Novel Cerita Silat Jawa

TDM 25

Kala Matahari terik diatas kepala. Perang belum juga usai. Kedua kubu kini sama kuat. Dibagian tengah, Ki Lurah Rangga Jati berhadapan dengan Bawuk Sangit. Salah satu cantrik padepokan yang cukup disegani. Di sayap kanan Linggar berhadapan dengan seorang pemimpin dari lapis dua, sedangkan Wurpasa berhadapan dengan orang yang setingkat kemampuannya dengannya. Seorang pria bertubuh kekar dengan wajah berewokan.
Sementara di bangunan pusat utama padepokan, Pangeran Pujapati tampak gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di belakang bangunan utama itu. Sesekali tatapannya menyambar sekeliling gerumbul pohon yang mengelilingi bangunan itu.
“Lama sekali Kakek Guru!” katanya gelisah. “Sudah setengah hari perang berlangsung, mengapa Kakek Guru belum juga kembali? Apakah ada sesuatu yang terjadi dengannya?” katanya lagi bertambah cemas.
“Ah tapi tidak mungkin, Kakek Guru adalah seorang yang sakti. Tidak ada satu pun orang Pajang yang mampu mengalahkannya! Bahkan Karebet sekalipun” katanya menepis kecemasan.
Sesaat kemudian Pangeran Pujapati berdebar-debar, ketika semak belukar dihadapannya tersibak. Dan kemudian muncul sosok yang sangat ia tunggu-tunggu. Tetapi Pangeran itu terkejut ketika, melihat lengan orang itu berbalut kain putih yang memerah darah.
“Kakek Guru terluka?”
“Tidak perlu khawatir Anak Mas Pangeran, aku sudah mengobati lenganku yang sedikit tergores ini. Sekarang, lihatlah apa yang aku bawa ini!” kata orang yang dipanggil Kakek Guru tadi.
Sejenak Pangeran Pujapati mengamati sebuah benda yang disodorkan kepadanya. Sebuah benda yang dibalut kain, berukuran panjang selengan.
“Kakek Guru berhasil!” kata Pangeran itu terbelalak, kemudian mengamati sebuah benda yang telah dibuka balutannya.
“Ya Anak Mas. Itu adalah seruling pusaka Kiai Nagasengkala. Pusaka itu pernah jadi rebutan di Pesisir Lor tanah Jawa,” kata Kakek Guru sambil tersenyum.
Pangeran Pujapati terlihat gembira sekali, ia kemudian mencoba menempelkan seruling itu pada bibirnya, sambil jemarinya menutup lubang-lubangnya. Tetapi ketika hendak meniupnya, Kakek Guru itu melarangnya.
“Jangan sekarang Anak Mas Pangeran! Satu tiupan saja bisa menggetarkan jantung orang yang mendengarnya, itu jika Anak Mas sudah mengusainya. Tetapi Anak Mas Pangeran belum paham betul bagaimana cara menggunakannya. Biarlah sementara waktu, kakekmu ini yang memegangnya,” kata Kakek guru itu.
Pangeran Pujapati pun mengurunkan niatnya, sambil menyerahkan seruling itu.
“Rencana kita berjalan lancar Kakek Guru,” kata Pangeran Pujapati kemudian. “Saat pasukan Pajang perhatiannya terpusat ke Padepokan ini, Kakek Guru dapat memanfaatkan mengambil seruling Kiai Nagasengkala ini di Pajang.”
“Ya anak mas. Hanya saja satu catrikmu telah menjadi korban, karena Karebet mampu melumpuhkannya. Tetapi senjata ini mampu kuraih saat terlempar dari genggamannya. Aku tak tahu kalau Karebet malam itu ada di gedung pusaka Pajang dan menjadi lawan dari cantrikmu itu.”
“Sekarang Anak Mas, mari kita ke gelanggang! Aku khawatir akan jatuh korban yang lebih banyak dari murid-murid padepokan kita.”
Akhirnya keduanya kemudian meninggalkan pusat padepokan menuju medan perang yang ada di pintu gerbang regol.
Keletihan jelas terlihat pada mereka disana. Mereka telah bertempur habis-habisan, dari matahari sepenggalah sampai matahari terik menyengat kepala. Keringat pun mengucur deras membasahi tubuh-tubuh mereka yang beradu senjata.
