Novel Cerita Silat Jawa

TDM43

Rata-rata mereka berperawakan tegap dan menggunakan baju keprajuritan khas Bang Wetan. Salah seorang dari mereka menunjuk ke arah Linggar dan Ki Nataprawira serta Wurpasa.
“Aku tidak ada urusan dengan kalian orang Mangir, dan kau utusan Pajang!” katanya dengan tegas. “Aku hanya menginginkan orang tua itu dan muridnya! Selebihnya silahkan kalian tinggalkan tempat ini!”
Ki Nataprawira yang tidak mengetahui asal-usul dan tujuan pasti mereka yang turut campur dalam puncak pertempuran di bukit Sambung itu, menanggapi. Sementara itu Kiai Jambe Abang masih dikelilingi kesembilan orang berkuda lainnya. Dan anehnya Pangeran Pujapati yang masih lunglai itu, didukung ke punggung kuda salah seorang dari mereka.
“Siapa sebenarnya kisanak semua ini? Mengapa kalian hadir di ujung perseteruan di bukit Sambung ini?” tanya Ki Nataprawira.
“Kau siapa kisanak?” orang berkuda itu balik bertanya. “Apa kau pimpinan dari pertempuran ini?” katanya masih dengan suara tegas.
“Aku panglima Mangir!” jawab Ki Nataprawira pendek. Yang seolah tidak mau kedudukannya dibawah pengaruh orang berkuda itu.
“Oh.., berarti aku berbicara dengan orang yang tepat! Aku tidak ada urusan dengan kalian! Jadi, cepat-cepatlah menyingkir dari tempat ini!”
Pembicaraan mereka sempat terhenti, karena Ki Nataprawira, Wurpasa serta Linggar, melihat 9 orang berkuda lainnya memperlakukan Kiai Jambe Abang dengan tidak semestinya.
“He Jambe Abang! Waktumu sudah habis! Kau tidak mampu mengemban tugas yang dititahkan Raden Ayu Dyah Duhita. Kau lebih baik kami bunuh beramai-ramai disini!” kata salah seorang dari mereka.
“Jangan asal bicara! Aku memang tidak berhasil memenuhi gegayuhannya. Tetapi ingat! Dyah Duhita masih kerabatku. Jadi tidak mungkin dia memerintahkan kalian untuk membunuhku!" Kiai Jambe Abang menyanggah.
“Ha.., ha.., ha.., ia memang tidak memerintahku untuk membunuhmu. Tetapi apa guna orang sepertimu itu, Dyah ayu Duhita hanya meminta puteranya kembali. Tetapi kanjeng Adipati Purbaya begitu geram dengan ulahmu. Kau mempengaruhi Pujapati dengan angan-anganmu itu!”
“Bukan salahku. Adipati Purbaya tidak menganggap Pujapati layaknya pewaris, melainkan hanya anak tak berguna dari garwa selir! Bahkan tidak ada kebanggaan sama sekali pada diri Pujapati, walaupun dia adalah trah keturunan Adipati Purbaya dari Bang Wetan!”
“Jangan membantahku Jambe Abang! Kami adalah para Manggala, pengawal kepercayaan dari kanjeng Adipati Purbaya! Bersiaplah, kami akan mengenyahkanmu sekarang!”
“Cobalah! Aku akan mempertahankan diriku sendiri, meskipun aku dikerubuti 9 orang pengecut seperti kalian. Kalian tidak menunjukkan sifat seorang Manggala yang mempunyai wibawa, melainkan hanya cecurut yang menjilat kuasa Adipati Bang Wetan!”
Para Manggala itu adalah prajurit kawal raja atau adipati yang tidak kenal basa-basi. Mereka adalah pembunuh berdarah dingin yang tidak kenal ampun. Bahkan untuk menumpas dan menghilangkan jejak korbannya, merekalah ahlinya.
9 Orang yang dihadapi Kiai Jambe Abang, 4 orang diantaranya bersenjatakan pedang. Sementara 4 orang lagi menggunakan bandil berukuran pendek, seukuran dua lengan orang dewasa. Masing-masing telah menghunus senjatanya dan sebagian lagi mengurai bandil sambil diputar-putar di atas kepala. Sementara satu orang lagi yang mengamankan Pujapati tidak ikut dalam lingkaran pertarungan itu, melainkan menepi menjaga Pujapati.
Kiai Jambe Abang yang tidak lagi memegang Nagasengkala, kemudian mencabut pedang dilambungnya sambil waspada terhadap gerak-gerik lawannya. Tentunya sulit bagi Kiai Jambe Abang menghadapi 8 orang sekaligus, apalagi mereka adalah para Manggala abdi kepercayaan Adipati Bang Wetan. Tetapi tidak ada pilihan lain selain, mempertahankan diri.
Pedang-pedang mereka menebas rendah mencoba melukai Kiai Jambe Abang, tetapi dengan gesit ia menangkisnya pula dengan cepat. Terdengar bunyi dentang pedang beradu beberapa kali. Tubuhnya berputar meliuk-liuk menepis pedang-pedang tajam yang berusaha melukainya.
Ketika para Manggala yang bersenjatakan pedang menarik diri, ke empat lainnya yang bersenjatkan bandil mengayunkan bandil-bandil itu secara bergantian. Susul-menyusul banding itu akan memarut tubuh Kiai Jambe Abang jika mengenainya. Kiai Jambe Abang bergeser selangkah kesamping sambil memutar tubuhnya, ketika sebuah bandil mengayun mengarah ke dagunya. Disusul kemudian ayunan bandil yang lain, dari arah belakang yang hampir memarut punggungnya. Ia terpaksa berguling ke depan menghindari.
