Novel Cerita Silat Jawa

TDM 41

Sepeninggal Manyari, Linggar merasakan tubuhnya diselimuti hawa dingin yang begitu hebat. Tubuhnya mengigil akibat perubahan suhu ditubuhnya yang begitu cepat. Karena tak kuasa menahannya ia pun sampai rebah di tanah untuk meredam hawa dingin yang menderanya itu. Lama berkutat dengan udara dingin ditubuhnya itu, Linggar pun beberapa saat kemudian terbatuk-batuk dan mengeluarkan cairan dari dalam mulutnya. Itu pertanda bahwa isi dalam perutnya menjadi kosong setelah sebelumnya tercemar udara racun yang dihembuskan Ken Anggita. Sampai tahap ini hawa racun ditubuhnya telah bersih.
Berangsur-angsur hawa hangat menyebar dari dalam tubuhnya, menyeluruh ke bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dengan merangkak Linggar mencoba duduk bersila mengatur pernapasan. Setelah beberapa saat, baru kemudian ia merasakan suhu tubuhnya telah kembali normal.
Tak menunggu lama ia menyadari keadaan, bahwa Raden Jaka pun harus segera mendapat pengobatan. Linggar mendudukan Raden Jaka, dengan sedikit pijatan-pijatan di tubuh Raden Jaka, beberapa saat Raden Jaka pun sadarkan diri. Hanya saja masih bersandar di dinding, karena masih cukup lemah. Kemudian Linggar meramu serbuk obat yang diberikan Manyari dengan sedikit air. Baru kemudian perlahan diminumkannya ke Raden Jaka.
“Minumlah Raden! Ini untuk menangkal hawa racun yang telah menyebar ditubuh Raden.”
Raden Jaka masih belum mampu membuka matanya, hanya sedikit saja bibirnya terbuka. Linggar pun sedikit demi sedikit meminumkan ramuan penawar itu. Akibatnya sama seperti yang dialami Linggar sebelumnya. Linggar pun hanya membiarkan Raden Jaka yang sedang bergulat dengan hawa racun yang ingin dikeluarkannya.
Beberapa saat kemudian Raden Jaka telah menyadari keadaan. Ia pun lansung tersentak mencari benda pusakanya yang sudah tidak ada dalam genggaman. “Baru Klinthing! Dimana pusakaku itu he?” katanya menegang.
“Disudut amben itu Raden. Pusaka itu aman, tidak ada yang mampu menundukkan pusaka itu, kecuali trah Mangir,” kata Linggar meredakan kegelisahan putra Ki Ageng Wanabaya itu.
Raden Jaka pun segera meraih pusaka itu walaupun dengan tergopoh-gopoh, karena tubuhnya masih sangat kaku.
“Mana wanita gentayangan tadi? Apakah kau mampu membunuhnya?”
“Ken Anggita maksud Raden? Dia sudah pergi sedari tadi.”
“Kenapa kau biarkan dia pergi?”
“Aku bukan tandingannya Raden, ilmuku hanya seujung kuku dari wanita tadi. Dan bukan aku pula yang mampu menundukkannya, melainkan seorang anak gadisnya yang telah menotok jalan darahnya dan membawanya pergi.”
Raden Jaka tak bertanya lebih lanjut tentang siapa sebenarnya anak gadis dari Ken Anggita itu, ia hanya mengangguk-angguk saja. Dalam hatinya ia bersyukur, kalau saja Linggar yang mampu menundukkannya, maka pamornya sebagai pewaris Mangir akan turun. Kalah dengan pamor pemuda desa yang baru saja menjadi prajurit Pajang.
“Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Raden Jaka memecah keheningan.
“Pintu gerbang padepokan ini sepertinya telah jebol, bukankah Raden juga mendengar suara sorak-sorai tadi?”
“Ya, kau benar! Kalau begitu, kita tidak perlu lagi membantu Ki Nataprawira, karena keadaan disana sudah dapat dikuasainya. Sekarang, mari kita lanjutkan mencari biang keladi dari Padepokan Watu Belah ini!” katanya sambil beranjak, tetapi sedikit terhuyung karena keadaan Raden Jaka belum pulih benar.
