Novel Cerita Silat Jawa

TDM 27

Dua Tumenggung yang turut menyaksikan dari belakang barisan itu pun menegang dibuatnya. Mereka berdua mau tidak mau harus berpikir kembali menilai keadaan dan membuat perhitungan-perhitungan atas perkembangan yang terjadi.
“Tidak ada pilihan lain Purbasana, kita harus menyingkir!”
“Ki Mursa, Lurah Prajurit kita! ternyata telah gagal membendung kekuatan di sayap kanan itu,” ujar Derpayuda.
“Pemuda dari Matesih itu memang berbahaya, Derpayuda. Tetapi dimana Pangeran Pujapati dan gurunya itu? Dalam keadaan yang genting seperti ini, kenapa dua orang petinggi padepokan ini tidak muncul juga?" Purbasana bertanya-tanya.
"Mustahil rasanya hanya mengandalkan kepala cantrik seperti Bajul Wedi untuk mengatasi keadaan yang sudah menjadi kacau seperti ini!” kata Purbasana lagi, sambil tatapan matanya memandang sekeliling medan perang.
Belum sempat kedua tumenggung itu mengambil langkah selanjutnya, terdengar suara menggema yang membuat telinga sakit dan menggetarkan jantung orang yang mendengarnya.
Para prajurit dan cantrik padepokan yang sedang berperang pun menutup telinga mereka, karena suara itu telah membuat telinga mereka menjadi sakit. Suara seruling yang ditiup melengking dengan nada putus-putus itu membuyarkan peperangan kemudian.
Para pasukan Pajang diseluruh gelar perang pun merasa terganggu. Hanya mereka yang mempunyai ketahanan tubuh yang kuat yang mampu berdiri tegak tanpa terpengaruh suara melengking itu. Ki Lurah Rangga Jati yang ada di paruh gelar, segera menguasai dirinya menghadapi suara yang merusak tatanan gelar itu. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali, barulah kemudian ia dapat menilai keadaaan disekelilingnya.
Pun demikian dengan Linggar, karena ia telah memiliki bekal tenaga dalam. Maka suara itu hanya sesekali berdenyut di telinganya tanpa membuat telinganya menjadi sakit.
Linggar lalu memandang ke seluruh medan perang untuk mencari sumber suara itu berasal. Ketika ia telah mengetahui dengan pasti bahwa suara itu berasal dari Paruh Gelar, ia pun segera akan beranjak. Tetapi ia mengurungkan niatnya itu, ketika ia melihat luka di dadanya yang masih merembes darah. Ia pun segera membuka bajunya, kemudian menaburkan bubuk obat pada lukanya itu. Setelah itu, ia membalutnya dengan ikat kepalanya. Beruntung Linggar karena kemampuannya dalam hal meracik obat, telah membuatnya selalu membawa bumbung obat pada ikat pinggangnya. Dan bumbung itu selalu ia bawa kemana pun ia pergi.
“Tidak terlalu dalam,” desahnya. “Luka ini sebentar lagi akan pampat.”
Dalam pada itu di ekor gelar Raden Pamekas yang juga mendengar suara seruling yang melengking itu hanya memejamkan mata sekejap, kemudian kembali menatap seluruh medan perang. Bagi orang seperti Raden Pamekas yang memiliki ilmu kanuragan yang linuwih, suara itu mampu ia taklukkan hanya dengan sekejap memejamkan mata saja.
Maka suara itu kini berangsur-angsur merendah, kemudian berhenti perlahan. Suara itu berasal dari lapis dua pasukan padepokan Watu Belah. Dimana terlihat dua orang yang berdiri disebuah bongkah batu besar, seorang memegang seruling dan yang seorang lagi tampak menyilangkan tangan didada, bersedekap.
“Rapatkan barisan kembali! Biar aku yang menghadapi prajurit- prajurit kiriman Karebet itu!” kata seorang tua yang menggenggam seruling.
Dengan serta-merta perintah itu dilaksanakan para cantrik padepokan. Mereka pun segera menarik mundur dan berdiri dibelakang dua orang tadi. Sementara yang terluka atau tergeletak, mereka tepikan pula.
Raden Pamekas yang sadar akan pengaruh besar suara seruling itu, kemudian melompat diantara kepala para prajurit Pajang, yang Gelar Perangnya sudah mulai kacau-balau. Jaraknya sepuluh tombak untuk mencapai Paruh gelar, dimana Ki Lurah Rangga Jati berada. Tubuhnya ringan seperti kapas menjejak kepala para prajurit sebagai tumpuan. Beberapa saat kemudian sampailah Raden Pamekas di Paruh Gelar, ia berdiri disamping Ki Lurah Rangga Jati yang berdiri menghadap dua orang yang baru datang itu.
Raden Pamekas sempat mengingat-ingat wajah dari orang yang menggenggam seruling dihadapannya itu. Ia seperti telah mengenal sebelumnya. Tetapi sebelum Raden Pamekas menemukan jawabannya, orang itu terlebih dahulu menyapanya.
“Selamat datang di padepokanku, Raden. Tentu wajahku tidak asing lagi bagimu, bukan?” kata orang itu.
“Kiai Jambe Abang?” sahut Raden Pamekas.
“Ya benar. Di Padepokan ini aku biasa dipanggil kakek guru!”
“Bukankah kau terseret arus banjir bandang bersama Ki Wulungan kala itu?” kata Raden Pamekas memastikan.
“Aku masih beruntung dapat selamat dari banjir bandang itu, Raden. Sedangkan Wulungan yang menjadi lawanku, entah aku tak tahu nasibnya. Wulungan juga sahabatku, Raden.”
Kiai Jambe Abang sesaat tertunduk, karena Ki Wulungan adalah sahabatnya, yang di saat terakhir harus beradu dada dengannya.
Linggar yang juga sudah berada di Paruh Gelar juga, sempat mendengar perkataan orang yang disebut Kiai Jambe Abang itu. Ia tertarik dengan percakapan itu, karena lawan Kiai Jambe Abang kala itu adalah ayahnya sendiri, Ki Wulungan.
“Apakah ayahku masih hidup?” Linggar memotong pembicaraan.
Kiai Jambe Abang sempat memandang Linggar sesaat. Barulah dia mengenali bahwa Linggar adalah anak dari Ki Wulungan.
“Sayang sekali anak muda.., aku tidak tahu nasibnya. Kau tentulah anak dari Wulungan, bukan?”
Linggar hanya mengangguk tak menjawab. Tetapi kemudian gemuruh di dalam dadanya seolah tak terbendung lagi. Seolah karena Kiai Jambe Abanglah yang membuatnya terpisah dari ayahnya. Walaupun dalam perang tanding kala itu tidak sampai merenggut nyawa Ki Wulungan, tetapi Linggar seolah mencari pembenaran dalam dirinya. Bahwa kesengsaraan hidup yang dialaminya selama ini, salah satunya adalah andil dari Kiai Jambe Abang.
Tiba-tiba Linggar maju beberapa langkah membelakangi Raden Pamekas dan Ki Lurah Rangga Jati.
“Aku sekarang lawanmu Kiai! Aku mewakili ayahku meneruskan perang tanding yang belum tuntas di Kali Praga waktu itu.”
Kiai Jambe Abang dan Pangeran Pujapati dibuat terkejut, begitu pun Raden Pamekas dan Ki Lurah Rangga Jati. Tetapi baik Raden Pamekas maupun Ki Lurah paham, bahwa sikap Linggar yang terburu-buru itu, dipengaruhi oleh persoalan pribadinya yang masih mengambang.
Tetapi kemudian yang menjadi naik darah adalah Pangeran muda yang bersama Kiai Jambe Abang, yaitu Pangeran Pujapati. Ia seolah merasa terhinakan oleh tantangan Linggar.
“He siapa kau? Beraninya kau menantang Kakek Guru. Majulah, kalau lehermu itu ingin kupatahkan!” kata Pangeran itu dengan nada tinggi.
Kiai Jambe Abang yang melihat sikap Pangeran itu, langsung menahannya. “Tidak perlu Anak Mas Pangeran. Kalau kau melukai anak dari sahabatku ini, berarti kau melukai perasaanku juga.”
“Ki Wulungan adalah sahabatku. Ia seorang ksatria pinunjul, tidak ada yang menang atau kalah pada pertempuran di Kali Praga pada waktu itu. Karena banjir bandanglah yang telah menghanyutkan kami berdua,” Kiai Jambe Abang berkata sareh.
“Jadi sebaiknya anak muda,” katanya pada Linggar. “Biarlah yang menjadi lawan kami adalah Raden Pamekas dan lurah prajuritnya itu saja, bukan kau.”
Linggar tak bisa menerima perkataan Kiai Jambe Abang itu. Ia tetap ingin melampiaskan dendamnya pada orang yang telah merusak jalur hidupnya.
“Tidak perlu Kiai! Aku juga seorang prajurit Pajang sekarang. Jadi silahkan kalau Kiai ingin mewakilkan pertarungan ini kepada Pangeran yang kabur kanginan itu,” ucap Linggar dengan sorot mata tajam.
Pangeran Pujapati makin tak bisa menahan diri mendengar hinaan Linggar. Ia langsung maju ke depan dan langsung menyerang Linggar. Linggar pun telah bersiap menghadapi orang yang disebut Pangeran Pujapati itu.
Raden Pamekas dan Ki Lurah Rangga Jati pun tak mampu lagi mencegah pertarungan itu. Begitu juga dengan Kiai Jambe Abang atau yang yang biasa disebut Kakek Guru oleh orang Padepokan Watu Belah itu, ia hanya menarik napas dalam-dalam melihat keduanya sudah terpancing amarah.
Maka, kini keduanya menjadi tontonan, sekaligus pusat perhatian pada peperangan yang seketika itu juga terhenti. Mereka yang terluka sempat mendapat pertolongan dari tabib mereka masing-masing. Sedangkan mereka yang keletihan hanya tampak duduk-duduk menyaksikan perkelahian Linggar dan Pangeran Pujapati.
“Ki Lurah.., aku sebenarnya tidak menghendaki Linggar bertarung dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Pujapati itu. Dengan pertimbangan, kita belum tahu tingkatan ilmu dari lawannya itu. Meskipun Linggar sendiri juga bukan tanpa bekal, akan tetapi kematangan ilmunya aku rasa belum cukup mapan.”
“Apa boleh buat, Raden. Linggar terlanjur memancing amarah orang itu. Mudah-mudahan Linggar mampu bertahan, atau paling tidak, tidak sampai membahayakan jiwanya,” kata Ki Lurah.
“Kalau keadaan mendesak, hamba akan turun tangan,” kata Ki Lurah lagi.
Begitulah kedua pemuda yang bertarung itu, bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Keduanya saling menyerang satu sama lain. Kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya keduanya seumuran. Atau bila dibandingkan dengan Raden Pamekas, terpaut hampir lima tahun dibawahnya.
Peluh bercucuran di sekujur tubuh Linggar dan Pangeran Pujapati. Kalau dari segi tenaga tentu Pangeran itulah yang lebih segar, karena Linggar sebelumnya telah bertempur melawan Ki Mursa. Belum lagi ditambah luka di dada Linggar yang kadang masih menitikkan darah, walaupun sebelumnya telah berhasil iapampatkan. Hal itu juga yang membuat khawatir Raden Pamekas.
Kiai Jambe Abang sendiri, seperti mantap melepas Pangeran Pujapati. Mungkin karena ia paham tingkatan kemampuannya. Sesekali ia mengangguk-angguk melihat gerakan-gerakan Pangeran itu menyulitkan Linggar.
Beberapa kali pukulan Linggar sempat membentur sisi tangan Pujapati, ia pun merasakan seperti membentur dinding yang kokoh. Pangeran Pujapati pun merasakan hal yang sama, bahwa pukulan Linggar juga mampu menggetarkan pertahanannya, meskipun tidak sampai membuatnya terdorong surut.
Disini jelas bahwa pangeran itu selapis tipis tingkatannya dibandingkan dengan Linggar. Akan tetapi gerakan-gerakan Linggar juga kadang mampu membuat Pangeran itu terkejut. Gerakan dasar yang diturunkan Ki Wulungan ayahnya, sungguh tak biasa. Gerakan itu seperti meliuk-liuk kekanan dan kekiri, bahkan kadang terlihat mematuk dengan jemari yang ditekuk. Belum lagi jemari yang mematuk itu kadang berubah seperti mencabik lawan.
“Hmm.., jurus perguruan Bukit Tidar,” desis Kiai Jambe Abang. “Dia mirip sekali dengan Wulungan, ayahnya.”
Sebuah pukulan kemudian diarahkan Pangeran Pujapati ke wajah Linggar. Linggar terlambat mengelak karena Pangeran Pujapati mendesaknya dengan pukulan yang susul-menyusul. Tetapi masih ada waktu sekejap baginya untuk mengurangi akibat dari pukulan itu, Linggar berkelit dengan cara mencodongkan kepalanya kesamping. Tetapi pukulan itu ternyata mampu mengenai pelipisnya, hingga sedikit menitikan darah.
Pangeran Pujapati tersenyum mencibir, sementara Linggar sempat menyeka luka di pelipisnya. Begitu dilihat pelipisnya berdarah, semakin memacu gelora di dalam dadanya untuk segera membalas. Maka, kini Linggar mengerahkan segenap kemampuannya. Jemarinya kembali mematuk-matuk lawan, kadang ke arah wajah, pundak, bahkan kepala. Pangeran Pujapati terpaksa berusaha keras menghindarinya dengan merendahkan tubuhnya, juga sesekali memutar kepalanya.
Hingga di suatu saat, jemari Linggar diarahkan mematuk wajah Pangeran itu. Akan tetapi Pangeran Pujapati pun mampu menangkisnya dengan sisi lengannya menyilang di depan wajah.
Tetapi sungguh tak diduga-duga, saat jemari Linggar tertahan lengan Pangeran itu, jemari Linggar direntangkan. Lalu dengan kuku-kuku tangannya yang walaupun tidak terlalu panjang, Linggar mencakarnya dengan kuat. Akibat dari cakarannya itu, meninggalkan bekas luka pada wajah Pangeran itu, berupa luka gores lima jari yang melintang.
Pangeran Pujapati pun mengumpat tiada habisnya. Sorot matanya merah mambara karena terbakar amarah. Dia terkejut dengan gerakan Linggar yang mulanya mampu terpatahkan, tetapi ternyata jemarinya mampu mencakar wajahnya dengan sisa geraknya.
Kakek Gurunya yang menyaksikan pun agak terkejut melihat anak didiknya dapat dilukai. Ia segera memberi isyarat pada Pangeran itu agar mengendalikan diri dengan amarahnya itu. Telapak tangan Kiai Jambe Abang tampak digerakkan naik-turun sebagai tanda agar Pangeran itu meredam amarahnya.