Begitulah, jatuh bangun ia menghindari ayunan bandil itu sambil sesekali menebaskan pedangnya secara menyilang, karena lawan yang berada di atas punggung kuda. Tetapi tak satu pun tebasannya melukai para menggala itu, karena ketika tebasan pedangnya membahayakan salah seorang dari mereka, manggala yang lain telah menghalaunya dengan bandil yang ditibankan menumbuk. Pedang itu pun luput mengenai sasaran dan hanya tergetar hebat ditangannya akibat tertiban bandil tadi.
Kiai Jambe Abang terlihat mulai kerepotan menghadapi para manggala itu. Karena 2 kelompok itu kini telah saling menyatukan diri secara acak. Mereka yang bersenjatakan pedang maupun bandil telah saling mengisi kekosongan diantara mereka. Begitu Kiai Jambe Abang mencoba lepas dari kepungan mereka, yaitu dengan cara mendesak salah satu dari mereka. Para Manggala telah menutup celah itu dengan menibankan bandil secara bersama-sama, dari arah yang berbeda.
Ilmu kanuragan para manggala itu memang terhitung cukup rata. Gerak dan jurus yang mereka peragakan pun cukup padu, bahkan nampak seperti orang yang sedang menari, karena gerakan maju dan mundurnya cukup teratur dan terpola. Konon memang menurut cerita, untuk menjadi Manggala tidaklah mudah. Hanya orang-orang pilihanlah, yang sanggup ditempa menjadi Manggala yang tangguh. Pada akhirnya mereka yang memiliki kesetiaan tinggi dalam pengabdianlah yang ditetapkan sebagai Manggala.
Akhirnya sesakti apapun Kiai Jambe Abang, untuk menghadapi 8 orang yang mempunyai kemampuan rata-rata itu tidaklah mudah. Beberapa kali ia harus tergopoh-gopoh juga untuk bertahan dari gempuran. Ketika Kiai Jambe Abang memusatkan serangannya pada salah satu dari mereka, seorang rekan lainnya telah menendang punggungnya dari arah belakang. Dan ketika tubuhnya condong ke depan, manggala yang lainnya telah menyambutnya dengan menendang dagunya menggunakan punggung kakinya dari atas kuda tunggangannya. Tak ayal membuatnya menjadi bulan-bulanan para Manggala itu, hingga akhirnya sebuah bandil mampu juga melukainya. Pada saat ia terlambat menghindar, sebuah bandil mampu menggebuk punggungnya, ia pun terpaksa berjungkir-balik untuk mencegah bandil-bandil yang lain mengarah kepadanya.
Terasa pedih bagian punggungnya yang terluka itu, karena darah telah menetes, diantara peluh yang bercucuran ditubuhnya. Ia sempat berpikir, mungkin ini akhir dari petualangannya. Karena sepertinya sulit sekali baginya mencari ruang untuk menghimpun tenaga dan membangkitkan ajian sembur geni andalannya. Hanya Ajian itulah yang mampu membuyarkan kepungan yang secara terus-menerus mengikatnya pada satu lingkungan.
Kiai Jambe Abang kini harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan dirinya sendiri. Ia nampak mulai terhuyung-huyung mendapat serangan yang bertubi-tubi itu. Sementara itu Linggar, Ki Nataprawira serta Wurpasa yang menyaksikan dari jarak yang tak berapa jauh ikut geram. Bagaimana pun juga memperlakukan Kiai Jambe Abang seperti itu adalah merusak citra kstaria sejati, terlebih lagi dilakukan oleh seorang Manggala. Manggala yang seharusnya menjadi perlambang kewibawaan prajurit pada sebuah pemerintahan. Karena merekalah sesungguhnya prajurit dengan tatanan tertinggi di pemerintahan.
Tak tertahankan lagi Linggar untuk ambil bagian dalam membantu Kiai Jambe Abang, kendati sebenarnya Kiai Jambe Abang adalah musuhnya. Tetapi naluri kemanusiaannya muncul, apalagi melihat tindakan para Manggala itu sudah keterlaluan. Linggar berusaha berlari masuk kepungan para Manggala itu. Tetapi seorang Manggala yang sebelumnya bercakap-cakap dengan mereka berusaha menghalangi, dengan memajukan kudanya menahan langkah Linggar. Tetapi tanpa bersepakat Ki Nataprawira dan Wurpasa menghunus pedangnya untuk memperingati Manggala yang masih berada di punggung kuda itu.
“Jangan jadi pengecut kisanak! Biarkan temanku itu membantu Jambe Abang! Bila kau ingin mencari lawan bertarung, lawanlah aku!” tantang Ki Nataprawira.
Manggala itu hanya tersenyum tipis memandangi keduanya, sementara Linggar telah meninggalkan tempat itu dan bergabung dengan Kiai Jambe Abang.
“Aku tidak perlu mengotori tanganku dengan meladeni kalian berdua. Lebih baik kita tonton saja hasil pertarungan itu, aku yakin baik Jambe Abang maupun temanmu tadi akan mati ditangan kawan-kawanku,” kata Manggala itu dengan bangganya.
