Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri : 20

Dalam pada itu, ketika matahari telah terbenam di cakrawala. Linggar yang terluka di bagian dada, tidak mau menarik perhatian para abdi dalem dari Tumenggung Wilamarta. Ia sengaja tidak masuk melalui pintu regol, melainkan melompati dinding pembatas kediaman petinggi Pajang itu. Dengan dua kali tolakan kaki pada sebuah batang pohon tinggi diluar dinding pembatas, Linggar sudah mampu mendarat di halaman samping kediaman Ki Wilamarta. Itu karena kemampuan meringankan tubuh Linggar sudah cukup baik, meskipun masih pada tingkat dasar.
Tetapi betapa terkejutnya Linggar ketika terlihat sebuah bayangan melesat dari serambi rumah itu. Dan berhenti tepat dihadapannya dengan suara desir angin yang lembut.
“Ki Wila..!” desis Linggar.
Ki Wilamarta hanya tersenyum tipis, sambil menyilangkan tangan didada, ia berkata, “kenapa kau masuk dengan cara serupa itu, Linggar? Apakah pintu regol itu sudah kurang menarik bagimu?”
Linggar yang paham bahwa Ki Wilamarta seorang ksatria pinunjul kemudian berkata. “Mohon ampun Ki Wilamarta, aku tidak bermaksud menyombongkan diri. Aku hanya tidak ingin menarik perhatian para abdi dalem dirumah ini,” jawab Linggar dengan tertunduk.
Ki Wilamarta sejenak memperhatikan Linggar, yang memegangi dadanya yang terluka. Walaupun samar tetapi ketajaman Tumenggung Pajang itu mampu melihat tetesan darah yang merembes didada Linggar. “Kau terluka ngger..., marilah aku obati di dalam.”
Ki Wilamarta tidak berlama-lama, kemudian segera membimbing Linggar ke rumahnya. Di pringitan itu ia mambasuh dan membalut luka Linggar dengan beberapa ramuan obat.
“Tidak terlalu dalam. Mungkin dua hari lagi luka ini akan kering,” katanya sambil menarik napas dalam-dalam.
“Terimakasih, Ki Wilamarta,” sahut Linggar, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.
“Kau tentu lebih pandai dalam hal meramu obat ketimbang aku, Linggar. Itu pernah kau lakukan saat menolong orang Jipang yang terluka beberapa waktu lampau, bukan?” kata Ki Wilamarta sambil tersenyum.
“Ah tidak Ki Wila, aku hanya mendapat pengetahuan sedikit dari ayahku, Demang Wulungan,” jawab Linggar merendah. “Lagi pula di pekarangan rumah Ki Wila ini, aku melihat tanaman obat yang sangat lengkap. Aku rasa Ki Wila selain Tumenggung, juga ahli dalam ilmu ketabiban,” kata Linggar sambil tersenyum.
Ki Wila tertawa kecil, mendengar pujian Linggar. Keduanya telah begitu akrab, karena tinggal dalam satu atap. Meskipun Ki Wilamarta seorang Tumenggung tetapi terhadap Linggar seolah tak berjarak.
“Apakah lukamu itu ada hubungannya dengan tugasmu di keprajuritan?” kata Tumenggung itu sambil mengerutkan dahi.
“Tidak Ki Wila..,” Linggar agak ragu untuk menjawab. Tetapi tak ada alasannya lagi untuk menutupinya, terlebih lagi dihadapan Ki Wilamarta. “Aku telah berselisih paham dengan salah seorang pemuda katumenggungan ini. Mohon maaf sebelumnya Ki Wila, jika aku sudah deksura.
Ki Wilamarta tersenyum tipis dan menggangguk-angguk. “Aku tahu, aku juga pernah muda Linggar. Tetapi bagiku, aku yakin kau lebih memilih dilukai ketimbang melukai, bahkan dalam arti yang lebih dalam sekalipun.”
“Kau tahu kenapa aku berkata begitu?” kata Ki Wilamarta lagi. “Itu karena aku yakin bahwa para putra tumenggung disini, belum ada yang setingkat olah kanuragannya denganmu. Dalam hal olah kanuragan, terlebih lagi olah kajiwan.”
“Ya. Kedudukan orang tua merekalah yang membuat mereka melupakan unggah-ungguh selama ini. Aku pun turut prihatin akan hal itu, apalagi mereka adalah penerus Pajang untuk selanjutnya,” Ki Wilamarta menarik napas dalam-dalam.
Linggar hanya mendengarkan apa yang dikatakan Ki Wilamarta, tanpa memotong pembicaraan.
“Oh ya, lebih baik esok kau tidak usah bertugas dulu, sampai lukamu benar-benar pulih. Tetapi sebagai paugeran yang berlaku di keprajuritan, sebaiknya esok kau meminta ijin Ki Lurah Rangga Jati.”
“Baik Ki Wila,” jawab Linggar.
“Nah bersihkanlah dirimu, kemudian tunaikan kewajibanmu! Beristirahatlah!” kata Tumenggung Wilamarta.
Sementara itu Rara Widari yang kecewa dengan ayahnya dan juga sikap Linggar yang memilih menjauhinya, ketimbang mempertahankan keteguhan pendiriannya, menangis sesenggukkan. Dihempaskannya tubuhnya dipembaringan dengan tangisan dalam dengan tubuh berguncang-guncang. Dadanya terasa sesak dan kerongkongannya seperti tersumbat. Tubuhnya serasa lemas, dunia yang penuh warna kini tersaput mendung hitam yang berarak.
Nyi Purbasana yang melihat perubahan pada diri putrinya, segera menemuinya di bilik kamarnya.
“Widari..., apa yang kiranya telah membuat risau hatimu? Satu harian penuh kau keluar rumah, kini kau pulang dengan kesedihan yang tak aku mengerti. Katakanlah nduk.., apa masalahmu?” kata ibundanya sareh.
Widari belum menjawab, ia masih menelungkupkan tubuhnya dipembaringan. Baru beberapa saat kemudian ia membalikkan badan dan duduk dibibir amben. Tetapi ia masih bingung, apa yang harus ia sampaikan pada ibundanya? Perihal Linggar yang memilih memutuskan hubungan atas desakan Dalika, atau perihal ayahnya yang menikah lagi dengan adik dari sahabatnya Tumenggung Derpayuda.
“Ibu.., apakah mengalah itu jalan terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah? Padahal seseorang begitu yakin akan hakikat kebenaran yang sesungguhnya. Apakah orang dapat begitu saja memaksakan kehendaknya pada orang lain, bahkan untuk tujuannya sendiri?” tanya Widari lagi, dengan sisa tangis yang mulai mereda.
Nyi Purbasana tidak langsung menjawab, melainkan mengelus rambut panjang putrinya, sambil mempersiapkan kalimat terbaik bagi putrinya yang baru mulai tumbuh itu.
“Widari..,” kata ibunya kemudian. “Mengalah bukan berarti sikap pasrah atau pengecut, tetapi suatu sikap lapang dada. Sikap seseorang yang telah mempertimbangkan baik buruk dari akibat yang akan timbul sesudahnya. Memang jarang orang yang bisa mengendalikan hatinya sedemikian rupa, hanya orang yang berhati seluas samudra sajalah yang bisa bersikap seperti itu,” kata ibunda Widari sareh. "Jadi terimalah apapun adanya itu, karena apa yang ada dimasa datang adalah kehendak Yang Kuasa, manusia hanyalah berusaha semampunya saja."
Widari yang kurang sependapat dengan pendapat ibunya menelan ludah, karena kerongkongannya terasa tersumbat juga karena perasaan kecewa yang sangat. Dengan suara serak dan bergetar ia berkata, “tetap saja itu sifat kerdil ibu.., orang seperti itu adalah orang yang selalu dibayangi rasa takut. Orang yang selalu bimbang dalam mengambil keputusan...,” kata Widari sambil menjatukan kepalanya dipundak ibundanya. Air matanya kembali berurai membasahi pipinya. Tubuh Widari berguncang-guncang karena kekecewaan yang teramat sangat, juga perasaan yang menghentak-hentak di dalam dadanya. Nyi Purbasana mengelus punggung putrinya itu, untuk meredakan perasaan hati putrinya yang sedang terluka.
“Apa ini ada kaitannya dengan Linggar?” tanya ibundanya.
Widari tak menjawab hanya menganggung, sambil sesekali menyeka air matanya.
“Tidak perlu terlalu dalam kau masukkan kedalam hatimu. Jangan pula terlalu cepat menarik kesimpulan, karena sesungguhnya hati seseorang sulit diterka. Jalanmu masih sangatlah panjang, Widari. Ini hanya hal kecil yang harus bisa kau lalui. Kelak pengalaman-pengalaman ini akan mendewasakanmu, percayalah. Kehilangan seseorang bukan berarti berakhirnya dunia. Tetapi dunia akan terus berputar dan meninggalkan orang-orang yang terlalu lemah mengikuti putarannya.”
Widari masih menggelayut pada ibundanya, tetapi air matanya telah surut dan tak lagi berderai. Walaupun masih kurang mapan hatinya, ia berusaha mencerna petuah ibundanya itu. Walaupun dihimpit perasaan yang tidak menentu Widari masih menjaga perasaan ibundanya, apalagi dia belum cukup tega mengatakan tentang pernikahan ayahnya. Dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya, membuat Widari makin membulatkan tekad. Yaitu tekad untuk membentengi diri, sebagai wanita yang kadang dianggap lemah, membuatnya ingin menjadi wanita kuat.
Di salah satu sudut katumenggungan, yaitu tepatnya di bilik kamar Linggar masih termenung. Matanya sulit terpejam, dipandanginya langit-langit kamar. Selintas lembaran-lembaran kejadian di Matesih terulang kembali. Bayang-bayang ayahnya yang belum kembali, serta bayang wajah ibu dan adik perempuannya di Matesih yang menunggu tak berujung.
Linggar menarik napas panjang. “Aku akan pulang, kelak. Ya, setelah tugasku menjernihkan kemelut Mangir dan Pajang selesai,” katanya membathin.
Linggar kemudian sempat meraba balutan lukanya. Di angan-angannya kembali terbersit wajah Ayu putri Tumenggung Purbasana, Rara Widari. Ia merasa bersalah, karena telah melukai hati putri Tumenggung Purbasana yang tulus itu. Gadis yang selama ini mampu memberi arti bagi dirinya, dan juga tempat berbagi suka maupun duka.
“Kasihan Widari..,” Linggar berdesah. “Mungkin saat ini hatinya remuk rendam karena sikapku tadi. Belum lagi masalah ayahnya yang juga mempengaruhi bathinnya,” katanya dalam hati.
Tetapi Linggar merasa untuk sementara memang itulah jalan yang terbaik. Agar tugas keprajuritannya tidak menjadi campur aduk dengan masalah pribadinya.
Linggar masih merenung menatap lampu teplok yang menempel di dinding. Cahayanya kadang bergoyang ditiup angin yang menyusup dari celah bilik tempatnya beristirahat. Lama-kelamaan karena kelelahan akhirnya Linggar pun tertidur.
            Keesokan harinya, atas saran Ki Wilamarta, Linggar bergegas ke barak prajurit untuk sekedar meminta ijin kepada Ki Lurah Rangga Jati. Bahwa ia akan meminta untuk istirahat beberapa waktu terkait lukanya yang belum sembuh benar. Setelah menanyakan beberapa hal, akhirnya Ki Lurah pun tidak keberatan dengan permintaan Linggar.
“Aku harap lain kali kau lebih berhati-hati. Ini untuk menjaga keberadaanmu dalam kesatuan telik sandi. Karena bagaimana pun juga Ki Purbasana maupun Derpayuda adalah orang berpengaruh di Pajang, selain Ki Wilamarta,” ujar Ki Lurah.
Belum kering mulut Ki Lurah berucap, masuk seorang prajurit dengan tergesa-gesa dan berwajah tegang.
“Mohon ampun Ki Lurah! Di luar ada Ki Tumenggung Derpayuda bersama putranya,” kata prajurit itu.
Ki Lurah Rangga Jati terkejut. Tetapi ia langsung paham, bahwa Tumenggung Derpayuda datang karena ada sangkut-pautnya dengan Linggar. Walaupun secara garis kepemimpinan Tumenggung Derpayuda bukan atasan langsung Ki Lurah Rangga Jati. Namun Ki Lurah pun langsung menyongsongnya keluar halaman. Dengan tersenyum ia memandang Tumenggung Derpayuda, meskipun ada yang kurang patut dengan tumenggung itu. Yaitu memasuki barak tidak dengan menuntun kuda, melainkan duduk dipunggung kuda dengan membusungkan dada. Tentu saja pemandangan itu menjadi perhatian para penghuni barak yang dengan serta merta menghentikan latihan, kemudian berdiri berjajar memandang tamu yang baru datang itu.
“Selamat datang Ki Tumenggung Derpayuda! Ada apa kiranya hingga Ki Tumenggung dengan tergesa-gesa memasuki barak kami?” kata Ki Lurah.
Ki Tumenggung Derpayuda tidak menjawab, melainkan memandangi para prajurit penghuni barak satu persatu, seolah sedang mencari seseorang diantara mereka. Wajahnya memerah dengan sorot mata yang menyala-nyala, seperti orang yang sedang marah.
“Rangga Jati! Dimana pemuda yang bernama Linggar itu? Aku ingin memberinya pelajaran, karena telah berani berbuat kurang pantas terhadap anakku. Putra dari seorang Tumenggung!” kata Tumenggung Derpayuda lantang.
Walaupun tidak senang dengan sikap Tumenggung Derpayuda, Ki Lurah mencoba bersabar. “Mari kita bicarakan di dalam Ki Tumenggung, agar lebih jelas duduk persoalannya.”
“Ah..., tidak perlu! Kau sadar kedudukanmu apa Rangga Jati? Jangan menghalang-halangiku!” kata Tumenggung Derpayuda tak sabar.
“Aku hanya Lurah Prajurit, Ki Tumenggung. Tetapi kalau boleh aku memberi saran, lebih baik kita bicarakan masalah ini secara baik-baik. Agar tidak menjadi pusat perhatian para penghuni barak ini.”
“Biar saja! Biar mereka tahu unggah-ungguh sebagai bawahan terhadap atasannya. Sekarang! Aku minta kau menyerahkan salah satu prajuritmu yang bernama Linggar. Dan jangan pernah coba menghalangiku!” ancam Tumenggung Derpayuda.
Ki Lurah Rangga Jati menarik napas dalam-dalam. Ia tersudut dalam keadaan yang rumit. Bagaimana pun juga ia adalah orang yang bertanggungjawab atas paugeran dan kewibawaan kesatuan prajurit dibawahnya.
“Ki Tumenggung, kalau memang salah satu dari prajuritku itu bersalah, biarlah aku yang akan menghukumnya. Tetapi, aku mohon Ki Tumenggung menghargai tanggungjawabku sebagai orang yang diserahi tugas oleh atasanku Ki Tumenggung Wilamarta.”
“Rangga Jati..!” kata Tumenggung Derpayuda meninggi. “Aku juga seorang Tumenggung disini. Hormatilah aku sebagai petinggi Pajang pula! Kedudukanku sama dengan Wilamarta!”
“Aku tidak bisa Ki Tumenggung,” kata Ki Lurah pendek.
“Kau membangkang Rangga Jati?” kata Tumenggung Derpayuda yang amarahnya sudah tertahankan lagi.
“Bukan maksudku. Tetapi apapun yang terjadi di barak ini adalah menjadi kewenanganku, yang seterusnya aku pertanggungjawabkan pada Tumenggung Wilamarta.”
Tumenggung Derpayuda menggeram marah. Ia turun dari punggung kudanya diikuti Dalika puteranya.
“Mau tidak mau suka tidak suka, aku akan menggeledah isi barakmu untuk mencari orang yang aku maksud,” kata Ki Derpayuda sambil melangkah mendekati Ki Lurah Rangga Jati.
“Aku terpaksa mempertahankan diri Ki Tumenggung!” sahut Ki Lurah dengan nada dalam.
Kata-kata Ki Lurah itu terasa panas ditelinga Ki Derpayuda. Rasanya seperti hinaan, bahkan tamparan keras bagi seorang tumenggung yang dihormati. Tangannya mengepal keras siap memukul wajah Lurah Prajurit itu.
Tetapi sebelum terjadi baku hantam itu terjadi dari dalam pintu barak, menyembul seorang lelaki muda.
“Tunggu..!” katanya dengan nada nyaring. Semua perhatian kemudian menjadi tertuju pada pemuda tadi, yang tidak lain adalah Linggar. Ia berjalan melangkah mendekati Ki Lurah Rangga Jati dan berdiri disisinya.
“Ki Lurah.., biarlah aku yang mempertanggungjawabkan kesalahanku. Aku tidak ingin merusak kewibawaan prajurit Pajang, terlebih lagi dibawah pimpinan Ki Lurah,” kata Linggar dengan tertunduk.
“Bagus..!” kata Ki Derpayuda dengan cepat. “Tanganku juga sudah gatal ingin menghajarmu, setelah sebelumnya kau buat lebam wajah Dalika puteraku dengan tanganmu!”
Ki Lurah Rangga Jati terkejut dengan kemunculan Linggar. Padahal sebelumnya ia sudah memperingati untuk tetap di dalam barak.
Ki Lurah menarik napas dalam, lalu berkata. “Tidak Linggar! Menepilah! Aku yang bertanggungjawab disini. Urusanmu dengan Dalika bukan urusan keprajuritan, jadi tidak ada hubungannya disini. Jadi Deksura kiranya jika Tumenggung Derpayuda mengacau disini!”
“Rangga Jati!” suara Tumenggung Derpayuda meninggi, memecah keheningan barak pagi itu. “Lancang sekali mulutmu, memang seharusnya kau aku hajar lebih dulu!”
“Bersiaplah..!” kata Ki Derpayuda sambil menyingsingkan lengan bajunya.
Sejenak keduanya mengambil kuda-kuda siap bertempur. Walaupun secara tata keprajuritan Ki Derpayudalah yang lebih tinggi, tetapi dalam urusan bertempur belum tentu.
Ki Derpayuda menyerang terlebih dulu. Tangannya yang mengepal diarahkan ke wajah Lurah Prajurit itu. Tetapi Ki Lurah pun dapat bergerak menghindar dengan cepat, ia menggeser wajahnya ke samping, kemudian balas memukul. Begitulah, serangan susul-menyusul diperagakan dua pemangku jabatan di Kadipaten Pajang itu. Keduanya sebagai prajurit Pajang dapat bergerak dengan trengginas dan terpola dengan baik, karena tempaan pengalaman mereka selama di medan perang.
Ki Derpayuda dengan keunggulan tubuhnya yang tinggi, dapat menjangkau sasaran dengan mudah. Akan tetapi walau Lurah Rangga Jati tidak setinggi Ki Derpayuda, tetapi kemampuannya menilai keadaan membuatnya mampu menahan setiap gempuran lawannya. Lurah Rangga Jati menyiasatinya dengan bertarung dengan jarak dekat, begitu Ki Derpayuda mengambil jarak, ia langsung merangsek ke depan dengan gerakan-gerakan yang cepat dan bertubi-tubi.
“Lurah tidak tahu diri! Kau akan aku buat berlutut dikakiku sebentar lagi,” katanya mengumpat.
“Silahkan Ki Tumenggung. Aku tidak akan pernah menyerah apalagi untuk menegakkan paugeran yang telah menjadi wewenangku disini,” ujar Ki Lurah.
Terlihat sekali lama-kelamaan Ki Lurah terperas tenaganya. Bagaimana pun juga Tumenggung Derpayuda kemampuannya berada beberapa lapis diatasnya. Hingga di suatu saat Lurah Rangga Jati dapat dijatuhkan dengan suatu tendangan yang mengenai dadanya, karena memang Ki Derpayuda bertubuh tinggi ditambah lagi tendangan disertai lompatannya sudah tentu dapat menjangkau dada lawannya.
Belum puas sampai disitu, Tumenggung itu menghampiri Ki Lurah yang masih belum menyadari keadaan karena pening. Dengan penuh bernafsu Ki Derpayuda berniat hendak menginjak lehernya.
Tetapi sebelum niat itu terlaksana. Terdengar suara yang mendebarkan dada, suara yang disalurkan dengan tenaga dalam itu mengguncang jantung orang-orang yang berada disitu. Meskipun tidak dilontarkan dengan kekuatan penuh, tetapi suara itu mampu memperingatkan orang yang mendengarnya. Bahwa suara itu bukan suara orang sembarangan.
“Luar biasa kalian…! Kalian bertarung untuk siapa sebenarnya?” kata suara itu. Yang ternyata adalah Ki Wilamarta, yang sudah berada diantara para prajurit yang berjejer itu.“Wilamarta..,” desis Tumenggung Derpayuda.
“Ya, aku Derpayuda. Apakah aku mengejutkanmu?”
Ki Derpayuda bagaimana pun juga agak segan kepada Ki Wilamarta. Bukan berarti takut, tetapi menjaga kewibawaan dirinya, walaupun sebenarnya tabiatnya kadang berlebihan. Ki Derpayuda pun mengurungkan niatnya, ia lalu membiarkan Ki Lurah Rangga Jati bangkit dan menghadap Ki Wilamarta.
“Mohon ampun Ki Wila.., hamba tidak bermaksud menentang atasan, terlebih lagi petinggi Pajang,” ujar Ki Lurah sambil membungkuk.
Ki Wilamarta tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum kemudian melayangkan pandangannya pada Ki Tumenggung Derpayuda.
“Bukan salahmu Rangga Jati. Mungkin aku yang tidak bisa mengajarimu suba sita!” kata Ki Wilamarta dengan nada dalam.
Kata-kata itu berdesir dihati Ki Derpayuda, ia pun kemudian menimpali. “Bukan maksudku mengacau disini Ki Wila. Tetapi aku hanya ingin menyelesaikan masalah kecil, dan memang seharusnya tidak perlu Rangga Jati melibatkan diri,” kata Ki Derpayuda dengan suara agak menurun, karena perasaan sungkan kepada Ki Wilamarta.
“Masalah kecil kau bilang? Lalu kenapa kalau masalah yang kau anggap kecil itu, kau yang seorang tumenggung harus turut campur? Padahal tugasmu sendiri adalah mengurusi masalah-masalah besar di sekitar Prambanan, bukan didalam barak keprajuritan Pajang yang menjadi wewenangku.”
Ki Tumenggung Derpayuda agak tergagap mendapat pertanyaan itu, walaupun Ki Wilamarta tidak mengucapkannya dengan penekanan atau pun dengan nada tinggi, tetapi kata-katanya mampu menusuk hati lawan bicara.
“Ya.., Ya.., Ki Wila, aku mengerti. Tetapi aku hanya ingin menjaga kehormatan keluargaku, terutama anakku. Yang sudah dihinakan pemuda itu,” katanya sambil menunjuk Linggar yang sedari tadi hanya menunduk.
“Kehormatan? Kehormatan apa? Kau malah merendahkan dirimu di depan prajurit-prajurit itu, Derpayuda. Kau dan Rangga Jati jadi bahan tontonan mereka, bukan malah sebaliknya yaitu memberi tuntunan.”
“Tapi.., tapi Ki Wila..," katanya tergagap karena bingung dengan pertanyaan yang menyudutkannya.
“Sudahlah Derpayuda,” kata Ki Wilamarta. “Aku mengenal pemuda ini, karena memang ia kebetulan tinggal dirumahku. Dan aku rasa dia sudah cukup bertanggung jawab, apalagi dia sudah mau menerima kekalahan tanpa memperpanjang masalah.”
“Maksud Ki Wila..? sahut Derpayuda sambil mengerutkan dahi.
“Anak ini sudah ikhlas menerima kekalahan dengan luka didadanya. Dan ia bertanggung jawab dengan melaporkan kekhilafannya pada Rangga Jati, dan untuk seterusnya ia akan mawas diri,” ujar Ki Wilamarta.
Ki Derpayuda yang tak percaya memandangi Linggar dengan tatapan yang penuh curiga.
“Ah Ki Wila ini mengada-ada, pemuda ini dapat berdiri kokoh, mana mungkin ia terluka?” kata Derpayuda sambil mencibir.
“Kau tak percaya?” kata Ki Wilamarta, lalu menyingkap baju lurik Linggar yang memang tak dikancingkan bajunya, agar tidak terlalu ketat menekan lukanya. “Inilah Derpayuda! Kau sudah puas sekarang?”
“Apakah luka lebam puteramu itu,sebanding dengan guratan pisau pemuda ini?” tanya Ki Wilamarta lagi.
Ki Derpayuda sesaat memandangi Dalika yang seketika itu pula tertunduk.
“Apakah itu luka akibat dari Dalika anakku?” tanya Ki Derpayuda.
“Tanya anakmu sendiri! Sekarang aku minta kita semua kembali ke kesibukan masing-masing. Jangan sampai kanjeng Adipati menjadi tahu akan peristiwa yang sama sekali tidak penting ini!” kata Ki Wilamarta kemudian.
Setelah berkata-kata, Ki Wilamarta tidak berlama-lama atau menunggu tanggapan Ki Derpayuda. Dengan langkah yang santai sambil menggendong tangannya di belakang, ia berlalu seperti tak terjadi apa-apa. Diikuti semua penghuni barak tak terkecuali Linggar dan Ki Lurah langsung masuk ke dalam barak. Para prajurit pun kembali berlatih di halaman barak tak memperdulikan Ki Derpayuda yang termangu-mangu.
Merasa tak digubris dan niatnya tak terlaksana, Ki Derpayuda pun mengajak anaknya meninggalkan halaman barak itu. Dengan muka merah dan kekesalan mendalam ia mengumpat-umpat sepanjang jalan. Sesekali dimakinya Dalika karena kelakuannya yang telah membuatnya malu dihadapan Wilamarta.
“Kau hanya bisa merengek Dalika! Kenapa tak kau habisi saja anak padesan itu diluar sana? Lagipula, apa kemampuan yang kau dapat setelah berguru pada Ajar Kesada? Tidak sedikit aku menyokong sanggarnya agar menjadi lebih besar, tetapi anakku masih saja bersembunyi diketiakku!”
“Tetapi aku sudah dapat melukainya ayah,” potong Dalika.
KI Derpayuda menghentikan langkah kaki kudanya sesaat. “Benar lukanya itu karena pertarungan secara jantan? Atau kau telah memanfaatkan kelengahannya?” Kata Ki Derpayuda sambil kembali memacu kudanya tanpa menunggu jawaban dari Dalika.
Kata-kata ayahnya itu bagai tamparan yang keras di pipinya. Tetapi Dalika hanya terdiam, sambil mengendalikan kudanya mengikuti irama derap langkah kuda ayahnya.
<-- Prev     Next-->

6 komentar:

Pengikut