Raden Pamekas menyeret langkahnya agak cepat, mengikuti Linggar
yang berlari-lari kecil, menghampiri lima orang tadi.
Tetapi alangkah terkejut mereka setelah mendekat. Lima
orang tadi ternyata bersenjata dan mengacungkan tombak kepada keduanya.
“Berhenti disitu! Siapa kalian?” tanya salah
seorang dari kelimanya.
Raden Pamekas menjawab, “namaku Pamekas. Ijinkan aku
menyebererang dengan rakit kalian.”
“Apa hubunganmu dengan para korban itu?”
“Aku adalah teman dari para korban yang terseret banjir bandang
itu,” jawab Raden Pamekas.
“Berarti kalian adalah bagian Prajurit Demak?”
“Benar kisanak, ijinkan aku melihat para korban itu.”
Kelima orang itu berpandangan, tetapi akhirnya semua mengangguk.
“Kau boleh melihat korban itu, tetapi setelah mendapat persetujuan
dari pemimpin kami!”
Raden Pamekas menjawab, “baiklah, aku menurut saja.”
Kemudian kelima orang itu menyeberangkan Raden Pamekas dan
Linggar, dengan mata tombak yang masih diacungkan.
Sementara itu diujung tepian yang dituju. Orang-orang yang
berkerumun mengalihkan pandangannya pada rakit yang menyeberang mendekati
tempat mereka berkumpul. Diantara mereka tampak lelaki muda seusia Raden
Pamekas diapit dua pengawal.
Setelah rakit itu merapat ditepian, didorongnya Raden Pamekas
dan Linggar menghadap seseorang yang diapit dua pengawal tadi.
“Siapa mereka?” tanya lelaki muda itu dengan tatapan
mata tajam.
“Ampun Raden. Mereka mengaku kawan dari para prajurit yang
tewas itu,” jawab salah seorang yang menyeberangkan Raden Pamekas dan Linggar.
“Kau prajurit Demak he? Untuk apa kau membuat kerusuhan di
telatah Mangir ini?”
Raden Pamekas mencoba menyesuaikan diri dengan sebutan orang itu. “Ampun
Raden. Perkenalkan hamba Pamekas dan ini adikku Linggar. Kami kesini
mencari beberapa prajurit yang menjadi korban banjir bandang
itu. Aku bersama adikku kemari untuk melihat, apakah ada dari mereka yang
masih selamat.”
“Dari keteranganmu, kau mencoba mengelabuhi kami.”
“Maksud Raden?” tanya Raden Pamekas.
“Kau seorang prajurit Demak, tetapi kau membawa adikmu yang belum
cukup umur itu untuk berperang!” berkata pemuda yang dipanggil Raden oleh orang
Mangir itu.
Raden Pamekas sulit untuk berkelit, karena memang Linggar belum
cukup dewasa untuk menjadi prajurit.
Suasana menjadi tegang. Orang-orang Mangir makin bernafsu
untuk menangkap mereka.
Sementara dibelakang orang-orang mangir itu. Terlihat
beberapa mayat bergeletakkan dan sebagian tubuh mereka membiru.
Akhirnya Raden Pamekas kembali berkata, “Raden. Kita
kesampingkan dulu tentang asal-usulku. Hal yang lebih penting dan mendesak
adalah, bagaimana mayat-mayat yang kaku itu segera kita selenggarakan.”
“Kau berani mengguruiku he? Aku
tidak akan mengijinkan kau menguburkannya di tanah Mangir. Kau
pikir telatah Mangir adalah kuburan masal?”
“Kalau kau memang utusan dari Demak, bawalah mayat-mayat ini
keluar telatah Mangir. Lalu kuburkanlah dimanapun sekehendak hatimu, yang
penting bukan disini !”
Raden Pamekas mencoba menahan hati, mendengar perkataan orang
itu.
“Tetapi itu akan membutuhkan waktu lama Raden. Sedangkan
mayat-mayat itu secepatnya harus dikuburkan. Aku mohon kemurahan hati
Raden, untuk memerintahkan pemuda Mangir menguburkan jasad yang sudah membeku
itu.”
“Aku tidak perduli! Kau tidak bisa menyuruhku, Mangir bukan
bagian dari Demak, kau tahu itu?”
“Aku tak mau akibat setelah ini, Mangir dianggap terlibat dalam
tewasnya para prajurit Demak itu, atau musuh-musuh Demak menjadikan Mangir
sebagai sasaran kemarahan mereka!”
Raden Pamekas hanya terpaku disisi Linggar, upayanya untuk
membujuk pimpinan Mangir itu tidak membuahkan hasil.
Tetapi suasana tegang itu dikejutkan oleh suara derap kuda yang
mendekati tempat itu. Seorang lelaki setengah baya diapit dua orang
bersenjata.
“Ki Ageng Wanabaya!” berkata beberapa orang Mangir itu.
Seketika kuda itu pun berhenti dikerumunan tepian sungai itu.
“Apa yang terjadi Jaka?” berkata lelaki setengah baya itu.
“Mereka adalah kawan dari para prajurit Demak yang tewas itu,
mereka ingin kita menguburkan jasad itu di tanah Mangir ini ayahanda.”
Ki Ageng Wanabaya memperhatikan keduanya, kemudian
mengangguk-agguk. Katanya, “ia benar Jaka. Jasad itu harus segera
dikebumikan.”
Pemuda yang dipanggil Jaka oleh Ki Ageng Wanabaya itu pun
kembali berkata, “ tetapi rakyat Mangir tidak ada sangkut pautnya
dengan prajurit Demak yang tewas itu. Aku khawatir dampak yang timbul
setelah ini ayahanda!”
“Tetapi sebagai rasa kemanusiaan, kita harus segera
menguburkannya. Aku pikir kita bisa menguburkannya di sisi Alas Mentaok
itu, jika kau tak setuju jasad itu dikubur di tanah Mangir.”
Pemuda yang ternyata putra Ki Ageng Wanabaya itu pun tidak
berani membantah. Ia pun langsung mengatur penyelenggaran atas jasad
yang akan dikuburnya. Para prajurit dan pemuda Mangir melakukan pekerjaan
itu secara bersama-sama. Raden Pamekas dan Linggar pun turut serta.
Seperti yang direncanakan. Jasad-jasad itu dikubur di sisi
Alas Mentaok. Gundukan makam itu diberi batu diatasnya sebagai penanda.
Raden Pamekas berkaca-kaca memandang Prajuritnya yang gugur,
meskipun separuh dari mereka ada yang berada di pihak lawan.
Setelah pemakaman selesai Ki Ageng Wanabaya menghampiri Raden
Pamekas dan Linggar. Didampingi putranya, yang bernama Raden Jaka.
“Hari sebentar lagi gelap, sebaiknya kisanak berdua bermalam di
Mangir.”
“Terimakasih Ki Ageng. Aku sudah merepotkan penduduk
Mangir. Aku sangat berterimakasih atas kemurahan hati Ki Ageng.”
“Sudahlah. Ini sudah kewajiban bagi setiap umat manusia
untuk saling menolong.”
Raden Pamekas tidak menolak ketika Ki Ageng kemudian memegang
lengannya dan mempersilahkan. Akhirnya semua orang menuju Perdikan Mangir
yang menjadi kekuasaan Ki Ageng Wanabaya.
Raden Pamekas dan Linggar dibuat tertegun melihat tanah perdikan
Mangir, yang memiliki gapura besar dipintu masuknya. Juga rumah-rumah rapi
berbaris di jalan utama menuju pusat pemerintahan dimana Ki Ageng Wanabaya
tinggal. Perdikan Mangir terlihat lebih besar bila dibandingkan kademangan
pada umumnya, bahkan hampir menyamai sebuah Kadipaten.
Rombongan itu hanya berjalan saja dijalan utama Mangir, semunya
memilih berjalan kaki, yang berkuda pun memilih menuntun kudanya dibelakang
iring-iringan itu. Sesekali tampak penduduk Mangir mengangguk hormat pada
Ki Ageng Wanabaya yang selalu tersenyum ramah pada rakyatnya itu. Pun
begitu dengan Raden Jaka anaknya yang berjalan disisinya.
Ketika sampai pada sebuah bangunan yang cukup besar, rombongan
itu pun terhenti. Raden Jaka tampak mengatur para prajuritnya kembali ke
baraknya yamg letaknya tidak jauh dari tempat itu. Tinggalah Ki Ageng yang
kemudian mempersilahkan Linggar dan Raden Pamekas masuk kedalam kediamannya.