Sebenarnya Ki Nataprawira ingin juga segera turun gelanggang membantu Linggar, tetapi ia teringat Wurpasa yang ada di sisinya. Kendati pun Wurpasa mempunyai bekal kanuragan yang cukup untuk seorang prajurit tempur, tetapi andaikan Ki Nataprawira meninggalkannya, bukan tidak mungkin Manggala yang satu itu akan melibas Wurpasa tanpa ampun. Maka pertimbangan itulah yang mengurungkan niatnya, kemudian ia hanya mengikuti kemauan Manggala itu, yaitu hanya menonton saja jalannya pertarungan itu.
            Linggar langsung menyeruak diantara lingkaran yang mengepung Kiai Jambe Abang, dengan pedang tipisnya ia melindungi diri untuk bisa bergabung dengan Kiai Jambe Abang.
“Apa yang kau lakukan ngger?” tanya Kiai Jambe Abang yang tak menduga-duga Linggar akan melibatkan diri.
Linggar tak langsung menjawab, melainkan menempatkan diri untuk mengamati keadaan. Ia merapatkan punggungnya pada punggung Kiai Jambe Abang. Kini mereka telah saling beradu punggung.
“Tidak apa Kiai, rasa kemanusiaanku terusik manakala para Manggala itu sudah menyalahi paugeran yang berlaku!”
Kiai Jambe Abang mengangguk-angguk membenarkan, meskipun beberapa luka telah mendera tubuhnya. “Kau memang mewarisi watak Wulungan. Rupanya dia mampu menanamkan hal-hal yang mendasar pada jiwamu,” katanya kagum.
“Sudahlah Kiai, kita hadapi saja para Manggala itu. Setelah itu baru kita selesaikan urusan kita!” sahut Linggar.
Kiai Jambe Abang hanya tersenyum, walaupun diakhir kalimat Linggar, bernada ancaman. Tetapi ia pun sempat berseloroh. “Bukankah aku sudah mengaku kalah?” bisiknya.
Linggar sempat kesal juga mendengarnya, tetapi tak menanggapinya lagi, karena kemudian serangan dari para Manggala itu telah bertubi-tubi datangnya. Linggar tidak menggunakan dua pusaka yang ia selipkan dipinggangnya, melainkan hanya menggunakan sebilah pedang untuk membentengi diri.
Dentang senjata beradu lebih sering terdengar sekarang, kini Kiai Jambe Abang tidak lagi sendiri menghadapi 8 Manggala itu, dengan bantuan Linggar paling tidak ia mampu mengatur napas sejenak untuk menghadapi serangan berikutnya.
Ternyata kehadiran Linggar sedikit merubah jalannya pertempuran. Kelebatan-kelebatan pedangnya mampu membendung 4 bilah pedang lawan yang mencercanya. Kiai Jambe Abang sendiri menghadapi 4 orang lagi yang bersenjatakan bandil. Tampak Kiai Jambe Abang sesekali berguling kesamping untuk menghindari bandil yang diarahkan melambung. Dalam hatinya ia berpikir, pedang bukanlah lawan yang sepadan untuk bandil yang jumlahnya lebih dari satu. Ia sempat melirik dua pusaka yang masih terselip di pinggang Linggar. Tetapi rasanya tidak pantas apabila ia meminta senjatanya kembali, apalagi meminjam tombak Kiai Baru Klinthing. Sesungguhnya senjata bandil, lebih tepat diredam dengan sebatang tongkat atau pun tombak. Dengan senjata berbentuk bulat panjang itu bisa untuk melilit rantai bandil dan menarik lawan dari punggung kuda.
“Angger Linggar! Boleh aku pinjam satu dari dua senjata pusaka itu?”
Linggar sempat memandang aneh Kiai Jambe Abang. Kecurigaannya memang wajar apalagi Kiai Jambe Abang sebelumnya adalah orang yang dicari-cari Pajang dan Mangir. Tetapi ia pun paham akan kesulitan yang dihadapinya.
“Mohon maaf Kiai, kedua pusaka ini juga bukan hakku. Apakah ada acara lain, untuk memukul mundur kedelapan Manggala itu?” tanya Linggar, sambil terus bergerak menyerang.
Kiai Jambe Abang sempat menimbang-nimbang dalam hati, tindakan apa sebaiknya untuk membubarkan para Manggala yang seperti haus darah itu? Tetapi dalam benaknya ia berpikir, walaupun Ajian Sembur Geni dapat ia bangkitkan, apakah Linggar mampu memberinya waktu yang cukup untuk membangkitkan ajian itu? Apalagi sebelumnya ia sendiri pun kewalahan menghadapinya.
Kiai Jambe Abang sambil bertempur, selangkah demi selangkah mendekat ke arah Linggar. “Apakah kau tidak ingin menghancurkan kepungan mereka?”
“Bagaimana caranya, Kiai?”
“Pertama kita gebrak satu atau dua orang dari mereka, buat keduanya terluka, atau paling tidak mereka jatuh dari punggung kudanya. Setelah itu aku akan melindungimu. Tentu kau punya ajian andalan, mungkin warisan dari ayahmu, Ki Wulungan. Atau mungkin Raden Pamekas dari Demak itu telah mengajarkanmu ajian Rog-rog Asemnya? Selanjutnya, selagi aku mengalihkan perhatian mereka. Bangkitkan ajian itu dan buyarkan kepungan mereka itu dengan ajian yang bersumber dari Karebet itu. Sedikit banyak aku tahu sifat dari ajian tersebut,” Kiai Jambe Abang meyakinkan.
Mendengar usulan Kiai Jambe abang, membuat linggar kesal juga. “Apa hakmu kiai, memerintahku? Aku bukan Pujapati muridmu atau pun bawahanmu!”
Kiai Jambe Abang lagi-lagi tersenyum tipis, meskipun beberapa luka goresan bandil masih membekas pedih ditubuhnya. “Bukankah kita sekarang dalam keadaan yang sama-sama harus saling membantu? Dan sekarang kau telah menjadi pahlawan pelindungku dalam hal ini,” gurau Kiai Jambe abang lagi.
Walaupun agak kesal, Linggar pun akhirnya menyetujuinya. “Dasar tidak tahu berterimakasih,” gumamnya.
“Baiklah Kiai! Mari kita lumpuhkan dua orang dari mereka itu!” kata Linggar. Ia sadar memang sulit menembus pertahanan para Manggala itu. Jika diteruskan, maka hanya akan menguras tenaga saja.
Sementara itu satu Manggala yang sedang menonton pertempuran dari sisi gelanggang mencoba mengejek Ki Nataprawira dan Wurpasa yang nampak mulai cemas dengan pertahanan Linggar dan Kiai jambe Abang.
“He orang Mangir dan kau! Sebentar lagi dua pesakitan itu akan terkapar tak berdaya! Dan kalian berdua pun akan segera menyusul!” katanya dengan bangganya.”
“Jangan sombong kisanak! Aku memang tak tersohor seperti Arya Jipang atau pun Jaka Tingkir, tetapi untuk menghadapi orang-orang tak tahu adat seperti kalian, aku masih sanggup!” kata Ki Nataprawira dengan nada tinggi.
“Kita lihat saja kisanak. Manggala bukanlah prajurit kampung seperti kalian, kami dikenal tak kenal ampun!” katanya lagi sambil tertawa.
Ki Nataprawira kemudian tidak menimpalinya lagi, melainkan meminta pendapat Wurpasa atas perkembangan keadaan yang terjadi. “Bagaimana menurutmu angger Wurpasa?”
“Apakah lebih baik kita melibatkan diri Ki? Wurpasa balik bertanya.
“Tadinya aku berpikir seperti itu Wurpasa. Tetapi mereka itu cukup buas. Aku mengkhawatirkanmu tidak bisa mengikuti irama serangan mereka yang terpola itu. Sekali lagi ini bukan karena aku merendahkanmu, akan tetapi berdasarkan dari pengamatanku, sebagai seorang yang pernah mengalami berbagai macam jenis prajurit tempur seperti mereka.”
“Tidak apa Ki, aku memahami maksud baik Ki Nataprawira.Aku menunggu saja petunjuk dari Ki Nataprawira selanjutnya.”
Sementara itu Linggar dan Kiai Jambe Abang yang telah bersepakat melumpuhkan dua orang dari mereka, telah bergerak cepat dengan pedang-pedang mereka. Memang para Manggala diuntungkan dengan berada di atas punggung kuda mereka, tetapi bukan berarti tidak ada kelemahan. Karena gerakan mereka akan kaku tidak seleluasa jika bertarung dengan menapak tanah. Hal itulah yang dimanfaatkan Linggar kemudian. Ketika seorang Manggala mendekat dengan memacu kudanya, ia malah berlari berputar menghindar. Tentu saja membuat Manggala itu terkejut, ia pun menarik tali kekang kudanya untuk berhenti, dan kemudian memutar arah. Tetapi terlambat, Linggar terlebih dulu mampu menyayat kaki kuda itu dengan tipis dari arah samping. Meski tidak terluka terlalu dalam, sontak membuat kuda itu menjadi binal. Lalu kuda itu seolah meronta-ronta, mengguncang-guncang tuannya dipunggung kuda. Orang itu pun terpental jatuh dan kemudian menarik diri dari lingkaran pertempuran, karena kepalanya terasa pening akibat terbanting di tanah.
Kini giliran Kiai Jambe Abang yang beraksi. Dipilihnya lawan yang menggunakan senjata pedang pula. Ketika orang itu mendekat dan berniat menyerangnya. Ia sengaja menggeser laga pertempuran, ia mendekati sebatang pohon, Linggar pun mengimbanginya.
Seorang Manggala itu terus memburunya dengan pedang terhunus, begitu jaraknya kian dekat. Kiai Jambe Abang melompat dan menolakkan satu kakinya pada batang pohon itu. Kemudian dengan cepat ia membalikkan badan seperti melayang. Pedangnya kemudian menyambar dada manggala yang tak bisa menghentikan laju kudanya itu. Manggala itu pun menyeringai pedih, karena dadanya terluka.
Kejadian itu pun mengejutkan para Manggala yang lain, tak terkecuali seorang Manggala yang bersama Ki Nataprawira dan Wurpasa.
“Kurang ajar! Menghadapi dua kelinci kecil saja kalian tak becus! Percuma kalian menyandang pangkat seorang Manggala!” katanya dengan nada geram.
“Lihatlah kisanak, kalian memang bukan Manggala yang sesungguhnya. Kalian masih kalah siasat ketimbang pemuda dari Pajang itu!” Ki Nataprawira menyindirnya.
“Diam kau! Aku harus turun tangan kalau begini caranya!”
Ki Nataprawira pun menimpali. “Kalau begitu kami berdua juga akan masuk ke dalam lingkaran!” ancam Ki Nataprawira
“Terserah kalian, aku juga sudah membuang-buang waktu terlalu lama, hanya untuk membereskan kelinci-kelinci kecil seperti kalian!” kata pimpinan Manggala itu sambil bergegas menuju laga pertempuran.
“Ayo Wurpasa, jangan biarkan mereka menambah kekuatan. Kita juga bisa ambil peran untuk meredakan kekuatan mereka!” ajak Ki Nataprawira.
Ki Nataprawira dan Wurpasa pun beberapa saat telah masuk lingkaran dan menggabungkan diri. Kiai Jambe Abang dan Wurpasa yang melihat hal itu, seperti mendapat tenaga baru dengan kehadiran keduanya.
Dalam pada itu, dua manggala yang terluka, ditambah seorang lagi yang menjaga Pangeran Pujapati yang dalam keadaan lemah, sudah menarik diri dari lingkaran. Artinya kekuatan para Manggala itu, kini tinggal 6 orang Manggala ditambah 1 lagi yang baru menggabungkan diri. Melawan 4 orang, diantaranya adalah Kiai Jambe Abang, Linggar Wulung, Ki Nataprawira dan Wurpasa.
Cara bertempur yang terpola kini sudah tidak bisa diandalkan lagi, para Manggala itu kini telah berdiri berjejer, menghadapi 4 orang seterunya. Mereka pun memilih turun dari punggung kuda untuk meneruskan pertempuran. Kini ada 5 orang bersenjata bandil dan 2 orang bersenjatakan pedang siap bertempur di darat.
Di pihak Kiai Jambe Abang, ada Ki Nataprawira yang mempunyai senjata sejenis bandil, maka ia pun langsung menyarungkan pedang dan mengurai bandilnya.
Malam merayap semakin dingin, kabut mulai merayap menyelimuti puncaknya bukit Sambung. Lembaran kabut tipis yang turun itu sedikit menghalangi pandangan mata. Hanya cahaya obor yang ditancapkan berjajar pada batang-batang pohon sebagai penerangan, tetapi cukup untuk menerangi lingkaran pertempuran.
Ki Nataprawira sudah mengurai bandilnya, siap menyambut 5 orang Manggala yang bersenjatakan sama. Bandil Ki Nataprawira bukan bandil seperti kebanyakan, meskipun berbandul gerigi kecil, tetapi rantainya berukuran 3 langkah orang dewasa.
Sementara itu Kiai Jambe Abang langsung mengajak Wurpasa bertempur berpasangan, menghadapi 2 orang lagi yang bersenjatakan pedang. Sedangkan Linggar sendiri sudah berdiri bebas, siap membangkitkan tenaga dalamnya untuk melontarkan Ajian Rog-rog Asem.
5 orang Manggala yang bersenjatakan bandil langsung memutar bandilnya bersamaan, seketika itu juga terdengar desiran angin dari bandil itu. Suaranya sungguh mendebarkan jantung. Ki Nataprawira dengan tersenyum tipis berkata. “Ayo maju kisanak sekalian! Benda ini sudah tidak asing lagi bagiku, Bandil sudah seperti mainanku sehari-hari!” katanya.
Belum sempat salah seorang dari mereka menyerang, bandil Ki Nataprawira diputar diatas kepala, suara desir anginnya pun tak kalah membuat bulu kuduk meremang. Kemudian dengan cepat Ki Nataprawira membenturkan bandilnya ke salah seorang dari mereka, sontak bandil lawannya terbidik dengan tepat dan jatuh ke tanah, meskipun ujung rantainya tidak sampai terlepas dari genggaman. Kejadian itu cukup mengejutkan para Manggala yang lain. Tetapi mereka tidak terpaku disitu, 2 orang Manggala lagi merangsek bersamaan dengan bandil yang di ayun menyilang. Ki Nataprawira cukup tanggap, ia kembali memutar bandilnya kali ini rantainya tidak di urai terlalu panjang, tujuannya untuk pertempuran jarak dekat. Kemudian ketika sebuah bandil mencoba menghantam kepalanya, dengan cepat ia kembali membenturkan bandilnya ke salah satu dari mereka. Sungguh diluar dugaan, hanya dengan sekali tepuk dua lalat mati. Walaupun hanya dengan sekali hantam, dua bandil lawan saling membentur dan kemudian jatuh ke tanah. Saat kedua lawannya terpaku dengan bandil yang lengser di tanah, Ki Nataprawira kembali menyarangkan tendangannya pada dada salah satu dari mereka, orang itu pun terdorong mundur ke belakang kemudian jatuh terduduk di tanah. Sementara manggala yang satu lagi mencoba mengayunkan bandilnya, tetapi terlambat, Ki Nataprawira sudah berguling ke arahnya dan menggunting dua kakinya. Membuat orang itu pun nasibnya serupa dengan orang sebelumnya, jatuh terduduk di tanah. Kini tinggal dua orang Manggala lagi, yang masih terkesima dengan kemampuan tak diduga Panglima Mangir itu.
Dua orang Manggala yang terkesima itu tidak berlama-lamat larut dalam keadaan, mereka kemudian mencoba menyerang Ki Nataparawira. Bandil mereka saling diputar menyilang dimuka, kemudian ditumbukkan kearah lawannya, begitu terus secara bergantian. Ki Nataprawira yang mendapat serangan yang bertubi-tubi itu pun terpaksa sesekali melompat kekanan dan kiri untuk menghindar.
Sementara itu Linggar yang telah mempunyai kesempatan untuk membangkitkan Ajian Rog-rog Asemnya, tidak menyia-nyiakan waktu. Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskan secara berulang-ulang. Kedua telapak tangannya terus bergerak di depan dada, kadang keatas dan kadang kebawah, kemudian kadang menyilang. Bersamaan itu semilir angin menerpanya secara perlahan, tangannya seperti mengolah angin yang berpusat itu didepan dadanya itu. Kedua belah tangannya bergerak semakin cepat membentuk bulatan angin, seiring dengan itu bulatan angin didepan dadanya pun seperti berputar kencang. Lama-kelamaan bulatannya sebesar sepelukan tangan orang dewasa. Begitulah ajian Rog-rog Asem pun siap dilontarkan.
Sementara itu lingkaran pertarungan sudah makin ramai dikerumuni orang. Beberapa prajurit Pajang dan laskar Mangir telah mulai masuk lebih dalam ke padepokan untuk melihat sejauh mana perkembangan terakhir.
Kiai Jambe Abang yang berpasangan dengan Wurpasa, masih menghadapi dua Manggala lainnya. Kiai Jambe Abang terpaksa beberapa kali dibuat kalang-kabut, karena harus menutupi kelemahan Wurpasa dalam bertempur. Di sisi lain Ki Nataprawira yang masih berkutat dengan lawannya, dan tampak masih mencari celah untuk dapat melumpuhkan dua lawannya itu.
Ki Nataprawira tatapannya sempat menyambar kearah Linggar, yang terlihat sudah siap dengan ajiannya. Walaupun tidak tahu rencananya dengan Kiai Jambe Abang, tetapi ia paham bahwa Linggar diberi keleluasaan untuk membangkitkan ilmunya. Oleh karena itu ia langsung tanggap, ia ingin segera menyelesaikan kedua orang itu, atau paling tidak mendesaknya. Kemudian mengatur jarak agar tidak terkena dampak dari ajian Rog-rog Asemnya Linggar.
Ki Nataprawira kemudian mencoba waspada, ketika kedua bandil lawan makin cepat menari-nari di depan wajahnya. Bandil-bandil itu terus saja berputar menyilang mencoba melukainya. Hingga disuatu saat, ia mencoba mengatur jarak, dengan sedikit mundur beberapa langkah. Kemudian ia mengurai rantai bandilnya, setelah itu dia melontarkannya mendatar di atas kepala lawannya. Luar biasa, ternyata jangkauan bandilnya mampu melingkari dua bandil lawannya. Akibatnya, kedual bandil lawannya terjerat bandil milik Ki Nataprawira. Terjadi adu tarik satu melawan dua orang.
Terjadi ketegangan diantara mereka kemudian, masing-masing mencoba menarik rantai bandil mereka dengan kekuatan penuh. 2 Manggala itu memang berperawakan tinggi dan tegap, sedangkan Ki Nataprawira berperawakan biasa saja. Tetapi bukan berarti mudah untuk menyeret Panglima Mangir itu. Karena meskipun sempat terseret dua langkah, tetapi terjadi perubahan pada diri Ki Nataprawira, yaitu tubuhnya kemudian nampak bergetar hebat, seraya tangannya mencengkeram kuat rantai bandilnya. Seketika itu juga rantai bandilnya berubah panas dan mengepulkan asap, kemudian membara sampai pada bagian ujung gerigi bandil. Kemudian panasnya merambat ke rantai bandil dua lawannya. Sontak saja membuat mereka terkejut dan kepanasan, kemudian tanpa bersepakat melepaskan bandil mereka masing-masing, sambil memegangi tangannya yang melepuh mereka mengumpat sejadi-jadinya.
Kini dua Manggala sudah undur dari lagi pula, tinggal Kiai Jambe Abang dan Wurpasa yang masih berusaha mendesak dua lawannya yang berpedang pula. Meskipun beberapa tusukan pedang dijulurkan tetapi satu pun dari mereka belum ada yang terluka. Hingga akhirnyta Kiai Jambe Abang sudah hilang kesabarannya, ia pun bergerak trengginas dan membiarkan Wurpasa berdiri bebas sambil terkesima melihat gerakannya yang seperti membabi buta, meskipun parutan luka dipunggungnya masih merembes darah. Ia mengadu pedangnya pada salah seorang dari Manggala itu, terdengar dentang yang keras disertai percikan bunga api di udara. Setelah itu Kiai Jambe Abang memukul rahang lawannya dengan tangan kirinya. Sedangkan lawan yang satu berusaha menebas punggungnya, tetapi lelaki tua yang telah makan asam garam itu pun tanggap. Ia langsung menjejakkan kaki ke belakang menendang perut Manggala yang membokong tadi, Manggala itu pun terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya.
Kiai Jambe Abang tidak menunggu lama, ia langsung menarik lengan Wurpasa untuk segera menggabungkan diri dengan Ki Nataprawira dan Linggar yang telah siap melontarkan ajiannya.
Para Manggala itu kini telah menyatukan diri pula, meskipun masih ada yang terluka diantara mereka memaksa untuk kembali menggempur secara bersama, kecuali seorang yang sedang menjaga Pangeran Pujapati masih menepi.
Tetapi mereka terlambat, karena kemudian Ajian Rog-rog Asem telah dilontarkan Linggar ke arah mereka. Meskipun belum pada tahapan sempurna, Ajian Rog-rog Asem itu mampu meluncur deras dengan bulatan membumbung tinggi ke atas setinggi dua kali orang dewasa. Anginnya menderu, menyapu daun-daun kering yang berserakan disekitarnya. Mirip angin puting beliung, angin itu berputar menggapai apapun yang dilaluinya, tak terkecuali para Manggala tadi. Mereka terseret dalam bulatan angin yang kemudian pecah ketika bulatan angin itu menerpa pohon-pohon yang berdiri beberapa tombak dari tempat Linggar berdiri. Maka kemudian terdengar beberapa ranting pohon patah berderak, masing-masing Manggala itu pun terpental dan merasakan sakit disekujur tubuhnya. Mereka menggeliat-geliat menahan sakit ditubuhnya.
Linggar berdiri dengan napas terengah-engah, sambil menatap mereka yang masih tersebar tergeletak di tanah. “Masih mau melanjutkan pertempuran ini?” katanya dengan nada tinggi. “Sudah banyak laskar Mangir dan prajurit Pajang yang akan mencincang kalian!”
Para Manggala yang sudah berangsur dapat berdiri tegak itu menatap satu sama lain. Kemudian yang tertua dari mereka sempat saling berbisik. “Tidak ada gunanya lagi kita meneruskannya. Sampai ayam berkokok pun kita hanya buang-buang waktu.”
“Benar. Lebih baik kita enyah dari tempat ini. Walaupun tidak bisa menghabisi Jambe Abang. Tetapi Pujapati sudah ditangan kita,” kata seorang yang lain. “Janji kita pada Raden Ayu Dyah Duhita hanya membawa Pujapati, biarlah Jambe Abang jadi tawanan mereka.
Kemudian tanpa aba-aba lagi para Manggala itu telah bergegas menghampiri kuda-kudanya. Lalu bersiap bertolak meninggalkan tempat itu, seorang dari mereka sempat memandang sekeliling kemudian berkata. “Untuk sementara kami akan menarik diri, tetapi ingatlah bukan berarti kami kalah! Kami sudah membuang waktu terlalu banyak disini, terserah Jambe Abang mau kalian apakan? Tetapi Pujapati tetap akan kami bawa!”
Menanggapi hal itu, Ki Nataprawira sempat memandang Kiai Jambe Abang seolah meminta pendapatnya.
“Biarlah anak itu aman pada mereka. Ia akan dikembalikan pada ibundanya. Memang tempatnya bukan di hutan-hutan seperti ini, dialah putera Adipati Purbaya dari Bang Wetan,” kata Kiai Jambe Abang pasrah.
Maka kemudian 10 orang berkuda itu meninggalkan bukit Sambung, tak kala hari hampir fajar. Dinginnya kabut pagi masih menusuk tulang, suasana masih tampak hening sepeninggal para Manggala itu. Kerumunan para laskar tampak membubarkan diri menuju muka padepokan. Sementara itu keadaan Raden Jaka sudah mulai membaik, ia sudah dapat berdiri tegak. Walau begitu dia harus mendapat perawatan dan istirahat yang cukup, untuk dapat pulih seperti sedia kala. Ki Nataprawira langsung mendukungnya ke punggung kuda dan memberi pesan pada seorang laskar Mangir.
“Antar Raden Jaka terlebih dahulu, bawa dua puluh orang bersama kalian. Sampaikan kepada Ki Ageng, Raden Jaka perlu perawatan khusus, karena terluka dalam. Aku akan menyusul setelah ini. Pelan-pelan saja jalan agak menurun meskipun tidak terlalu tajam!”
“Raden.., bertolaklah lebih dahulu. Tombak Kiai Baru Klinthing ini, bawalah oleh Raden,” katanya seraya menyelipkan tombak itu pada sisi pelana kuda. “Aku akan membereskan beberapa hal disini, setelah itu aku akan menyusul. Ada beberapa tawanan yang harus segera ditangani disamping beberapa yang terluka dan yang meninggal.”
“Terimakasih Ki Nataprawira,” jawab Raden Jaka, sambil memegangi dadanya yang masih agak sesak.
Linggar sempat menghampiri dan mengucapkan selamat tinggal pada pewaris Mangir itu. “Selamat jalan Raden, semoga aku dapat berkunjung lagi ke Mangir kapan-kapan,” katanya sambil tersenyum.
Raden Jaka sempat memandangi Linggar yang nampak segar-bugar dan penuh semangat itu. “Anak ini ternyata luar biasa! Walaupun habis mengeluarkan ajian pamungkasnya, tetapi tetap saja mampu berdiri kokoh,” katanya membathin. “Ah tapi tetapi tentu saja, ia dibantu Ki Nataprawira dan 2 orang lain.