Dibagian paruh gelar, Ki Lurah Rangga Jati tampak bertarung sengit dengan Bawuk Sangit. Ki Lurah tampak melompat kekanan dan kekiri menghindari putaran bandil yang mengarah kepadanya. Putaran bandil itu sungguh mengerikan ditangan lelaki bertubuh gempal dengan kulit hitam legam. Keringat yang membasahi tubuh Bawuk Sangit membuat pembawaannya menjadi bertambah garang. Kulitnya yang hitam legam kini menjadi berkilat diterpa cahaya matahari.
Ki Lurah Rangga Jati pun terlihat seperti harimau kumbang yang mampu melompat kesana-kemari. Tubuhnya yang telah terlatih membuat gerakannya begitu lincah. Pengalamannya sebagai Lurah Prajurit di Pajang, telah membawanya menjelajah tanah Jawa dari pesisir lor sampai pesisir kidul. Pengalaman itu pula yang telah membuatnya mampu menilai setiap pertempuran. Dimana ia dapat mengukur kekuatan lawan, meskipun lawannya tingkatannya jauh diatasnya, tetapi dengan pengamatannya ia mampu mengimbangi.
Bandil Bawuk Sangit masih berputar-putar diatas kepalanya, sesekali bola bergerigi pada bandil itu dilontarkannya mendatar ke tubuh Ki Lurah. Ki Lurah pun surut selangkah kebelakang menghindar. Hampir saja bola bergerigi tajam itu menggores perutnya, jika ia tidak cekatan.
Kemudian dengan pedangnya, Ki Lurah mencoba menusuk lawannya lagi secara tiba-tiba. Bawuk Sangit terkejut dibuatnya, sulit baginya untuk menghindar, ia pun terpaksa berguling ke samping mengimbangi ayunan bandilnya yang luput dari sasaran.
Memang bertarung menggunakan bandil tidak leluasa bergerak. Ketika bola bandil tidak mengenai sasaran, maka penggunanya akan terbawa arah putaran bandil tersebut. Tetapi bila sudah mengenai lawan, maka akibatnya akan sungguh parah. Jika mengenai kepala dapat meretakkan tulang tengkorak, jika terkena sambaran dapat menimbulkan luka yang pedih, akibat dari gerigi pada bandil tersebut.
“Jangan melompat-lompat saja Ki Lurah!” ujar Bawuk Sangit yang mulai tak telaten. “Kau seperti bocah yang sedang bermain ingkling!”
“Kau juga seperti barongan, Bawuk Sangit!” Ki Lurah menimpali. “Kau hanya berguling-guling saja sejak tadi!”
Bawuk Sangit tidak membalas mengejek lagi, ia kembali mengerahkan segenap kemampuannya. Kini bandilnya ia putar menyilang di depan tubuhnya. Bandil yang ia putar menyilang itu secara tidak langsung telah melindungi tubuh Bawuk Sangit dari tusukan dan sabetan pedang Ki Lurah.
Ki Lurah Rangga Jati melangkah mengitari Bawuk Sangit, ia seperti kesulitan mencari celah. Bandil yang berputar menyilang itu menghalanginya untuk menembus pertahanan lawan.
Bawuk Sangit terus saja mengumpati Ki Lurah. Itu ia lakukan untuk memancing amarah lawan. Ketika ia melihat Ki Lurah agak terganggu dengan umpatannya, Bandil itu ia tibankan ke kepala Ki Lurah yang sedang kesulitan mencari celah lawan. Bandil itu pun menukik cepat dan akan meniban kepala Ki Lurah. Ki Lurah yang melihat bandil itu akan memecahkan kepalanya, seketika itu juga bergeser selangkah kesamping.
Tetapi sedikit terlambat, bola bergerigi itu lebih dahulu menggapai pundaknya. Akibatnya, bajunya koyak pada bagian pundak dan meneteskan darah. Gerigi tajam itu telah sedikit menyerempet pundaknya.
Rasa pedih menyengat pundak Ki Lurah Rangga Jati. Ia menggeram marah telah dilukai Bawuk Sangit. Walaupun begitu ia masih berpikir jernih, ia tidak menuruti amarahnya. Jika ia mengikuti amarahnya maka akan bertambah parah akibatnya. Karena itu ia pun bersabar mencari kelemahan lawan. Tetapi luka dipundaknya memang sedikit mempengaruhinya, ia kadang meringis menahan pedih pada pundaknya.