“Raden. Sebaiknya, Raden kembali ke kesatuan Mangir. Biarlah aku yang memeriksa keberadaan para pemimpin padepokan ini.”
“Kau berani memerintahku!” bentak Raden Jaka. “Kau tahu apa kedudukanku?”
“Tahu Raden, pemimpin tertinggi Mangir dalam penyerbuan ini,” jawab Linggar.
“Nah! Itu kau tahu? Artinya kaulah yang berada dibawah kendaliku, bukan sebaliknya!”
Linggar tak ingin berdebat terlalu lama, ia hanya membenarkan saja pendapat Raden Jaka.
“Jadi sebaiknya, kita cari saja bersama! Dimana orang yang menyebut dirinya Pangeran Pujapati itu, dan juga gurunya yang bernama Kiai Jambe Abang itu? Bila perlu aku yang menghadapi gurunya, sedang kau menghadapi Pangeran tak beristana itu!” katanya percaya diri.
Linggar hanya mengangguk saja. Raden Jaka belum mengetahui, bahwa sebenarnya Linggar pernah berhadap-hadapan dengan Pangeran Pujapati sebelumnya. Dan dalam perang tanding itu keduanya sama-sama terluka dalam. Itu artinya, baik Pujapati maupun Jambe Abang perlu diwaspadai, bahwa keduanya punya ilmu kanuragan yang patut diperhitungkan.
Sementara itu benar saja perkiraan Linggar, pertahanan padepokan Watu Belah telah jebol. Pertempuran pun tak bisa dielakkan lagi. Laskar Mangir dan prajurit Pajang dibawah kepemimpinan Wurpasa, sudah tak terbendung lagi. Mereka langsung menyebar ke jantung pertahanan lawan, untuk mencari pasangan bertempur masing-masing.
Pertempuran yang menjelang wayah sepi bocah itu pun tak berlangsung lama, para Cantrik padepokan Watu Belah dapat dikuasai dengan mudah. Separuh diantara mereka yang masih hidup, memilih menyerah. Ki Nataprawira pun segera menyatukan para tawanannya, dan meminta laskar Mangir untuk menjaganya.
“Ingat, mereka sudah menyerah. Jangan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya! Tetap tingkatkan kewaspadaan, aku dan Wurpasa akan memutuskan langkah selanjutntya. Sementara kita berjaga disini, jangan masuk terlalu dalam dari lingkungan padepokan ini. Sebelum kami berdua menyatakan bahwa keadaan sudah benar-benar kita kuasai!” perintah Panglima Mangir itu.
“Bagaimana Wurpasa? Apakah kita langsung saja menyelidik ke dalam?”
“Ya, Ki. Sebaiknya sesegera mungkin. Aku khawatir terjadi masalah yang tak terduga-duga pada Raden Jaka dan Linggar,” jawabnya dengan cemas.
Akhirnya keduanya bersepakat, untuk masuk lebih dalam lagi pada lingkungan padepokan itu.
            Sementara itu Raden Jaka dan Linggar Wulung sudah sampai pada rumah tempat Pangeran Pujapati dan gurunya berada. Suara desir langkah mereka, rupanya segera diketahui Kiai Jambe Abang. Mereka pun segera bergegas keluar dan menyongsongnya di muka rumah itu.
“Kurang ajar! Rupanya kita kemasukan begal-begal kampung!” ujar Pangeran Pujapati.
“Jaga mulutmu kisanak!” sahut Raden Jaka. “Tidak pantas kau berbicara seperti itu, kepada Panglima tertinggi Mangir!”
“Oh.., jadi aku berhadapan dengan putra kesayangan Ki Ageng Wanabaya?” katanya mencibir. “Putra seorang pembelot yang ingin mempunyai kekuasaan sendiri di telatah Demak?” ia kembali menegaskan.
Raden Jaka menjadi tersulut amarahnya. Hampir saja ia menarik tombak Baru Klinthingnya, jika Linggar tak menahannya. “Sabar Raden! Pemuda itu memang kerap memancing kemarahan lawan. Awasi saja gerak-geriknya, mereka punya cara-cara yang unik untuk menggoyahkan ketahanan jiwa lawan.”