Karena dalam sebuah pertarungan, amarah dapat membuat suatu perhitungan tidak menjadi matang, atau terkesan tergesa-gesa dalam bertindak.
“Bocah kampung! Ternyata kau bertarung seperti ayam yang sedang mencakar mengais makanan rupanya!” teriak Pangeran Pujapati. “Jangan berbangga dulu, aku belum sampai pada puncak ilmuku! Sebentar lagi kau akan menyesal karena telah berani menantangku!”
“Hentikan celotehmu, Pangeran Kabur Kanginan! Tunjukkan kalau kau memang pantas disebut Pangeran!” kata Linggar dengan nada dalam.
Pangeran Pujapati menggeram, kemudian kembali menyerang Linggar dengan napas yang memburu. Ternyata kata-kata Linggar kembali memancing amarahnya, seolah-olah harga dirinya telah sangat dipermalukan dengan luka cakar dibagian wajahnya itu.
Pangeran Pujapati melancarkan serangan berupa pukulan-pukulan yang mantap, diselingi dengan tendangan kaki yang diarahkan ke lambung. Sebuah pukulan yang mengarah ke dada Linggar, sempat ditahan Linggar dengan telapak tangannya. Tetapi karena pukulan itu begitu bertenaga, Linggar tak mampu membendungnya. Walaupun tertahan, tetapi Linggar surut selangkah.
Pangeran Pujapati tak menyia-nyiakan kesempatan. Saat Linggar surut selangkah, tangan kirinya mengepal menghantam rahang Linggar. Wajah Linggar pun sempat berpaling dibuatnya, imbas dari pukulan tersebut.
Linggar surut kebelakang beberapa langkah. Matanya seperti berkunang-kunang, akibat dari pukulan itu. Pangeran Pujapati sendiri tidak ingin mendesaknya lagi, melainkan tersenyum mencibir dan menatap orang-orang yang berada disekitarnya. Seolah berbangga atas apa yang baru saja ia lakukan. Sekaligus mempertegas bahwa memang Linggar tidak berarti apa-apa baginya.
“He! Kau yang disebut Raden Pamekas!” katanya dengan nada sombong, sambil menunjuk wajah Raden Pamekas. “Lihatlah, prajuritmu itu! Ia bukan apa-apa bagiku! Kalau kau ingin menggantikannya, majulah!”
Perkataan itu bukan saja mengejutkan Raden Pamekas, akan tetapi semua pimpinan Pajang, tidak terkecuali orang yang dipanggil Kakek Guru itu.
Kiai Jambe Abang yang melihat perilaku anak didiknya itu menjadi was-was. Apalagi perkataan sombong yang baru saja diucapkan tadi, merendahkan adab dan harga diri seorang ksatria.
Raden Pamekas menatap tajam Pangeran Pujapati. Walaupun ia tersinggung, tetapi tidak membuat nalarnya menjadi pendek.
“Pemuda itu tidak perlu kugantikan, Pangeran. Ia mampu mengatasi dirinya sendiri. Ia lebih bermental baja ketimbang kau,” kata Raden Pamekas dengan nada dalam. “Dan aku yakin kecongkakanmu itu, akan segera membungkam mulutmu sendiri!”
“Aku yakin Kakek Gurumu itu bisa memberi penilaian atas dirimu. Hatimu seperti minyak jarak yang mudah tersulut api, rentan dan mudah sekali terbakar,” sambung Raden Pamekas.
Pangeran Pujapati tangannya gemetar, seolah ingin menampar wajah Raden Pamekas. Kata-katanya begitu menusuk sampai ke dasar hatinya. Sesaat iamemandang Kakek Gurunya yang juga terlihat kurang mapan.
Kiai Jambe Abang sendiri seperti sebelumnya, hanya memberi isyarat agar Sang Pangeran menjaga sikapnya. Sebenarnya dalam hatinya membenarkan pendapat Raden Pamekas, bahwa kemudaan Sang Pangeran telah membuatnya mudah tersulut amarah. Berbeda sekali dengan sikap Linggar yang sejak awal bertempur begitu bersungguh-sungguh tanpa meremehkan lawan. Meskipun pada awalnya gesekan itu dipicu oleh Linggar sendiri, yang merasa bahwa Kiai Jambe Abanglah yang harus bertanggungjawab atas keselamatan ayahnya. Akan tetapi dalam pertarungan ia tidak menganggap dirinya lebih tangguh dari lawan.
“Omong kosong, kau Pamekas! Setelah ini, kau yang akan menjadi lawanku selanjutnya!” kata Pangeran Pujapati dengan suara tinggi.
Pangeran Pujapati melompat dengan garangnya, sambil mengangkat kaki kanannya. Ia menendang Linggar yang telah mulai sadar dan menguasai dirinya kembali, setelah sebelumnya kepalanya menjadi pening dan pandangannya pun buram.
Linggar berusaha mengelak, ketika terjangan kaki kanan Pangeran Pujapati hendak menggapai dadanya. Tetapi terjangan itu begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga ia pun terlambat menghindar. Akibatnya, ia terdorong mundur kebelakang sampai lima langkah, dengan menahan sesak di dada.
Pangeran Pujapati seperti tidak memberi kesempatan kepada Linggar. Dengan setengah berlari, ia kembali melompat dengan lututnya yang ditekuk. Sambil melayang di udara lututnya menanduk dada Linggar.
Akibatnya Linggar jatuh terbanting ditanah, dengan dada yang semakin sesak mendapat serangan yang bertubi-tubi. Luka di dadanya pun kembali merembes darah, karena sebenarnya lukanya belum kering benar setelah dilukai Ki Mursa beberapa waktu sebelumnya.
Baik Ki Lurah Rangga Jati maupun Raden Pamekas menjadi cemas melihat keadaan Linggar. Pangeran itu sepertinya sengaja mengarahkan serangannya pada dada Linggar yang telah terluka sebelumnya. Ia melihat balutan kain yang tersembul dari kancing baju Linggar yang terbuka. Ia memanfaatkannya untuk membuat Luka itu berdarah lagi dan mempengaruhi pertarungan.
Linggar menggeliat mencoba mengatur napasnya yang sesak, sementara Pangeran Pujapati memandangnya sambil mencibir.
“Ayo, bangkit!” Pangeran itu membentak. “Lawan lagi aku! Aku akan menunjukkan kepadamu, kalau aku memang pantas disebut Pangeran! Selain garis keturunan, aku juga mempunyai kanuragan yang patut diperhitungkan!”
Linggar mencoba bangkit sambil menarik napas dalam-dalam untuk mengendurkan sesak napas di dadanya.
Akhirnya Linggar pun kini kembali menyerang Pangeran Pujapati. Ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk menandingi gerakan-gerakan cepat lawannya. Jurus-jurusnya kembali ia peragakan, jurus yang pernah diajarkan dari ayahnya. Jemarinya kembali mematuk-matuk tubuh lawan, diselingi dengan gerakan mencabik bak cakar elang.
Pangeran Pujapati pun menyesuaikan diri dengan gempuran lawan. Kadang ia menyilangkan tangan di muka dengan jari yang merapat, membendung cakaran jemari Linggar. Ia pun melakukan tebasan kesamping untuk membendung patukan jemari Linggar yang seperti ular berbisa.
Pertarungan itu pun berlangsung lebih sengit dari sebelumnya. Saling susul-menyusul serangan mereka mengarah jantung pertahanan lawan. Sambung-menyambung serangan itu, kadang meloncat, menendang dan memukul. Tetapi terlihat pertarungan itu seperti tak berujung pangkal. Keduanya mampu mendesak lawan secara bergantian, tetapi terkadang mampu juga mengenai sasaran dengan tepat. Keduanya terlihat seperti imbang.
Hanya terlihat peluh Linggar lebih deras mengalir membasahi bajunya. Sepertinya ia harus mengerahkan kemampuannya dua kali lipat dibanding Pangeran Pujapati. Tetapi sejauh ini pertempuran itu memang begitu alot, belum ada yang mampu menjatuhkan lawan. Melainkan hanya sesekali pukulan-pukulan mereka menjangkau lawan, tanpa membuat lawan menjadi terdesak mundur.
Hingga disuatu kesempatan, karena Linggar begitu bersungguh-sungguh, ia mendapat kesempatan yang baik untuk kembali mematuk indera penglihatan lawan. Jemarinya yang melipat seperti kepala ular, mencoba mematuk mata pangeran itu. Pangeran Pujapati dibuat terkejut, akan tetapi ia mencoba menangkisnya dengan melakukan tebasan ke samping dengan sisi lengannya.
Patukan Linggar pun akhirnya urung mengenai mata lawannya. Akan tetapi dengan cepat Linggar membuka jemarinya kembali membentuk cakar elang. Akhirnya, walaupun cakarannya itu meleset, akan tetapi mendarat dipundak Pangeran itu. Dengan kuat Linggar mencengkeram dan menyeret jemarinya kebawah.
Akibatnya, baju Pangeran Pujapati koyak pada bagian pundak. Ditambah lagi luka guratan panjang dari pundak sampai siku yang menitikan darah.
Pangeran Pujapati yang melihat pundaknya terluka, menjadi naik darah, dengan kedua telapak tangan yang terbuka, didorongnya Linggar sekuat tenaga agar menjauh darinya. Dorongan itu begitu kuat sehingga Linggar surut tiga langkah ke belakang dengan sesak di dada.
Pertarungan sempat terhenti, Linggar mengendurkan napasnya sambil memegang dadanya yang sesak sekaligus merembes darah dari luka yang lama. Pangeran Pujapati sendiri, merobek sisa baju yang koyak dipundak kanannya.
Pangeran itu semakin dibuat kesal. Bahkan kini ia terlihat seperti seorang yang compang-camping. Pangeran Pujapati menatap tajam Linggar dengan amarah seolah tak tertahankan lagi.