Belum habis takjub mereka melihat suasana Mangir. Mereka
menyaksikan bangunan yang megah setelah pintu regol dibuka
pengawal. Halaman yang luas dan pendapa yang dapat menampung banyak orang
disana.
Ki Ageng Wanabaya tersenyum, “inilah gubukku, silahkan angger
berdua membersihkan diri dulu, karena hari hampir gelap. Nanti setelah
malam angger berdua dapat berbincang-bincang denganku di pendapa.”
“Terimakasih Ki Ageng. Karena kami berdua mendapat
kesempatan bermalam di Mangir ini.”
“Tentu, tanah Mangir terbuka bagi siapa saja yang ingin
berhubungan baik.
Ki Ageng Wanabaya kemudian memanggil seorang pelayan rumah
tangga untuk mengantar tamunya menuju tempat istirahat yang berada disebelah
kanan kediaman Ki Ageng Wanabaya.
Ketika malam, Ki Wanabaya tampak menulis surat diatas
daun lontar, disaksikan Raden Jaka putranya.
“Aku merasa perlu membalas surat dari Adipati Pajang itu, Jaka!”
“Untuk apa ayah? Mangir sudah lebih dulu berdiri ketimbang
Kadipaten Pajang. Bahkan mungkin Mangir ini sudah seusia dengan Demak.”
“Memang benar,” jawab Ki Wanabaya sareh. “Tetapi maksud
Adipati itu baik. Bahwa ia mengusulkan agar Mangir ini menjadi tanah
perdikan,” kata Ki Ageng sambil menulis.
“Lalu ayah menyetujuinya?”
“Saat ini belum, Jaka. Tetapi balasan surat ini adalah
bentuk bahwa Mangir dapat menjalin kerjasama dengan pihak luar, dan bukan
daerah yang menutup diri.”
“Apa perlunya ayah? Mangir dapat berdiri sendiri tanpa
bantuan pihak luar.”
Ki Ageng Wanabaya sesaat menghentikan guratan lontarnya. “Supaya
tidak timbul kesalahpahaman antara Mangir dan kadipaten Pajang yang dipimpin
Karebet itu. Kau tahu? Beberapa kali ada kelompok yang mencoba
mengusik Mangir dan mereka mengatasnamakan kuasa Pajang?”
“Adipati Hadiwijaya atau yang dikenal Jaka Tingkir itu. Sudah
mendengar perilaku kelompok itu. Dan dalam suratnya yang dikirim beberapa
waktu lalu, ia menampik bahwa itu adalah atas perintah darinya.”
“Tapi ayah. Sudah jelas kelompok yang berusaha mengusik
Mangir itu berpakaian prajurit Pajang. Dan mereka tak segan menjarah
didaerah terluar telatah Mangir ini,” Raden Jaka berkata meyakinkan ayahnya.
“Sudahlah ngger, rontal ini juga hanya berisi sikapku atas para
perusuh itu. Bahwa Mangir juga mengutuk perbuatan tercela itu, kita
sama-sama memeranginya.”
“Kita harus belajar menjadi tetangga yang baik bagi Kadipaten
Pajang. Kelak kau akan menggantikanku memimpin Mangir, bertindaklah bijak
dalam setiap keadaan,” nasihat Ki Ageng sambil menggulung rontalnya.
Raden Jaka tak dapat berkata-kata lagi, jika ayahnya sudah
berkata tentang masa depan Mangir. Baginya, ayahnya sudah bekerja keras
demi membentuk Mangir menjadi daerah yang subur.
“Oh ya Jaka! Panggil dua orang tamu kita itu, aku ingin
bercakap-cakap dengan mereka.”
Walaupun enggan, tetapi Raden Jaka kemudian bangkit juga dan
memanggil seorang pengawal untuk menghadirkan tamunya itu di pendapa.
Raden Pamekas dan Linggar menghadap dengan sedikit membungkuk
memberi hormat.
“Silahkan kisanak berdua! Tidak perlu sungkan, aku bukan
raja atau Adipati,” kata Ki Ageng Wanabaya sambil mempersilahkan duduk.
“Oh ya! Aku belum tahu siapa nama kalian dan darimana
sebenarnya kalian?”
Raden Pamekas sedikit beringsut. “Namaku Pamekas, Ki
Ageng! Aku adalah prajurit Demak.”
Linggar pun mengangguk dan memperkenalkan diri. “Namaku
Linggar dari Matesih!”
Ki Ageng Wanabaya mengangguk-angguk, lalu berkata. “Baik..,
baik.., Tetapi aku melihat sesuatu yang lain dari kalian berdua.”
Raden Pamekas dan Linggar pun saling berpandangan. Ternyata
penglihatan Ki Ageng cukup tajam menilai kedua tamunya itu.
Raden Pamekas yang tanggap maksud Ki Ageng, tak mau menutupi
jatidirinya lagi.
“Mohon maaf sebelumnya Ki Ageng! Namaku memang Pamekas,
tetapi orang memanggilku Raden Pamekas di Demak.”
Raden Jaka pun terkejut, ia tak menyangka bahwa orang
yang mengaku prajurit itu ternyata adalah keluarga kerajaan dari Demak.
Ki Ageng masih diam. Tetapi Raden Pamekas kemudian mencoba
melanjutkan perkataannya.
“Takdir yang membawaku ke Mangir ini adalah peristiwa yang tidak
bisa aku hindari, Ki Ageng. Banjir bandang telah menyeret pasukanku sampai
tempuran Kali Bedog.”
“Seluruh prajuritku kemungkinan tewas, dan beberapa orang
mungkin belum diketahui nasibnya. Termasuk ayah dari temanku ini, yaitu Ki
Demang Wulungan. Ia adalah seorang Demang di Matesih, yang secara tidak
sengaja tersangkut fitnah antara kisruh laskar Jipang dan Demak.”
Ki Ageng Wanabaya menarik napas panjang, lalu berkata. “Aku
turut prihatin Raden Pamekas. Mudah-mudah sebagian yang belum ditemukan
itu, dalam keadaan selamat sekarang.
“Dan untuk angger Linggar, aku doakan semoga ayahmu segera
ditemukan. Curah hujan yang tinggi memang membuat tempuran Sungai Praga
meluap sampai dataran disekitarnya.”
“Terimakasih Ki Ageng,” sahut Linggar, yang tampaknya kini mulai
pasrah dengan nasib ayahnya.
“Demak memang sedang bergejolak, perebutan singgahsana Sultan
Trenggana membuat kekacauan disana-sini. Aku harap masalah ini segera
berakhir. Jika tidak, rakyat akan semakin bertambah sengsara.”
“Benar Ki Ageng, aku pun tak tahu apakah aku berpijak pada yang
benar atau sebaliknya. Yang aku lakukan hanya menghentikan pemberontakkan
yang sudah menyengsarakan ini,” berkata Raden Pamekas.
“Ya untuk saat ini memang itu yang harus dilakukan. Selanjutnya
biarlah tahta yang diperebutkan itu dimusyawarahkan kembali dengan para ahli
warisnya.”
Raden Pamekas mendengarkan sungguh-sungguh petuah dari Ki Ageng
Wanabaya. Sebagai orang yang telah berhasil membangun telatah Mangir
menjadi kuat dan berdiri sendiri.
Suasana pembicaraan tampak akrab, meskipun Raden Jaka sedikit
menahan sikapnya. Tidak lain karena perasaan curiga, karena
selama ini perusuh dari pihak luar yang selalu mengganggu ketenteraman Perdikan
Mangir.
Setelah meminum minuman hangat dan hidangan seadanya, Ki Ageng
Wanabaya kembali berkata. “Lalu apa rencana Raden dan Linggar setelah ini?”
“Mungkin esok kami berdua akan mohon diri meninggalkan Mangir. Karena
jasad prajuritku yang gugur telah diselenggarakan dengan baik atas jasa Ki
Ageng Wanabaya dan seluruh pemuda Mangir.”
“Kenapa begitu cepat Raden?” tanya Ki Ageng lagi.
“Aku merasa berkewajiban mencari Ki Demang di Matesih, ayah dari
Linggar. Karena yang pertama, kami telah salah menuduhnya bersekutu dengan
Laskar Jipang. Dan yang kedua, ia telah berjasa turut bertempur memerangi
laskar Jipang yang menjebak kami di penyeberangan Sungai Praga beberapa waktu
lalu.”
