Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih 28

Kiai Jambe Abang lalu memandang ke arah Linggar, yang tengah ditangani para pemimpin Pajang. Kemudian ia berjalan beberapa langkah kedepan, dan berdiri tepat ditengah pertarungan tadi, seperti sedang menunggu sesuatu.
Raden Pamekas yang melihat Kiai Jambe Abang berdiri sendiri ditengah laga, segera bangkit menghampirinya.
“Bagaimana Raden? Apakah kita sudahi saja peperangan ini? Sebaiknya, kau menarik mundur pasukanmu dan kembali ke Kadipaten Pajang,” kata Kiai Jambe Abang.
Sesaat Raden Pamekas terdiam, kemudian memandangi seluruh prajuritnya yang nampak sudah kelelahan. Ia sendiri sebenarnya sependapat dengan Guru dari padepokan Watu Belah itu. Akan tetapi suatu hal telah menahan tindakannya.
“Aku rasa tidak Kiai!” katanya pendek
Kiai Jambe Abang terkejut dengan tanggapan Raden Pamekas. Sebenarnya ia sangat khawatir dengan keselamatan Pangeran Pujapati, akan tetapi mendengar tanggapan Raden Pamekas sulit sekali baginya untuk mundur.
“Pikirkan lagi Raden! Baik Linggar maupun Pangeran Pujapati muridku, sekarang dalam keadaan luka dalam, dan itu butuh perhatian khusus.”
“Tujuanku kesini adalah meringkus muridmu itu, sekaligus menghancurkan padepokan ini Kiai! Jadi jangan pernah berpikir aku pulang kandang, tanpa membawa hasil buruannya!”
“Tetapi mungkin aku akan berpendirian lain, jikalau kau dan pangeranmu itu bersedia aku belenggu dengan rantai di leher. Itu hanya tawaranku Kiai, tetapi jika kau menolak! Aku akan menjadikan padepokan ini menjadi karang abang!” ancam Raden Pamekas.
“Sombongnya kau, Pamekas!” kata Kiai Jambe Abang yang menjadi geram.
“Aku terikat sumpah prajurit, seperti juga dengan Linggar. Pantang bagi kami untuk surut selangkah, apalagi menyerah. Ketika di Kali Praga aku memang belum sempat beradu dada denganmu Kiai, sekarang tibalah saatnya! Aku juga ingin menangkapmu sebagai salah seorang yang telah menghadang perjalanan kami ke Pajang waktu itu. Walaupun banjir bandang yang terjadi kala itu adalah takdir yang kuasa, tetapi penghadanganmu itu turut andil dalam menggerus prajurit-prajuritku.”
“Karena polah tingkahmulah kekacauan ini terjadi. Bahkan kau mendukung siapa saja yang memberontak, baik Arya Jipang atau pun pemuda itu yang akan kau jadikan raja-rajaan.”
“Kau berani menghinaku Pangeran!” sahut Kiai Jambe Abang keras.
Raden Pamekas tersenyum tipis, lalu berkata. “Coba kau pikir lagi, Kiai! Orang yang kau namakan Pangeran Pujapati itu, siapa sebenarnya? Asal-usulnya saja tidak jelas, sekarang akan kau jadikan pemimpin tanah jawa. Sungguh aku tak habis pikir, Kiai.”
“Aku yakin pemuda yang kau sebut Pangeran itu hanya dijadikan boneka bagi segelintir orang saja, Kiai. Yaitu orang yang mencoba mengambil keuntungan dari kisruh yang melanda tanah jawa saat ini. Bahkan dalam kemudaan usianya kini, Pangeran itu tidak menyadarinya sama sekali. Sanjungan dan impian tentang masa depan telah meracuni pikirannya. Dan itu adalah prakarsa orang-orang seperti kau, Kiai!”
“Jaga bicaramu Pamekas! Kau tidak perlu menggurui aku,” potong Kiai Jambe Abang. “Kau tahu! Dalam darah Pangeran Pujapati itu mengalir trah Brawijaya pamungkas. Ia lebih berhak memimpin tanah jawa ketimbang siapapun, tidak terkecuali Karebet.”
“Jangan berkhayal Kiai! Tanah jawa sudah dipimpin oleh Kesultanan Demak, tidak usah lagi menghadirkan kisah lama tentang Majapahit. Dan Adipati Hadiwijaya hanyalah orang yang mencoba menyelamatkan kehancuran Demak, dia hanya berusaha membuat tlatah Demak kembali aman seperti sebelumnya.”
“Pamekas!” Kiai Jambe Abang memotong. “Perlu kau ketahui bahwa para adipati di daerah timur telah melakukan pertemuan di Blambangan, dan dalam pertemuan itu mereka telah sepakat mengangkat Pangeran Pujapati sebagai penerus atas tahta tanah Jawa!”
“Kiai. Setelah Raden Patah, kemudian diteruskan Adipati Unus, sampai Sultan Trenggana, tidak ada orang yang menggugat kuasa mereka atas tanah Demak. Lalu.., kau ini sebenarnya siapa he? Kadang-kadang ada di pihak Arya Jipang, tetapi sekarang tiba-tiba berubah rupa seolah-olah menjadi Patih bagi Pangeran kecilmu itu!”
“Jangan ikut campur urusanku, Pamekas! Siapa pun yang aku dukung, itu adalah hakku! Tetapi Baiklah, kalau kau ingin bertarung denganku sampai mati, aku akan melayaninya. Pastinya itu akan mengurangi penghalang bagiku untuk memuluskan perjuanganku ini!”
Kiai Jambe Abang kemudian mempersiapkan diri untuk bertarung melawan Raden Pamekas, begitu juga dengan Raden Pamekas yang merasa berkewajiban membela harga dirinya sebagai utusan dari Pajang. Yang tidak mau pulang dengan tangan hampa, setelah melihat musuh yang dicari-cari telah berada didepan mata.
Maka keduanya kini menjadi kelanjutan atas perang tanding yang telah terjadi sebelumnya. Keduanya kemudian terlibat pertempuran sengit, antara dua orang yang sudah cukup berpengalaman dalam hal olah kanuragan. Hanya usia saja yang membedakan mereka.
Kiai Jambe Abang yang sudah cukup berumur, memiliki pengalaman luas atas ilmu kanuragan, selain itu juga ia pernah mengabdi sebagai prajurit di Demak. Sementara itu Raden Pamekas adalah bangsawan dari Demak, yang menjadi utusan dari Kadipaten Pajang sebagai daerah bawahannya. Pamekas sendiri memiliki kecakapan kanuragan dibawah bimbingan langsung Karebet adipati Pajang, yang juga menantu Sultan Trenggana.
Pertarungan itu berlangsung sengit. Mereka saling mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka. Keduanya jarang sekali memukul dengan tangan mengepal, melainkan lebih mengandalkan kelincahan telapak tangan mereka dalam hal menepis serangan, ataupun mencederai lawan.  Jemari mereka kadang seperti menguncup hendak menotok bagian tubuh lawan. Pertarungan itu pun berjalan lebih cepat dari sebelumnya, karena dilakukan oleh orang dengan tingkat kanuragannya lebih tinggi.
Disuatu saat tendangan Kiai Jambe Abang diarahkan ke perut lawan, dengan cepat Raden Pamekas mengangkat kaki kanannya setinggi perut, kemudian melakukan tebasan kesamping dengan sisi lengan kanannya. Tendangan itu pun dapat dipatahkan olehnya, tendangan itu hanya mendarat di tanah. Raden Pamekas yang melihat posisi tubuh Kiai Jambe Abang sekarang menyamping, mencoba menghantam tengkuknya dengan siku tangan kanannya. Untung saja Kiai Jambe Abang dengan cepat merendahkan tubuhnya, sehingga sikutan itu hanya melintas diatas kepalanya. Kiai Jambe Abang yang melihat kaki Raden Pamekas diangkat satu, berniat membuat sapuan terhadap kaki kiri lawannya yang berpijak. Sambil berjongkok, kaki kanan Kiai Jambe Abang digerakan melingkar, menyapu kaki lawan. Raden Pamekas yang melihat gerakan sapuan itu, merasa tidak ada acara lain menghindar selain berguling kedepan.