“Baiklah..!” teriak Pangeran Pujapati. “Sudah cukup kita bermain-main. Sekarang saatnya kita akhiri pertarungan ini, untuk menentukan siapa yang layak menang!”
“Aku juga tidak sedang bermain-main Pangeran!” sahut Linggar. Kau saja mungkin kau yang sedang bermain-main dengan bajumu yang compang-camping seperti pengemis itu!” kata Linggar lagi sambil mencibir.
Hati Pangeran Pujapati menjadi semakin panas terbakar. Pangeran yang mudah tersulut amarah itu tidak lagi mampu menahan hatinya yang seperti meledak-ledak. Ia kemudian mundur beberapa langkah, seolah mengatur jarak. Kemudian ia mengatur pernapasannya seperti hendak mempersiapkan ilmu puncaknya.
Kiai Jambe Abang terkejut melihat sikap pangeran itu, ia pun segera memperingatinya.
“Sudah cukup Anak Mas Pangeran. Tidak perlu lagi kalian berdua menyelesaikan pertarungan ini sampai mati. Aku bisa mengatasinya Anak Mas,” kata Kiai Jambe Abang yang tampak menjadi cemas.
“Jangan ikut campur Kakek Guru!” katanya dengan suara keras. “Aku akan membuat pemuda ini menyesal karena telah berani berurusan denganku!”
Kiai Jambe Abang sebenarnya tahu bahwa untuk mencegah keinginan Pangeran itu sangatlah sulit, tetapi ia tetap mencobanya untuk melindungi muridnya itu.
“Anak Mas Pangeran bukanlah lawan yang pantas bagi pemuda yang bernama Linggar ini. Ingatlah! Pangeran harus segera mempersiapkan diri untuk gegayuhan yang sedang kita rintis ini. Meskipun Pangeran dapat mengalahkannya, bukan berarti tidak akan meninggalkan cidera pada tubuh Pangeran.”
“Aku tidak peduli! Biarkan aku menuntaskannya Kakek Guru,” sahut Pangeran Pujapati.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Kiai Jambe Abang selain menunggu apa yang bakal terjadi. Ia hanya menarik napas dalam-dalam melihat peristiwa itu.
“Anak itu memang sulit berdamai dengan siapapun, terlebih lagi pada dirinya sendiri,” gumam Kiai Jambe Abang.
Sementara itu, baik para cantrik padepokan maupun para prajurit Pajang menyaksikan dengan jantung berdebar-debar. Ki Lurah Jipayana dan Raden Pamekas pun tidak mungkin melerai pertarungan yang sudah mengarah pada perang tanding, yaitu pertarungan sampai mati.
“Apakah tidak bisa kita cegah Raden!” kata Ki Lurah Rangga Jati menegang.
Sesaat Raden Pamekas terdiam, seperti sedang mempertimbangkan sikap apa yang sebaiknya harus diambil. “Linggar mengambil langkah yang terlalu beresiko, Rangga Jati. Kalau pun kita cegah, harga diri kita sebagai prajurit Pajang yang dipertaruhkan!”
“Jadi! Kita biarkan saja perang tanding ini terus berlangsung?” tanya Ki Lurah menegang.
“Aku tahu dia prajurit pilihan di barakmu, Rangga Jati. Tetapi, apa boleh buat,” sahut Raden.
“Kalau dilihat dari cara Pangeran itu bertarung, aku rasanya ilmunya tidak terpaut jauh dari Linggar,” kata Raden Pamekas lagi. “Kita doakan saja Rangga Jati semoga Linggar bisa mengatasinya.”
Ki Lurah hanya mengangguk-angguk tak berani membantah, meskipun Raden Pamekas bukan seorang pimpinan di Pajang melainkan bangsawan dari Demak, tetapi Adipati Hadiwijaya telah mempercayakannya sebagai senapati pada peperangan itu.
Semua mata tertuju pada Pangeran Pujapati dan Linggar yang tengah memusatkan diri dengan tenaga dalamnya untuk mengeluarkan ilmu puncak masing-masing.
Pangeran Pujapati mengatur pernapasannya untuk membangkitkan tenaga dalamnya. Beberapa kali kedua telapak tangannya digerakkan maju-mundur dengan tarikan napas yang teratur, kemudian kadang tangannya digerakkan menyilang ke kanan dan ke kiri, juga dengan tarikan teratur. Setelah itu kedua belah telapak tangannya digesekkan satu sama lain, lama-kelamaan makin cepat dan timbulah asap pada kedua belah telapak tangannya.
Beberapa saat kemudian tubuhnya bergetar hebat dan keringat pun bermunculan di dahinya seperti bulir-bulir padi. Sorot matanya menyala-nyala, diiringi hawa panas yang menyelimuti tubuhnya.
“Raden!” kata Ki Lurah yang menjadi tampak cemas. “Aku pernah melihat ajian itu saat terjadi peperangan di pesisir lor beberapa tahun silam. “Apakah Raden yakin Linggar mampu bertahan?”
