Novel Cerita Silat Jawa

Teroesir Dari Matesih [Seri 21]

Sementara itu, sudah tiga hari Ki Tumenggung Purbasana belum kembali kerumahnya. Nyi Purbasana istrinya tampak merenung sendiri di pringitan. Ia tampak cemas akan keselamatan suaminya itu. Tiga hari sebelumnya ia sempat berpamitan untuk meninjau keamanan disekitar Prambanan dan memantau kebutuhan pangan prajurit disana. Menurut suaminya, Prambanan perlu mendapat perhatian khusus, karena merupakan daerah yang ramai dan banyak orang melakukan jual-beli disana. Perintah itu pun langsung dititahkan oleh Kanjeng Adipati Pajang.
“Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Kang Mas Tumenggung,” Nyi Purbasana membathin.
“Ah.., mudah-mudahan saja tidak. Lagipula, biasanya Kang Mas Tumenggung selalu memberitahu jika ada tugas yang penting dan mendadak. Kemarin itu hanya tugas seperti biasanya saja,” katanya mengusir kegelisahan.
Tiba-tiba lamunannya dikejutkan derap kuda yang memasuki halaman. Ia pun dengan tergesa-gesa beranjak ke halaman. Dilihatnya suaminya sedang menyerahkan kudanya pada seorang pekathik. Nyi Purbasana pun kemudian menyambut suaminya dengan segera.
“Oh.., Kang Mas Tumenggung sudah kembali rupanya,” katanya dengan senyum yang mengembang.
“Maaf Nyi.., aku terlambat pulang,” katanya sambil mendekati istrinya, kemudian melangkah ke pendapa disertai Nyi Purbasana.
“Aku banyak urusan di Prambanan Nyi. Jadi aku tidak bisa pulang setiap hari untuk selanjutnya,” kata Tumenggung Purbasana, sambil duduk di kursi pendapa.
“Tidak apa-apa Kang Mas, yang penting keadaan Kang Mas baik-baik saja. Lagi pula tidak sering pula Kang Mas Tumenggung bertugas sampai tidak pulang tiga hari. Kalau memang Pajang membutuhkan tenaga dan pikiran Kang Mas, lakukanlah dengan sepenuh hati,” kata Nyi Purbasana renyah.
“Terimakasih untuk pengertianmu, Nyi.”
Ki Purbasana sebenarnya merasa khawatir bahwa istrinya akan menjadi curiga dengan kepulangannya yang agak lama, tetapi ternyata itu hanya perasaannya saja. Ia bernapas lega, seolah semuanya berjalan lancar. Artinya ia akan bebas bolak-balik ke Prambanan menemui istrinya yang baru tanpa curiga dari istri tuanya.
“Oh ya Nyi, dimana Rara Widari?”
“Ia akhir-akhir ini senang berkuda Kang Mas. Entah mengapa ia menjadi seperti laki-laki sekarang. Saat ini ia sekarang ada di dalam.”
Ki Tumenggung Purbasana mengerutkan dahi. “Apakah Widari masih berhubungan dengan pemuda yang bernama Linggar itu Nyi?”
“Tidak Kang Mas. Pemuda itu sudah tidak berhubungan lagi dengan Widari,” jawabnya sambil menghela napas. Karena sesungguhnya Nyi Purbasana tahu bahwa putrinya sedang bersedih karena hubungan yang terputus itu.
“Syukurlah.”
Sementara itu tanpa disadari Purbasana suami istri, Widari diam-diam mendengarkan perbincangan itu dari dalam pringitan. Iamenjadi kesal karena ayahnya berbohong pada ibunya tentang apa yang sudah ia lakukan di Prambanan. Tetapi lagi-lagi iatidak sampai hati mengungkapkannya hal itu pada ibundanya. Akhirnya ia hanya memendam kekecewaannya. Widari lalu berlari kecil ke halaman belakang rumahnya, kemudian menuju kandang kuda. Dielusnya kuda putih kesayangannya, yang akhir-akhir ini sering ia tunggangi. Kemudian ia naiki kuda itu dan dipacunya kuda itu cepat melintas halaman rumahnya.
Purbasana suami istri yang sedang bercengkerama menjadi terkejut. Melihat putrinya yang memacu kudanya dengan cepat meninggalkan pintu regol tanpa basa-basi.