Begitulah, serangan demi serangan terus memburu satu sama lain. Gerakan yang gesit membuat tempo pertarungan itu begitu cepat. Tidak ada yang terdesak mundur diantara keduanya, hanya saja arena pertarungan kadang bergeser kekanan dan kekiri. Akibat dari pergeseran gerak dan lompatan-lompatan Pajang yang diperagakan mereka. Setiap jurus seolah dapat ditangkap dan ditepis dengan mudah, hingga sulit untuk menembus pertahanan satu sama lain.
Tetapi beberapa saat kemudian tatapan Kiai Jambe Abang menyambar kearah dimana Linggar berada. Dilihatnya Linggar dibantu dua orang tabib, sudah mampu duduk dengan baik walau bersandar pada sebatang pohon.
Sementara itu ketika ia sesekali mengedarkan pandangan kearah Pangeran Pujapati, dilihatnya ia masih terbatuk-batuk dan dari dalam  mulutnyamengeluarkan darah, bahkan seorang tabib yang mengobatinya tanpak kesulitan memulihkan pernapasan Pangeran itu.
Kiai Jambe Abang menjadi semakin gelisah melihat keadaan Pangeran Pujapati. Perhatian dan hatinya menjadi tersita melihat keadaan muridnya itu. Sehingga ia kemudian lengah, ketika sebuah tendangan Raden Pamekas hampir menyentuh dadanya. Kiai Jambe Abang pun terlambat menghindar dan terpaksa membendungnya dengan menyilangkan tangan di depan dada. Akibatnya dari benturan itu ia terdorong mundur dua langkah kebelakang, tetapi masih mampu berpijak dengan dua kakinya.
“He, ada apa denganmu kiai?” kata Raden Pamekas menyindir. “Sepertinya kau kehilangan kewaspadaan, apakah karena anak emasmu itu merengek kepadamu?”
“Diam kau Pamekas!” teriak Kiai Jambe Abang. “Jangan berbangga atas kelengahanku tadi, aku masih punya jurus yang mematikan untuk membynuhmu!”
Raden Pamekas tidak membalas perkataan Kiai Jambe Abang. Ia hanya terus menyerang dan melihat kelemahan pada lawannya. Sebenarnya Pamekas pun paham bahwa Kiai Jambe Abang mulai terpecah perhatiannya. Ia sendiri berlega hati, karena melihat Linggar sudah sadarkan diri.
Kiai Jambe Abang makin tidak tenang dalam bertarung, sesekali pandangannya masih tertuju pada muridnya itu. Beberapa saat kemudian ia bergerak cepat mendesak Raden Pamekas, lalu kemudian ia berguling kebelakang mengatur jarak. Ia seperti ingin menyudahi pertarungan.
“Cukup Raden! Aku tidak sedang berselera melanjutkan perang tanding ini!”
“Hei.., rupanya kau takut Kiai. Atau mungkin karena nyalimu tinggal semenir?” kata Raden Pamekas menyindir.
“Tutup mulutmu yang nyinyir itu Raden!” bentak Kiai Jambe abang yang tersinggung. “Kau tinggal memilih, tarik pasukanmu mundur, atau aku akan membuat pasukanmu itu kacau-balau!”
Raden Pamekas mengerutkan dahi, seolah menerjemahkan maksud perkataan Kiai Jambe Abang.
“Apa maksudmu Jambe Abang?” tanya Raden Pamekas. “Apa kau pikir kesaktianmu dapat memukul mundur seluruh pasukanku?”
“Ya!” jawabnya dengan keras. “Lihatlah seruling ini!” katanya sambil meraih sebuah seruling yang ia selipkan dipinggang. “Kau sebagai orang Demak tentu tahu bukan akan kesaktian seruling ini? Seruling yang pernah menggegerkan dunia persilatan di Alas Roban!”
Raden Pamekas terkejut. Walaupun sebelumnya seruling itu pernah ditiup Kiai Jambe Abang dan suaranya tidak mempengaruhinya. Tetapi kini ia mengetahui bahwa itu bukanlah seruling biasa. Jika seruling dengan lontaran tenaga dalam sebelumnya dapat ia rendam, tetapi setelah melihat wujud dari seruling itu cukup mengejutkan.
“Darimana kau curi seruling itu, Kiai?” tanya Raden Pamekas yang mengenali seruling itu.
“Aku telah merebutnya dari Keraton Kadipaten Pajang,” jawab Kiai Jambe Abang.
“Aku tahu seruling itu, Kiai! Seruling itu adalah pusaka yang ada di gedung pusaka Pajang, berarti kau telah mencurinya. Karena seruling Naga Sengkala adalah milik Adipati Pajang atau Karebet, yang mendapatkannya karena berperang tanding dengan penguasa Alas Roban.”
“Tepat sekali Raden! Seruling ini bisa mengundang hewan melata dan berbisa, karena pengaruh gendamnya luar biasa. Sekarang keputusannya ada padamu! Mundur, atau kau ingin melihat prajuritmu mati tersengat racun hewan berbisa!” ancam Kiai Jambe Abang.
“Ingat Raden! kita sekarang sedang berada di Mentaok. Tentu hewan melata disini bisa berlipat-lipat jumlahnya dibanding jumlah pasukanmu!”
Raden Pamekas menggeram marah, tangannya mengepal dan bergetar. Ia harus segera membuat keputusan, sementara beberapa pertimbangan berkecamuk dipikirannya.
Jika dia tetap meneruskan perang tanding, maka nasib para pasukannya akan makin bertambah parah. Tetapi jika dia kembali dengan tangan hampa, sungguh peperangan yang hasilnya sia-sia saja. Belum lagi rasa bersalahnya karena sebelumnya telah kehilangan beberapa prajuritnya dari Demak, saat pertempuran di lereng Tidar dan di tepian Kali Praga. Menambah kegundahan dalam hatinya, dia merasa sebagai senapati perang yang gagal jika hal itu sampai terulang lagi.
Akhirnya dengan berat hati, Raden Pamekas pun berkata. “Aku mundur bukan karena takut kepadamu, Jambe Abang. Aku berpikir yang lebih luas untuk keselamatan prajuritku!”
“Dan ingat! Aku akan terus memburumu dimanapun kau berada, jika gegayuhanmu itu masih tetap kau teruskan!” kata Raden Pamekas lagi.
“Bagus, kalau begitu! Keputusan yang tepat,” sahut Kiai Jambe Abang. “Aku pun lain kali tak akan mundur setapak pun, jika harus berhadapan lagi denganmu!”
Raden Pamekas terpaksa menahan gemuruh yang ada didalam dadanya. Peperangan yang harusnya tinggal sedikit lagi berhasil itu, harus berkesudahan begitu saja. Sementara persiapan dan rencana yang matang yang ia buat, kini hancur dan sia-sia tanpa hasil. Raden Pamekas menggeram marah, tetapi iapun langsung balik badan tidak memperdulikan Kiai Jambe Abang yang masih berdiri menggenggam seruling Nagasengkala.
Akhirnya Kiai Jambe Abang pun melakukan hal yang sama, yaitu kembali ke barisan para cantrik padepokan. Kedua kubu kini dibuat bingung dan bertanya-tanya akan akhir dari pertarungan yang tidak jelas ujung pangkalnya itu. Mereka saling bergunjing dengan orang berada disebelahnya, membicarakan sebab musabab pertarungan itu terhenti.
Ki Lurah Rangga Jati yang menjadi penasaran akan pertarungan yang terhenti itu, segera mencari tahu dengan menghampiri Raden Pamekas dan menanyakan hal yang sebenarnya.
“Ada apa sebenarnya Raden? Mengapa pertarungan itu tiba-tiba terhenti?” tanya Ki Lurah penasaran.
Raden Pamekas menarik napas dalam-dalam, seolah mengendurkan kekecewaan yang meliputi hatinya.
“Apa boleh buat Rangga Jati,” katanya dengan nada dalam. “Jambe Abang ternyata telah mencuri pusaka seruling Nagasengkala yang ada di gedung pusaka Pajang.”
“Berarti kita telah kecolongan, Raden? Disaat semua perhatian terpusat di Padepokan Watu Belah ini, disaat itu pula mereka menyusup ke Kadipaten Pajang, begitu maksud Raden?” tanya Ki Lurah menegang.
“Ya, benar. Saat perhatian kita tersita oleh penyerbuan kita ini, Jambe Abang memanfaatkan kekosongan di Kadipaten Pajang dengan mencuri pusaka itu.”
Ki Lurah terdiam sesaat, ia membayangkan bagaimana penjagaan di gedung pusaka bisa jebol oleh seorang yang bernama Kiai Jambe Abang itu.
“Seruling Nagasengkala itu mempunyai kemampuan yang luar biasa, Rangga Jati. Apalagi di lebatnya hutan Mentaok ini. Seruling itu bisa menghadirkan ratusan hewan berbisa dengan tiupannya. Aku khawatir akan banyak jatuh korban dari prajurit kita yang akan tersengat hewan berbisa. Tidak hanya ular, melainkan kalajengking, dan kelabang seribu.”
Ki Lurah menjadi tegang mendengarnya, ternyata pusaka yang pernah menjadi rebutan di pesisir lor itu begitu berbahaya.
“Maka dari itu, Rangga Jati. Aku terpaksa mengambil keputusan yang cukup berat, yaitu menunda menangkap dua orang pimpinan Watu Belah itu.”
“Selanjutnya, Rangga Jati. Aturlah barisan kita untuk kembali ke Pajang. Rawatlah yang terluka, dan yang terluka cukup parah, usunglah dengan tandu.”
“Hamba Raden. Hamba akan segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk segera kembali ke Pajang.”
Raden Pamekas kemudian menghampiri Linggar, yang masih duduk bersandar pada batang pohon, ditemani Wurpasa.
“Bagaimana keadaanmu Linggar?” tanya Raden Pamekas.
“Napas hamba sudah berangsur pulih, hanya saja sekujur tubuh hamba masih terasa lemas,” sahut linggar dengan tersengal-sengal.
“Baiklah. Ini adalah kali pertama kau membenturkan ilmumu. Aku harap selanjutnya kau bisa mengukur kemampuan yang ada dalam dirimu. Karena perhitungan yang matang dapat menentukan hasil akhir dari suatu pertarungan.”
“Mohon maaf, Raden. Jika kiranya hamba telah terbawa perasaan saat menantang Kiai Jambe Abang tadi. Tiba-tiba saja hamba ingin menumpahkan gejolak dalam dada ini kepadanya.”
“Tidak apa, Linggar. Baik Jambe Abang maupun Pujapati keduanya memang harus ditangkap. Tetapi kau harus bisa membedakan mana yang kepentingan pribadi dan mana kepentingan yang ukurannya lebih luas.”
“Hamba mohon maaf, Raden,” sahut Linggar dengan kepala tertunduk.
Raden Pamekas hanya tersenyum, kemudian katanya. “Saat ini memang kedua orang itu belum bisa kita gelandang ke Pajang. Aku sengaja menghentikan perang tanding tadi, bukan karena takut. Akan tetapi karena kepentingan yang lebih luas. Jambe Abang telah mencuri pusaka dari gedung pusaka Pajang, kita kecolongan! Pusaka berupa seruling tadi, yang jika ditiup secara terus-menerus dengan nada beraturan bisa mengundang banyak hewan berbisa. Aku tidak mau prajurit kita meregang nyawa karena sengatan hewan berbisa.”
“Itulah yang aku maksud dengan melakukan perhitungan mendalam atas suatu masalah. Mendahulukan keselamatan prajurit lebih baik ketimbang menangkap Jambe Abang, tetapi mengorbankan banyak nyawa.”
Linggar menyimaknya dengan sungguh-sungguh perkataan Raden Pamekas. Raden Pamekas baginya bukan hanya sebagai pimpinan atau kawan, melainkan juga sebagai gurunya yang selalu membeli arahan-arahan dan pandangan dalam menghadapi suatu masalah.
