangnya besok. Aku tak mengira kalau hanya untuk sepiring nasi harus membayar 3 keping uang,” kata kakek tua dengan suara gemetar.
“Tidak bisa, bayar sekarang! Karena ulahmu itu, aku bisa merugi!” kata pelayan itu dengan nada keras. Sementara para prajurit yang sedang menyantap makanan hanya tersenyum-senyum saja, acuh.
Kakek tua itu hanya membungkuk-bungkuk, memohon kebijaksanaan dari pemilik kedai. Tetapi pemilik kedai itu terus saja memakinya. Bahkan sampai-sampai mendorong kakek tua itu hingga jatuh terlentang.
Linggar tidak sampai hati menyaksikan itu, setelah menyelesaikan santapannya, ia pun mencoba menghampiri.
“Mohon maaf kisanak!” kata Linggar. “Bukan aku turut campur, kalau boleh tahu berapa sisanya yang harus dibayar kakek tua ini?”
Sejenak semua pandangan tertuju ke Linggar, tidak terkecuali para prajurit yang sedang makan itu. Pelayan itu pun sempat memandang Linggar, yang sepertinya sok jadi pahlawan.
“Siapa kau kisanak? Tidak usah membuang-buang uangmu, hanya untuk mengurusi orang miskin ini! Aku sudah sering bertemu orang yang semacam ini!” kata pemilik kedai itu dengan tatapan tajam.
“Aku hanya sekedar lewat di pasar ini. Aku hanya merasa kasihan, apakah cukup 5 keping dengan apa yang aku santap barusan?” tanya Linggar sambil menyodorkan uang.
Pemilik kedai itu pun menghela napas, lalu berkata. “Ya! Untuk sepiring nasi dengan lauknya 3 keping, dan orang tua itu 2 kurang dua keping!” katanya sambil menerima uang dari Linggar.
“Pergilah! Bawa orang tua itu juga, aku tidak ingin melihatnya berkeliaran lagi di kedaiku!” kembali pemilik kedai itu marah-marah.
Linggar tak menggubrisnya, ia langsung membimbing kakek tua itu untuk bangkit dan membawanya keluar.
“Mari kek.., kita tinggalkan kedai ini!” ajak Linggar.
Dengan tergopoh-gopoh kakek itu berusaha bangkit. Kemudian keduanya meninggalkan kedai itu, menuju sebuah pohon besar disekitar pasar. Dimana disekitar tempat itu terdapat para blantik sedang menawarkan hewan ternak. Keduanya duduk dibawah pohon, yang memayungi para penjual dan pembeli dari sengatan terik matahari.
Tetapi Linggar terkejut ketika ia mengamati orang itu dengan seksama. “Ki Panyaksi?” kata Linggar tak menyangka.
“Ya. Aku ngger,” jawab kakek itu.
Belum sempat Linggar menanyakan apa yang ada dipikirannya, kakek itu yang ternyata Ki Panyaksi mendahului berbicara.
“Aku sengaja mengikutimu. Dan ulahku di kedai itu pun memang aku sengaja,” katanya sambil tersenyum.
“Mengapa begitu Ki?” tanya Linggar.
“Aku juga sebelumnya membuka kedai, sama seperti orang tadi. Setelah aku berhenti menjadi prajurit Pajang, aku memutuskan untuk berjualan saja. Kedai ku pun tak kalah ramai, seperti kedai yang kau lihat tadi. Tetapi itu hanya berlangsung 1 tahun. Setelah keluar aturan baru dari bebahu Prambanan, yang mengatasnamakan kuasa kadipaten Pajang.”
“Mereka menaikkan pajak atas usaha yang dilakukan di sekitar pasar ini. Tentu saja itu memberatkan para pedagang, akhirnya timbul persaingan yang tak sehat. Dan dampaknya aku ini, warungku sepi pembeli karena ulah pemilik kedai tadi. Ia menyewa orang-orang untuk mengacau di kedaiku. Bahkan ia bersekongkol dengan para prajurit yang berjaga di Prambanan,” Ki Panyaksi berhenti bercerita sebentar.
“Aku hanya ingin kau menjadi saksi, bahwa di Prambanan keamanan tidak seperti dulu lagi. Dan hendaknya kau sampaikan kepada Ki Wilamarta, setelah urusanmu selesai nanti.”
“Tidak ada tempat bagi orang-orang sepertiku mengadu, karena di Prambanan ini semua sudah bersekongkol. Bayangkan saja bagaimana mungkin sepiring nasi dihargai dengan 3 keping uang? Padahal biasanya dengan dua keping saja kita sudah makan dengan lauk paling enak. Itu mereka lakukan untuk menyogok para bebahu dan prajurit yang berjaga disini.”
“Aku mengerti, Ki,” jawab Linggar. Setelah urusanku selesai, akan aku coba sampaikan pada Ki Wilamarta. “Aku sangat berterimakasih Ki, semoga keadaan ini akan segera dapat diatasi. Sebisa mungkin aku akan mengabari telik sandi, agar kabar ini bisa cepat sampai ke Pajang.”
“Baiklah, aku rasa sudah cukup. Aku akan pulang sekarang, semoga perjalananmu berjalan lancar,” kata Ki Panyaksi sambil menjabat tangan Linggar.
“Terimakasih Ki,” jawab Linggar. “Sebentar Ki Panyaksi!” Linggar menahan.
“Terimalah beberapa keping uang ini, untuk merawat kudaku dan memberi makannya! Tidak seberapa tapi aku harap Ki Panyaksi mau menerimanya.”
“Ah.., tidak perlu begitu. Aku masih memiliki ladang untuk mencukupi hidupku, ulahku di kedai tadi hanya sandiwara saja,” Ki Panyaksi merasa keberatan.
“Terimalah Ki!” desak Linggar. “Tidak sopan rasanya, aku menyuruh orang yang lebih tua dariku, mengurus kudaku tanpa sepeser pun imbalan.”
Ki Panyaksi pun akhirnya menerimanya, kemudian bergegas pergi.
Tetapi ternyata perbincangan keduannya tidak lepas pengamatan dua orang dari kejauhan.
“Hmm, pemuda itu banyak uang rupanya, gempol!
“Ya. Kakang Bagor! Bagaimana kita sikat saja?”
Yang disebut Gempol tertawa. “Kita tunggu sampai di perbatasan, baru kita ringkus!”
Linggar yang tak menyadari, berjalan saja terus meninggalkan pasar. Ia berjalan agak cepat, karena ia merasa sudah tertahan di pasar itu cukup lama.
Matahari telah condong ke barat, saat Linggar sampai di perbatasan. Di hadapannya kini hanya bulak-bulak panjang dan pohon-pohon rendah, serta semak belukar. Langkahnya terhenti ketika mendengar gemerisik daun dari arah kanan jalannya.
Benar saja, dari sebuah gerumbul semak, muncul dua orang yang kemudian berdiri menghadangnya. Tanpa basa-basi salah seorang diantaranya berkata. “Serahkan kampil uangmu, kalau kau ingin selamat!”
Linggar terkejut dibuatnya. Rupanya perbincangannya dengan Ki Panyaksi ada yang memperhatikan.
“Aku kurang berhati-hati,” Linggar membathin.
“Tidak akan!” jawab Linggar. “Aku bukan pedagang Prambanan yang biasa kau peras!”
“Tahu apa kau tentang kami! Serahkan saja uangmu, lalu pergi!” kata orang yang kedua.
“Aku tahu, kalian telah lama memperkaya diri sendiri dengan memeras di pasar tadi, bukan. Kalau kau ingin memerasku, terpaksa aku akan melawan!” tantang Linggar.
“Kurang ajar, Gempol hajar orang itu!” perintah orang yang pertama.
“Baik, kakang Bagor!” sahut orang yang dipanggil Gempol.
Keduanya memang bertubuh bulat dan gemuk. Yang menyerang duluan adalah Gempol, orang yang lebih muda. Tenaganya cukup kuat, ia memukul dengan lengannya cukup besar.
Linggar telah bersiap, walaupun dorongan pukulan itu kuat tetapi Linggar mampu menepis, dengan tebasan-tebasan lengan kesamping. Sesekali ketika lengan mereka beradu, Gempol berusaha mendorong tubuh lawan dengan kekuatan tenaganya. Linggar pun sempat goyah, tetapi kemudian menyadari keadaan. Orang yang bernama Gempol itu ternyata memiliki kelebihan pada kekuatan tenaganya. Orang yang bernama gempol itu cenderung berusaha menangkap tangan Linggar untuk mendorong dan membantingnya. Beruntung, beberapa kali usaha itu gagal, karena Linggar langsung berusaha melepaskan tangannya setiap tangannya itu berhasil diraih Gempol.
Tetapi disuatu saat, serangan Gempol mampu menangkap lengan kanan Linggar dengan dua tangannya. Dengan kekuatan penuh, Gempol berusaha menghempaskan Linggar pada sebuah batang pohon di tepi jalan.