Raden Jaka yang memang mudah tersulut amarah itu, menatap Linggar. Ia tidak begitu senang dengan ucapan Linggar yang seolah-olah tahu tentang banyak hal. “Kau pernah menghadapinya?”
Linggar hanya mengangguk tetapi tak menjawab, khawatir jawabannya membuat Raden Jaka menjadi tersinggung.
Kiai Jambe Abang yang melihat kehadiran Linggar disitu, tersenyum tipis memandangnya kemudian berkata. “Kita bertemu lagi angger Linggar, putera dari sahabatku Ki Demang Wulungan,” katanya ramah.
“Jangan kau sebut nama ayahku, Kiai Jambe Abang! Nama ayahku begitu terhormat untuk diucapkan seorang pengkhianat licik sepertimu!” Linggar pun terpancing amarahnya juga, begitu disebut nama ayahnya.
“Jangan berkata begitu ngger. Aku sangat menghormati ayahmu, bahkan disaat terakhir kami berdua berperang tanding. Terpisahnya kau dengan ayahku bukan atas kehendakku, tetapi sudah suratan takdir. Jadi jangan mendendam kepadaku, karena sejatinya perang tanding antara aku dan ayahmu cukup berimbang.”
“Cukup Kiai! Ini kali kedua kita bertemu, mari kita tuntaskan pertemuan kedua ini dengan perang tanding!” tantang Linggar.
“Tidak perlu ngger! Kau tidak perlu terlibat dalam kisruh ini. Biar muridku Pangeran Pujapati ini yang akan menghabisi putera Ki Ageng itu. Nampaknya ia juga tidak begitu paham menggenggam tombak pusaka milik ayahnya itu!” kata Ki Ageng, yang memang punya pengamatan yang mendalam pada gerak-gerik musuhnya.
Tetapi ternyata Raden Jaka yang sudah tersulut amarahnya tidak bisa terbendung lagi. Ia langsung maju ke muka dan menantang Pangeran Pujapati.
“Maju Pujapati, hadapi aku! Aku adalah Wanabaya Anom, pewaris tahta selanjutnya atas telatah Mangir,” katanya dengan sorot mata tajam.
Pangeran Pujapati yang pembawaannya sama dengan Raden Jaka, seketika itu juga tanpa ragu maju ke muka.
“Tidak pernah aku surut selangkah menerima tantangan dari lawanku! Sekalipun musuhku itu adipati atau pun Raja sekalipun,” katanya lagi sambil mencibir
Maka keduanya kini telah terlibat dalam sebuah perang tanding. Masing-masing membawa senjata pusaka andalannya. Raden Jaka dengan tombak Kiai Baru Klinthing, sedang Pangeran Pujapati dengan seruling Kiai Nagasengka. Kiai Nagasengkala adalah sebuah pusaka yang cengkar dari keraton Kadipaten Pajang, yang pada waktu itu sengaja dicuri Kiai Jambe Abang disaat Pajang dalam keadaan lengah.
Kedua pusaka itu memang punya pamor masing-masing yang menakjubkan. Kiai Baru Klinthing adalah pusaka yang sejak jaman Majapahit menjadi momok menakutkan bagi para pendekar. Pusaka turun temurun milik Ki Ageng Wanabaya itu memiliki pamor yang berkilauan jika sudah dicabut dari ploconnya, selain itu juga pusaka itu mampu melesat memecahkan batu cadas, bahkan menggetarkan batang pohon raksasa.
Sedangkan Kiai Naga Sengkala yang kini digenggam Pangeran Pujapati, meskipun wujudnya hanya seruling, tetapi pamornya pun tak kalah hebat. Jika tuannya sudah mengeluarkan tenaga dalam, maka seketika itu juga seruling itu akan membara dalam genggaman. Jika dibenturkan ke senjata lawan yang berupa bilah pedang, maka seruling itu akan terasa seperti besi padat yang membentur. Selain itu juga, jika seruling itu sudah menggebuk punggung lawan, maka bukan hanya luka memar yang didapat, melainkan meninggalkan luka bakar, seperti melepuh.