Linggar hanya tertunduk dalam, ketika nama ayahnya
kembali disebut. Walaupun sedih, ia berusaha untuk tetap tegar.
“Baiklah kalau begitu. Apakah setelah itu angger berdua
akan langsung ke Demak?” tanya Ki Ageng lagi.
Raden Pamekas menjawab, “tidak Ki Ageng. Kami akan menghadap
Adipati Hadiwijaya di Pajang. Beliau adalah orang yang dipercaya Kanjeng
Sultan di Demak untuk memadamkan pemberontakkan ini. Aku berkewajiban
melaporkan kejadian yang kualami kepadanya.”
Tiba-tiba Raden Jaka memotong, “termasuk kehadiranmu di tanah
Mangir ini?” katanya dengan nada tinggi.
“Jaka…,” Ki Ageng mengingatkan putranya, agar menjaga sikapnya.
“Biarlah ayah! Biarlah bangsawan Demak ini tahu, bahwa
kadhangnya yang bernama Karebet itu juga ingin menguasai Mangir!”
“Tenangkan dirimu! Raden Pamekas bukan Adipati
Pajang. Dia tidak sengaja berada di Mangir ini, dan kedatangannya juga
tidak mengusik ketenteraman Mangir,” ujar Ki Ageng.
Raden Pamekas tidak menjadi tersinggung,
karena ia paham, Perdikan Mangir memang sering diganggu pihak yang
mengatasnamakan Pajang.
“Tentu, tentu aku akan menceritakan bahwa aku telah sowan
ke Mangir. Dan aku pun akan bercerita bahwa Perdikan Mangir
adalah daerah yang ramah dan aman bagi semua pengunjungnya. Selain itu
juga telah berjasa menyelenggarakan jasad yang membeku di tempuran Kali Bedog
itu. Tanpa uluran tangan Ki Ageng dan rakyat Mangir, tentu jasad-jasad itu
akan tidak terurus,” ujar Raden Pamekas.
Raden Jaka yang tadinya kurang senang dengan kehadiran Raden
Pamekas, mencoba menahan hati mendengar tanggapannya tentang Mangir.
“Nah.., Jaka! Apa yang kau khawatirkan lagi tentang
Anak Mas Pamekas? Belajarlah lebih dewasa menyikapi hal yang belum terang
benderang. Jangan sampai tuduhan kita salah sasaran, yang berakibat
fitnah.”
Raden Jaka tak membantah kata-kata ayahnya, ia hanya
menunduk dalam. Memang terlihat perbedaan kematangan dalam bersikap antara
Raden Jaka dan Raden Pamekas.Raden Jaka lebih meletup-letup, sementara Raden
Pamekas pembawaannya lebih tenang.
Ketika dirasa cukup, akhirnya perbincangan itu disudahi. Raden
Pamekas dan Linggar pun kembali ke bilik istirahatnya.
Keesokan harinya, Raden Pamekas dan Linggar sudah menunggu di
pendapa. Mereka berdua bermaksud berpamitan pada Ki Ageng Wanabaya.
“Kalian berangkat pagi ini?” tanya Ki Ageng, sambil
tersenyum.
“Ya, Ki Ageng,” sahut Raden Pamekas.
“Baiklah, berhati-hatilah! Sungai Praga airnya sudah surut,
jika kalian ingin menyeberang, carilah sungai yang berbatu sebagai tempat
kalian berpijak.”
“Aku titip ini untuk Kanjeng Adipati Pajang,” kata Ki Ageng,
sambil mengambil gulungan rontal dibalik bajunya.
“Apa ini Ki Ageng? Mengapa Ki Ageng mempercayakannya
kepadaku?”
“Bukan apa-apa, hanya sebuah surat. Aku percaya padamu
Raden! Kau dewasa dalam bersikap, terlihat dari pertama kita bertemu di
tempuran itu,” ujar Ki Ageng.
Setelah berjabat tangan keduanya meninggalkan halaman kepala
Perdikan Mangir itu. Raden Jaka yang tidak ikut melepas kepergian mereka,
hanya memandang dari sudut pendapa rumahnya.
Mulai asyik di bacanya
BalasHapustelah membaca skutr 2th lalu tp msh pnsrn dg ending
BalasHapus