Novel Cerita Silat Jawa

TDM [08]

Ternyata dugaan Ki Wulungan terbukti, bahwa akan terjadi banjir bandang. Mayat-mayat yang tewas bergelimpangan itu pun disapu air bah itu, tubuhnya timbul tenggelam seperti batang-batang pisang.
Yang masih hidup pun berusaha melawan arus air untuk menyelamatkan diri sampai ke darat, akan tetapi usaha itu tidak berhasil. Tubuh mereka terseret dan terantuk batu, suara teriakan minta tolong hampir tak terdengar lagi, yang terdengar hanya gemuruh air.
Nasib Ki Wulungan dan Kiai Jambe Abang pun tak jauh beda. Keadaan keduanya yang lemah setelah membenturkan ilmu mereka, membuat air bah itu leluasa menghanyutkan keduanya.
Linggar yang melihat ayahnya dari atas tebing yang agak tinggi terpekik, “Ayah..! Ayah..!”.
Ia menjerit-jerit dan menangis, betapa pedih jika ia harus kehilangan ayahnya. Seketika ia berniat menerjunkan tubuhnya ke air yang meluap itu. Tetapi tangan Raden Pamekas, menarik dan mencegahnya.
“Jangan Linggar! Kau mencelakakan dirimu dengan terjun diantara banjir bandang itu!” Raden Pamekas berkata.
“Bagaimana dengan nasib ayahku?” Linggar bertanya, sambil meronta ingin menerjunkan diri ke sungai.
“Tidak ada pilihan lain Linggar! Kecuali kita menunggu air itu berhenti bergejolak, baru kemudian kita cari ayahmu.”
Linggar masih menitikkan air mata. Kepedihan menggores hatinya, belum lagi sembuh lukanya karena terusir dari Matesih, kini dia harus kehilangan ayahnya. Linggar terkulai lemas dan terduduk dengan lututnya.
Raden Pamekas sengaja membiarkan perasaan Linggar yang kecewa dan bergelut dengan kenyataan yang dihadapi. Api dendam di dadanya masih menyala-nyala, keluarganya menjadi korban fitnah yang disebarkan Jagabaya dan para bebahu yang mendukungnya. Tangan Linggar mengepal dan memukul-mukul tanah tempatnya terduduk.
Sementara itu banjir bandang telah mereda. Luapan air sungai yang mengamuk, kini telah mengalir tenang dengan membawa batang-batang pohon berukuran pendek dan juga semak-semak rumput yang tercabut dari akarnya. Permukaan air itu kini telah merendam tepian pasir, dan tingginya hampir mendekati tempat Raden Pamekas dan Linggar berpijak.
“Linggar. Mari kita tinggalkan tempat ini!” ajak Raden Pamekas.
Linggar tak menjawab, tatapannya kosong memandang air sungai yang mengalir keruh.
Raden Pamekas mencoba menyadarkan Linggar, “Yang bersedih dan merasa bersalah bukan hanya kau, tetapi aku juga. Prajurit-prajurit itu adalah tanggung jawabku. Bagaimana aku menjelaskan peristiwa menyedihkan ini pada Adipati Pajang. Aku pun tak bisa kembali ke Demak dengan dada tengadah, karena tak ada yang tersisa kecuali kita berdua. Bahkan Ki Jipayana adalah senapati yang diandalkan di Demak, tentu seisi istana akan dirundung duka. Belum lagi aku telah melibatkanmu dan ayahmu dalam masalah ini, yang berakibat terpisahnya kau dan ayahmu. Meskipun kita belum tahu nasib orang-orang yang digerus banjir bandang itu.”
Raden Pamekas memandang ke arah sungai praga yang airnya berubah kecoklatan bercampur lumpur. Rasa bersalah pun menyelinap di dinding hatinya yang terdalam.
Linggar yang tertunduk lesu, bangkit dan menarik napas dalam-dalam. Di kuatkan hatinya untuk menghadapi kemungkinan seburuk apapun, karena di Matesih ibu dan adiknya pasti masih menunggu dengan cemas.
“Mari Raden, kita menyusur sungai Praga. Mudah-mudahan ayahku masih terselamatkan dari musibah ini,” berkata Linggar dengan suara yang masih serak.
Raden Pamekas tersadar dari lamunannya, sejenak dipandanginya Linggar. Setelah yakin Linggar dapat menguasai keadaan, ia pun berkata, “baiklah Linggar, bukan hanya ayahmu yang kita harapkan, tetapi prajuritku juga.”
Linggar tertunduk dalam. Kata-kata Raden Pamekas menyentuh hatinya, ia tersadar bahwa ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Dibalik musibah yang menimpa bukan hanya dirinya yang tertimpa kesedihan, akan tetapi jerit tangis anak dan istri prajurit itu tentu lebih mengiris hati.
“Maafkan aku Raden.”
Raden Pamekas menepuk bahu Linggar, “syukurlah kalau kau sudah menyadari kekeliruan sikapmu atas musibah ini. Kau adalah laki-laki Linggar, dipundakmu ada beban yang harus kau pikul. Tidak selalu beban itu adalah tugas negara, akan tetapi beban terhadap kehidupan disekitarmu. Karena manusia mempunyai kewajiban menyelaraskan hubungan sesama manusia dengan alam. Dan yang paling hakiki adalah tanggung jawab kita terhadap sumber yang memberi anugerah pada hidup kita itu.”
Linggar diam membeku, mendengar perkataan bangsawan Demak itu.
Raden Pamekas meskipun masih berusia muda, tetapi pandangannya dalam menyikapi suatu masalah cukup matang. Itu sebabnya ia ditugaskan untuk menumpas laskar Jipang di Lereng Tidar. Kecakapan itu diperoleh dari bimbingan para sesepuh dan Wali yang waskita di keraton Demak.
Setelah perasaan mereka berdua menjadi lapang, barulah mereka beranjak dari tempat itu. Disusurinya tepian sungai itu, untuk mengamati adakah korban yang tersangkut pada. sulur-sulur pohon yang menjuntai ke sungai.
Air sungai yang keruh itu, sebagai membawa ranting-ranting pohon, ada pula tumbuhan semak yang tercabut dari akarnya, menambah warna kecoklatan pada air yang mengalir.
Hari hampir senja, tetapi tak satu pun sosok tubuh ditemukan mengambang atau terdampar di tepian sungai. Kelelahan yang sangat mendera mereka berdua. Akhirnya mereka memutuskan beristirahat di tempat yang teduh dibawah pohon rindang.
“Raden. Apakah kita akan mencari korban sampai ke muara sungai?”
“Entahlah Linggar, sungai ini sebelum sampai ke laut, akan bertemu dengan anak sungai Bedog. Daerah pertemuan dua sungai itu dinamakan Tempuran, yang berada di wilayah Mangir.”
“Besaran air yang mengalir ini, akan memecah disana. Kita dapat menentukan sikap setelahnya. Apakah kita langsung ke Pajang, atau ada kemungkinan lain yang mengharuskan kita tinggal disana?”
“Apakah Raden pernah ke Mangir?”
“Belum pernah, hanya aku pernah mendengar keadaan Mangir serba sedikit.”
“Daerah yang sebenarnya masih termasuk telatah Demak itu seolah mempunyai pemerintahan sendiri, di Mangir terdapat prajurit yang diperseñjatai. Mereka dipimpin oleh Ki Ageng Mangir.”
“Apakah daerah itu termasuk tanah perdikan?” tanya Linggar.
“Mirip tanah perdikan, tetapi mereka tidak pernah mengakui kedaulatan Demak atas mereka. Karena mereka sekali pun belum pernah ke Demak, untuk menunjukkan kesetiaan mereka terhadap pemerintahan Demak.”
Linggar bertambah bingung, “aneh sekali.., bukan tanah perdikan, tetapi ada di wilayah Demak? Tetapi bukan pula kerajaan?”
Raden Pamekas tersenyum, “Sudahlah Linggar. Kau akan tahu banyak setelah kita berkesempatan mengujungi Mangir.”
“Lihatlah hari hampir gelap, sebaiknya kita bermalam di atas dahan pohon besar ini.”
Linggar memandang sekitar pinggiran sungai Praga itu, yang bersebelahan dengan Alas Mentaok. Seumur hidupnya belum pernah ia bermalam di hutan, terlebih lagi tidur di dahan pohon.
“Kau takut Linggar?”
“Ini akan jadi pengalaman berharga dalam hidupmu. Terlalu berbahaya untuk tidur di bawah pohon, karena binatang buas dapat saja memangsa saat kita terlelap. Untuk itu sebaiknya kita mencari dahan yang cukup baik, untuk sekedar merebahkan diri.”
Linggar hanya mengangguk, kemudian segera menempatkan diri di dahan yang besar dan bercabang. Begitu juga dengan Raden Pamekas ia pun melakukan hal yang sama.
Malam itu dilewati tanpa kendala apapun. Meskipun malam hari, cahaya rembulan samar menyinari pinggiran hutan Alas Mentaok itu. Mereka berdua tidur bergantian, Raden Pamekas berjaga lebih dulu, sementara Linggar yang kelelahan, tertidur memeluk dahan pohon.
Ketika lewat tengah malam Raden Pamekas membangunkan Linggar untuk berjaga bergantian.
Linggar pun bangkit dan memaksa membelalakkan matanya, meskipun terasa berat. Linggar duduk memeluk lututnya diatas dahan pohon, dingin malam itu terasa menggigit tulang setelah disiang hari sebelumnya hujan deras mengguyur.
Diangan-angannya terbayang nasib ayahnya yang belum diketahui dimana rimbanya, belum lagi adik dan ibunya pasti mengkhawatirkan keadaannya. Peristiwa yang begitu cepat yang membuatnya terusir dari Matesih, membuat dendamnya menyala kepada Jagabaya dan orang-orang yang mendukungnya di Matesih.
Perlahan malam merayap menyambut fajar. Kabut pagi membuat daun-daun berembun. Titik- titik Embun yang hinggap di dedaunan itu meleleh digoyangkan angin. Menetes dari daun yang tinggi, bertahap ke daun-daun dibawahnya. Tak sengaja embun itu menetes di bawah pelupuk mata Raden Pamekas yang tertidur. Ia pun tersadar dari tidurnya, dan menyeka embun yang membasahi pelupuk matanya.
Dilihatnya Linggar masih terkantuk-kantuk memeluk lututnya.
“Kau masih mengantuk Linggar?”
“Oh, Raden sudah bangun,” katanya tergagap. aku tidak terlalu mengantuk Raden, hanya saja udara pagi ini begitu dingin.”
Sesaat kemudian keduanya melompat dari dahan pohon itu. Kemudian menggeliatkan badannya untuk menghilangkan pegal-pegal di tubuh mereka.
“Ayolah Linggar kita segera bergegas, mumpung hari masih pagi!”
“Baik Raden.”
Keduanya lalu kembali menyisir pinggiran sungai Praga. Mereka terkadang memetik buah-buahan yang ada di sisi luar Alas Mentaok, untuk sekedar mengganjal perut mereka yang lapar.
Hingga matahari lewat diatas kepala, tak ditemuinya korban amukkan banjir bandang itu, satu-satunya harapan mereka adalah tempuran sungai Praga dan Kali Bedog yang ada di telatah Mangir.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya tampaklah dipelupuk mata mereka. Sungai Praga yang disusuri itu menyatu dengan aliran Kali Bedog.
“Lihat Raden! Kita sudah sampai Tempuran sungai!”
“Ya. Kau benar Linggar, kita sudah berada di Mangir.”
“Disana ada orang yang berkerumun Raden!” kata Linggar sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Mungkin itu kawan-kawan kita, mudah-mudahan masih ada yang terselamatkan.”
“Tetapi kerumunan itu ada diseberang sungai yang telah menyatu itu Raden!”
“Lihat di lurusan jalan yang kita tempuh ini ada 5 orang yang berdiri disana, dan sebuah rakit disisinya. Kita minta diseberangkan saja oleh mereka.”
Prev  Next

7 komentar:

  1. DISAMPING HOBY CERSIL AKU KEPINGIN LEBIH TAHU BUDAYA DAN ADAD JAWA GAN,DENGAN MEMBACA CERITA INI KU HARAP BISA MEMBANTU

    BalasHapus
  2. silahkan ditunggu seri selanjutnya, sedang dalam proses..
    trims didik tri abadi sudah sowan di blog.
    saya masih belajar menulis, setingnya berlatar sejarah, tetapi ceritanya fiktif

    BalasHapus
  3. Kelanjutannya kok blm muncul mas ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seri 45 belum.. mohon bersabar. Sedang project buku Teknik

      Hapus
  4. Sy dr Bali suka skali sejarah dr mana saja, terutama yg berhubungan dgn Majapahit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih.. atas apresiasinya pak. Semoga ada waktu bagi saya untuk merampungkan cerita ini. Semangat Literasi ternyata tidak hanya berbuah hasil karya saja. Dari sekedar menulis, peluang ternyata banyak didapat..

      Hapus

Pengikut