Sementara itu Linggar dan Kiai Jambe Abang hanya menyaksikan dengan jantung berdebaran. Kiai Jambe Abang sendiri sebenarnya belum mau melepas Pangeran itu untuk bertarung hidup-mati, tetapi kekerasan hati muridnya itu membuatnya tak berdaya. Sedangkan Linggar tak dapat menahan Raden Jaka untuk bertarung, selain karena ia merupakan pimpinan pada penyerangan ke Bukit Sambung itu, ia juga seorang pewaris Mangir yang merasa kemampuannya lebih pinunjul ketimbang dirinya.
Langit gelap yang bernaung diatas Bukit Sambung kala itu memudar beberapa saat kemudian, karena cahaya bulan sabit membias menembus kepekatan awan hitam. Maka tersingkaplah bulan sabit di cakrawala. Kemunculan bulan sabit itu menambah suasana mencekam di dataran tinggi Sambung. Ditambah lagi suara binatang malam yang saling bersahutan, membuat bulu kuduk berdiri. Angin pun bertiup agak kencang malam itu.
Kedua pemuda yang telah bersepakat untuk melakukan perang tanding itu pun saling menyerang silih berganti. Pusaka tombak dan seruling itu pun saling membentur beberapa kali. Mereka sama-sama masih menjajaki kemampuan lawan, sehingga masing-masing belum merasa perlu mengerahkan ilmu puncak mereka yang mempengaruhi pamor pusakan mereka masing-masing. Raden Jaka pun, belum membuka plocon penutup tombak pusakanya.
Dari perang tanding itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, kedua-duanya mempunyai tingkatan ilmu kepandaian yang seimbang dalam hal tata gerak olah kanuragan. Pangeran Pujapati mempunyai kecepatan gerak yang patut diperhitungkan, sedangkan Raden Jaka mampu mengimbanginya dengan kelenturan tubuhnya yang memang sudah terlatih. Hal itu pulalah yang membuat perang tanding itu berlangsung begitu sengitnya.
Sementara dari sudut gelap disekitaran perang tanding itu berlangsung, dua pasang mengamati dengan jantung berdebaran. Merekalah Ki Nataprawira dan Wurpasa.
“Untunglah Raden Jaka selamat, ngger Wurpasa. Aku sangat cemas mencari keberadaannya.”
“Benar Ki. Tetapi sekarang ia menghadapi Pangeran Pujapati Ki, orang itu cukup berbahaya. Beberapa waktu yang lalu, Linggar pernah menghadapinya pula, tetapi mereka berdua sama-sama terkapar akibat benturan ilmu masing-masing.”
“Memang perlu diwaspadai! Tetapi dari pengamatanku, kemampuan mereka cukup berimbang,” sahut Ki Nataprawira. “Hanya saja Raden Jaka memang rendah dalam hal pengalaman bertarung, ia hanya sebatas dinding sanggar saja dibawah asuhan Wanabaya sepuh.”
“Tetapi Ki Ageng Wanabaya bukankah seorang ksatria pinunjul, Ki?” tanya Wurpasa.
“Kau benar. Tetapi pengalaman bertempur di medan perang amatlah penting, dari situlah timbul wawasan baru dalam menghadapi musuh, yang terkadang tidak kita dapatkan dari bimbingan guru maupun seorang Ki Ajar di padepokan.”
“Kau tentu sering mengiringi Linggar dalam setiap pertempuran. Walaupun ilmunya tidak terlalu tinggi, tetapi pengalamannya bertarung, membuatnya dapat bertahan lama dalam sebuah perang tanding, meskipun yang dihadapinya ilmunya selapis lebih tinggi darinya.”
Wurpasa mengangguk-angguk mendengar pendapat panglima Mangir itu, yang memang telah kenyang makan asam garam di medan perang.
Dalam pada itu mereka yang sedang melangsungkan perang tanding, nampaknya mulai meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Itu dikarenakan beberapa kali benturan-benturan ilmu bela diri mereka tak mampu membuat lawan terdesak.
“He.., putera Wanabaya! Mari sama-sama kita hunus senjata kita masing-masing. Aku sudah tidak sabar menjajal tombak bututmu itu!” tantang Pangeran Pujapati sambil tertawa.
“Aku ladeni kemauanmu Pangeran congkak! Tombak ini masih cukup tajam, kalau hanya untuk merobek mulut besarmu itu!”
Sama-sama mudah terbakar amarah, kedua ksatria itu pun bertarung habis-habisan. Keduanya mulai mencabut senjatanya masing-masing. Pamor Kiai Baru Klinthing bersinar menyilaukan begitu keluar dari ploconnya. Baru setelah itu, ujung tombaknya seperti nyala bara api yang nyala-redup. Bertanda bahwa tombak Baru Klinthing siap untuk bertempur.
Pangeran Pujapati dibuat terkesima beberapa saat ketika menyaksikannya. Setelah itu ia baru menguasai diri sambil menghela napas panjang. Ternyata pamor senjata itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang, karena takjub.
Tak mau kalah gertak, Pujapati pun menarik seruling Kiai Nagasengkala dari pingganggnya. Setelah itu membuka sarungnya yang terbuat dari kulit hewan bersisik.
Senjata itu pun mengeluarkan pamor yang angker. Yaitu memancarkan cahaya merah hati begitu keluar dari sarangnya. Seruling yang konon dimiliki pendekar Alas Roban itu, terbuat dari batuan alam, sisa muntahan gunung merapi. Yang kemudian oleh empunya direndam selama bertahun-tahun di dasar laut selatan. Maka selain perbawa angker, seruling itu juga kerasnya luar biasa seperti besi baja.
“Putra Mangir! Ayo siapkan jiwa ragamu untuk menghadapi ajalmu yang kian dekat itu!” kata Pangeran Pujapati dengan suara nyaring.
“Aku sudah siap, Pujapati! Meladenimu sampai ayam jantan berkokok pun, aku sudah siap. Tetapi aku tak begitu yakin, ketika sampai fajar tiba kau masih mampu bernapas!”
Pertarungan pun kembali berlangsung, bedanya kini senjata pusaka mereka telah keluar dari sarangnya masing-masing. Tombak Kiai Batu Klinthing menyambar-nyambar lawan, sesekali berusaha menghujam ke arah jantung. Pujapati tidak kalah gesit ia menghindari sambaran-sambaran maut pusaka piandhel Mangir itu. Seruling Nagasengkala yang panjangnya selengan itu, berubah menjadi tongkat yang kadang mematuk-matuk pundak dan kepala Raden Jaka. Begitulah, mereka saling serang sambil terus menghindar.
Pujapati punya kelebihan dalam hal menyerang ganda. Ketika serulingnya gagal mematuk dahi lawan, beberapa saat kemudian kakinya sudah menyambar lambung lawan. Itulah yang kadang membuat Raden Jaka harus lebih waspada dengan pergerakan Pujapati.
Raden Jaka sendiri memiliki kelincahan dalam tata geraknya. Itu pula yang membuat serangan Pujapati dapat ia patahkan dengan mudah. Tetapi dengan kelincahan yang dimilikinya justeru mempunyai kelemahan, yaitu mengeluarkan tenaga lebih banyak ketimbang Pujapati, yang hanya menyerang ganda dalam waktu hampir bersamaan. Itulah yang perlu diwaspadai Raden Jaka.
Terlihat kekhawatiran di wajah Ki Nataprawira, benar saja yang ia perkirakan. Bahwa Raden Jaka wawasan bertarungnya masih kurang luas. Berbeda dengan Pujapati yang telah dibawa mengembara oleh Kiai Jambe Abang. Tentu dapat menarik kesimpulan dari bentrokan-bentrokan yang terjadi.
