Novel Cerita Silat Jawa

TDM 31

Keesokan harinya, seperti biasanya Widari sudah terbangun pagi-pagi sekali. Ia melakukan pekerjaan rumahnya yang ringan-ringan saja, karena selebihnya telah dikerjakan oleh para abdi dalem dirumahnya. Hari itu Widari tertarik untuk merapihkan ruangan yang terdapat di bagian belakang rumahnya. Ruangan khusus yang berisi beberapa buah koleksi lukisan milik ibundanya.
“Hmm.., ruangan ini hampir jarang dibuka,” gumam Widari. “Ibunda juga sudah hampir jarang melukis sekarang,” tatapan Widari kemudian tertuju pada sebuah lukisan yang bergambar desa yang hangus terbakar. Lukisan itu terjatuh dari dinding tempat sangkutannya.
“Lukisan ini seperti tampak nyata, tetapi menyedihkan sekali,” Widari membathin. “Rumah-rumah yang terbakar, orang-orang yang berlarian tak tentu arah, serta tampak pula seorang perempuan memeluk bayinya sambil menangis pilu.”
Widari memandangi lukisan itu beberapa saat. Ia dapat melihat betapa ibundanya begitu terampil dalam hal melukis. Hanya saja, mengapa lukisan yang ia lihat itu adalah pemandangan yang begitu menyedihkan?
Sesaat kemudian sesuatu telah menarik perhatian Rara Widari. Yaitu guratan disisi kanan bawah lukisan itu. Bertuliskan ‘Kalihurip sirna ing bumi.’ Ia teringat ketika ibu dan ayahnya pernah berselisih dan mengucapkan kalimat itu.
Widari kemudian meletakkan lukisan itu di tempat yang sebenarnya. Pandangan Widari kemudian tersita pada lukisan yang berada disebelah lukisan yang baru saja ia sangkutkan.
Kali ini sebuah lukisan bergambar seorang lelaki berkuda menghunus keris di sebuah peperangan. Sementara di salah satu bagian gambar tadi, terdapat guratan wajah bocah kecil dalam bayang-bayang semu. Lalu seperti biasa di sudut bawah lukisan itu tertera sebuah tulisan, ‘Panji Wulung.’
Widari mengerutkan dahi. “Sepertinya kedua lukisan ini saling berkaitan. Tetapi apa maksudnya?” gumam Widari. Tetapi kemudian terdengar suara yang membuyarkan lamunan Widari.
“Kau sedang apa nduk..?”
“Oh ibu..,” sahut Widari. “Aku hanya membersihkan ruangan ini ibunda. Lihatlah kotor sekali!” Katanya sambil mengusap sebuah lukisan bergambar lelaki di medan perang.
Ibundanya tersenyum, kemudian menyambut lukisan yang dipegang Widari. Setelah sesaat mengamatinya, kemudian ibundanya menarik napas dalam-dalam, lalu menempatkan lukisan itu pada tempatnya kembali.
“Ya. Sudah lama memang ibu tidak melukis lagi.”
“Apakah kau tertarik juga untuk melukis?” tanya ibundanya mengalihkan perhatian.
“Tidak ibu,” jawabnya. “Aku hanya ingin tahu saja, ibu. Dari sekian banyak lukisan disini, sepertinya kedua lukisan ini saling berkaitan. Apakah ada pesan khusus dari kedua lukisan ini ibu?”
Nyi Purbasana sesaat terdiam mendapat pertanyaan itu. Seolah ia kurang nyaman dengan pertanyaan Widari.
“Tidak ada Widari, tak ada arti khusus pada kedua lukisan itu. Lukisan itu hanya menggambarkan sebuah keadaan perang, tidak lebih,” jawab ibundanya.
“Lalu.., siapa perempuan yang memeluk bayinya itu, ibu? Wajahnya seperti bingung dan ketakutan, kasihan sekali!” tanya Widari. Sambil telunjuknya diarahkan pada lukisan yang dimaksud.
Nyi Purbasana wajahnya menegang mendengar pertanyaan yang dilontarkan putrinya itu, tetapi kembali ia mencoba menghapus makna yang tersirat di mimik wajahnya itu.
“Gambar itu menceritakan tetang hancurnya sebuah desa karena perang. Perang yang telah menyisakan duka yang mendalam bagi penduduk desa itu.”
“Desa yang bernama Kalihurip itu letaknya di pesisir pulau Jawa, di dekat tepian sungai yang mengarah ke pantai utara. Kalihurip bukanlah perkampungan nelayan, melainkan dihuni para prajurit armada laut Demak. Mereka adalah ksatria-ksatria mumpuni Demak, yang sengaja ditempatkan di pesisir untuk siap siaga melindungi telatah Demak dari gangguan orang asing,” tak sadar ibundanya akhirnya bercerita.
“Orang-orang Kalihuriplah yang mampu membuatkan kapal-kapal Jung. Kapal Jung adalah kapal laut raksasa, yang ukurannya tidak biasa. Kapal Jung itulah yang selanjutnya mengangkut para pasukan Demak menuju Malaka. Dipimpin langsung oleh Pangeran Sabrang Lor atau biasa disebut Pati Unus. Kala itu Malaka diduduki orang-orang bermata biru dan samudera laut yang jauh.”
“Saat para prajurit Demak bertolak ke Malaka itulah, malapetaka terjadi. Kalihurip kemudian dianggap tempat yang berbahaya bagi beberapa adipati dari daerah timur. Karena jika dibiarkan terus, maka Kalihurip akan menjadikan Demak berkembang pesat. Pada saat itulah segerombolan pasukan dari timur jawa yang merasa terancam membumihanguskan Kalihurip menjadi karang abang….”
Nyi Purbasana agak ragu melanjutkan ceritanya, karena matanya seperti berkaca-kaca dan dipikirannya bersilangan peristiwa-peristiwa masa silam. “Sudahlah Widari.., cerita itu telah lewat. Yang perlu kau ketahui adalah, aku dan ayahmu adalah berasal dari tempat itu. Dan setelah peristiwa yang menyedihkan itu, aku dan ayahmu memutuskan pergi dari tempat itu dan terdampar sampai ke Pajang ini.”
Widari tidak bertanya lebih lanjut, karena melihat ada sesuatu yang rasanya berat untuk diceritakan oleh ibundanya. Ia kemudian hanya mengangguk-angguk saja. Beberapa saat kemudian perbincangan mereka terhenti, ketika di depan pintu terlihat Wurpasa berdiri sambil menundukkan pandangan seolah menunggu waktu untuk dapat menyela pembicaraan.
“Ada apa Wurpasa?” tanya Nyi Tumenggung Purbasana.
“Mohon Maaf Nyi Mas Tumenggung ada seseorang yang ingin menemui Mas Rara.”
Nyi Tumenggung mengerutkan dahi sambil memandangi putrinya, seolah meminta penjelasan. Widari juga tak mengerti, hanya mengangkat kedua bahunya saja. Ia pun penasaran siapa sebenarnya orang yang ingin menemuinya itu?
“Siapa tamunya Wurpasa?” tanya Nyi Purbasana.
Belum sempat Wurpasa menjawab, seseorang muncul dari arah belakangnya. “Mohon maaf bibi…, aku yang berkunjung,” kata seorang pemuda gemuk seraya tersenyum.
“Dalika!” kata Nyi Purbasana dan Widari bersamaan.
Nyi Purbasana sekilas memandang putrinya yang seperti kurang berkenan dengan kehadiran Dalika. Tetapi ia mencoba menyembunyikan kesan itu.
“Kenapa tidak menunggu di pendapa saja ngger Dalika? Biar nanti kita berbincang-bincang saja disana,” kata Nyi Purbasana ramah. Tetapi sekali lagi terlihat Widari mencibir.
“Ah.., tidak apa bi.., aku hanya sekedar mengantarkan hadiah dari ayahku,” sahut Dalika, sambil memperlihatkan sesuatu yang dibungkus kain.
Nyi Purbasana kemudian segera mempersilahkan tamunya itu ke pendapa. Sementara Widari meskipun hatinya kurang berkenan, ia mengikuti saja langkah ibundanya yang membimbing mereka ke pendapa.
Sesampainya di pendapa, Dalika langsung membuka sebuah bungkusan dan sebuah kotak kecil yang berisi perhiasan, kemudian menyodorkannya dihadapan Nyi Purbasana dan puterinya.
“Kenapa ayahmu begitu repot membawakan kain sutra dan perhiasan begini rupa, Dalika?” kata Nyi Purbasana yang hatinya sebenarnya kurang mapan dengan pemberian itu.
“Ah.., tidak apa-apa bibi, ini hanya oleh-oleh ayahanda dari Prambanan. Kebetulan ada pedagang dari pesisir utara yang singgah dan berdagang di Prambanan,” kata Dalika dengan senyum yang lebar.
Nyi Purbasana mengangguk-angguk. “Tentunya hadiah ini kau tujukan kepadaku bukan? Karena aku adalah istri dari Tumenggung Purbasana, yaitu karib dari ayahmu.”
Dalika tergagap, lalu menjawab. “Bukan.., eh tentu, tentu bibi. Kain sutera itu tentu untuk bibi, sedangkan kalung emasnya sengaja kuhadiahkan untuk Rara Widari.”
Widari jantungnya berdegup kencang mendengar ucapan Dalika tadi, tetapi ia hanya menundukkan pandangan saja di depan Dalika yang sedari tadi tersenyum-senyum bangga.
Nyi Purbasana pun sekilas memandang puterinya yang sejenak menoleh ke arahnya lalu tertunduk lagi. Ia paham betul, puterinya itu tidak begitu suka dengan Dalika.
“Apa kau tidak salah memberikan hadiah ini ngger Dalika?” Nyi Purbasana menanyakan lagi kejelasan hadiah itu. “Suamiku Tumenggung Purbasana adalah kawan baik dengan ayahandamu. Pastinya hadiah ini pun ditujukan untukku sebagai isteri dari karib ayahmu,” kata Nyi Purbasana yang tidak ingin ada pamrih atas pemberian itu, apalagi terhadap puterinya.
“Tidak.., tidak demikian bi!” katanya lagi gugup. “Kain sutera itu memang untuk bibi, tetapi kalung emas itu sudah dipasrahkan ayah kepadaku, terserah pada siapa aku akan memberikannya. Dan Dalam hal ini aku sudah menjatuhkan pilihan pada Rara Widari, karena kalung emas itu memang pantas melingkar di lehernya.”
Nyi Purbasana menarik napas dalam-dalam, sulit baginya untuk membelokkan arah pemberian itu. “Baiklah. Aku terima hadiah ini, mudah-mudahan Widari mau mengenakannya,” kata Nyi Purbasana, sambil sekilas memandang Widari yang tidak juga mendongakkan wajahnya.
“Dan sampaikanlah juga ucapan terimakasihku pada ayahmu, Ki Derpayuda!” sambung Nyi Purbasana.
“Baik bibi,” sahut Dalika penuh semangat.
Tetapi ternyata setelah menyerahkan hadiah itu, Dalika tidak undur diri juga. Duduknya tak tenang dan terlihat seperti begitu gelisah, seolah ingin mengatakan sesuatu yang sulit iaungkapkan.
“Oh ya bi..,” katanya memberanikan diri. “Bolehkah aku meminta ijin sesuatu kepada bibi?” sambung Dalika.
“Ijin apa itu?” sahut Nyi Purbasana sambil mengerutkan dahi.
“Kalau boleh, aku ingin mengajak keluar Rara Widari sebentar. Sekedar berjalan-jalan disekitar kota Pajang sambil menghirup udara segar,” jawab Dalika.
Nyi Purbasana sejenak terdiam. Sulit baginya untuk menolak permintaan Dalika, apalagi baru saja menerima hadiah pemberiannya.
“Bagaimana Widari?” tanya Nyi Purbasana melimpahkan.
Widari sebenarnya enggan menyanggupi ajakan Dalika, tetapi karena mengerti posisi ibundanya, terpaksa ia menganggukkan kepala.
Wajah Dalika kelihatan sumringah ketika melihat Widari menganggukkan kepala. Artinya, ia akan mempunyai banyak peluang untuk berbicara dengan Widari. Jika sebelumnya ia sulit sekali untuk dapat berbicara lebih dekat dengan Widari, tetapi kini kesempatan itu akan terbuka lebar.
Dalika yang paham akan kegemaran Widari akhir-akhir ini, yaitu berkuda. Langsung mengajak Widari untuk berkuda berkeliling Kota Pajang.
Mereka berkuda perlahan saja, setelah melewati lorong-lorong katumenggungan, mereka pun akhirnya tiba di pusatnya Kota Pajang.
Bangunan-bangunan yang tertata rapi di sepanjang jalan menuju kadipaten menjadi pemandangan menarik buat mereka berdua. Terdapat pula umbul-umbul serta beberapa pohon yang rindang disekita alun-alun kota, menambah semarak Kota Pajang pagi itu.
Meskipun berkuda perlahan disebelah Dalika, tetapi Widari tidak banyak berkata-kata, hanya sesekali menimpali dan menganggukkan kepala saja.
Berbeda dengan Dalika, ia begitu bersemangat hari itu. Saat-saat seperti itulah yang sudah lama ia nanti-nantikan, yaitu dapat berbicara lebih dekat dengan Rara Widari. Sesekali tatapan matanya menyambar wajah ayu Rara Widari yang di hembus sejuk angin pagi kala itu. Widari sendiri hanya menundukkan kepala ketika Dalika menatapnya dengan senyuman.
Tetapi pemandangan itu tidak luput dari pantauan seseorang dari kejauhan. Orang itu terus saja mengekor dibelakang mereka. Bahkan orang itu seperti dibakar cemburu, sesekali tampak ia berbicara sendiri dan kadang menyalahkan diri sendiri.
“Kenapa begitu mudahnya Widari diajak berpergian Dalika? Apa sebegitu cepatnya hatinya luluh? Perasaan baru kemarin gadis itu menemuiku?” gumam orang itu.
“Ah tapi apa perduliku? Aku yang sudah menyia-nyiakannya waktu itu,” katanya lagi meracau.
“Biar saja, tidak akan aku biarkan! Aku akan mengganggunya!”
Sementara itu langkah kaki kuda kedua insan itu lama-kelamaan telah meninggalkan Kota Pajang dan menyisir pinggiran kota. Tibalah mereka disebuah danau yang sejuk, disinari hangatnya cahaya mentari pagi yang sepenggalah. Danau itu bak mutiara yang bertebaran ketika diterpa sinar matahari. Sesekali kilaunya membias diwajah Rara Widari, membuat pesona ayu puteri Tumenggung Purbasana itu semakin tersirat. Angin sepoi basah pun tak mau ketinggalan menggoda. Hembusannya membuat tiap helai rambut dibahu Widari bergoyang ditiup angin.
Dalika menambatkan kuda disisi danau, sementara Rara Widari masih diam mematung di punggung kuda.
“Ayolah Rara, turunlah! Mari kutambatkan kudamu di pangkal pohon ini,” ajak Dalika.
Rara Widari yang sebenarnya tidak begitu suka dengan Dalika, terpaksa lagi-lagi menuruti saja kemauannya. Dalika pun langsung menyambut tali kekang kuda, begitu Widari melompat turun.
“Kita nikmati saja indahnya danau ini, aku pun sudah lama tidak singgah di danau ini,” kata Dalika lalu duduk di batang pohon yang melintang. Lagi-lagi tangannya memberi isyarat pada Widari agar duduk disebelahnya.
Sambil menghela napas ia pun duduk disebelah Dalika.
“Sudah hampir siang, sebaiknya kita kembali saja,” kata Widari dengan gelisah.
“Ah tidak perlu khawatir, aku sudah meminta ijin pada ibundamu. Lagipula ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu.”
“Kenapa tidak dirumah saja tadi dan kenapa harus ditempat ini?”
“Tidak akan lama Widari. Setelah aku tumpahkan seluruh isi hatiku ini, kita akan pulang,” kata Dalika sambil meyakinkan.
Sesaat keduanya terdiam kaku. Dalika sendiri beberapa kali menarik napas dalam-dalam, seperti hendak mempersiapkan kalimatnya.
“Widari. Kau tahu sudah lama aku memendam perasaan padamu, dan tentunya kau tahu dari sikapku selama ini. Ya, mungkin sikap konyolku padamu itu memang tidak pada tempatnya. Itu semata-mata karena aku ingin mengenalmu lebih dekat, Widari,” Kata Dalika memandang Widari yang tertunduk.
Rara Widari sendiri hatinya berdebar-debar dan campur aduk. Berdebar-debar, bukan karena ia tersanjung dengan ungkapan perasaan Dalika tadi. Melainkan memikirkan bagaimana caranya ia mengelak atau menyudahi pembicaraan ini. Karena baginya tidak ada secuil pun yang menarik dari pribadi Dalika yang kadang konyol dan kasar itu.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara dari balik pohon besar tempat keduanya bercengkerama. Suara itu begitu mengagetkan keduanya dan dengan serta merta membuat keduanya bangkit berdiri.
“Simpan saja gombalanmu itu anak muda! Buktikan bahwa kau cukup jantan untuk menjadi kekasih bagi gadis pujaanmu itu!” kata suara itu.
Dalika dan Widari yang tahu darimana arah suara itu, kemudian segera berjalan melingkari pohon itu dan mendapati seseorang yang bersedekap dan mengenakan topeng diwajahnya.
“Kurang ajar! Orang tidak tahu adab! Berani kau mengganggu urusanku he!” bentak Dalika.
“Ha.., Ha.., Ha.., jaga bicaramu anak muda. Aku hanya mengingatkan gadis disebelahmu itu. Bahwa, hanya wanita bodoh yang terpikat dengan rayuanmu itu!” kata pria bertopeng itu.
“Tutup mulutmu! Aku akan membuatmu menyesal karena telah berani mengganggu urusanku!” ancam Dalika yang menjadi naik darah.
Widari yang ada di sebelah Dalika menjadi cemas, orang yang baru datang itu sepertinya bermaksud tidak baik. Terlihat dari penampilannya yang mengenakan topeng. Ia lalu menatap sekeliling danau itu, barangkali ada orang yang melintas, agar bisa diminta pertolongannya. Tetapi dilihatnya hanya sepi, taka da seorang pun yang melintas.
“Danau ini tak berpenghuni anak manis! Tidak perlu kau berharap pertolongan dari orang lain,” ujar pria bertopeng itu yang melihat gelagat Widari.
Dalika yang melihat Widari menjadi cemas, seketika itu juga menarik pedang di lambungnya. “Apa maumu kisanak? Katakan sebelum pedang ini menyayat ditubuhmu!”
“Oh.., oh.., kau jadi tidak sabaran begitu rupanya! Aku hanya inginkan gadis cantik yang bersamamu itu! Pergilah kalau kau mau pergi! Tetapi tinggalkan gadis itu, aku tidak akan melukaimu asal gadis itu kau tinggalkan disini!”
Widari yang mendengar itu jantungnya berdegup kencang. Pria itu ternyata mempunyai maksud buruk terhadapnya. Pastilah ia lelaki kasar dan kejam dilihat dari penampilannya.
“Tidak semudah itu!” tukas Dalika. “Langkahi dulu mayatku sebelum kau merebut kekasihku.”
“Ha.., ha.., ha.., lagi-lagi aku mau muntah mendengar gombalanmu itu anak muda! Belum lagi gadis itu menjawab apa maksud dihatimu itu, tetapi kau sudah menghakiminya bahwa dia adalah kekasihmu! Sungguh menggelikan!” kata orang bertopeng itu. “Aku sarankan kau tinggalkan saja gadis itu, maka kau akan bebas pergi kemana pun!”
Dalika menggeram marah dengan tanggapan orang itu yang terlalu jauh masuk kedalam urusan pribadinya. Dalika menjadi tidak sabar kemudian, ia langsung menyabetkan pedangnya ke dada pria bertopeng itu.
Pria bertopeng itu pun terkejut dibuatnya. Untung saja ia mampu menghindar dengan surut selangkah ke belakang. Kemudian ia mengangkat tongkat kayu yang dibawahnya untuk membendung tebasan pedang Dalika tadi.
Merasa serangannya luput, Dalika menjulurkan pedangnya berkali-kali ke jantung lawan, tetapi pria bertopeng itu mampu mengelak dengan sempurna. Hingga tak satu pun tusukan pedang Dalika mampu menyentuh kulitnya.
Dalika sendiri tentunya bukan bocah ingusan yang tak mampu mempergunakan senjata, melainkan ia adalah murid langsung dari Ki Ajar Kesada. Seorang yang dipercaya membekali para putera Tumenggung dengan olah kanuragan. Pun walau begitu ternyata lawannya ini bukan orang biasa, bahkan orang itu terlihat santai saja dalam menghindari gempuran lawan.
Sadar bahwa lawannya cukup tangguh, Dalika akhirnya meningkatkan serangan dengan sungguh-sungguh. Pedangnya kini ia genggam dengan dua tangannya. Tujuannya agar serangannya tak mampu dipatahkan senjata lawan. Beberapa kali sempat terlihat pedang itu membentur tongkat kayu milik pria bertopeng itu dengan kuat. Tebasan-tebasan pedang Dalika itu kini begitu bertenaga, membuat pria bertopeng itu terkejut dibuatnya. Beberapa kali tongkat kayunya bergetar dan dan terdorong mundur.
Widari yang menyaksikan sempat terpekik beberapa kali, sesekali ia menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya karena ngeri.
Meskipun sebenarnya Widari telah mempunyai bekal kanuragan dari gurunya, Nyi Ajar Kesada. Tetapi Widari masih saja tampak ketakutan melihat perkelahian yang sesungguhnya itu. Hal itu semata-mata karena belum sekali pun Widari terjun dalam perkelahian yang nyata, melainkan hanya latihan-latihan yang dilakukan di dalam sanggar saja. Sebenarnya Widari hatinya tergerak juga untuk bergabung bersama Dalika menghadapi pria bertopeng itu, tetapi keragu-raguan masih saja menyelimuti hatinya.
Dalika sendiri yang mula-mula mampu mendesak pria bertopeng itu dengan jurus-jurus pedang yang membahayakan, tetapi kini malah berbalik. Pria bertopeng itu dengan mudahnya menusukkan tongkat kayunya pada bagian-bagian tubuh Dalika. Membuat Dalika sesekali meringis kesakitan karena bagian tumpul tongkat kayu itu telah mengenai dada dan bagian tubuh lainnya.
Dalika memegangi dadanya ketika tusukan pria bertopeng itu terjulur lurus ke dadanya.
“Kurang ajar! Apakah tidak ada senjata lain, selain tongkat jelekmu itu kisanak! Tongkatmu itu lebih pantas untuk dijadikan tumpuan orang jompo ketimbang sebagai senjata!” kata Dalika gusar, sambil menahan sesak napas di dadanya.
“Dengan tongkat kayu jelek ini saja kau kewalahan, apalagi aku menggunakan tombak! Sudahlah menyerah sajalah dan pergi! Masih terbuka tawaranku tadi tentang gadis itu,” sahut pria bertopeng itu sambil tertawa bertolak pinggang.
“Tidak akan! Aku tidak serendah itu untuk menyerah dan menyerahkan Rara Widari kepadamu! Sebentar lagi kau yang akan bersujud dan meminta ampun dihadapanku!” kata Dalika sambil menggeretakkan giginya.
“Lalukanlah! Aku ingin melihat kemampuan anak manja sepertimu!” kata pria bertopeng itu memancing amarah.
Dalika pun kemudian mencabut satu bilah keris yang terselip dipunggungnya, rupanya ia telah kehabisan cara untuk melumpuhkan pria bertopeng itu, hingga senjata cadangannya pun ia pergunakan untuk melawan.
Dalika kembali menyerang dengan pedangnya, sambil sesekali menjulurkan kerisnya ketika jarak lawannya menjadi dekat. Sementara pria bertopeng itu pun meningkatkan kewaspadaan. Karena terlambat sedikit saja keris lawannya akan menusuk jantungnya.
Perkelahian pun semakin sengit. Dalika kini tidak lagi tersudut, melainkan mampu bertahan dan sesekali mendesak pertahanan lawan. Ketika Dalika menyabetkan pedangnya ke lambung pria itu, dengan cepat pria bertopeng itu membenturkan tongkatnya untuk menangkis. Tetapi tidak sampai disitu, menyusul keris Dalika dijulurkan ke lambung lawan. Pria bertopeng itu pun terpaksa menghindar dengan surut ke belakang selangkah.
Sementara matahari telah merangkak sampai di atas kepala, tetapi perkelahian itu belum juga usai. Pria bertopeng itu pun menjadi tidak sabar, rasanya ia sudah terlalu lama membuang waktu, hanya untuk melumpuhkan lawannya. Yang menurutnya hanyalah anak manja itu.
Maka kemudian, pria bertopeng itu mulai meningkatkan serangannya dua kali lipat. Tongkat kayunya ia putar-putar di atas kepala begitu cepat, bahkan terlihat seperti baling-baling yang berputar cepat, disertai suara hembusan angin yang menderu. Kemudian pria bertopeng itu menyerang bertubi-tubi dengan gerakan menyilang ke arah Dalika. Dalika pun masih mampu menangkis serangan tongkat yang membadai itu. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena makin lama hantamannya makin cepat. Dalika terus saja menangkis sambil surut kebelakang, kewalahan.
Saat Dalika kewalahan dalam membendung serangan lawan, pria bertopeng itu menghentakkan tongkatnya ke arah bahu kanan Dalika.Dalika terkejut, tetapi terlambat menghindar. Karena begitu cepatnya tongkat itu menghantam pundaknya. Akibatnya, tulang bahunya rasanya seperti berpatahan, seketika itu pula pedangnya pun lepas dari genggaman. Dalika kemudian jatuh berlutut memeganggi bahunya dengan rasa sakit yang bukan kepalang. Tetapi pria bertopeng itu tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung menempelkan tongkatnya pada kepala Dalika sambil mengancam.
“Satu pukulan saja, tongkat ini dapat meremukkan tulang tengkorakmu, anak muda!” ancam pria bertopeng itu.
Dalika pun tubunya menjadi gemetaran, dengan peluh yang bercucuran, mendadak wajahnya seputih kapas mendapat ancaman begitu rupa. Rara Widari yang menyaksikan pun menjadi bertambah takut, apa jadinya jika Dalika menyerah? Pasti pria bertopeng itu akan membawanya pergi? Dan suatu hal buruk pastinya akan menimpanya.
“Menyingkir dari tempat ini, atau tongkat ini akan memecahkan kepalamu!” pria bertopeng itu kembali mengancam.
Dalika hatinya menjadi bertambat ciut, sesekali tatapan matanya menyambar Widari yang berdiri gemetar ketakutan. Sebenarnya ia tidak mau meninggalkan Widari, begitu saja. Tetapi ternyata ancaman pria tak dikenal itu telah merubah pendiriannya. Dalika ternyata bukan orang yang teguh hatinya dalam mempertahankan cintanya. Ia rela mengorbankan cintanya demi keselamatan dirinya sendiri.
Sambil beringsut perlahan, Dalika mulai beranjak meninggalkan tepian danau itu.
“Tunggu Widari! Aku akan kembali dengan pasukan segelar sepapan!” kata Dalika.
Pria bertopeng itu tertawa terpingkal-pingkal. “Tidak akan ada yang mempercayaimu, anak muda! Benar dugaanku ternyata, kau hanya pengecut yang mengemis cinta dari seorang gadis! Bahkan lebih dari itu, kau rela mengorbankan gadismu demi keselamatan dirimu sendiri!”
Dalika tidak menggubris, ia berlari sambil tersuruk-suruk mendekati kuda yang ditambatkannya, dengan cepat ia melompat ke punggung kuda itu, lalu memacu kuda itu sekencang-kencangnya.
Tinggallah pria bertopeng itu bertolak pinggang sambil menertawakannya, suara tertawanya membuat bulu kuduk Widari menjadi meremang. Widari menjadi bertambah takut sepeninggal Dalika, dengan cepat ia meraih pedang Dalika yang tergeletak di tanah. Kemudian menghunusnya dengan kedua belah tangannya.
Pria bertopeng itu masih berdiri membelakangi Widari, tetapi tahu apa yang baru saja Widari lakukan.
“Jangan main-main dengan pedang itu, anak manis! Kau bisa saja tergores dibuatnya,” katanya terdengar memuakkan ditelinga Widari.
“Hadapi aku! Aku bukan pengecut yang bisa kau perlakukan seenaknya!” sahut Widari dengan degup jantung berdebaran.
Pria bertopeng itu membalikkan badan, lalu tersenyum tipis. Terlihat dari wajahnya yang tertutup topeng hanya sampai sebatas hidung keatas.
“Hmm rupanya kau lebih memilih aku paksa, ketimbang menuruti kemauanku!” kata pria bertopeng itu.
“Majulah! Aku sudah siap merobek dadamu dengan pedangku ini!” sahut Widari dengan agak gugup. Bagaimana pun juga ini adalah pengalaman pertamanya dalam bertarung secara sungguh-sungguh.
“Baiklah. Aku memang suka dengan gadis yang agak binal sepertimu!” katanya lagi tertawa.
Widari menjadi semakin muak, ia langsung menebaskan pedangnya ke arah wajah lawannya, tetapi pria bertopeng itu seperti enggan bergeming. Ketika pedang itu hampir mengenai wajahnya, pria bertopeng itu menahannya dengan tongkat kayunya.
“Sabetan pedangmu terlalu lemah, anak manis. Kau tidak mungkin mengalahkanku dengan gerakanmu yang ragu-ragu!” kata pria bertopeng itu.
Memang terlihat Widari seperti ragu-ragu dalam mengayunkan pedangnya, itu semata-mata karena keragu-raguannya dalam bertarung, ia belum sekali pun melukai orang lain dengan senjata.
Lagi sebuah tusukan lemah dijulurkan ke tubuh pria bertopeng, tetapi lagi-lagi serangan itu dapat dipatahkan. Pria itu terus saja menertawakan Widari yang tak mampu menyerang dengan sungguh-sungguh.
“Hatimu terlalu lembut untuk melukai orang, anak manis! Mari ku ajari agar kau lebih terarah dalam menghadapi lawanmu!”
Pria bertopeng itu kini berbalik menyerang Widari dengan tongkatnya, Widari pun mau tidak mau terpaksa membenturkan pedangnya dengan tongkat yang hampir mematuk pundaknya itu. Mula-mula ia memang agar gemetar dan gugup membendung serangan lawan, tetapi lama-kelamaan ia menjadi percaya diri untuk menangkis setiap serangan yang ditujukan kepadanya. Pedangnya berkelebat kesana-kemari memburu tongkat lawan. Pria bertopeng itu pun hanya tersenyum-senyum melihat perubahan pada Widari. Bahkan sekilas pria bertopeng itu seperti sedang membimbing Widari dalam bertempur.
Dan yang lebih mengherankan lagi, pria bertopeng itu kemudian melemparkan tongkatnya jauh-jauh ke danau, seolah senjata itu tidak dibutuhkannya lagi. Ia malah tertawa-tawa seperti menikmati suatu permainan. Tubuhnya gesit menggeliat-geliat, membuat Widari menjadi bertambah kesal, karena tak segores pun pedangnya mampu menyentuh tubuhnya.
“Ayo, anak manis! Aku sudah tidak bersenjata lagi. Lepaskan kemampuanmu untuk menundukkanku!” katanya sambil terus bergerak lincah.
Widari semakin terpacu untuk dapat melumpuhkan lawan, ia pun menjadi percaya diri. Hingga disuatu saat Widari memiliki kesempatan untuk menebaskan pedangnya ke arah leher lawan. Pedang itu kemudian ditebaskan dari arah samping tepat ke leher pria bertopeng itu.
Tentu saja hal itu mengejutkan pria bertopeng itu, tetapi dengan cepat ia maju selangkah, lalu memutar tubuhnya, kemudian menangkap pergelangan tangan Rara Widari yang sedang menggenggam pedang itu. Pedang itu pun tertahan di udara, kemudian. Dengan posisi yang membelakangi, pria tak dikenal itu lalu menarik ke depan lengan Widari yang menggenggam pedang itu, lalu menjepit dengan siku lengannya di ketiak. Hal itu menyebabkan pedang itu hanya teracung di udara. Sementara itu tubuh keduanya kini menjadi rapat, Widari berada di belakang pria bertopeng itu dengan lengan kanan yang tak berdaya. Sekuat tenaga Widari mencoba menarik lengannya yang terjepit di ketiak lawan, tetapi himpitan pria itu begitu kuat. Sementara itu lengan kiri Widari yang bebas, mencoba memukul-mukul punggung pria bertopeng itu.
“Lepaskan! Lepaskan aku, pengecut!” kata Widari yang menjadi gelisah.
“Hei.., kenapa kau jadi bersungguh-sungguh begitu?” sahut pria itu santai. “Hampir saja pedangmu ini menebas leherku tadi,” kata pria itu lagi dengan sedikit menoleh kesamping, karena lawan bicaranya ada dibelakangnya.
“Lepaskan! Lepaskan, kataku!” jerit Rara Widari.
Masih seperti sebelumnya, Rara Widari hanya bisa memukul-mukul punggung pria itu, tanpa mampu melepaskan belenggu di tangan kanannya yang menggenggam pedang.
Widari seperti kehabisan akal. Akhirnya terbersit juga dipikirannya untuk membuka topeng pria tak dikenal itu. Dengan tangan kirinya ia menarik paksa topeng itu dari belakang.
Maka tersembulah wajah pria tak dikenal itu. Sungguh mengejutkan. Pria itu kemudian mengendurkan himpitan lengannya pada lengan Widari yang menggenggam pedang. Sambil berbalik pria itu tersenyum pada Widari.
Widari pun tak kalah terkejut, ia membelalakkan matanya tak menyangka. Ternyata ia mengenal pria dihadapannya itu.
“Kau?” Widari terbelalak.
“Ya, aku Rara Widari!” jawabnya sambil tersenyum.
Widari kemudian seperti merajuk, lalu mendekati pria itu dan memukul-mukul dadanya.
“Keterlaluan! Kau mempermainkanku sejak tadi! Bodohnya aku tadi, tidak langsung membunuhmu saja!” katanya merajuk.
“Ah, jangan kejam begitu. Kau akan kehilangan aku nantinya.”
“Cukup! Cukup Linggar, tidak ada yang lucu dengan permainan ini!” kata Widari dengan wajah memerah sambil membuang muka.
“Maafkan aku, Maafkan aku, Rara. Aku hanya tak tahan melihat Dalika yang menggombal di depanmu tadi. Lagipula aku pun melihat, sepertinya kau tak betah berlama-lama dengannya bukan?”
“Diam kau! Bukan urusanmu!” potong Widari dengan cepat.
“Oh.., atau kau ingin menerima cintanya, tadi?” Linggar kembali tersenyum menggoda.
“Bukan urusanmu, Linggar!” sahut Widari sambil membalikkan badannya dan bertolak pinggang, disertai tatapan matanya melotot tajam.
Linggar terlihat aneh dengan reaksi Widari yang memandangnya sambil melotot dan bertolak pinggang itu. Ia menahan tawanya sambil menutup mulut dengan telapak tangannya.
“Aku sedang marah, Linggar! Jangan cekikikan begitu!” kata Widari tidak terima, dan masih dengan sikap yang sama.
Linggar tak tahan lagi menahan geli, ia pun melepaskan tawanya sepuasnya. “Kau tetap tidak menyeramkan bagiku, Rara! Kau malah terlihat lucu dengan begitu!” Linggar tidak meneruskan kalimatnya.
Widari makin jengkel diejek seperti itu. “Aku memang bukan makhluk halus Linggar, jadi tidak perlu harus menyeramkan saat marah!” tukas Widari.
“Baiklah, baiklah aku minta maaf. Tetapi bagiku kau tetap makhluk manis yang memukau dihadapanku. Aku tak mampu berdiri tegak saat kau pandang begini rupa, sepertinya tulang-belulangku terasa luruh,” kata Linggar yang belum jera menggoda.
“Kau ini! Masih saja ya!” sahut Widari yang tak tahan menahan senyumnya, disertai wajah yang memerah. Bak kuntum bunga yang merekah musim penghujan. Suasana pun mencair kemudian.
Keduanya sesaat terdiam beberapa saat, tetapi kemudian Widari teringat akan Dalika. “Bagaimana sebaiknya Linggar? Dalika pasti akan kembali dan membawa orang-orangnya!”
Linggar pun akhirnya tersadar akan hal itu. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata. “Begini saja! Kau kembali ke katumenggungan lewat jalan yang sama, sementara aku akan memutar. Kita bertemu di dekat rumahmu.”
“Di perjalananmu nanti, Dalika dan orang-orangnya pasti akan berpapasan denganmu. Sambil menggenggam pedang itu, katakan saja kalau kau mampu meloloskan diri dari pria bertopeng tadi. Terserah padamulah Widari, kau pasti pandai mengarang cerita, yang penting Dalika percaya,” lanjut Linggar.
“Huh.., kau yang berulah, aku yang kena getahnya,” keluh Widari sambil tersungut-sungut.
“Cepatlah! Sebelum mereka sempat memergoki kita berdua disini,” pinta Linggar.
“Baiklah,” sahut Rara Widari. Lalu bergegas melepas tali kekang kudanya.
“Jangan lupa! Aku menunggu di lorong katumenggungan dekat rumahmu,” kata Linggar lagi.
Widari mengangguk lalu memacu kudanya, sambil tangan kanannya menggenggam pedang, seperti yang direncanakan sebelumnya. Linggar sendiri kemudian berlari meniti pinggiran danau, mengambil arah yang melingkar. Ia sengaja melewati arah yang berbeda, agar tidak berpapasan dengan Dalika.
            Sementara itu Widari yang sedang berpacu dengan kudanya, akhirnya berpapasan juga dengan Dalika yang membawa serta teman-temannya. Mereka semuanya rata-rata bersenjata. Untung saja mereka tidak bertemu di tempat yang ramai di sekitar Pajang, tentunya itu akan menjadi perhatian banyak orang. Mereka hanya berpapasan di sebuah perbatasan kota, suasana jalan masuk itu terlihat sepi.
Widari yang sedang memacu kudanya pun akhirnya melambat. Dalika yang melihat dari kejauhan berdebar-debar, ia seperti tidak menyangka kalau itu Widari. Dan yang lebih membuatnya terkejut lagi adalah, Widari masih berkuda dengan menggenggam pedang.
Sesaat kemudian mereka pun telah saling dekat. Tetapi mereka tidak turun dari punggung kuda masing-masing.
“Kau? Kau tidak apa-apa Widari?” tanya Dalika terbata-bata, dengan mata yang terbelalak. Sambil mengelilingi Widari, dan memandang sekujur tubuhnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Rara Widari agak gugup dibuatnya. Tetapi terbersit juga jalan keluar dipikirannya. Sambil menyodorkan pedangnya ke Dalika, ia berkata. “Ku kembalikan pedangmu yang kau tinggalkan tadi. Pria bertopeng itu sudah lari tunggang-langgang!” katanya acuh.
“Maksudmu..? Maksudmu kau mampu mengalahkannya?” tanya Dalika masih tidak percaya. Teman-teman Dalika pun terheran-heran mendengar keterangan Widari.
“Aku bukan pengecut seperti kau, Dalika. Kau yang membawaku ke tepian danau itu, tetapi kau pula yang meninggalkan aku begitu saja tanpa memperdulikan keselamatanku!”
“Aku tidak bermaksud begitu Widari! Tetapi aku memang sedang berusaha mencari cara agar bisa menyelamatkanmu. Salah satunya dengan cara ini, membawa serta teman-temanku untuk membantu,” Dalika berdalih.
“Ah.., aku tidak mau lagi mendengar alasanmu, Dalika! Beruntung aku masih bisa selamat tadi. Aku berusaha membela diri sepeninggalmu. Tetapi itu hanya bertahan beberapa saat, karena kemudian aku hampir saja dapat dilumpuhkannya.Untung saja Ki Ajar datang kemudian membantuku!” Widari mengarang cerita.
“Ki Ajar? Ki Ajar Kesada, maksudmu?” tanya Dalika terkejut. Yang lain pun ikut terkejut mendengar nama itu disebut.
“Ya, Ki Ajar Kesada. Dia datang saat aku tak mampu lagi bertahan dengan pedangmu itu. Dan setelah dia datang, keadaan berbalik. Pria bertopeng itu jadi babak belur dan jadi bulan-bulanan Ki Ajar,” Widari mengarang cerita. “Dan sekarang, pria bertopeng itu melarikan diri. Ki Ajar sedang mengejarnya.”
“Sudahlah! Aku mau pulang sekarang!” sambung Widari.
“Tunggu Widari! Aku akan mengantarmu pulang. Kau tadi pergi bersamaku, maka aku pula yang harus mengantarmu pulang,” sahut Dalika
“Kau berani mempertanggungjawabkannya dihadapan ibundaku, tentang apa yang baru saja menimpaku?” tanya Widari dengan tatapan tajam. “Apa pembelaanmu nanti pada ibundaku, kalau sampai aku dibawa kabur pria aneh tadi?”
Dalika terdiam dan terpaku ditempatnya, tak tahu harus berkata apa. Sementara teman-temannya hanya menunggu perintah Dalika dengan termangu-mangu. Mereka sebenarnya hanya sungkan pada Dalika karena ayahnya adalah petinggi Pajang yang disegani.
Widari pun tak menunggu lagi jawaban dari Dalika. Setelah ia rasa sandiwaranya cukup berhasil, ia pun melecut kudanya. Dalika sendiri tidak menahannya lagi, ia hanya mengumpat-umpat sendiri menyesali apa yang baru ia alami hari ini.
“Bodohnya aku! Harusnya kita tadi datang lebih awal! Supaya kita tidak terlambat bertindak, dan didahului Ki Ajar Kesada,” keluh Dalika.
“Sudahlah, Dalika. Sebaiknya lain kali kau kabari aku dan teman-teman dahulu, agar kami bisa membantumu dengan mengawasi dari kejauhan. Dan hal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi,” kata salah seorang temannya menasihati.
Dalika pun terpaksa menerima kenyataan itu, dengan lesu ia memutar balik kudanya, kemudian diikuti teman-temannya yang lain.

     <--PREV                          NEXT ->

6 komentar:

Pengikut