Ki Lurah kembali memancing lawan dengan sesekali menjulurkan pedangnya. Tetapi lagi-lagi laju pedang itu ditepis bandil Bawuk Sangit. Walaupun pedangnya tidak sampai terlepas, tetapi Ki Lurah merasakan getarnya membuat tangannya seperti kesemutan.
Seperti diketahui, KI Lurah Rangga Jati adalah pemimpin sekelompok prajurit. Oleh karenanya ia tidak hanya membawa satu senjata, melainkan rangkap. Selain pedangnya yang ia pergunakan sekarang, masih tersangkut sebuah canggah bermata dua di pinggang bagian belakang. Canggah adalah senjata mirip trisula, hanya saja memiliki bagian runcing dua.
Ki Lurah pun segera teringat akan canggahnya itu. Ia kemudian menarik canggahnya dan memegangnya ditangan kiri, sementara tangan kanannya menggenggam pedang.
“He, senjata apa lagi yang kau keluarkan Ki Lurah. Rupanya kau sudah putus asa menghadapi bandilku he? Senjatamu itu pantasnya hanya untuk berburu babi hutan Ki Lurah,” kata Bawuk Sangit terkekeh.
“Jangan banyak omong, Bawuk Sangit! Canggah ini akan menusukmu, seperti aku menusuk babi hutan!” kata Ki Lurah geram.
Canggah Ki Lurah beberapa kali dijulurkan membentur bandil Bawuk Sangit, Bawuk Sangit pun melihat kini Ki Lurah bertambah yakin dengan Canggahnya itu. Walaupun belum mampu menggapai tubuh Bawuk Sangit. Tapi benturan-benturan itu mampu membendung putaran bandil itu. Benturan kedua senjata itu sesekali memercikan bunga api ke udara. Pemandangan itu pun menyita beberapa orang yang bertempur di sekitar tempat itu. Tanpa sengaja mereka pun bergeser, memberi ruang bagi keduanya agar leluasa bertempur.
Suatu ketika rantai bandil Bawuk Sangit mampu melibat canggah milik Ki Lurah. Maka, terjadilah tarik-menarik senjata. Tetapi karena libatan rantai bandil itu hanya pada satu bilah canggah, maka sesaat kemudian libatan itu lepas. Itu disebabkan kekuatan yang berimbang dari keduanya. Bawuk Sangit sempat surut tiga langkah kebelakang, terbawa kekuatannya sendiri. Sedangkan Ki Lurah hanya surut selangkah dengan canggah yang masih tergenggam erat.
Keduanya sempat beradu pandang dengan tatapan mata yang tajam. Dalam hati mereka menilai keadaan, atas apa yang baru saja terjadi. Ki Lurah semakin yakin bahwa canggahnya akan dapat mengatasi putaran bandil lawan, sementara Bawuk Sangit merasa bahwa canggah itu sedikit mengganggu putaran bandilnya.
Ketika Bawuk Sangit kembali memutar bandilnya lebih cepat dan mendesak maju, sekali lagi bandil itu telah menjerat canggah Ki Lurah. Ki Lurah memegang erat canggahnya untuk mempertahankan, sementara Bawuk Sangit mencoba menariknya. Bahkan kini dengan dua tangan Bawuk Sangit menarik rantai bandil yang menjerat canggah itu. Bawuk Sangit mengeluarkan segenap tenaganya untuk dapat melepaskan bandil ditangan Ki Lurah itu. Ki Lurah pun merasakan betapa kuatnya tarikan tenaga Bawuk Sangit pada canggahnya. Lelaki hitam legam dengan tubuh gempal itu mempunyai tenaga yang luar biasa. Bagi Ki Lurah, sungguh sulit untuk memenangkan adu kekuatan tarik itu. Maka ia pun kemudian merubah siasat, ketika perhatian Bawuk Sangit tertuju pada canggahnya, pedang ditangan kirinya ia julurkan ke dada Bawuk Sangit. Bawuk Sangit terlambat menyadari keadaan, akibatnya pedang itu menembus dada kirinya dua ruas jari. Darah merembes di dadanya, rasa pedih pun menyengat dadanya.