“Lihat Wurpasa! Kalau Wanabaya Anom masih mengandalkan cara-cara bertarung yang seperti itu, ia akan mengalami kelelahan yang parah. Harusnya dia menyerang seirama dengan pola gerak lawan, hanya sesekali saja kadang memang perlu bergerak lebih. Tetapi tidak lain tujuannya hanya untuk mendesak lawan,” kata Ki Nataprawira dengan nada cemas.
“Benar Ki. Sedikit pengetahuanku pun menarik kesimpulan demikian,” sahut Wurpasa yang turut mengamati jalannya perang tanding.
            Kedua pusaka itu kini sudah mulai saling membentur. Baik Nagasengkala maupun Baru Klinthing sama-sama memiliki kekerasan yang luar biasa. Tidak jarang kedua petarung itu tangannya tergetar kesemutan. Pertanda, baik senjata atau tenaga yang mereka keluarkan cukup dahsyat. Benturan itu memercikan bunga api yang berkelip di angkasa, ditambah lagi warna pamor senjata masing-masing membuat gemerlap cahaya menebar di sekitar tempat itu. Warna merah hati dari Kiai Nagasengkala, berkelebat memburu sinar bara api Baru Klinthing.
Hingga di suatu saat, Nagasengkala yang difungsikan sebagai tongkat pemukul itu, mampu menusuk dada kiri Raden Jaka. Ia tak mampu menghindar, karena jangkauan tusukannya lebih dalam. Itu karena Pujapati menyerang sambil melompat. Meskipun sudah bergeser mundur, tetap saja benda tumpul berbentuk seruling itu mampu menggapai dada kirinya. Raden Jaka sedikit mengeluh kesakitan, bekas tusukan benda tumpul itu seperti menyengat dada kirinya. Ia pun surut beberapa langkah kebelakang. Sambil memegangi dadanya ia melihat lukanya seketika itu juga memerah seperti melepuh. Tak ayal membuatnya menjadi naik pitam.
“Setan alas! Kau telah salah berani berurusan denganku. Sebentar lagi tombakku ini yang akan merobek lambungmu!” kata Raden Jaka sambil terengah-engah.
“Buktikan saja!” sahut Pujapati sambil mencibir. “Kau memang gesit seperti kijang, tetapi nampaknya kau kijang tua yang sudah lemah,” katanya lagi menyindir.
Tepat saja dugaan Ki Nataprawira, bahwa Pujapati mampu membaca gerak lawan yang terlampau gesit. Sehingga dia bisa memanfaatkan titik lengah lawan, ketika mulai kelelahan.
Kemarahan Raden Jaka yang telah sampai pada puncaknya, membuatnya segera ingin membalas melukai lawan. Harga dirinya terkoyak ketika senjata musuhnya mampu melukai dirinya, yang sesungguhnya adalah simbul ksatria dari Mangir.
Maka, ia pun mengerahkan segenap kemampuannya kembali, didesaknya Pujapati hingga sedikit demi sedikit surut ke belakang. Ketika sampai pada titik kelengahan tombak Kiai Baru Klinthing itu mampu menebas paha kanan Pangeran Pujapati. Pangeran itu pun terkejut bukan kepalang. Sama dampaknya seperti luka yang tadi dialami Raden Jaka, terasa panas yang menyengat dan meninggalkan luka yang melepuh. Ia pun sempat meringis menahan rasa sakit. Ternyata kedua senjata itu memiliki kekuatan yang luar biasa, karena keduanya memang pernah menjadi rebutan para pendekar pada jamannya.
“Kau mau kata apa sekarang, Pujapati? Apa kau pikir, Baru Klinting ini seperti tombak milik prajurit jaga, he?” katanya sambil mencibir.
Sorot mata murid Kiai Jambe Abang itu menyala-nyala. Pertanda ia pun makin naik darah dan ingin segera menuntaskan perang tanding. Pertarungan itu kemudian terhenti seketika, mereka saling pandang satu sama lain dengan penuh kebencian. Hingga kemudian Pujapati menegakkan badannya, sambil mengatur tenaga dalamnya. Pertanda ia akan mengeluarkan jurus pamungkasnya.
Raden Jaka yang juga paham akan hal itu, ia pun mempersiapkan dirinya seperti yang dilakukan Pujapati. Suasana hening seketika, yang terdengar hanya suara desah napas kedua ksatria itu sedang mempersiapkan diri. Tetapi sungguh heran, semua yang menyaksikan berpikir kalau Pujapati akan menyerang Raden Pamekas dengan Kiai Nagasengkala. Ternyata, Pujapati malah meniup seruling Kiai Nagasengkala dengan suara yang memekakkan telinga, suara itu membuat degup jantung berdebaran dan telinga pun menjadi sakit bagi mereka yang belum memiliki kemampuan tenaga dalam yang mumpuni. Bahkan suara itu menyeringai terdengar sampai ke gerbang padepokan dimana para prajurit dan laskar kedua belah pihak berkumpul. Meskipun tidak membuat dampak yang buruk, tetapi cukup mengagetkan bagi mereka. Untung saja jarak mereka tidak terlalu dekat, andai dekat maka mereka akan menutup telinga mereka rapat-rapat.
Wurpasa dan Ki Nataprawira pun sempat menanggapi keadaan itu.
“Hmm.., perang tanding sudah sampai pada puncaknya. Sungguh mengerikan suara seruling yang ditiupkan itu. Suaranya dapat membuat gendang telingaku pecah,” gumam Wurpasa.
“Ya, kau benar. Untung saja kita yang berada disini sudah berbekal tenaga dalam, meskipun tidak begitu sempurna. Dan jarak kita pun tidak terlalu dekat, jadi cukup aman buat kita,” Ki Nataprawira menambahkan.
Raden Jaka yang sebelumnya sempat terganggu dengan suara melengking seruling itu, tetapi akhirnya dapat menguasai diri.
Bulan sabit di langit masih menyinari temaram Bukit Sambung, ditambah cahaya obor disetiap sudut padepokan membuat perang tanding itu dapat terlihat dengan jelas. Mendadak terdengar suara mendesis dari arah belakang Pangeran Pujapati. Suara desis itu jumlahnya bukan hanya satuan melainkan berpuluh-puluh jumlahnya. Ya, seperti suara ular. Meskipun sosoknya belum nampak, akan tetapi berpasang-pasang sorot mata menyala dikejauhan terlihat mulai mendekat. Siapa pun yang melihatnya akan membuat bulu kuduk meremang, keadaan itu begitu menyeramkan.
Benar saja. Ketika titik-titik sorot mata itu kini semakin mendekat dan tampak jelas. Puluhan ular berbisa sebesar alu penumpuk padi sudah berjejer mengapit tuannya, sipeniup Nagasengkala. Mata ular itu berwarna merah hati sama seperti seruling Nagasengkala itu mengeluarkan pamornya.
“Rupanya suara seruling itu mempunyai daya sihir yang kuat, hingga membuat ular-ular itu mendekat dan menjadi begitu beringas,” gumam Raden Jaka. “Aku harus segera mempersiapkan diri, kalau tidak mau mati konyol!”
Pujapati sejenak menatap ular disisi kanan dan kirinya dengan sorot mata tajam. Kemudian ia menudingkan serulingnya ke salah satu ular, lalu ia seperti mengayunkan serulingnya itu. Dan ternyata ular yang tadi ditudingnya itu, melesat dengan mulut menganga menerkam kearah Raden Jaka. Ular itu tidak beringsut untuk menggapai mangsanya, melainkan ia seperti terbang.
Raden Jaka yang sudah bersiap sedari tadi, segera menyongsong ular itu dengan tombak Kiai Baru Klinthingnya itu. Ketika seekor ular mencoba menggigit lengan kanannya, Raden Jaka langsung mengibaskan ujung tombaknya kesamping memukul kepala ular itu. Ular itu pun jatuh menggelepar ditanah dengan darah yang meleleh dimulutnya. Tidak berhenti sampai disitu saja, Pujapati kembali menuding ularnya yang lain. Sama seperti sebelumnya ular itupun kembali melesat menerkam Raden Jaka. Kali ini Raden Jaka tidak memukul kepala ular itu, melainkan menusukkan ujung tombaknya ke rahang ular yang berusaha menerkamnya itu. Begitu tombak Raden Jaka mampu menusuk rahang ular itu sampai tembus ke punggung, memerciklah darah segar dari bagian rahang ular itu. Kemudian Raden Jaka mengibaskannya agar lepas dari mata tombaknya. Begitulah, susul-menyusul ular itu diperintahkan Pujapati untuk menerkam Raden Jaka. Raden Jaka pun tidak kalah gesit untuk menumbangkan ular-ular yang berkali-kali menerkamnya.
Pangeran Pujapati menjadi berang, berkali-kali ular-ularnya gagal menggigit lawan. Malahan ular-ularnya terlihat tergeletak bertebaran tak berkutik, dengan luka tusukan dirahang dan kepala pecah. Akibat terbentur tombak Kiai Baru klinthing.
Maka kini dia mengerahkan ilmu puncak dari tuah Kiai Nagasengkala. Konon seruling Nagasengkala akan sangat berbahaya ketika malam hari tiba, apalagi dibawah temaram cahaya bulan. Ketika seruling itu ditiup dengan tempo lambat dan mengalun syahdu, maka ia akan mengundang ular yang besar, sebesar dua kali tubuh manusia. Meski alunan seruling itu bernada syahdu tetapi tetap saja terdengar angker dan mencekam. Maka, kemudian terdengar suara gemerisik daun tersibak sesuatu yang besar dari arah belakang Pujapati. Suara gemerisik itu mengguncang tanaman-tanaman perdu disekitar padepokan itu. Maka kemudian menyembullah ular raksasa itu. Pujapati kemudian langsung melompat dan duduk di atas kepala ular tersebut. Lidah ular yang bercabang sesekali menjulur, diiringi suara mendesis. Sungguh pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Raden Jaka memang sedikit terkesima melihat musuhnya yang duduk dengan gagahnya diatas ular raksasa. Katanya, “hmm.., itukah yang dinamakan ular Nagasengkala?”
Tetapi Raden Jaka tidak berlama-lama, tombak pusaka Kiai Baru Klinthing dilambungkannya ke angkasa, setelah melesat beberapa saat di udara, kemudian tombak itu kembali turun ke bawah dengan cepat dan mengambang setinggi lutut Raden Jaka. Raden Jaka pun langsung melompat pada landean tombaknya itu.
Kini keduanya telah saling siap menyerang dengan tunggangannya masing-masing. Kiai Jambe Abang yang baru pertama kali melihat kesaktian Kiai Baru Klinthing pun sempat berdecak kagum. Begitu juga Wurpasa dan Ki Nataprawira yang mengamati dari kejauhan pun demikian.
“Itu ternyata alasan Linggar beberapa waktu lalu tak melanjutkan pertempuran di Alas Mentaok! Ternyata tuah Nagasengkala memunculkan ular yang sangat buas!” gumam Ki Nataprawira yang pernah mendengar kisah Linggar tak kala menggempur perguruan Watu Belah. Kala itu Raden Pamekas dari Demak yang melarang prajuritnya meneruskan peperangan.
Wurpasa tak menanggapi, hanya tetap terkesima dengan pemandangan tak biasa di depan matanya.
<<<PREV    NEXT>>>

8 komentar:

  1. Silahkan sudah publish lagi. mohon maaf sebelumnya sibuk dengan aktifitas lain. Akhirnya selesai juga buku saya meskipun bukan cersil he..he..he..
    Buku teknik saya tentang PLC, mungkin kisanak dan nyisanak ada yang berkecimpung di teknik berminat, silahkan jika berminat.

    BalasHapus
  2. Terimakasih lanjutannya..
    Mantab.

    BalasHapus
  3. terimakasih... semoga tambah sukses

    BalasHapus
  4. Terimakasih.. Ditunggu episode berikutnya, ceritanya menarik murni milik pribumi dan membuat selalu penasaran dgn cerita berikutnya.

    BalasHapus
  5. Terima kasih...semoga sukses selalu

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah selalu sehat ya Ki ...

    BalasHapus

Pengikut