Untung saja Linggar masih bisa mengurangi dampak lontaran itu. Ketika tubuhnya terhempas ke batang pohon, ia menjejakkan dua kakinya bergantian pada batang pohon itu. Kemudian berjungkir-balik di udara dan mampu mendarat dengan baik.
Gempol tertawa bangga, katanya. “Kalau kau tidak mampu mengendalikan tubuhmu tadi, pasti tubuhmu sudah membentur batang pohon itu!”
Linggar tidak menanggapi, ia hanya berpikir harus lebih bersungguh-sungguh dalam menghadapi lawannya.
“Ia memang mempunyai tenaga yang luar biasa, tetapi ia terlihat lamban tidak gesit. Aku akan memanfaatkan itu!” Linggar membathin.
Linggar kini menyerang lebih dahulu. Tetapi pola serangannya berubah. Kini ia menyerang sambil mengatur jarak, bahkan terlihat pergerakannya selalu bergeser kadang ke kanan dan ke kiri. Pergerakan itu sedikit menyulitkan Gempol. Tetapi Gempol berusaha dengan keras untuk mampu melakukan bantingan.
Disaat Linggar menendang lurus ke arah lambungnya, Gempol menangkap kaki linggar dan menariknya. Linggar tak menduga, ia berjingkat-jingkat terseret. Jika dibiarkan maka sebentar lagi, Gempol akan mampu merobohkannya. Tetapi Linggar memang sudah tidak mampu lagi menghindar. Gempol pun kemudian langsung menahan paha linggar dengan sikunya, kemudian menjatuhkannya.
Linggar pun terjatuh ditanah dengan pinggang yang terasa sakit. Tetapi ia tidak membiarkan gempol mengunci kakinya, dengan satu gebrakan kaki kirinya menjejak wajah Gempol. Gempol pun terkejut dan melepaskan kaki kanan linggar. Ia jatuh terduduk ke belakang.
Keduanya langsung bangkit, karena tidak mau di dahului serangan dari lawan.
“Kurang ajar! Kau mampu lepas juga dari perangkapku he?” kata Gempol sambil meludah karena mulutnya berdarah terkena sepakan kaki Linggar.
“Aku sudah tahu gayamu bertarung, Gempol. Walaupun badanmu besar, kau kaku seperti kerbau!” sahut Linggar, yang masih merasakan sakit ditubuhnya karena terbanting.
Gempol menggeram marah, kemudian kembali merangsek maju disaat Linggar belum siap dengan kuda-kudanya. Gempol mencoba mencekik leher Linggar dengan kedua tangannya. Linggar yang belum siap sama sekali terkejut, ia mencoba melepas cengkeraman tangan Gempol dari lehernya. Tetapi cengkeraman itu begitu kuat, dan membuat jalan napasnya sesak, ia pun terbatuk-batuk.
Linggar tidak membiarkan itu. Tangan kanannya memukul lambung Gempol, membuat Gempol terbungkuk. Saat cekikan pada leher Linggar mengendur, Linggar menghentakkan telapak tangan kanannya pada dagu Gempol. Gempol hilang pengamatan, kemudian kembali dengan sisi lengan kanannya Linggar, menebas lengan kanan Gempol yang masih mencekik di lehernya. Lalu dengan telapak tangan kirinya, Linggar mengarahkan kepala Gempol ke tanah. Gempol tidak berdaya, ketika telapak tangan kiri Linggar, mencoba mengarahkan wajahnya ke tanah. Ia pun jatuh ke tanah dengan bantingan telapak tangan kiri Linggar yang begitu luwes.
Gempol rebah di tanah dengan kepala yang terasa pening, sementara Linggar masih dalam keadaan setengah berjongkok memandangnya.
Tiba-tiba, kawan Gempol yang tadi hanya menyaksikan turun ke laga juga. Tanpa disadari setengah berlari mencoba menendang punggung Linggar. Tetapi tidak semudah itu, Linggar sempat menoleh dan sadar akan mendapat serangan itu. Sebelum kaki lawan menyentuh punggungnya, Linggar berguling ke depan beberapa putaran. Kemudian dengan cepat membalikkan badan dan setengah berlari, ia melayang di udara dengan lutut kanan yang ditekuk.
Lawannya yang bernama Bagor masih saja berdiri ditempatnya ketika serangan pertamanya luput, ia tak menyangka akan Linggar serangan balik Linggar yang begitu cepat.
Akibatnya, Linggar yang masih melayang di udara, lututnya menanduk dada Bagor yang berdiri tertegun ditempatnya. Sama nasibnya seperti Gempol, Bagor pun tumbang ke tanah, terkena tandukkan lutut Linggar.
Linggar memandang keduanya, yang sedang menggeliat-geliat menahan rasa sakitnya. Gempol memegangi pinggangnya yang rasanya seperti berpatahan, sedangkan Bagor memegangi dadanya yang terasa sesak.
Serangan kedua Linggar pada Bagor secepat kilat, sehingga pertarungan itu pun hanya satu jurus saja. Bagor pun sudah tak berdaya.
Tetapi kemudian muncul 3 orang berkuda. 2 orang menggenggam tombak, dan 1 orang dengan sebuah senjata pedang berukuran panjang dan besar. Mereka langsung turun dari kudanya dan berdiri sejajar siap menyerang. Gempol dan Bagor yang menyadari 3 orang berkuda itu adalah kawannya, mencoba untuk bangkit kembali, kemudian masing-masing menarik pedang di lambungnya.
“Ki Lurah! Kita habisi saja orang ini bersama-sama. Ia telah meremehkan kita!” ujar Bagor dengan suara agak tertahan menahan sakit ditubuhnya.
Orang yang dipanggil Ki Lurah pun maju beberapa langkah ke depan, tepat 5 langkah dihadapan Linggar. Tetapi sungguh diluar dugaan baik orang yang disebut Ki Lurah maupun Linggar, tampak saling mengamati. Seolah-olah keduanya telah saling kenal.
“Kau..?” ujar Ki Lurah terbelalak.
Linggar pun tak kalah terkejut, ia juga merasa mengenali lawannya. “Ki Mursa?”
Sejenak keduanya saling pandang, sementara yang lainnya sudah tak sabar ingin segera menghajar Linggar.
Linggar pun kemudian berkata, setelah ia tahu siapa orang yang dipanggil Ki Lurah tadi. “Kau masih saja menggunakan cara-cara tercela untuk mendapatkan harta, Ki Mursa. Tidakkah peristiwa di Watu Belah itu sudah cukup menjadi suatu pelajaran yang berarti bagimu? Ataukah kau ingin menyadari kekeliruanmu itu setelah napasmu tinggal sejengkal lagi dari kerongkongan?”
Orang yang disebut Ki Mursa itu hanya terdiam. Ia teringat kembali akan peristiwa di Alas Mentaok, bahwa ia pernah berhadapan langsung dengan Linggar. Dan kala itu ia harus mengaku kalah. Linggar cukup memberinya kesempatan dengan hanya membuatnya tak berdaya, supaya menyadari kekeliruannya.
Tetapi ternyata orang-orang Ki Lurah Mursa menjadi tidak sabaran. Mereka sudah mempersiapkan diri menghunus senjata masing-masing.
“He, kisanak! Jangan sesorah di depan kami! Sebentar lagi kami akan mencincangmu!” kata salah seorang yang bersama Ki Mursa.
Linggar menjadi berang. “Lakukan! Maju sekaligus bila perlu!” Linggar menantang.
Ketika kedua orang pengapit Ki Lurah Mursa akan maju, ditambah Gempol dan Bagor. Ki Lurah Mursa menahannya dengan isyarat tangannya.
“Kenapa Ki Lurah? Orang itu telah membuat Gempol dan Bagor babak belur!” kata pengapit Ki Lurah yang tidak sabaran.
“Tidak perlu!” sahut Ki Lurah Mursa dengan nada dalam. “Kalian berempat hanya akan jadi bulan-bulanannya, meskipun ditambah dengan aku!”
“Maksud Ki Lurah” kata pengapitnya yang satu lagi.
Ki Lurah Mursa menarik napas dalam-dalam, lalu berkata. “Ia ksatria sejati, sepuluh orang pun belum tentu dapat melumpuhkannya. Aku pun pernah beradu dada dengannya”
Orang-orang Ki Mursa bergetar mendengar pengakuan Ki Mursa tentang Linggar. Dalam benak mereka bertanya-tanya, bagaimana mungkin melumpuhkan satu orang saja begitu sulit? Tetapi mereka tidak membantah perintah Ki Mursa, karena Ki Mursa adalah pimpinan mereka.
Ki Lurah Mursa kemudian mendekati Linggar. “Maafkan orang-orangku yang telah mengganggu perjalananmu, Linggar.”
Linggar pun mengendurkan ketegangannya, kemudian berkata. “Aku tidak bermaksud mencari masalah, Ki Mursa. Hanya saja mereka bermaksud merampokku!”
“Aku tahu, anak buahku memang tidak terkendali. Padahal upah yang mereka terima menjaga daerah Prambanan ini cukup lumayan.”
“Apakah kau masih melakukan cara-cara seperti ini Ki Mursa?” tanya Linggar.
Ki Mursa terdiam sesaat, kemudian berkata. “Sebisa mungkin aku sudah menghindari, tetapi lingkungan keprajuritan di Prambanan ini sulit dihindari.”
“Kami hanya di upah oleh petinggi Pajang di Prambanan. Tetapi sesungguhnya kami hanya orang-orang bayaran yang kadang mengatasnamakan prajurit Pajang,” kata Ki Mursa sambil tertunduk.
“Aku memang diangkat menjadi Lurah Prajurit, tetapi sesungguhnya bawahanku hanyalah orang-orang upahan saja. Dan bukan bagian dari keprajuritan Kadipaten. Walaupun kami dijanjikan kelak akan menjadi prajurit Pajang yang sesungguhnya, tetapi didikan sebagai Prajurit yang bermartabat tidak pernah kami dapatkan selama ini.”
Linggar mengangguk-angguk, ia pun dapat menarik kesimpulan. Bahwa ternyata, petinggi Pajang yang bertugas di Prambanan telah menyewa orang-orang bayaran untuk mendapatkan keuntungan dari mereka. Pajak sewa atas usaha di Prambanan pun telah dilipatgandakan. Dan Ki Mursa adalah salah satu, orang bayaran yang dilibatkan dalam pemungutan pajak. Dia pun sebelumnya pernah bersekongkol dengan Padepokan Watu Belah pimpinan Pangeran Pujapati.
Selain itu dapat dipastikan pula, bahwa orang-orang yang selama ini mengacau di Mangir adalah orang-orang upahan. Mereka yang selama ini mengatasnamakan prajurit Pajang adalah orang-orang bayaran suruhan petinggi Pajang yang bertugas di Prambanan, dan dalam hal ini yang bertanggungjawab adalah Tumenggung Purbasana dan Derpayuda.
“Baiklah Ki Mursa! Aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Aku mohon diri. Tetapi aku akan tetap melaporkan ke Kadipaten, apa yang terjadi di Prambanan ini.
“Aku tidak bisa mencegahmu Linggar. Kaulah sejatinya prajurit Pajang, kami-kami ini hanyalah orang yang bermimpi menjadi prajurit sungguhan.”
“Apakah kau tidak ingin berhenti meninggalkan pekerjaanmu ini?” tanya Linggar sungguh-sungguh.
Ki Mursa menarik napas dalam-dalam. “Untuk saat ini belum. Entah arah mana yang harus aku tempuh, untuk kehidupanku yang lebih baik, kelak. Aku masih bimbang.”
“Bukan aku menggurui Ki Mursa, mudah-mudahan kau segera menemukan jalan hidupmu,” Linggar menasihati.
“Baiklah! Aku undur diri.”
“Hendak kemana sebenarnya angger Linggar ini?” tanya Ki Mursa.
Linggar agak bingung menjawab pertanyaan itu. Bagaimana pun juga, ia harus merahasiakan tugasnya itu. Tetapi kemudian ketika dilihatnya sebuah kelokan jalan, naluri telik sandinya timbul. “Aku sedang ada perlu ke sebuah desa yang ada di kelokan jalan itu,” jawab Linggar, sambil menunjuk ke sebuah kelokan yang dimaksud.
“Desa Randusari maksudmu?” tanya Ki Mursa.
“Ya, benar” Linggar menjawab sekenanya.
Ki Mursa hanya mengangguk, tidak bertanya lagi.
“Kalau begitu, aku permisi!”
“Silahkan,” sahut Ki Mursa.
Linggar pun kemudian meninggalkan Ki Mursa dan orang-orangnya, tetapi lagi-lagi perjalanannya terhambat. Ia terpaksa harus menuju ke sebuah kelokan jalan yang menuju ke desa Randusari. Karena sebelumnya ia mengatakan tujuannya akan ke Randusari pada Ki Mursa dan orang-orangnya. Maka ia pun kemudian berjalan melingkar melewati Desa Randusari, setelah itu ia baru kembali ke arah yang sebenarnya.

3 komentar:

  1. Cerita yang mantab... Mohon dilanjut kang... Sudah tdk sabar ingin membaca lanjutannya.. Semoga tambah sukses..

    BalasHapus
  2. Ada lanjutannya...? Di tunggu lho..

    BalasHapus

Pengikut