“Kenapa dengan Widari Nyi?” kata Ki Purbasana heran, kemudian bangkit berdiri karena terkejut.
“Tidak apa Kang Mas, ia hanya sedang berusaha menghibur dirinya sendiri. Setelah sebelumnya kecewa dengan pemuda yang bernama Linggar itu. Tidak akan lama, semuanya akan kembali seperti biasanya secara berangsur-angsur.”
“Syukurlah. Mudah-mudahan ia menyadari bahwa pemuda itu memang bukan jodoh yang sepadan buatnya,” kata Ki Purbasana.
Nyi Purbasana hanya terdiam. Ia sebenarnya tidak sependapat dengan suaminya yang merasa pangkat dan jabatan dapat meninggikan derajat seseorang. Tetapi hal itu tidak diungkapkannya, karena menghindari perdebatan yang tidak perlu.
            Sementara itu Rara Widari yang sedang berpacu dengan kudanya, memperlambat kudanya ketika melihat seorang pemuda yang amat dikenalnya sedang berjalan sendiri di lorong katumenggungan. Pemuda itu tidak lain adalah Linggar.
Rara Widari sempat berdesir hatinya, ketika pandangannya menyambar wajah Linggar yang tampak memandangnya tak berkedip.
Linggar yang melihat Rara Widari pun sempat berdebar-debar hatinya. Perasaan bersalah bercampur-aduk dengan perasaan tulus dihatinya kepada Widari. Tetapi perasaan itu sejenak tertutupi melihat penampilan Widari kala itu yang agak berbeda dari biasanya. Linggar dibuat terkesima sekaligus heran, melihat Widari yang tampak luar biasa berbalut pakaian laki-laki dengan menunggang kuda putih. Hingga tak sadar Linggar menghalangi jalan bagi Widari yang hendak melintas.
Rara Widari yang merasa terhalang langkahnya, menghentikan kudanya tepat didepan Linggar yang sedang termangu-mangu menatapnya.
“He! Mengapa kau menghalangi jalanku?” kata Widari membentak.
Linggar yang tersentak dari lamunannya seketika itu juga bergeser setapak.
“Rara Widari,” Linggar berkata lirih.
“Kenapa? Kau melihatku seperti melihat mahluk halus he? Apakah ada yang aneh bagimu?” sahut Widari ketus.
Linggar tak menjawab, hanya menelan ludah tak tahu harus berkata apa.
“Lain kali, panggil aku dengan sebutan ‘Mas Rara’ selayaknya orang-orang menyebutku. Jangan pernah menyebut namaku langsung seperti itu! Kau tahu kedudukanku bukan? Aku adalah putri seorang Tumenggung. Jadi sesuaikanlah sikapmu!” kata Widari lagi.
“Sombongnya Widari kali ini,” Linggar menggerutu.
“Apa kau bilang tadi? Jangan kau ulangi lagi dan tundukkanlah pandanganmu bila berbicara denganku!” katanya lagi dengan sombong.
Lagi-lagi Linggar dibuat tidak mengerti dengan sikap Rara Widari. Ia masih saja terpaku ditempatnya berdiri. Hingga kemudian Widari kembali memacu kudanya meninggalkan Linggar.
“Minggir! Jangan menghalangi laju kudaku!” katanya sambil melecut kudanya. Hampir saja kuda itu menyerempet Linggar, untung saja Linggar dengan cepat surut kebelakang.
Linggar hanya menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Dalam benaknya ia pun menghubung-hubungkan dengan peristiwa sebelumnya.
“Mungkin dia kecewa padaku,” katanya pada diri sendiri. “Aku tahu Widari tidak mungkin sesombong itu. Tetapi memang hari ini dia aneh sekali, penampilannya tidak seperti biasanya. Ia semakin terlihat mempesona dan cantik.”
“Ah.., ada apa denganku ini?” katanya sambil tersenyum-senyum sendiri. “Aku memang tidak bisa melupakannya. Biarlah bunga itu untuk sementara waktu hanya jadi angan-angan buatku,” Linggar membathin.
Linggar kemudian meneruskan langkahnya menuju barak prajurit. Seperti biasanya ketika sampai di kediaman Tumenggung Purbasana, Wurpasa temannya sesama prajurit sandi telah menunggunya.
“Kau ini lama sekali Linggar! Hampir lumutan aku berdiri dimuka regol ini,” kata Wurpasa sambil memberengut.
“Maaf Wurpasa. Aku tadi melihat Rara Widari, jadi terpaksa aku agak terlambat,” jawab Linggar.
“Ada apa lagi? Kau sudah membuatnya kecewa, bahkan ia hampir tidak keluar seharian beberapa waktu lalu. Jangan mencari-cari masalah lagi, Linggar!”
“Ya aku tahu. Aku pun tak berkata apa-apa tadi. Tetapi hari ini dia memang terlihat cantik sekali Wurpasa!” kata Linggar sambil tersenyum-senyum.
“Macam kau, Linggar! Sudah, sudah, nanti kita terlambat sampai ke barak,” kata Wurpasa sambil tersungut-sungut lalu menyeret langkahnya cepat-cepat.
            Dalam pada itu, sekembalinya Tumenggung Purbasana dari Prambanan. Ia menyempatkan diri untuk menemui Tumenggung Derpayuda sahabatnya.
“Selamat datang Purbasana!” kata Ki Derpayuda ramah.
Ki Purbasana pun tersenyum sambil menjabat tangan kakak dari istrinya yang baru.
“Mari, mari kita bicara di dalam,” Derpayuda mempersilahkan.
“Wah masih pengantin baru! Bagaimana kabar Utari adikku atau yang sekarang telah jadi istrimu itu,” kata Derpayuda renyah.
“Baik Derpayuda! Semua berjalan lancar. Isi rumahku pun belum ada yang tahu akan pernikahan itu.”
“Aku turut senang kalau begitu.”
Ki Derpayuda mengangguk-angguk, kemudian wajahnya kini berubah menjadi sungguh-sungguh. Lalu Derpayuda kembali menceritakan peristiwa dimana ia berselisih dengan Lurah Rangga Jati, karena hendak mengambil paksa Linggar. Terlebih lagi tanggapan Wilamarta yang membuatnya bertambah kesal.
“Rangga Jati itu memang sudah ketularan Wilamarta rupanya! Sekali-kali mereka memang harus diberi pelajaran,” kata Purbasana geram. “Jadi anakmu Dalika berhasil melukai pemuda yang bernama Linggar itu, Derpayuda?”
“Begitulah, Purbasana,” jawab Derpayuda kurang yakin. Karena sebenarnya Derpayuda hanya mendengar kesaksian dari anaknya saja, yaitu Dalika. Bukan tahu duduk persoalannya dengan jelas.
“Hmm, pantas Widari sepertinya kecewa akhir-akhir ini. Memang sepantasnyalah Dalika yang menjadi jodohnya bukan pemuda yang tidak jelas asal-usulnya itu.”
“Tapi, Purbasana. Ada hal penting yang harus kita bicarakan selain persoalan anak-anak kita,” kata Derpayuda sungguh-sungguh.
“Maksudmu,” tanya Purbasana penasaran.
“Kau yang terakhir dari Prambanan. Bagaimana kekuatan pasukan kita di prambanan, dan juga kabar dari Padepokan di Alas Mentaok?”
“Semuanya terkendali, Derpayuda. Pasukan kita di Prambanan sudah siap sedia jika dibutuhkan. Sementara dari Padepokan Watu Belah, Bajul Wedi sebagai cantrik memberitahukan bahwa, sedianya saat purnama naik nanti kita dapat berkumpul di Padepokannya. Tujuannya adalah untuk mengatur siasat dalam rangka persiapan serangan ke Mangir esok harinya.”
“Jadi. Selain mengatur siasat, malam sebelumnya kita dapat berpesta dulu Purbasana, begitu?” sahut Derpayuda cepat.
Tawa pun meledak kemudian, dari kedua pembelot Pajang itu.
“Tenang saja, Derpayuda. Prajurit kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut perang keesokkan harinya,” kata Ki Purbasana dengan tawa yang sudah mulai menurun.
Tidak jauh beda yang terjadi di barak keprajuritan Pajang. Ki Tumenggung Wilamarta sedang memberi beberapa petunjuk atas rencana merekan menguak tabir yang memfitnah Pajang.
“Rangga Jati. Lakukanlah persiapan dengan hati-hati! Kalau memang saat purnama naik mereka berencana menyerang Mangir, berarti malam itu juga kita harus segera bertindak mendahului. Maksudku mendahului dalam arti mencegah mereka untuk sampai ke Mangir. Pasukan akan kita kerahkan menumpas mereka di padepokannya saja, agar persoalannya ini tidak meluas kemana-mana.”
“Selain itu, agar tidak timbul salah paham lagi dengan Perdikan Mangir. Dimana desas-desus yang beredar selama ini, Pajang dianggap telah mencoba mengusik ketenteraman Mangir. Yang dalam hal ini dipimpin oleh Ki Ageng Wanabaya.”
“Baik Ki Tumenggung Wilamarta, aku akan bertindak secermat mungkin,” sahut Ki Lurah Rangga Jati. “Dalam hal ini, aku menempatkan Linggar dan Wurpasa sebagai prajurit sandi. Keduanya aku tugaskan untuk mendahului pasukan utama, tujuannya untuk melihat keadaan jalur yang akan dilalui pasukan utama. Agar kita bisa siap siaga jika ada ancaman yang tidak diduga-duga datangnya.”
“Bagus Rangga Jati. Dan kepada kalian berdua,” kata Ki Wilamarta kepada Linggar dan Wurpasa. “Berhati-hatilah! Janganlah bertindak gegabah pada keadaan yang belum kalian tahu sepenuhnya. Karena ini kali pertama bagi kalian untuk melibatkan diri dalam suatu pertempuran. Kalian baru dapat mengukur kemampuan setelah menjajaki kemampuan kalian secara bertahap, dan janganlah terlalu percaya diri!”
“Baik Ki Tumenggung,” jawab keduanya bersamaan.
Begitulah, semua siasat telah diatur dan diperhitungkan secara masak-masak oleh Tumenggung Wilamarta dan bawahannya. Tinggal menunggu perintah saja, maka semua akan bergerak menyesuaikan diri dengan siasat yang telah diatur.
            Sementara itu Rara Widari yang berpacu dengan kudanya, memasuki sanggar Ajar Kesada. Ditambatkannya kudanya, kemudian dia duduk di bale-bale dibawah rindang pohon. Penampilannya yang berubah itu tentu saja menarik perhatian para murid Ki Ajar Kesada yang sedang berlatih, tidak terkecuali Dalika. Tetapi Widari tidak menggubrisnya melainkan hanya acuh tak acuh, sambil mengayunkan kedua kakinya di bale-bale tempat duduknya.
Nyi Ajar yang sedang memantau muridnya dalam latih tari, kemudian menghampirinya.
“Widari. Aneh sekali penampilanmu hari ini,” kata Nyi Ajar sambil memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki, terheran-heran. Widari saat itu menggunakan baju lurik dengan celana selutut.
Widari hanya tersenyum-senyum, lalu katanya, “apakah aku terlihat seperti pendekar Nyi?”
“Ah kau ini. Selama ini aku melatihmu menari bukan olah ketangkasan, Widari. Seharusnya kau menjadi lemah lembut, bukannya gayamu malah begitu rupa?”
Widari malah menyunggingkan senyumnya. “Mulai sekarang aku ingin belajar olah kanuragan, Nyi. Tolong ajari aku!”
“He,” kata Nyi Ajar masih tak habis pikir. “Untuk apa? Biarlah laki-laki saja yang berlatih olah kanuragan pada Ki Ajar, sementara biarlah aku mengajari sebagian perempuan diantara kalian, seperti yang sudah selama ini aku tekuni.”
“Tapi Nyi Ajar juga mampu seperti Ki Ajar bukan?” sahut Widari.
Nyi Ajar terdiam sesaat. “Memang aku pun mampu, tetapi sudah lama aku tidak berlatih lagi.”
“Makanya sekarang apa salahnya itu diasah kembali, Nyi!” kata Widari penuh minat. “Ayolah Nyi, akulah murid pertama Nyi Ajar dalam hal ini.”
“Sebenarnya apa tujuanmu berguru kepadaku soal olah kanuragan?” tanya Nyi Ajar.
“Aku tidak ingin menjadi perempuan lemah, Nyi. Aku ingin bisa melindungi diriku sendiri.”
“Memangnya kau terancam, kau adalah puteri Tumenggung Purbasana. Tentulah mudah meminta perlindungan dari ayahmu sendiri, Widari.”
“Ya. Tapi aku sudah bosan dengan tingkah lelaki yang tidak menghargai perempuan, terlebih lagi lelaki pengecut yang tidak mampu melindungi perempuan.”
“Siapa maksudmu?” kata Nyi Ajar sambil mengernyitkan dahi.
Widari sesaat terdiam. “Sudahlah Nyi, ayolah!” katanya merajuk.
“Ya sudah. Artinya kau memang sudah tidak berminat berlatih tari lagi, begitu?”
“Bukankah aku juga sudah Nyi Ajar Wisuda? Jadi untuk tahap ini mungkin sudah cukup Nyi,” jawab Widari.
Nyi Ajar Kesada menarik napas dalam-dalam. “Baiklah. Kau bisa mengambil waktu di pagi hari. Terpisah dari teman-temanmu yang berlatih tari pada sore hari. Tetapi pesanku, bersungguh-sungguhlah dalam berlatih. Dan tetap rendah hati dan santun, karena kodratmu sebagai wanita.”
“Walaupun saat ini aku belum tahu, dorongan apa yang membuatmu ingin belajar olah kanuragan. Tetapi aku menyambut baik. Karena di kemudaanmu ini gejolak hati memanglah selalu berubah-ubah, dan kau harus mengendalikan dan tahu batasanmu, Widari,” kata Nyi Ajar sareh.
            Sementara itu di dalem ksatrian Pajang. Linggar tengah berbincang dengan Raden Pamekas. Keduanya bercengkerama selepas latihan olah kanuragan sore itu.
“Linggar. Gerakanmu sudah semakin mapan. Dan kekuatan lontar pusaran angin pun sudah dapat kau lakukan. Hanya saja memang masih pada tahap dasar, kau dapat meningkatkan kemampuanmu jika terus mengasahnya kelak.”
“Baik Raden. Aku ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan Raden,” sahut Linggar.
Sejenak Raden Pamekas meneguk minuman hangatnya, kemudian katanya. “Sebenarnya, aku sudah harus kembali ke Demak. Tetapi karena persoalan padepokan Watu Belah itu aku tunda. Untuk saat sekarang hanya Tumenggung Derpayuda dan Lurah Sembadalah yang menjadi penghubung selama aku di Kadipaten Pajang. Mereka memberi kabar tentang orang-orang kulit putih telah menduduki Malaka, dan itu amat meresahkan. Bukan tidak mungkin mereka menginginkan tanah Jawa ini dikuasainya. Oleh karena itu, aku ingin masalah disini selesai terlebih dahulu sebelum aku kembali bertugas di Demak.”
Linggar tidak memotong pembicaraan, hanya mendengarkan saja. Karena dia memang belum terlalu paham gejolak yang melanda Demak setelah Sultan Trenggana Wafat.
“Saat penyerangan ke Padepokan Watu Belah di Mentaok nanti, aku akan ikut serta,” ujar Raden Pamekas lagi. “Aku akan bersama Lurah Rangga Jati, sedangkan Ki Wila tidak dapat ikut serta dikarenakan keselamatan Kanjeng Adipati juga penting. Jadi dia berpendapat akan tetap berada di Kadipaten. Kau sebagai prajurit yang memandu jalur, bertindaklah cermat dan berhati-hati, Linggar. Aku ingin kau menjadi prajurit yang tangguh bagi masa depan Pajang selanjutnya. Untuk saat ini kesampingkanlah dulu urusan pribadimu, terutama tentang ayahmu yang kau belum tahu nasibnya.”
“Baik Raden,” sahut Linggar. Dibenaknya pun sebenarnya masih berharap ayahnya dapat ditemukan kembali, walaupun saat ini ia masih bingung harus berbuat apa, setelah pertempuran di Kali Praga sebelumnya. Tetapi harapan itu masih tertanam dihatinya.

<-- Prev  Next-->

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut