Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih Seri 22

Malam hari sebelum pernyerangan ke Watu belah. Saat wayah sepi bocah, pasukan dibawah pimpinan Raden Pamekas dan Lurah Rangga Jati mulai meninggalkan Kadipaten Pajang. Pasukan itu menuju Alun-alun Pajang yang dijadikan tempat berkumpul dan persiapan berangkat ke Mentaok.
Di Keraton Kadipaten sendiri, Ki Tumenggung Wilamarta yang tidak ikut serta ke Mentaok, memeriksa keamanan keraton Pajang. Dilihatnya para prajurit malam itu bersiap siaga. Ki Wilamarta pun memberi pesan pada prajurit yang ada di pintu-pintu masuk untuk berhati-hati.
“Jangan lengah! Keadaan prajurit di Kadipaten pada malam ini tidak dalam kekuatan penuh, jangan sampai hal-hal yang tidak diinginkan terjadi,” pesan Ki Tumenggung Wilamarta.
“Baik Ki Tumenggung! Kami sudah melipatgandakan penjagaan,” jawab seorang Lurah Prajurit.
Ki Wilamarta mengangguk-angguk. Kemudian ia melangkah pergi menuju gedung perbendaharaan pusaka. Ia berdiri di pendapa gedung itu sambil melipat tangannya di dada.
“Dingin sekali malam ini,” ia berdesah. “Tidak seperti malam-malam biasanya.”
“Ah mungkin hanya perasaanku saja,” katanya pada diri sendiri. Tetapi kemudian ia terkejut ketika melihat dua penjaga gedung pusaka terkantuk-kantuk, bahkan ada yang sampai jatuh terduduk dengan mata terkatup. Ki Wilamarta mendekati keduanya, ditepuknya pipinya yang seorang itu untuk membangunkannya. Tetapi prajurit jaga itu tidak terjaga juga dari tidurnya. Ia mengalihkan perhatian pada yang seorang lagi, tetapi tidak jauh beda. Walaupun sudah berteriak dan menguncang-guncang tubuhnya, tetap saja ia terlelap dalam tidurnya.
“Kurang ajar! Rupanya ada yang menebar sirep!”
Ki Wilamarta kemudian melihat dua sosok bayangan melompat dan turun menyelinap diantara pohon-pohon perdu yang ada di taman. Seorang dari mereka berlari ke arahnya, kemudian yang satu lagi berusaha mencongkel jendela gedung pusaka.
Orang yang menghampirinya pun berdiri tepat dihadapannya sambil bertolak pinggang.
“He penyelinap licik! Kau memasuki Kadipaten ini dengan cara menebar sirep he!” katanya dengan nada tinggi.
“Oh Tumenggung yang malang!” kata orang itu sambil tertawa. Wajahnya sebagian tertutupi kain hitam yang diikat pada bagian mulut. “Ternyata mudah sekali menyelinap masuk kedalam keraton kecil milik Karebet ini,” katanya lagi sambil tertawa.
“Katakan siapa kau? Dan apa tujuanmu masuk kedalam Keraton Kadipaten?” tanya Wilamarta.
Sebelum orang itu menjawab terdengar suara berderak dari arah jendela gedung pusaka. Satu orang penyelinap itu berhasil masuk dengan merusak jendela.
Ki Wilamarta merasa tidak perlu lagi berlama-lama untuk bertindak, ia lalu langsung menyerang orang yang berada dihadapannya itu. Karena tidak mungkin lagi mengandalkan para prajurit yang dalam keadaan tersirep untuk membantunya.
Ia langsung menyerang orang itu. Dengan kemampuannya sebagai seorang yang telah berpengalaman, ia mampu mendesak lawannya dengan serangan bertubi-tubi. Tetapi lawannya pun tentu bukan orang sembarangan, karena telah berani menyusup Keraton Kadipaten.
Penyusup itu mampu mengimbangi gerakan cepat Ki Wilamarta. Ketika sebuah jurus cepat dilancarkan Ki Wilamarta, penyusup itu mampu mematahkan pula serangan itu. Begitu pula sebaliknya.
Jurus demi jurus mereka berdua peragakan. Kini yang nampak hanya dua sosok bayangan yang saling berputar-putar dan saling menyerang.
Tetapi lama-kelamaan, lawan dari Ki Wilamarta itu tampak gelisah, sesekali tatapan matanya menyambar jendela gedung pusaka. Seolah mencari tahu keadaan temannya yang masih berada di dalam.
“Kalian mau mencuri pusaka, rupanmya!” geram Ki Wilamarta.
Lawan Ki Wilamarta itu berkata. "Jangan mencoba menghalangi kami, Ki Tumenggung. Kami adalah orang-orang yang akan merubah tatanan atas tanah Jawa untuk selanjutnya. Katakan pula pada Karebet itu, tidak usah bermimpi lagi untuk menjadikan Pajang sebagai kelanjutan dari Demak,” kata orang itu sambil terus menyerang.
“Kalian yang bermimpi! Kalian hanya orang-orang yang diperbudak nafsu kuasa, kuasa atas sesuatu yang bukan menjadi hak kalian. Karebet lebih pantas mengambil alih Kesultanan Demak, karena sumbangsihnya dalam meredam gejolak selama yang selama ini terjadi.Bukan kalian yang tiba-tiba seperti bermimpi di siang bolong," kata Wilamarta sambil merendahkan tubuhnya, menghindari pukulan.
“Jangan sesorah dihadapanku, Ki Tumenggung! Aku memiliki segala sesuatu untuk dapat memujudkan mimpiku itu! Karebet hanya pemuda Tingkir yang tidak tahu diri!"
Penyusup itu menjadi tidak sabar. Ia lalu mencabut sebilah keris dari lambungnya. “Aku sudah membuang-buang waktuku bertarung denganmu, Ki Tumenggung. Ayo! Aku ingin segera menyudahi pertarungan ini, cabutlah kerismu juga!”
Ki Wilamarta yang merasa lawannya memang cukup tangguh. Tidak perlu lagi menjajaki kemampuan lawan, akhirnya ia pun mencabut kerisnya dari lambungnya.
Keris berwarna perak milik Ki Wilamarta berkilat diterpa cahaya purnama malam itu. Cahaya putihnya berkelebat menusuk jantung pertahanan lawan.
Sementara keris penyusup itu ukurannya agak berbeda, keris itu berukuran panjang dengan luk yang berjumlah 13. Kelebatan serangan keris itu terasa seperti suara angin yang berhembus menghentak-hentak.
Maka, terjadilah perang tanding yang luar biasa. Keris dengan pamor putih berkilat melawan keris berukuran besar dengan suara angin yang membuat bulu kuduk meremang.
Walaupun sudah bertarung memeras tenaga, tetapi pertempuran itu terlihat imbang. Keduanya mampu bertahan dan berkelit dari jurus-jurus lawannya. Hingga disuatu saat ketika keris luk 13 itu dijulurkan ke jantung Ki Wilamarta, Ki Wilamarta mampu mengelak dengan menggeliat ke samping. Tetapi karena ukuran keris yang panjang itu, penyusup itu terlambat menarik lengannya yang menghunus keris tersebut. Secepat kilat Ki Wilamarta merobek lengan orang itu yang masih terjulur. Orang itu pun mengeluh pendek, darah menetes dari guratan keris Wilamarta yang melintang panjang di lengannya.
Sesaat perkelahian terhenti, penyusup itu menggeram marah karena lengannya dilukai. Ternyata keris panjang dengan ukuran tidak wajar miliknya telah sedikit mengganggu keleluasaannya dalam bergerak, berbeda dengan keris pendek Wilamarta yang mampu bergerak dengan gesit. Bahkan kadang bayangan keris Ki Wilamarta seperti terlihat berlipat-lipat jumlahnya, karena tusukan dan sabetannya yang begitu cepat.
“Kurang ajar, kau Tumenggung!”
“Ternyata aku mampu kau pecundangi dengan keris kerdilmu itu!” kata penyusup itu geram.
“Kau mau menyerah sekarang?” sahut Wilamarta dengan nada dalam.
“Aku bukan pengecut!” jawab orang itu dengan cepat. Tetapi matanya selalu mengarah ke sekeliling gedung pusakanya. Dilihatnya para prajurit jaga sudah mulai menggeliat dan mengusap-usap matanya, tanda bahwa pengaruh sirep mulai mereda. Mau tidak mau orang itu harus membuat perhitungan kembali untuk melanjutkan pertarungan. Karena untuk melawan orang sekadipaten adalah perbuatan konyol.
Tetapi kemudian yang tak diduga-duga terjadi. Pintu gedung pusaka tiba-tiba berderak, seiring dengan munculnya sesosok yang terlontar dari dalam. Orang itu tidak lain adalah kawan dari penyusup yang sedang bertarung melawan Wilamarta.
Baik Wilamarta ataupun lawannya sempat tertegun sejenak. Bersamaan dengan sosok orang yang terlempar tadi, melayang sesuatu benda mirip tongkat, seukuran lengan. Pada tongkat itu terdapat beberapa lubang mirip seruling. Dengan cepat lawan dari Wilamarta tadi melesat dan menangkap seruling itu di udara. Setelah tergenggam ditangannya, orang itu lalu berlari meninggalkan gedung pusaka. Kakinya memanjat dinding pembatas dengan cepat, hanya dengan beberapa tolakkan kaki saja, ia sudah luput dari pandangan Wilamarta.
Ki Wilamarta yang tak mau kehilangan lawannya sempat mengejar sampai luar kadipaten, tetapi orang itu hilang diantara kabut pagi yang menyelimuti kota Pajang dini hari itu. Wilamarta pun memutuskan kembali ke gedung pusaka.
Setibanya di gedung pusaka, para prajurit sudah berdiri berkerumun di depan tubuh orang yang terlontar tadi. Ki Wilamarta menyibak kerumunan itu, kemudian mengamati orang itu. Dari mulutnya meleleh darah segar, orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
“Siapa orang ini?” Wilamarta berdesis. “Siapa pula lawannya yang dihadapi?”
Belum sempat ia merenungkan kejadian itu. Muncul sesosok tubuh dari dalam pintu gedung pusaka.
“Kanjeng Adipati!” kata Wilamarta. Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri.
“Mohon ampun Kanjeng Adipati. Mohon ampun atas kelalaian hamba,” kata Wilamarta dengan penuh penyesalan.
Kanjeng Adipati menarik napas dalam-dalam, lalu berkata. “Ya sudahlah, Wilamarta. Sirep itu begitu kuat, aku dapat merasakannya dari ruang istirahatku. Orang yang terkapar ini bukan otak dari pencurian di gedung pusaka tadi. Ia tidak memiliki kemampuan yang cukup melawanku. Mungkin justru lawanmulah yang sesungguhnya menghendaki pusaka itu. Aku tidak sengaja membunuh orang ini, aku pikir orang ini cukup mumpuni untuk nekat masuk kadipaten Pajang. Ternyata aku keliru," kata Kanjeng Adipati menyesal.
Wilamarta membungkuk hormat, lalu berkata. “Kanjeng Adipati. Sekilas aku lihat tadi, sesuatu yang terlontar itu mirip seruling, Kanjeng Adipati.”
“Ya, benar. Itu adalah Seruling Nagasengkala. Seruling itu sebetulnya akan dimusnahkan, karena mengandung pengaruh jahat. Seruling itu sebelumnya milik dari pendekar Alas Roban, pendekar dari aliran hitam. Karena kejadian malam ini, maka keris itu kini kembali menjadi berbahaya diluar sana.”
“Selanjutnya kita harus lebih waspada Wilamarta. Dua penyusup tadi pasti tahu, bahwa Kadipaten sedang tidak dalam kekuatan penuh, makanya dia berani menyusup. Artinya, mungkin ini ada hubungannya dengan orang-orang Padepokan yang ada di Alas Mentaok itu.”
“Dan seruling tadi itu mempunyai kekuatan yang luar biasa, Wilamarta. Ia dapat menarik berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus ular, saat seruling itu ditiup pemiliknya. Aku khawatir penyusup tadi akan memanfaatkan seruling itu untuk hal yang meresahkan rakyat Pajang.”
Wilamarta berdebar-debar mendengar penjelasan sang Adipati. Ia memperhatikan sesosok tubuh yang masih tergeletak itu. Tiba-tiba dahinya berkerut ketika melihat sebuah kalung yang dikenakan sesosok tubuh itu.
“Kalung ini Kanjeng Adipati, apakah ini bisa dijadikan petunjuk?” kata Wilamarta, lalu menyerahkannya pada Adipati Hadiwijaya.
Kanjeng Adipati mengamati kalung berbandul hitam itu. Terlihat guratan menyerupai sebuah gambar. “Tidak salah lagi Wilamarta. Guratan ini seperti gambar batu terbelah. Mungkin memang orang-orang dari Alas Mentaok itu dalangnya.”
Setelah berbicara beberapa saat, Kanjeng Adipati pun meninggalkan Ki Wilamarta. Sedang Ki Wilamarta sendiri meminta prajuritnya segera mengurus jasad yang terbujur itu. Kemudian kepada yang lainnya diperintahkan untuk kembali ke tempat tugasnya masing-masing.

5 komentar:

  1. Menghibur walopun maaih perlu ada pembenahan, layaknya prajurit sandi yg seharusnya TDK sembarang orang mengetahui termasuk majikannya..

    BalasHapus
  2. Apa kerja prajurit sandi yang lama (senuor)

    BalasHapus
  3. Sandi yudha..kopassus..hihii

    BalasHapus

Pengikut