“Ya, Rangga Jati, itu adalah Ajian Lebur Geni. Kiai Jambe Abang pernah berperang tanding dengan ayah Linggar menggunakan ajian itu. Kau tidak perlu khawatir Rangga Jati. Setidaknya aku telah membekali Linggar dengan Ajian Rog-rog Asem, walaupun masih pada tingkat dasar.”
Kini giliran Linggar yang mempersiapkan diri dengan ilmu puncaknya yang didapat dari berguru pada Raden Pamekas. Linggar berdiri dengan kedua kaki renggang, kedua belah tangannya diangkat lurus diatas kepala. Lalu, ia memutar kedua belah telapak tangannya itu didepan dada. Perlahan-lahan diputar, makin lama makin bertambah cepat, seperti berubah menjadi berlipat-lipat telapak tangan itu. Dan yang nampak kini hanya bayangan tangan yang jumlahnya berpuluh-puluh kali lipat. Kemudian terasa suara desir angin yang menyelimuti kedua belah tangan Linggar, desir angin itu bahkan mampu meniup rambut Linggar pada bagian kening dan bahu, membuatnya berkibar-kibar bak tertiup hembusan angin laut.
“Rog-rog Asem!” Kiai Jambe Abang bergumam. “Wulungan ternyata belum sempat menurunkan ilmu Bayu Semestanya itu pada Linggar rupanya. Sebenarnya Ajian Bayu Semesta milik Wulungan lebih unggul, karena memiliki hawa dingin, tetapi Ajian warisan Karebet ini, tentulah tidak kalah dahsyat,” katanya lagi pada diri sendiri.
Sebenarnya nampak pula raut kecemasan pada wajah Kiai Jambe Abang melihat Pangeran Pujapati menghadapi Linggar dengan Ajian Rog-rog Asemnya. Tetapi ia mencoba membuang jauh-jauh perasaan itu agar tidak mempengaruhi ketahanan jiwa muridnya itu, yang biasa ia sebut Anak Mas Pangeran itu.
Maka, kini kedua belah pihak telah siap membenturkan kekuatan ilmunya. Pangeran Pujapati dengan ajian lebur geninya, sedangkan Linggar dengan ajian rog-rog asem.
Pangeran Pujapati mendahului menyerang. Hawa panas di telapak tangannya kini berbentuk bulatan udara yang tak terlihat, seperti besi yang memuai ketika terkena terik matahari, atau batu padas yang diterpa matahari.
Setelah menarik napas dalam-dalam dihentakan kedua belah telapak tangannya didepan dada dengan kuat. Maka terlontarlah bulatan udara panas yang mengarah kepada Linggar. Bulatan panas yang seperti bayang-bayang benda memuai itu melaju cepat, membawa hawa panas sepanjang yang dilewati. Tentu saja membuat beberapa prajurit Pajang maupun cantrik Watu Belah menyibak mundur kebelakang. Udara itu seperti menyengat apapun yang dilaluinya.
Linggar yang telah siap sedia tidak langsung membendung bulatan hawa panas itu, melainkan ia berguling kesamping satu putaran. Bulatan panas itu pun akhirnya tak mengenainya hanya sedikit udara panas ia rasakan menyengat kulitnya.
Bulatan panas yang urung mengenai Linggar itu ternyata melaju terus dan menghantam sebuah pohon mlanding muda yang batangnya tidak terlalu besar. Batang pohon itu pun bergetar hebat, tetapi tidak sampai patah. Dan beberapa saat kemudian tercium aroma sangit, daun-daun itu pun seketika layu seperti terbakar.
Para prajurit Pajang dan cantrik Watu Belah yang menyaksikan sejenak mematung ditempatnya dengan mulut menganga. Sungguh dahsyat akibat dari Ajian Lebur Geni itu. Raden Pamekas hanya menarik napas dalam-dalam melihat dampak dari Ajian Lebur Geni itu. Ki Lurah sendiri yang pernah menyaksikan kehebatan ajian itu sebelumnya di pesisir lor, hanya menggeleng-gelengkan kepala, takjub.
Kiai Jambe Abang mengangguk-angguk melihat kemampuan muridnya itu. Dalam hatinya ia merasa cukup puas atas pencapaiannya, meskipun belumlah cukup matang menurut pengamatannya.
Linggar yang sudah berdiri tegak setelah sebelumnya menghindar, kembali membangun kekuatan dalam dirinya. Ia memusatkan kekuatan tenaga dalamnya, tangannya kembali berputar di depan dada, kemudian lengan kanannya diangkat keatas dengan telapak tangan kiri terus berputar. Beberapa saat kemudian angin disekitar tubuh Linggar berhembus kencang. Lalu, lengan kanan yang diangkat tadi, diturunkan dan ditarik kebelakang. Dengan telapak tangan kanannya bulatan angin ditangan kirinya itu di hentakkan kuat-kuat mengarah kepada lawan.
Bulatan angin itupun melesat menyeret dahan-dahan kering disekitarnya dengan suara desir angin yang bergemuruh. Bulatan angin bercampur dahan-dahan kering yang dilibat itu mengarah ke Pangeran Pujapati. Dan cukup membuat murid dari Kiai Jambe Abang itu terkesima dibuatnya, tetapi ia dengan cepat menyadari keadaan, ketika tinggal lima langkah lagi angin itu akan menerpa tubuhnya. Ia langsung berguling kesamping sampai tiga putaran untuk menghindar, karena bulatan itu cukup besar ukurannya.
Angin itu memang tidak mengenainya tetapi sedikit tekanan mampu menggoyahkan kuda-kudanya setelah berguling tadi. Bulatan angin itu kemudian menerpa sebuah pohon sono kembang muda yang batangnya seukuran paha orang dewasa. Pohon yang tingginya tidak sampai tiga kali orang dewasa itu pun berderak, kemudian retak pada bagian batangnya dengan daun-daun kering yang berguguran.
Lagi-lagi orang dibuat terperangah atas apa yang baru dilontarkan Linggar, tidak terkecuali Kiai Jambe Abang. Wajahnya berubah menegang melihat akibat dari lontaran itu. Pangeran Pujapati sendiri telah berdiri tegak setelah kuda-kudanya sempat terganggu oleh dampak dari ajian rog-rog asem itu.
Kini keduanya saling memandang dengan tajam. Keduanya pun telah siap kembali melontarkan ajiannya kepada lawan. Kini susul menyusul serang itu secara bergantian, hanya saja tidak mengenai orang yang tidak terikat dalam perang tanding itu. Karena baik para cantrik maupun prajurit Pajang menempatkan menyamping dari arena perang tanding.
Hawa panas lebur geni membakar dedaunan disekitar tempat itu. Meskipun hanya membuat daun layu dan tidak sampai menimbulkan api, akan tetapi menimbulkan bau sangit dan kepulan asap beberapa kali. Sementara ajian rog-rog asem membuat daun-daun bergoyang hebat, bahkan ranting-ranting pohon berpatahan.
Keduanya saling menyerang dan melompat menghindar, hingga disuatu saat terjadilah benturan kekuatan dari kedua ajian tersebut. Ketika ajian lebur geni membawa hawa panas tinggal lima tombak di depan Linggar, Linggar membendungnya dengan ajian rog-rog asem.
Terjadilah benturan yang begitu hebat, mengakibatkan rumput kering yang ada disekitar benturan itu terbakar, tetapi sesaat kemudian rumput yang terbakar itu padam terhembus angin, dan yang tersisa hanya asap putih kehitaman.
Dorongan hawa panas itu memang tidak sepenuhnya menghantam Linggar, karena teredam oleh ajian rog-rog asemnya, akan tetapi sisa dorongannya membuat Linggar terpental kebelakang hampir membentur pohon beringin di belakangnya, beruntung dengan cepat Raden Pamekas melesat menopang tubuh Linggar.
Raden Pamekas merebahkan tubuh Linggar yang lemas dan sedikit terbatuk-batuk. Beberapa saat kemudian Linggar terdiam lemas dengan mata terpejam. Raden Pamekas sempat menegang, tetapi setelah menempelkan telinganya didada Linggar, ia bernapas lega. Detak jantung Linggar masih berdetak, ia hanya pingsan.
Sementara itu keadaan Pangeran Pujapati yang sempat terhuyung-huyung itu jatuh terduduk, dengan darah yang meleleh dari bibirnya. Ia segera mendapat pertolongan dari Kiai Jambe Abang gurunya. Kiai Jambe Abang lalu menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
“Kakek Guru,” katanya lemah.
“Anak Mas Pangeran!” katanya menegang. “Kubantu berbaring, jangan berkata-kata dulu. Tunggu sampai napasmu mengalir dengan teratur,” kata Kiai Jambe Abang yang tampak sangat cemas.
Seperti halnya Linggar, Pangeran Pujapati ternyata luka dalam. Meskipun ia tidak sampai terpental dalam benturan ilmu itu, tetapi benturan ilmu itu sudah membuat seluruh tubuhnya menjadi sakit dan lemas.
“Bajul Wedi!” teriak Kiai Jambe Abang.
Bajul Wedi yang menyaksikan tegang itu pun dengan tergesa menghampirinya.
“Panggilkan tabib padepokan, dan jagalah Pangeran Pujapati!” perintah Kiai Jambe Abang.
“Baik Kakek Guru!” sahut Bajul Wedi. Lalu memerintahkan seorang cantrik untuk memanggil tabib padepokan. Bajul Wedi kemudian duduk disebelah Pangeran Pujapati yang sengaja dibaringkan itu. Beberapa saat kemudian datanglah seorang tabib padepokan yang dimaksud.

2 komentar:

  1. Kayaknya ceritanya terlalu cepat yah Linggar yg di awal cerita katanya masih berusia 15 tahun kemudian jadi prajurit berilmu tinggi

    BalasHapus

Pengikut