Raden Jaka hanya mengangguk, kemudian meninggalkan sisi dalam padepokan diiringi beberapa laskar Mangir. Sementara Ki Nataprawira perlu bermusyawarah kepada beberapa orang yang masih tinggal.
“Bagaimana Linggar? Apa sebaiknya yang kita lakukan sekarang?”
Linggar sempat memandang Kiai Jambe Abang yang berada disebelahnya itu. Sesungguhnya masih ada dalam hatinya yang telah lama terpendam. Tetapi ia mulai menyadari bahwa kejadian itu adalah musibah banjir bandang, bukan karena benturan ilmu antara Kiai Jambe Abang dan Ayahnya Ki Wulungan. Maka ia pun mencoba melepaskan dendam yang tak beralasan itu.
“Kiai!” katanya sambil menarik napas dalam-dalam. “Bagaimana pun juga, kehadiranku di Bukit Sambung ini karena tugas. Oleh karena itu Kiai Jambe Abang sekarang adalah tawanan Pajang. Aku terpaksa membawa Kiai ke Kadipaten Pajang, terserah nanti Kanjeng Adipati yang memutuskan perkara ini.”
Kiai Jambe Abang yang mendengarka sungguh-sungguh menimpali. “Kenapa harus terpaksa ngger? Aku adalah tawanan, terserah aku mau diadili di Pajang atau pun Mangir. Aku menyadari diusiaku yang tua ini sudah terlalu banyak berdosa, aku akan mempertanggungjawabkannya.”
Jawaban Kiai Jambe Abang itu membuat tercengang yang mendengarnya, keheningan sesaat menyelimuti pembicaraan mereka. Kepasrahan Kiai Jambe Abang yang tak diduga-duga itu menyentuh hati mereka. Bagaimanapun juga dia adalah buron dan bisa saja ia mencoba melarikan diri, tetapi jawabannya ternyata lain.
“Oh ya ngger!” kata Kiai Jambe Abang. “Apakah kau sudah memaafkanku dengan ikhlas, atas kehilangan ayahmu waktu itu?”
“Ya Kiai. Maafkan aku karena kemudaankulah yang telah membuatku berpikir cetek dan menumpahkan dendam itu padamu Kiai. Aku sadar itu adalah perang tanding yang sesuai paugeran, dan banjir bandang itu adalah sebuah musibah alam. Aku tak menyalahkanmu. Mungkin sudah takdir, tapi aku selalu berdoa agar aku masih dapat dipertemukan dengan ayahku.”
Kiai Jambe Abang berdesir hatinya mendengar itu. “Terimakasih ngger. Sekarang aku merasa lega. Sesungguhnya kehilangan Wulungan juga selalu menjadi ganjalan dalam hatiku. Dia adalah sahabatku selama mengabdi di Demak, aku pun sangat menyesal telah berbenturan dengannya. Ya tetapi mungkin mungkin sudah menjadi takdirku. Untuk menyadarkan aku dari kekeliruanku.”
“Sekarang aku sudah siap kalau mau dibawa ke Pajang. Terserah mau dihukum pancung pun aku sudah siap. Mungkin ini bisa menebus dosa-dosaku selama ini.”
Linggar dan Ki Nataprawira mengangguk-angguk.
“Bagaimana menurut Ki Nataprawira, sebagai orang yang diberi kepercayaan Ki Ageng Wanabaya?” tanya Linggar.
“Baiklah ngger. Mangir tidak mungkin menampung tawanan apalagi dalam jumlah banyak. Semua aku serahkan ke Pajang,” sahut Ki Nataprawira.
“Tetapi kalau boleh aku ada permintaan,” potong Kiai Jambe Abang. “Tangkaplah aku saja! Biarlah para pengikutku itu kembali ke rumahnya masing-masing, mereka tidak tahu apa-apa. Hanya terhasut oleh iming-iming imbalan berupa harta.”
Akhirnya setelah sepakat. Mereka semua meninggalkan bukit Sambung. Ki Nataprawira dengan seluruh laskar Mangir, kembali ke Perdikan Mangir. Sementara Linggar dan Kiai Jambe Abang dengan 9 prajurit lainnya menuju Pajang. Sementara itu para pengikut Kiai Jambe Abang dibebaskan.

<<<PREV NEXT

13 komentar:

  1. Alhamdulillah...yang ditunggu tunggu selama beberapa bulan akhirnya muncul juga. Jangan lama lama donk mas update nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih.., he..he..
      Harap maklum publishnya agak lama, karena project beberapa buku teknik

      Hapus
  2. baru baca bab 1 sepertinya menarik... lanjutkan perjuangan..

    BalasHapus
  3. semakin menarik, semoga berlanjut sampai tamat... buat pengarang semaoga semakin sukses... amin.

    BalasHapus
  4. Sukses boss...penulisannya semakin baik...jalan ceritanya bagus. D tunggu kelanjutannya

    BalasHapus
  5. Ditunggu kelanjutannya kisanak.. mantappppl

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah ..... ceritanya menarik, penasaran ditunggu lanjutannya bang.
    sukses selalu

    BalasHapus
  7. Ditunggu selanjutnya nihh... Seruu... Sukses selalu bos...

    BalasHapus
  8. LANJUT JURAGAN..... PENGGEMAR LINGGAR SETIA MENANTI

    BalasHapus
  9. Terkejut..karena tiba tiba habis, ditunggu kelanjutannya boskuh..
    Barrokallohufiik

    BalasHapus

Pengikut