Ki Lurah dengan cepat menarik pedangnya, tetapi membiarkan canggahnya terlepas dari genggaman. Canggahnya pun akhirnya terlepas dan terjatuh ditanah. Akibatnya Bawuk sangit terdorong mundur oleh kekuatan tariknya sendiri, karena Ki Lurah membiarkan canggahnya terlepas. Bawuk Sangit kemudian mencoba tetap tegak berdiri sambil memegangi dadanya yang terus mengeluarkan darah.
“Kurang ajar kau Ki Lurah! Kau bertarung dengan senjata cadangan rupanya!” katanya dengan nada geram.
“Tidak ada aturan dalam perang brubuh, Bawuk Sangit. Aku bebas menggunakan senjata apapun, asalkan tidak berbuat licik,” kata Ki Lurah, masih dengan pedang terhunus. Ia pun masih merasakan pedih di pundaknya, akibat terkena bandil Bawuk Sangit sebelumnya.
“Kau menyerah, Bawuk Sangit?” tanya Ki Lurah.
Lelaki Hitam legam itu malah tertawa. “Tak ada kata menyerah dalam sejarah hidupku, Ki Lurah.”
Ki Lurah lalu maju selangkah, sambil merundukkan pedangnya.
“Untuk tujuan mulia, pantang menyerah memang baik, Bawuk Sangit. Tetapi tujuanmu apa? Tak jelas Bawuk Sangit, sadarilah itu.”
“Aku tidak bodoh, Ki Lurah. Aku mempunyai tujuan. Aku berjuang untuk menjadikan Pangeran Pujapati menjadi penguasa tanah Jawa,” jawab Bawuk Sangit.
“Jangan berkhayal Bawuk Sangit! Kau tidak tahu siapa sebenarnya jungjunganmu itu? Bukan urusan lagi bagi orang seperti kita tahta itu. Tahta akan tanah Jawa hanya urusan bagi mereka-mereka yang memang mempunyai garis keturunan. Lagipula para Wali yang mempunyai ilmu kaweruh dan pertimbangan yang matang, tentu sudah memusyawarahkan hal itu. Jadi pergunakanlah sisa hidupmu itu dengan baik, Bawuk Sangit” kata Ki Lurah sareh.
“Jangan sesorah dihadapanku, Ki Lurah. Aku sudah merasa berharga berjuang dengan Pangeran Pujapati disini. Aku kini bukan lagi perampok di Hutan Tambak Baya, aku adalah seorang pejuang sekarang. Aku akan hidup mulia jika perjuangan ini terwujud,” kata Bawuk Sangit dengan yakinnya.
“Tidak ada bedanya Bawuk Sangit, kau tetap saja perampok. Bedanya dulu kau merampok siapa saja yang melintas di hutan Tambak Baya, sedangkan kini kau membantu junjunganmu merampok tahta yang belum tentu menjadi haknya. Orang-orang seperti kalian ini hanya akan memperparah keadaan di tlatah Demak.”
Bawuk Sangit makin pening mendengar sesorah Ki Lurah. Ia pun kembali menarik Bandilnya, lalu kemudian melepaskan canggah Ki Lurah yang membelit rantai bandilnya.
“Kita lanjutkan Ki Lurah!” kata Bawuk Sangit.
Bawuk sangit kembali memutar bandilnya menyerang Ki Lurah, akan tetapi kini kekuatannya tidak sepenuhnya. Karena luka didadanya amat mengganggunya. Ki Lurah kemudian hanya mengimbangi pergerakkan lawan. Ia tidak kesulitan menghindar dari serangan bandil itu, walaupun tanpa canggahnya.
Nampak Bawuk Sangit makin keletihan, sedang darah terus mengalir dari dadanya. Bawuk Sangit akhirnya berpikir untuk memecah perhatian Ki Lurah. Karena baginya tidak mungkin lagi bertempur dengannya. Tiba-tiba bandul Bawuk Sangit berputar tak beraturan, Ki Lurah pun terkejut dibuatnya. Bawuk Sangit menyerang Ki Lurah, tetapi kadang-kadang bandilnya itu dilontarkan pada prajurit pajang yang lain, yang tidak terikat dalam pertempuran dengannya. Akibatnya beberapa prajurit Pajang terluka bagian punggungnya tergores bandil Bawuk Sangit yang dilontarkan dari arah yang tidak diduga para prajurit Pajang.
“Kau licik Bawuk Sangit! Mereka sedang menghadapi lawan mereka masing-masing, tetapi kau malah menyerangnya dari belakang!” kata Ki Lurah geram.
“Seperti katamu, Ki Lurah. Tidak ada aturan dalam perang brubuh!” kata bawuk sangit dengan suara nyaring diantara dentang senjata.
Ulah Bawuk Sangit itu mempengaruhi keseimbangan pada bagian paruh gelar yang dipimpin Ki Lurah Rangga Jati. Keadaan prajurit Pajang pada bagian tengah menjadi kacau-balau dibuatnya. Sedikit demi sedikit putaran bandil Bawuk Sangit mengurai prajurit Pajang yang sedang mendesak murid padepokan.
Ki Lurah yang membayanginya tak bisa lagi mengikatnya dalam pertempuran, karena Bawuk Sangit terus berpindah tempat dan mengacaukan pertempuran. Bawuk Sangit seperti orang putus asa, bandilnya ia hantamkan pada prajurit Pajang yang ada di sekitarnya secara acak.
Ki Lurah menjadi naik darah. Ia berjalan cepat menyibak mereka yang sedang bertempur, ia mencoba mendekati lagi Bawuk Sangit. Tak sengaja, kakinya terantuk canggahnya yang sebelumnya ia biarkan terlepas. Ia pun meraih kembali senjata itu.
“Bawuk Sangit!” katanya dengan nada tinggi. “Aku disini, jangan main kucing-kucingan denganku!” kata Ki Lurah.
Bawuk Sangit hanya menatapnya, tetapi tak memperdulikannya. Ia terus saja mengayun-ayunkan bandilnya pada sasaran yang makin tidak jelas. Tenaganya mulai susut karena darahnya terus mengalir.
“Apa boleh buat,” gumam Ki Lurah. “Aku tidak ingin karena ulahnya prajuritku banyak yang terluka.”
Ki Lurah kemudian mengangkat canggahnya setinggi bahu. Setelah mengambil ancang-ancang, ia lalu sedikit mencodongkan tubuhnya. Dilontarkannya canggahnya ke arah Bawuk Sangit. Canggah itu pun melesat lurus mengarah pada sasaran disela-sela orang yang bertempur. Dan beberapa saat kemudian terdengar suara mengeluh tertahan dari Bawuk Sangit. Canggah itu menancap di pangkal pahanya.
Bawuk Sangit tak dapat berpijak lagi dengan dua kakinya. Ia jatuh terduduk dengan lemas.
Ki Lurah menghampirinya lalu menempelkan pedangnya pada leher Bawuk Sangit. “Menyerahlah! Masih ada kesempatan bagimu untuk menyingkir,” kata Ki Lurah.
Bawuk Sangit tidak menjawab, hanya terengah-engah. Kedua tanggannya lunglai tak kuasa bergerak. Ia pun tidak melakukan upaya apapun ketika Ki Lurah mencabut canggahnya dari kakinya, ia pasrah.
Ki Lurah kemudian tidak melakukan apa-apa kepada Bawuk Sangit. Karena paugeran yang berlaku adalah tidak membunuh atau melukai lawan yang sudah tidak berdaya.
Tetapi kemudian ternyata kemenangan Ki Lurah disambut kembali oleh sorak sorai prajurit Pajang. Hal itu memang biasa dilakukan untuk mempengaruhi ketahanan jiwa lawan.
“Hidup Ki Lurah! Hidup Rangga Jati!” begitu prajurit Pajang mengelu-elukannya.
Kepala Cantrik Watu Belah, yaitu Bajul Wedi makin gelisah. Lapis pertamanya tak mampu lagi bertahan menghadapi gempuran lawan. Sementara itu Raden Pamekas hanya memantau dari ekor gelar, ia tidak ikut berperang, melainkan hanya sesekali memberi aba-aba kepada para senapati perangnya yang ada di Paruh, Sayap Kanan dan Sayap Kiri.
<-- Prev   Next -->

1 komentar:

Pengikut