Novel Cerita Silat Jawa

TDM 29

Sementara rombongan Prajurit Pajang yang meninggalkan Meantaok, kini telah tiba di Kali Opak. Mereka beristirahat sejenak untuk melepas lelah, sambil memberi minum kuda-kuda mereka yang tampak mulai kelelahan juga.
Ketika wayah sepi uwong mereka sengaja baru mulai melintas di Prambanan, agar tidak menjadi perhatian penduduk sekitar. Seperti malam-malam sebelumnya, pintu-pintu rumah penduduk tertutup rapat. Tetapi laju lambat rombongan prajurit itu tetap menjadi perhatian penduduk sekitar. Beberapa penduduk memberanikan mengintip dari celah rumahnya untuk sekedar melihat keadaan diluar. Rombongan yang berkuda lambat dengan beberapa orang yang mengusung tandu membuat jantung orang yang melihatnya berdebar-debar.
“Rombongan itu telah kembali Nyi!”
“Rombongan siapa yang kau maksud?” tanya seorang nenek dari pembaringannya.
“Rombongan Prajurit Pajang, maksudku! Rombongan yang kemarin malam melintas itu,” jawabnya memperjelas.
“Ah kau ini Ki! Masih saja menaruh perhatian pada perebutan kuasa tanah Jawa itu!”
“Tentu Nyi! Aku merasa perlu mengetahui. Walaupun kita hanya rakyat jelata, tetapi buah dari hasil kepemimpinan itu, kita juga yang merasakan. Kalau dimasa sekarang kita yang berada di Kadipaten Pajang ini merasa aman dan tentram, itu atas andil kepemimpinan Karebet itu. Walaupun hanya menantu Sultan Trenggana, tetapi hasil kepemimpinannya dapat membuat Pajang terkendali,” kata kakek tua itu, sambil merapatkan jendela lalu duduk dibibir amben.
“Berbeda dengan Demak sepeninggal Sultan Trenggana. Sunan Prawata yang digadang-gadang jadi penggantinya, banyak digugat oleh ahli waris lainnya, termasuk Penangsang itu. Aku rasa memang Karebetlah yang bisa menyelesaikan semua ini.”
“Kau ini terus saja membual Ki! Lalu apa untungnya bagi kita yang miskin ini? Apakah kau bisa kaya dengan terpilihnya karebet itu?” kata istrinya sambil mencibir dan menarik selimutnya lagi dengan malas.
“Kau ini, Nyi! Pikirannya hanya harta saja. Sudahlah aku juga mau melanjutkan tidurku lagi, sepertinya pembicaraan ini tidak lagi menarik bagimu!” katanya jengkel.
Rombongan prajurit Pajang beberapa saat kemudian melintas di tepat di depan barak kecil pimpinan Tumenggung Derpayuda dan Purbasana. Prajurit jaga disana tak berniat menghentikan laju rombongan yang bergerak lambat itu. Karena dari umbul-umbul yang berkibar serta seragam yang dikenakan, sudah menunjukkan bahwa mereka rombongan prajurit Pajang.
Beberapa orang penjaga hanya berdiri termangu-mangu di depan barak kecil tersebut. Ki Lurah Rangga Jati yang melihat barak pimpinan dua tumenggung yang mereka curigai membelot itu, merasa tergelitik untuk sekedar mengetahui keberadaan dua tumenggung itu.
“He prajurit jaga!” kata Ki Lurah menepi, tetapi tidak turun dari punggung kuda. “Apakah malam ini seluruh prajurit disini dalam jumlah yang seutuhnya? Dan apakah kalian tahu dua tumenggung kalian ada dimana?”
Salah seorang yang berkumis tebal menjawab. “Semua dalam keadaan utuh, Ki Lurah. Dua pimpinan kami pun berada di dalam saat ini.”
Ki Lurah sesaat mengedarkan pandangan kedalam pintu regol yang tingginya tidak lebih dari dagunya. “Aneh? Bukankah seharusnya keduanya berjaga secara bergantian tiap pekan?” tanya Ki Lurah.
“Benar Ki Lurah. Seharusnya yang bertugas malam ini adalah Tumenggung Purbasana, tetapi karena kami melaporkan bahwa kemarin malam ada rombongan Pajang yang bergerak ke Mentaok, Ki Derpayuda pun sengaja menyempatkan datang dan bertugas malam ini untuk meningkatkan kewaspadaan,” jawab prajurit itu gamblang.
Ki Lurah sesaat terdiam sambil memangdangi wajah-wajah penjaga yang jumlahnya sampai sepuluh orang itu. Ki Lurah sebenarnya curiga dengan keterangan prajurit tadi, nada bicaranya seperti sudah terpola, tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Ia pun segera menyusul iring-iringan prajurit yang ekornya sudah lima langkah didepannya.
Para prajurit jaga tadi pun menarik napas lega sepeninggal Ki Lurah, seperti terlepas dari tekanan yang menghimpit dada mereka. Dalam pada itu dua orang tumenggung yang dimaksud, ternyata menyaksikan dari tempat yang terlindung atas kejadian tadi.
“Kurang ajar, Rangga Jati itu! Selalu saja ikut campur dan memata-matai kita!”
“Itulah Purbasana, untunglah kita sudah memberi pesan pada prajurit jaga tadi, sehingga mereka tidak perlu masuk kedalam barak kecil ini. Beberapa kalau sampai mereka menggeledah tempat ini, maka akan terlihat beberapa prajurit kita yang masih terluka akibat perang tadi siang.”
“Lain kali akan aku singkirkan Rangga Jati itu, Derpayuda. Mentang-mentang mendapat dukungan dari Wilamarta dia berani mengangkangi kita yang pangkatnya Tumenggung!”
“Sudahlah Purbasana! Aku gantikan kau bertugas malam ini. Sana kalau kau ingin pulang menemui istri mudamu, Utari,” kata Derpayuda tersenyum.
“Ah.., kau ini bisa saja Derpayuda!” katanya dengan wajah memerah. “Aku memang rindu pada adikmu yang kini menjadi istriku itu. Aku ingin segera mendapat keturunan darinya.”
“Sudah 3 hari sejak malam pengantin itu aku belum mengunjunginya lagi. Rasa rinduku sudah sampai ubun-ubun Derpayuda,” kata Purbasana sambil tertawa.
“Macam kau, Purbasan! Sudah sana, sampaikan salamku untuk Utari!” kata Derpayuda sambil melangkah ke dalam barak meninggalkan Purbasana.
Di dalam barak kecil itu pun ada beberapa prajurit yang terluka, Ki Derpayuda memeriksa satu-persatu dari mereka. Kemudian sekedar memberi semangat dan meminta tabib merawatnya dengan sungguh-sungguh. Walaupun begitu lapis kedua pimpinannya masih lebih beruntung, karena tidak ada yang sampai tewas dalam peperangan di Mentaok tadi siang.
Dalam pada itu rombongan prajurit Pajang sudah memasuki kota Pajang sebelum fajar tiba. Beberapa Lurah Prajurit dan petinggi Pajang segera menuju barak Prajurit, untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut. Tabib-tabib keraton pun diturunkan untuk merawat mereka yang terluka. Linggar yang masih lemah terbaring di tandu pun segera mendapat perhatian dari Tumenggung Wilamarta.
“Bagaimana keadaanmu ngger?” katanya sambil memegang dahi Linggar.
“Sudah agak membaik Ki Wila, hanya saja tubuhku masih lemas dan luka di dadaku ini rasanya panas sekali.”
Tumenggung Wilamarta mengangguk-angguk kemudian memeriksa luka Linggar pada bagian dada. “Sudah mulai mengering sebagian, hanya saja ada beberapa yang terbuka lagi lukanya. Rupanya kau sempat menaburi dengan obat sebelumnya.”
Linggar tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala.
“Nanti setelah fajar tiba, kau sebaiknya diantar kerumahku. Ada beberapa simpul sarafmu yang menegang. Kau harus mendapat perawatan yang baik.”
“Baik Ki Wila,” sahut Linggar lemah.
Begitulah, barak prajurit itu kemudian menjadi ramai dengan hilir-mudik orang yang memberikan bantuan. Lampu-lampu dinyalakan disetiap sudut barak, ruangan-ruangan kosong disediakan bagi mereka yang terluka untuk segera mendapatkan perawatan.
            Ketika matahari sepenggalah adipati Hadiwijaya memanggil beberapa petinggi Pajang di bangsal utama. Ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mereka yang ditugaskan ke Mentaok.
“Adimas Pamekas,” kata adipati. “Bagaimana hasil dari penyerbuanmu ke Mentaok, aku ingin mengetahui perkembangannya.”
Raden Pamekas sempat tersentak mendengar suara adipati itu terngiang ditelinganya, itu karena hasil dari penyerbuan itu yang tidak membuahkan hasil.
“Mohon ampun, Kang Mas Adipati,” katanya sambil tertunduk. “Aku telah gagal mengemban tugas yang kang mas bebankan kepadaku.”
“Sebab apa yang membuatmu gagal? Apakah jumlah mereka lebih banyak? Atau mereka memiliki kemampuan diatas rata-rata prajurit Pajang?” tanya Adipati penasaran.
“Kalau dari segi jumlah pasukan sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, kangmas adipati. Karena dari gelar perang yang kami terapkan, kami sudah berhasil membuat mereka kewalahan,” jawab Pamekas. “Hanya ketika peperangan sudah mencapai puncak, hamba berpikir dua kali untuk melanjutkan peperangan. Sebab, seorang diantara mereka telah menggenggam senjata pusaka Kiai Nagasengkala. Yang menurutku itu milik kangmas adipati sendiri. Tentu kangmas adipati tahu dampak buruk dari senjata itu, jika aku terus melanjutkan perang itu.”
Sejenak adipati karebet tersentak dan memandang Ki Wilamarta. “Dugaanmu benar Wilamarta! Orang-orang Watu Belah yang telah mencuri pusaka itu.”
“Hamba sinuwun,” sahut Wilamarta. “Pencurian itu memang sudah direncanakan. Dan aku rasa, langkah yang diambil anak mas Pamekas sudah tepat, sinuwun. Kita hanya menunda menangkap mereka, untuk menghindari akibat dari pusaka Nagasengkala yang membahayakan itu.”
Kanjeng adipati mengangguk-angguk. “Aku menghargai perjuanganmu, Pamekas. Jangan berkecil hati, masih ada kesempatan untuk menangkap pimpinan mereka. Paling tidak dalam beberapa pekan mereka belum akan membuat keonaran baik di Pajang maupun di Mangir.”
“Terimakasih kangmas adipati,” sahut Pamekas. “Aku harap kangmas cepat membuat terobosan untuk meredam kekuatan mereka, atau paling tidak merebut kembali pusaka yang punya dampak luas untuk kejahatan.”
“Kau benar adimas. Aku akan merundingkannya dengan Wilamarta. Sekarang, kau dan Rangga Jati boleh meninggalkan bangsal ini! Aku berterimakasih atas jerih payah kalian.”
Kemudian Raden Pamekas pun meninggalkan bangsal itu bersama Ki Lurah Rangga Jati. Kini yang tinggal hanya adipati dan Tumenggung Wilamarta. Keduanya termenung membisu, seperti sedang berpikir mencari jalan keluar.
“Sulit Wilamarta,” suara kanjeng adipati memecah kebisuan. “Pusaka itu hanya bisa ditandingi pamornya dengan tombak Kiai Plered. Aku sendiri sebagai Adipati tidak bisa turun langsung menghadapi Orang yang menyebut dirinya Kiai Jambe Abang itu. Bukan karena aku gentar, tetapi aku punya pertimbangan lain.”
“Tombak Kiai Plered sendiri sudah aku persiapkan untuk menghadapi Arya Jipang dengan Keris Setan Kobernya. Aku khawatir sewaktu-waktu dia mengerahkan laskar Jipang untuk menyerang kadipaten ini. Sedangkan untuk menandingi seruling pusaka Kiai Nagasengkala, aku belum dapat mencari tandingannya.”
“Apakah tidak ada upaya lain, sinuwun?” tanya Wilamarta cemas.
Kanjeng Adipati bangkit dari duduknya, sambil berjalan hilir-mudik. “Sebenarnya ada satu pusaka yang juga tidak kalah pamornya dari Kiai Plered ataupun Nagasengkala itu. Tetapi pusaka itu tidak ada padaku.”
“Lalu ada pada siapa, Kanjeng Adipati?” tanya Wilamarta penuh minat.
“Ki Ageng Wanabaya,” sahut Kanjeng Adipati pendek.
“Ki Ageng Wanabaya!” Ki Wilamarta terkejut. “Lalu, pusaka apakah itu Kanjeng Adipati?”
“Tombak Kiai Baru Klinthing,” jawab Kanjeng Adipati. “Tetapi tentu tidak mungkin bagi kita untuk meminta Ki Ageng Wanabaya menghadapi mereka, apalagi daerah Mangir bukan bagian dari Demak maupun Pajang.”
Ki Wilamarta hanya mendengarkan sambil berpikir mencari cara untuk menghadapi Pangeran Pujapati dan gurunya itu.
“Begini saja Wilamarta,” kata Kanjeng Adipati kemudian.
“Hamba sinuwun,” sahut Wilamarta sambil memperbaiki duduknya.
“Kirimlah salah seorang utusan dari Pajang ke perdikan Mangir! Utusan itu nanti akan bertindak atas namaku. Kemudian tugasnya adalah menyampaikan bahwa, untuk menjaga keamanan Pajang maupun Mangir, Ki Ageng Wanabaya kita minta kesediaannya untuk meminjamkan Kiai Baru Klinthingnya. Tujuannya adalah untuk menghadapi para pengacau itu, Wilamarta.”
“Apakah itu tidak menjatuhkan wibawa kanjeng Adipati sendiri? Penduduk Mangir akan makin besar kepala saja, Kanjeng Adipati. Mereka akan berpendapat, bahwa Pajang tidak mampu melawan musuh-musuhnya sehingga meminta pertolongan Perdikan Mangir,” kata Ki Wilamarta.
Kanjeng Adipati agak merenung sejenak. Tentunya keputusan untuk mengirim utusan dengan dalih serupa itu akan menurunkan harga dirinya sebagai pemimpin Pajang, apalagi Mangir hanyalah sebuah tanah perdikan saja.
“Pendapatmu memang benar, Wilamarta. Tetapi Ki Ageng Wanabaya yang sudah sepuh itu tentu dapat menilai perkembangan yang terjadi.”
“Kita sampaikan saja pendapat kita. Kalau memang Ki Ageng ingin turun langsung menghadapi Pujapati dan orang-orangnya itu, kita persilahkan. Tetapi andai pun tidak, kita tidak bertanggung jawab atas keamanan Mangir untuk selanjutnya. Dan kita katakan bahwa, setiap kekacauan di Mangir, tidak ada hubungannya lagi dengan Pajang. Jadi jangan pernah menaruh curiga lagi kepada Pajang.”
“Aku rasa itu dapat dijadikan bagi pertimbangan Ki Ageng, tanpa merendahkan Pajang atau pun Mangir. Bahwa Pajang juga dapat mempertahankan keamanannya sendiri, seperti juga Mangir.”
“Pada dasarnya hal ini kita sampaikan sebagai bentuk kepedulian kita atas kerusuhan selama ini. Terlepas Mangir akan bertindak sendiri atau bekerjasama dengan Pajang, itu terserah kepada mereka.”
Ki Tumenggung Wilamarta akhirnya sependapat dengan Kanjeng Adipati. “Lalu kapan utusan itu segera kita kirim, Kanjeng Adipati?”
“Secepatnya! Aku ingin Pujapati cepat diselesaikan. Belum lagi masalah di pesisir Lor pimpinan Arya Jipang yang juga makin mengkhawatikan.”
“Menurutmu siapa yang pantas kita kirim sebagai utusan?” tanya Adipati Hadiwijaya.
Ki Wilamarta merenung sesaat, kemudian katanya. “Raden Pamekas, Kanjeng Adipati.”
“Jangan, jangan Pamekas! Lebih baik seorang prajurit yang mumpuni yang kau kirim. Jika kita mengirim Pamekas, maka harga diri kita akan jatuh. Seolah telatah Demak sudah tidak terkendali lagi menghadapi pengacau, karena Pamekas adalah salah seorang bangsawan dari Demak.”
“Ada satu orang lagi yang mengenal baik Ki Ageng Wanabaya, Kanjeng Adipati,” ujar Ki Wilamarta.
“Siapa dia?” tanya Adipati
“Pemuda yang pernah menyertai Anak Mas Pamekas dari lereng Tidar, Kanjeng Adipati. Linggar namanya.”
“Pemuda Matesih itu maksudmu?”
“Benar Kanjeng Adipati. Ia pernah bersama Raden Pamekas singgah dan menginap di kediaman Ki Ageng Wanabaya. Tentu Ki Ageng Wanabaya punya perhatian khusus dengannya.”
Sejenak Adipati Hadiwijaya mengangguk-angguk. “Baiklah Wilamarta, aku setuju dengan usulmu. Apa pun hasilnya nanti, kita rundingkan kembali.”
“Tetapi hamba perlu beberapa hari untuk mempersiapkan pengiriman duta itu, sinuwun. Karena dalam peperangan kemarin Linggar mendapat luka dalam, dan sekarang sedang dalam perawatan khusus. Dan yang menjadi lawannya kala itu adalah orang yang menyebut dirinya Pangeran Pujapati itu.”
Kanjeng Adipati mengerutkan dahinya, lalu menanggapi. “Aku sudah melihat kemampuan anak muda itu, Wila. Dibawah bimbingan Pamekas, aku yakin kanuragannya mampu mengungguli Pangeran itu. Walaupun sekarang belum berhasil, tetapi aku rasa ia akan segera dapat meningkatkan kemampuannya.”
“Benar, sinuwun,” Ki Wilamarta membenarkan.
Akhirnya keduanya pun telah bersepakat untuk menunjuk Linggar sebagai duta dari kadipaten Pajang. Tugasnya adalah melakukan perundingan dengan Ki Ageng Wanabaya sebagai penguasa di Mangir. Sekaligus meminta kesediaan pemilik pusaka tombak Kiai Baru Klinthing itu untuk meminjamkan sejatanya guna menghadapi pimpinan padepokan Watu Belah.
            Sementara itu Rara Widari yang sudah bertekad ingin menjadi wanita yang kuat dan tangguh, telah menjadi semakin terlatih dibawah bimbingan Nyi Ajar Kesada gurunya. Kuda-kudanya semakin mantap, selain itu pukulan-pukulannya juga makin terarah. Terlihat beberapa kali ia menyerang Nyi Ajar pada bagian-bagian tubuh yang membahayakan. Seperti rahang, wajah, juga lambung. Walaupun kesemuanya itu dapat Nyi Ajar elakkan dengan baik, tetapi untuk seorang pemula perkembangannya sudah cukup baik.
“Hei.., kau bernafsu sekali, Widari!” kata Nyi Ajar sambil terkekeh. “Dorongan apa sebenarnya yang membuatmu begini. “Apakah kau tergila-gila pada seorang lelaki tampan dan berilmu tinggi? Hingga kau ingin menundukkannya dengan kanuraganmu?” katanya lagi menggoda.
Seleret rona merah sempat menghias wajah Rara Widari. Dengan pakaian pria, dan celana selutut ia bertarung dengan penuh semangat. Walau begitu, unsur kewanitaan pada dirinya tetap saja terpancar dari wajahnya yang ayu dan rambut panjangnya yang diikat. Kuncir rambutnya melayang-layang seiring dengan tata geraknya yang begitu trengginas. Widari terus menyerang Nyi Ajar Kesada dengan jurus-jurus yang dipelajari dari gurunya itu.
Nyi Ajar Kesada sendiri membuat penilaian khusus pada Widari. Jika sebelumnya Widari terlihat anggun dengan latih tarinya, kini Widari berubah menjadi tampak garang dengan latih kanuragannya. Nyi Ajar seperti melihat sosok dirinya kembali pada waktu muda dulu.
Ki Ajar Kesada suaminya yang melihat dari kejauhan, menjadi tertarik dengan latih kanuragan itu. Ia lalu mendekatinya dan sesekali mengangguk-angguk bahkan kadang-kadang tersenyum-senyum sendiri seperti teringat sesuatu.
“Kau lama-lama bisa dikalahkannya, Nyi!” kata Ki Ajar Kesada dengan suara nyaring sambil tersenyum.
Nyi Ajar yang mendengar itu sempat menoleh ke arah suaminya. Tetapi akibat dari itu, ia lengah. Widari mampu menyerang dada Nyi Ajar dengan kedua telapak tangannya yang terbuka. Nyi ajar pun akhirnya sempat terdorong dua langkah kebelakang.
Ki Ajar yang menyaksikan itu terkekeh-kekeh, suaranya tadi ternyata mampu mengganggu perhatian istrinya.
Nyi Ajar Kesada beberapa saat kemudian, memberi isyarat pada Rara Widari untuk menyudahi latihan. Mereka pun akhirnya duduk-duduk sambil berbincang, di sebuah batang pohon yang sudah ditebang dan dijadikan tempat duduk.
“Kau mengganggu latihanku Ki!” kata Nyi Ajar sambil memberengut.
“Ah.., kau saja yang kurang waspada. Lagipula, sekarang kau sudah terlihat sedikit bungkuk, Nyi!” katanya sambil tertawa menggoda.
Widari hanya tersenyum sambil menyeka keringat di dahinya. Nyi Ajar sendiri tersungut-sungut mendengarnya.
“Rara Widari seperti aku disaat muda, Ki. Ia cantik dan gesit dalam olah kanuragan,” balas Nyi Ajar sambil terkekeh-kekeh.
“Macam kau, Nyi! Memuji diri sendiri,” sahut Ki Ajar sambil tersungut-sungut.
“He.., tidak usah ingkar Ki. Bahkan kau sampai tergila-gila kepadaku waktu itu,” kata Nyi Ajar lagi mengejek. “Kau tahu Widari? Ki Ajar sampai harus jatuh bangun untuk mengalahkanku. Kalau bukan karena wajahnya yang memelas waktu itu, aku tidak rela dikalahkannya!”
Suara tawa kemudian pecah antara Nyi Ajar dan Widari. Ki Ajar sendiri hanya ngedumel mendengar Nyi Ajar yang seperti puas mengejeknya.
“Sudahlah Nyi! Jangan terlalu lebar kau tertawa. Pipimu yang kempot itu akan semakin berkerut-kerut dilihatnya.”
Nyi Ajar dan Widari kemudian suara tawanya mulai menurun. Ajar Kesada suami istri memang orang yang suka bergurau, itu pula yang membuat keduanya tampak selalu bersemangat bahkan diusia yang lewat setengah abad.
Dalam pada itu di padepokan Watu belah, para cantrik padepokan masih melakukan perawatan kepada mereka yang terluka. Sementara itu di bangsal utama, Kiai Jambe Abang, Bajul Wedi sedang melakukan pembicaraan dengan Pangeran Pujapati yang masih berbaring karena kondisinya belum pulih benar.
“Anak mas pangeran. Aku rasa sebaiknya kita segera meninggalkan padepokan ini, karena bukan tidak mungkin Pajang akan melakukan penyerbuan dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.”
Pangeran Pujapati beringsut dari pembaringannya, dan berusaha duduk dibantu Bajul Wedi cantriknya. “Itu artinya kita pengecut, Kakek Guru! Apakah tidak mungkin kita manfaatkan saja senjata pusaka itu untuk membendung mereka? Dan juga, bukankah sudah terbukti, bahwa Pamekas saja gentar menghadapi senjata pusaka itu, apalagi Karebet?”
“Itu benar anak mas. Tetapi mereka itu adalah penguasa yang punya seribu macam cara untuk menyelesaikan suatu masalah. Aku yakin pada saat sekarang ini pun padepokan kita sedang diawasi, tidak mungkin mereka meninggalkan mentaok begitu saja. Pastilah mereka sudah menebar telik sandinya di Mentaok ini.”
“Kurang ajar!” sahut Pangeran dengan mata menyala-nyala, tetapi kemudian merintih kesakitan ketika hendak bangkit dari duduknya.
“Sudahlah anak mas. Beristirahatlah dulu, mungkin dalam dua atau tiga hari lagi anak mas baru pulih kembali seperti semula. Pada saat itu pula aku berharap Anak Mas Pangeran sudah dapat menyetujui usulku itu!” kata Kiai Jambe Abang yang agaknya enggan meneruskan pembicaraan.
Kiai Jambe Abang lalu bangkit meninggalkan ruangan itu, dan tinggallah Bajul Wedi yang menemani Pangeran Pujapati yang sepertinya belum mapan dengan usul gurunya.
“Aku kurang sependapat dengan tua bangka itu, Bajul Wedi! Kalau saja dia bukan guruku, aku tidak akan menuruti rencananya!” katanya kesal.
“Ya Pangeran. Kiai Jambe Abang memang terlalu bertele-tele. Bukankah Pangeran adalah sosok yang akan dijadikan penguasa, lalu mengapa Pangeran begitu tunduk kepada orang tua itu?”
“Jaga bicaramu Bajul Wedi!” katanya membentak. “Aku bukan tunduk pada tua bangka itu, aku hanya masih membutuhkannya untuk beberapa kepentingan!”
Bajul Wedi hanya tertunduk, tak menanggapi perkataan Pangeran Pujapati yang menjadi marah.
“Tapi kau ada benarnya juga, Bajul Wedi. Suatu saat aku memang harus bertindak atas pendirianku sendiri, tetapi tentunya tidak sekarang,” kata Pujapati sambil menepuk bahu Bajul Wedi meyakinkan.
Sementara matahari mulai tenggelam ditelan awan, perlahan warna merahnya berganti menjadi kehitaman. Gerombolan burung terbang rendah pulang mencari sarangnya. Suara alam pun kemudian berganti dengan suara-suara binatang malam, kadang berdesis, mengerik, tetapi kadang juga terdengar suara sayup burung hantu yang nadanya putus-putus, lalu sekejap hening dan senyap.
Begitulah keadaan bentang alam di belantara Mentaok, tak jauh beda dari sejak matahari tenggelam sampai jauh malam tiba. Keadaan tetap sunyi dan hanya diisi suara-suara binatang malam.
Ketika dini hari tiba, dinginnya udara mampu menyusup ke celah-celah pori kulit, hingga menembus dan menggigit tulang. Udara menjadi begitu basah dan lembab karena belantara Mentaok yang sangat lebat. Di dinginnya belantara Mentaok itu tampak dua sosok manusia, berdiri diatas bongkahan batu yang terbelah, di pintu masuk padepokan terluar.
“Kau masih pada pendirianmu?”
“Aku sudah kecewa dengan Arya Jipang, tidak ada lagi alasan bagiku untuk mendukungnya.”
“Berarti kita berseberangan. Walaupun untuk tujuan yang sama.”
“Itu pilihan Rungkud! Aku lebih baik mengusung Pujapati ketimbang Arya Jipang. Sudah jelas dari trahnya masih keturunanku.
Yang disebut Rungkud itu menarik napas panjang, kemudian menyilangkan tangan di dada, sambil menatap pekatnya hutan mentaok dari ketinggian bongkahan batu itu. “Jambe Abang. Aku masih beruntung bisa selamat dari peperangan di lereng Tidar waktu itu, berkat bantuan seorang Demang di Matesih. Karena aku dapat selamat dari maut itulah yang membuat adipati Jipang semakin bertambah percaya kepadaku. Baginya aku adalah ksatria yang tangguh.”
Kiai Jambe Abang sempat memandang pria disebelahnya itu, tetapi kemudian tatapannya kembali lurus ke depan seolah muak dengan orang itu. “Kau memang selamat, Rungkud. Tetapi orang yang bersamamu malam itu, kau bunuh disaat orang itu tanpa daya. Kau mementingkan dirimu sendiri, Rungkud! Dan orang yang kau bunuh itu adalah salah satu anak buahku.”
“Tidak ada pilihan bagiku, Jambe Abang. Aku yang telah siuman lebih dulu, tidak mungkin menunggu anak buahmu itu sadar. Pasukan pimpinan Pamekas itu sudah pasti akan menyisir Matesih, untuk mencari pelarian kami. Kalau sampai dia tertangkap, maka mulutnya akan menyebar kemana-mana. Akibatnya, yang menjadi landasan kita akan ia beberkan kepada pimpinan prajurit Demak itu. Termasuk landasanmu yang ketika itu ada di sisi Kali Praga.”
“Itu pendapatmu, Rungkud! Prajuritku yang kau bunuh itu telik sandi pilihan, tidak mudah memaksanya untuk membuka mulut, apalagi kepada musuh.”
“Dan perlu kau ketahui, Rungkud! Demang yang menolongmu ketika itu, dalam masalah sepeninggalmu.”
“Maksudmu?” tanya Rungkud.
“Ia ditangkap Pamekas karena dituduh bersekongkol dengan para pemberontak Jipang. Dan disuatu kesempatan Demang itu pernah menjadi lawanku kemudian, walaupun akhirnya tidak ada yang menang diantara kami berdua, tetapi Demang itu kini tidak tahu dimana rimbanya. Ia terseret banjir bandang di Kali Praga, ketika membenturkan ilmunya denganku. Beruntung aku masih selamat. Dan yang membuatku sedih lagi, demang itu adalah sahabatku, yang di masa sebelumnya pernah sama-sama mengabdi di Demak,” tutur Jambe Abang sambil menarik napas dalam-dalam. “Kau membuat orang lain dalam masalah, karena perbuatanmu. Satu-satunya saksi kunci kau bunuh saat kondisinya masih lemah.”
Rungkud hanya tertunduk, pikirannya pun kembali melayang ke peristiwa di bukit Tidar. Ketika laskar Jipang di pukul mundur oleh pasukan Demak pimpinan Pamekas, Rungkud memilih menyelamatkan diri ketimbang ditangkap hidup-hidup dan di gelandang ke Demak.
“Lantaran Demang itu memang nyawaku terselamatkan. Aku berhutang budi padanya,” katanya sambil menarik napas dalam. “Tetapi, sudahlah. Itu memang sudah menjadi suratan takdir. Bagiku sekarang adalah tetap berjuang untuk merebut hak Arya Penangsang atas tahta Demak. Kalau kau memang mendukung kesepakatan di Maospati pada waktu itu, silahkan! Aku tetap pada pendirianku.”
Tidak menunggu jawaban dari Kiai Jambe Abang, Rungkud melompat dari atas bongkahan batu tempatnya berpijak. Dengan beberapa kali lompatan saja, bayangannya hilang ditelan malam dan lebatnya pepohonan di Mentaok.
Kiai Jambe Abang hanya tercenung memandangnya. Kekecewaannya pada Rungkud sebagai teman ketika ikut membela perjuangan Jipang, sebenarnya masih terselip dihatinya, tetapi iatidak segera melampiaskannya. Ia kemudian hanya menuruni bongkahan batu itu dan berjalan masuk menuju padepokan.
Beberapa hari kemudian di barak prajurit Pajang. Wurpasa sudah kembali dari Mentaok. Ki Lurah dan Tumenggung Wilamarta mendengarkan dengan sungguh-sungguh hasil pengamatan Wurpasa tentang perkembangan di Mentaok.
“Mereka memutuskan meninggalkan padepokan itu, Ki Lurah. Mereka menuju ke sebuah bukit kearah pesisir selatan.”
“Bukit Sambung maksudmu?” potong Ki Lurah.
“Aku kurang tahu nama tempat itu Ki Lurah, tetapi aku meyakini tempat itu amatlah wingit. Jarang orang mau merambah sampai puncak bukit itu.”
Ki Wilamarta yang sedari tadi mendengarkan, mengangguk-angguk. “Bukit itu memang terkenal sangatlah angker, Rangga Jati. Jadi sangat memungkinkan mereka memindahkan landasannya disana. Selain menguntungkan bagi mereka, karena gerak-gerik mereka tidak terlalu diperhatikan oleh penduduk sekitar. Juga, menghindari pasukan Pajang yang mungkin akan kembali menggempur mereka dengan kekuatan yang lebih besar.”
“Kiai Jambe Abang memang sudah memperhitungkan masak-masak, Rangga Jati. Orang itu ternyata cermat dalam menilai keadaan.”
“Lalu apa rencana kita selanjutnya, Ki Tumenggung Wilamarta?”
“Tetap pada rencana yang sudah aku dan Kanjeng Adipati sepakati. Yaitu setelah keadaan Linggar membaik, Linggar akan segera diutus menjadi duta ke Mangir.”
“Persoalan Ki Ageng Wanabaya bersedia bekerjasama dengan Pajang atau tidak? Itu urusan belakangan, yang penting kita sudah mencoba dengan langkah-langkah yang dapat menjernihkan kemelut antara Mangir dan Pajang.”
“Aku akan segera melaporkan perkembangan ini kepada Raden Pamekas dan Adipati Hadiwijaya. Semoga rencana yang telah disepakati itu tidak berubah.”
Setelah dirasa cukup, mereka pun segera kembali ke tugasnya masing-masing. Wurpasa sendiri diperbolehkan pulang untuk sekedar beristirahat setelah berhari-hari berada di Mentaok.
Wurpasa kembali pulang ke rumah majikan ayahnya, yaitu Tumenggung Purbasana. Dimana ayahnya bekerja sebagai abdi dalem juga pekathik di rumah petinggi Pajang itu.
Setelah sampai dirumah Wurpasa menyempatkan diri berbincang sejenak dengan kedua orang tuanya. Baru kemudian ia merebahkan diri di pembaringannya, untuk melepas penat setelah tugas yang begitu melelahkan.
<-- PREV    NEXT -->


2 komentar:

Pengikut