“Nah sekarang kita akan pulang. Sebaiknya kau ditandu saja, melihat keadaanmu yang tidak memungkinkan untuk berkuda.”
“Dan kau Wurpasa!” katanya kepada Wurpasa yang sedari tadi duduk mematung mendengarkan percakapan.
“Hamba Raden,” sahut Wurpasa.
“Aku lihat kau tidak dalam keadaan terluka. Aku minta kau tinggal beberapa hari di Mentaok ini, untuk sekedar mengamati gerak-gerik padepokan ini. Segera laporkan jika ada perkembangan baru. Bawalah 2 orang prajurit pendamping untuk menyertaimu!” perintah Raden Pamekas.
“Baik Raden.”
Begitulah, rombongan prajurit Pajang itu kemudian segera mempersiapkan diri untuk bertolak ke Pajang. Beberapa orang yang terluka tampak merintih menahan sakit, dan beberapa orang yang lainnya terpaksa harus ditandu, karena ada yang gugur.
Sementara di pihak padepokan Watu Belah, Kiai Jambe Abang tampak masih sibuk memberikan pertolongan kepada Pangeran Pujapati. Pangeran itu sengaja dibaringkan, kemudian Kiai Jambe Abang memijit-mijit bagian dada dan punggung Pangeran itu. Beberapa saat kemudian Pangeran Pujapati terbatuk-batuk, tetapi kemudian napasnya berangsur-angsur mengalir wajar.
“Duduklah anak mas Pangeran! Minumlah ramuan ini, kau terluka dalam,” katanya sambil membimbing Pangeran itu meneguk ramuan dalam batok kelapa.
“Dimana pemuda itu, yang tadi menjadi lawanku?”
“Sudahlah anak mas! Pertarungan ini sudah usai, sebaiknya anak mas kembali ke bilik untuk beristirahat.”
“Sudah usai?” katanya tak percaya, sambil mengedarkan pandangan ke penjuru padepokan. Tetapi memang dilihatnya prajurit Pajang berangsur-angsur pergi meninggalkan lingkungan Padepokan itu.
“Kenapa bisa begitu, Kakek Guru?”
“Untuk sementara mereka memang mengurungkan niat untuk menangkap dan menggelandang kita ke Pajang. Tetapi lain kali mungkin mereka akan datang dengan kekuatan yang lebih besar.”
“Maksud Kakek Guru?”
“Raden Pamekas mengurungkan niatnya untuk berperang tanding denganku. Itu karena aku memegang pusaka Seruling Nagasengkala ini. Jika ia bersikeras aku mengancamnya akan membuat prajuritnya tewas akibat sengatan hewan berbisa yang dipengaruhi gendam seruling ini.”
“Kenapa tidak Kakek Guru lakukan?”
Kiai Jambe Abang menarik napas dalam-dalam. Kemudaan pangeran itu ternyata kembali membuatnya seolah terlalu bernafsu untuk mengalahkan siapapun yang merintanginya.
“Aku memikirkan nasib anak mas Pangeran. Kalau aku bertarung terus menerus, anak mas dalam bahaya. Karena anak mas kesulitan bernapas akibat benturan kekuatan tadi.”
“Dan perlu anak mas ketahui, bahwa keadaan Linggar tidak jauh beda dengan anak mas. Hanya saja ia lebih cepat dapat memulihkan pernapasannya ketimbang anak mas.”
“Kurang ajar!” katanya menggeram. “Jadi anak tengik itu masih hidup?” katanya lagi mengumpat. “Suatu saat aku akan membunuhnya tanpa ampun!”
Kiai Jambe Abang hanya menahan hatinya ketika mendengar Pangeran yang keras kepala itu, mengumpat lagi sejadi-jadinya.
Temaram senja pun mulai menggelayut di langit mentaok. Para cantrik tampak membersihkan sisa-sisa peperangan yang memporak-porandakan padepokan itu. Beberapa tabib padepokan tampak pula sibuk merawat mereka yang terluka.
<-- PREV  NEXT -->

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut