Novel Cerita Silat Jawa

TDM [09]

Raden Pamekas menyeret langkahnya agak cepat, mengikuti Linggar yang berlari-lari kecil, menghampiri lima orang tadi.
Tetapi alangkah terkejut mereka setelah mendekat. Lima orang tadi ternyata bersenjata dan  mengacungkan tombak kepada keduanya.
“Berhenti disitu! Siapa kalian?” tanya salah seorang dari kelimanya.
Raden Pamekas menjawab, “namaku Pamekas. Ijinkan aku menyebererang dengan rakit kalian.”
“Apa hubunganmu dengan para korban itu?”
“Aku adalah teman dari para korban yang terseret banjir bandang itu,” jawab Raden Pamekas.
“Berarti kalian adalah bagian Prajurit Demak?”
“Benar kisanak, ijinkan aku melihat para korban itu.”
Kelima orang itu berpandangan, tetapi akhirnya semua mengangguk.
“Kau boleh melihat korban itu, tetapi setelah mendapat persetujuan dari pemimpin kami!”
Raden Pamekas menjawab, “baiklah, aku menurut saja.”
Kemudian kelima orang itu menyeberangkan Raden Pamekas dan Linggar, dengan mata tombak yang masih diacungkan.
Sementara itu diujung tepian yang dituju. Orang-orang yang berkerumun mengalihkan pandangannya pada rakit yang menyeberang mendekati tempat mereka berkumpul. Diantara mereka tampak lelaki muda seusia Raden Pamekas diapit dua pengawal.
Setelah rakit itu merapat ditepian, didorongnya Raden Pamekas dan Linggar menghadap seseorang yang diapit dua pengawal tadi.
“Siapa mereka?” tanya lelaki muda itu dengan tatapan mata tajam.
“Ampun Raden. Mereka mengaku kawan dari para prajurit yang tewas itu,” jawab salah seorang yang menyeberangkan Raden Pamekas dan Linggar.
“Kau prajurit Demak he? Untuk apa kau membuat kerusuhan di telatah Mangir ini?”
Raden Pamekas mencoba menyesuaikan diri dengan sebutan orang itu. “Ampun Raden. Perkenalkan hamba Pamekas dan ini adikku Linggar. Kami kesini mencari beberapa prajurit  yang menjadi korban banjir bandang itu. Aku bersama adikku kemari untuk melihat, apakah ada dari mereka yang masih selamat.”
“Dari keteranganmu, kau mencoba mengelabuhi kami.”
“Maksud Raden?” tanya Raden Pamekas.
“Kau seorang prajurit Demak, tetapi kau membawa adikmu yang belum cukup umur itu untuk berperang!” berkata pemuda yang dipanggil Raden oleh orang Mangir itu.
Raden Pamekas sulit untuk berkelit, karena memang Linggar belum cukup dewasa untuk menjadi prajurit.
Suasana menjadi tegang. Orang-orang Mangir makin bernafsu untuk menangkap mereka.
Sementara dibelakang orang-orang mangir itu. Terlihat beberapa mayat bergeletakkan dan sebagian tubuh mereka membiru.
Akhirnya Raden Pamekas kembali berkata, “Raden. Kita kesampingkan dulu tentang asal-usulku. Hal yang lebih penting dan mendesak adalah, bagaimana mayat-mayat yang kaku itu segera kita selenggarakan.”
“Kau berani mengguruiku he? Aku tidak akan mengijinkan kau menguburkannya di tanah Mangir. Kau pikir telatah Mangir adalah kuburan masal?”
“Kalau kau memang utusan dari Demak, bawalah mayat-mayat ini keluar telatah Mangir. Lalu kuburkanlah dimanapun sekehendak hatimu, yang penting bukan disini !”
Raden Pamekas mencoba menahan hati, mendengar perkataan orang itu.
“Tetapi itu akan membutuhkan waktu lama Raden. Sedangkan mayat-mayat itu secepatnya harus dikuburkan. Aku mohon kemurahan hati Raden, untuk memerintahkan pemuda Mangir menguburkan jasad yang sudah membeku itu.”
“Aku tidak perduli! Kau tidak bisa menyuruhku, Mangir bukan bagian dari Demak, kau tahu itu?”
“Aku tak mau akibat setelah ini, Mangir dianggap terlibat dalam tewasnya para prajurit Demak itu, atau musuh-musuh Demak menjadikan Mangir sebagai sasaran kemarahan mereka!”
Raden Pamekas hanya terpaku disisi Linggar, upayanya untuk membujuk pimpinan Mangir itu tidak membuahkan hasil.
Tetapi suasana tegang itu dikejutkan oleh suara derap kuda yang mendekati tempat itu. Seorang lelaki setengah baya diapit dua orang bersenjata.
“Ki Ageng Wanabaya!” berkata beberapa orang Mangir itu.
Seketika kuda itu pun berhenti dikerumunan tepian sungai itu.
“Apa yang terjadi Jaka?” berkata lelaki setengah baya itu.
“Mereka adalah kawan dari para prajurit Demak yang tewas itu, mereka ingin kita menguburkan jasad itu di tanah Mangir ini ayahanda.”
Ki Ageng Wanabaya memperhatikan keduanya, kemudian mengangguk-agguk. Katanya, “ia benar Jaka. Jasad itu harus segera dikebumikan.”
Pemuda yang dipanggil Jaka oleh Ki Ageng Wanabaya itu pun kembali berkata, “ tetapi rakyat Mangir tidak ada sangkut pautnya dengan prajurit Demak yang tewas itu. Aku khawatir dampak yang timbul setelah ini ayahanda!”
“Tetapi sebagai rasa kemanusiaan, kita harus segera menguburkannya. Aku pikir kita bisa menguburkannya di sisi Alas Mentaok itu, jika kau tak setuju jasad itu dikubur di tanah Mangir.”
Pemuda yang ternyata putra Ki Ageng Wanabaya itu pun tidak berani membantah. Ia pun langsung mengatur penyelenggaran atas jasad yang akan dikuburnya. Para prajurit dan pemuda Mangir melakukan pekerjaan itu secara bersama-sama. Raden Pamekas dan Linggar pun turut serta.
Seperti yang direncanakan. Jasad-jasad itu dikubur di sisi Alas Mentaok. Gundukan makam itu diberi batu diatasnya sebagai penanda.
Raden Pamekas berkaca-kaca memandang Prajuritnya yang gugur, meskipun separuh dari mereka ada yang berada di pihak lawan.
Setelah pemakaman selesai Ki Ageng Wanabaya menghampiri Raden Pamekas dan Linggar. Didampingi putranya, yang bernama Raden Jaka.
“Hari sebentar lagi gelap, sebaiknya kisanak berdua bermalam di Mangir.”
“Terimakasih Ki Ageng. Aku sudah merepotkan penduduk Mangir. Aku sangat berterimakasih atas kemurahan hati Ki Ageng.”
“Sudahlah. Ini sudah kewajiban bagi setiap umat manusia untuk saling menolong.”
Raden Pamekas tidak menolak ketika Ki Ageng kemudian memegang lengannya dan mempersilahkan. Akhirnya semua orang menuju Perdikan Mangir yang menjadi kekuasaan Ki Ageng Wanabaya.
Raden Pamekas dan Linggar dibuat tertegun melihat tanah perdikan Mangir, yang memiliki gapura besar dipintu masuknya. Juga rumah-rumah rapi berbaris di jalan utama menuju pusat pemerintahan dimana Ki Ageng Wanabaya tinggal. Perdikan Mangir terlihat lebih besar bila dibandingkan kademangan pada umumnya, bahkan hampir menyamai sebuah Kadipaten.
Rombongan itu hanya berjalan saja dijalan utama Mangir, semunya memilih berjalan kaki, yang berkuda pun memilih menuntun kudanya dibelakang iring-iringan itu. Sesekali tampak penduduk Mangir mengangguk hormat pada Ki Ageng Wanabaya yang selalu tersenyum ramah pada rakyatnya itu. Pun begitu dengan Raden Jaka anaknya yang berjalan disisinya.
Ketika sampai pada sebuah bangunan yang cukup besar, rombongan itu pun terhenti. Raden Jaka tampak mengatur para prajuritnya kembali ke baraknya yamg letaknya tidak jauh dari tempat itu. Tinggalah Ki Ageng yang kemudian mempersilahkan Linggar dan Raden Pamekas masuk kedalam kediamannya.
Belum habis takjub mereka melihat suasana Mangir. Mereka menyaksikan bangunan yang megah setelah pintu regol dibuka pengawal. Halaman yang luas dan pendapa yang dapat menampung banyak orang disana.
Ki Ageng Wanabaya tersenyum, “inilah gubukku, silahkan angger berdua membersihkan diri dulu, karena hari hampir gelap. Nanti setelah malam angger berdua dapat berbincang-bincang denganku di pendapa.”
“Terimakasih Ki Ageng. Karena kami berdua mendapat kesempatan bermalam di Mangir ini.”
“Tentu, tanah Mangir terbuka bagi siapa saja yang ingin berhubungan baik.
Ki Ageng Wanabaya kemudian memanggil seorang pelayan rumah tangga untuk mengantar tamunya menuju tempat istirahat yang berada disebelah kanan kediaman Ki Ageng Wanabaya.
Ketika malam, Ki Wanabaya tampak menulis surat diatas daun lontar, disaksikan Raden Jaka putranya.
“Aku merasa perlu membalas surat dari Adipati Pajang itu, Jaka!”
“Untuk apa ayah? Mangir sudah lebih dulu berdiri ketimbang Kadipaten Pajang. Bahkan mungkin Mangir ini sudah seusia dengan Demak.”
“Memang benar,” jawab Ki Wanabaya sareh. “Tetapi maksud Adipati itu baik. Bahwa ia mengusulkan agar Mangir ini menjadi tanah perdikan,” kata Ki Ageng sambil menulis.
“Lalu ayah menyetujuinya?”
“Saat ini belum, Jaka. Tetapi balasan surat ini adalah bentuk bahwa Mangir dapat menjalin kerjasama dengan pihak luar, dan bukan daerah yang menutup diri.”
“Apa perlunya ayah? Mangir dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pihak luar.”
Ki Ageng Wanabaya sesaat menghentikan guratan lontarnya. “Supaya tidak timbul kesalahpahaman antara Mangir dan kadipaten Pajang yang dipimpin Karebet itu. Kau tahu? Beberapa kali ada kelompok yang mencoba mengusik Mangir dan mereka mengatasnamakan kuasa Pajang?”
“Adipati Hadiwijaya atau yang dikenal Jaka Tingkir itu. Sudah mendengar perilaku kelompok itu. Dan dalam suratnya yang dikirim beberapa waktu lalu, ia menampik bahwa itu adalah atas perintah darinya.”
“Tapi ayah. Sudah jelas kelompok yang berusaha mengusik Mangir itu berpakaian prajurit Pajang. Dan mereka tak segan menjarah didaerah terluar telatah Mangir ini,” Raden Jaka berkata meyakinkan ayahnya.
“Sudahlah ngger, rontal ini juga hanya berisi sikapku atas para perusuh itu. Bahwa Mangir juga mengutuk perbuatan tercela itu, kita sama-sama memeranginya.”
“Kita harus belajar menjadi tetangga yang baik bagi Kadipaten Pajang. Kelak kau akan menggantikanku memimpin Mangir, bertindaklah bijak dalam setiap keadaan,” nasihat Ki Ageng sambil menggulung rontalnya.
Raden Jaka tak dapat berkata-kata lagi, jika ayahnya sudah berkata tentang masa depan Mangir. Baginya, ayahnya sudah bekerja keras demi membentuk Mangir menjadi daerah yang subur.
“Oh ya Jaka! Panggil dua orang tamu kita itu, aku ingin bercakap-cakap dengan mereka.”
Walaupun enggan, tetapi Raden Jaka kemudian bangkit juga dan memanggil seorang pengawal untuk menghadirkan tamunya itu di pendapa.
Raden Pamekas dan Linggar menghadap dengan sedikit membungkuk memberi hormat.
“Silahkan kisanak berdua! Tidak perlu sungkan, aku bukan raja atau Adipati,” kata Ki Ageng Wanabaya sambil mempersilahkan duduk.
“Oh ya! Aku belum tahu siapa nama kalian dan darimana sebenarnya kalian?”
Raden Pamekas sedikit beringsut. “Namaku Pamekas, Ki Ageng! Aku adalah prajurit Demak.”
Linggar pun mengangguk dan memperkenalkan diri. “Namaku Linggar dari Matesih!”
Ki Ageng Wanabaya mengangguk-angguk, lalu berkata. “Baik.., baik.., Tetapi aku melihat sesuatu yang lain dari kalian berdua.”
Raden Pamekas dan Linggar pun saling berpandangan. Ternyata penglihatan Ki Ageng cukup tajam menilai kedua tamunya itu.
Raden Pamekas yang tanggap maksud Ki Ageng, tak mau menutupi jatidirinya lagi.
“Mohon maaf sebelumnya Ki Ageng! Namaku memang Pamekas, tetapi orang memanggilku Raden Pamekas di Demak.”
Raden Jaka pun terkejut, ia tak menyangka bahwa orang yang mengaku prajurit itu ternyata adalah keluarga kerajaan dari Demak.
Ki Ageng masih diam. Tetapi Raden Pamekas kemudian mencoba melanjutkan perkataannya.
“Takdir yang membawaku ke Mangir ini adalah peristiwa yang tidak bisa aku hindari, Ki Ageng. Banjir bandang telah menyeret pasukanku sampai tempuran Kali Bedog.”
“Seluruh prajuritku kemungkinan tewas, dan beberapa orang mungkin belum diketahui nasibnya. Termasuk ayah dari temanku ini, yaitu Ki Demang Wulungan. Ia adalah seorang Demang di Matesih, yang secara tidak sengaja tersangkut fitnah antara kisruh laskar Jipang dan Demak.”
Ki Ageng Wanabaya menarik napas panjang, lalu berkata. “Aku turut prihatin Raden Pamekas. Mudah-mudah sebagian yang belum ditemukan itu, dalam keadaan selamat sekarang.
“Dan untuk angger Linggar, aku doakan semoga ayahmu segera ditemukan. Curah hujan yang tinggi memang membuat tempuran Sungai Praga meluap sampai dataran disekitarnya.”
“Terimakasih Ki Ageng,” sahut Linggar, yang tampaknya kini mulai pasrah dengan nasib ayahnya.
“Demak memang sedang bergejolak, perebutan singgahsana Sultan Trenggana membuat kekacauan disana-sini. Aku harap masalah ini segera berakhir. Jika tidak, rakyat akan semakin bertambah sengsara.”
“Benar Ki Ageng, aku pun tak tahu apakah aku berpijak pada yang benar atau sebaliknya. Yang aku lakukan hanya menghentikan pemberontakkan yang sudah menyengsarakan ini,” berkata Raden Pamekas.
“Ya untuk saat ini memang itu yang harus dilakukan. Selanjutnya biarlah tahta yang diperebutkan itu dimusyawarahkan kembali dengan para ahli warisnya.”
Raden Pamekas mendengarkan sungguh-sungguh petuah dari Ki Ageng Wanabaya. Sebagai orang yang telah berhasil membangun telatah Mangir menjadi kuat dan berdiri sendiri.
Suasana pembicaraan tampak akrab, meskipun Raden Jaka sedikit menahan sikapnya. Tidak lain karena perasaan curiga, karena selama ini perusuh dari pihak luar yang selalu mengganggu ketenteraman Perdikan Mangir.
Setelah meminum minuman hangat dan hidangan seadanya, Ki Ageng Wanabaya kembali berkata. “Lalu apa rencana Raden dan Linggar setelah ini?”
“Mungkin esok kami berdua akan mohon diri meninggalkan Mangir. Karena jasad prajuritku yang gugur telah diselenggarakan dengan baik atas jasa Ki Ageng Wanabaya dan seluruh pemuda Mangir.”
“Kenapa begitu cepat Raden?” tanya Ki Ageng lagi.
“Aku merasa berkewajiban mencari Ki Demang di Matesih, ayah dari Linggar. Karena yang pertama, kami telah salah menuduhnya bersekutu dengan Laskar Jipang. Dan yang kedua, ia telah berjasa turut bertempur memerangi laskar Jipang yang menjebak kami di penyeberangan Sungai Praga beberapa waktu lalu.”
Linggar hanya tertunduk dalam, ketika nama ayahnya kembali disebut. Walaupun sedih, ia berusaha untuk tetap tegar.
“Baiklah kalau begitu. Apakah setelah itu angger berdua akan langsung ke Demak?” tanya Ki Ageng lagi.
Raden Pamekas menjawab, “tidak Ki Ageng. Kami akan menghadap Adipati Hadiwijaya di Pajang. Beliau adalah orang yang dipercaya Kanjeng Sultan di Demak untuk memadamkan pemberontakkan ini. Aku berkewajiban melaporkan kejadian yang kualami kepadanya.”
Tiba-tiba Raden Jaka memotong, “termasuk kehadiranmu di tanah Mangir ini?” katanya dengan nada tinggi.
“Jaka…,” Ki Ageng mengingatkan putranya, agar menjaga sikapnya.
“Biarlah ayah! Biarlah bangsawan Demak ini tahu, bahwa kadhangnya yang bernama Karebet itu juga ingin menguasai Mangir!”
“Tenangkan dirimu! Raden Pamekas bukan Adipati Pajang. Dia tidak sengaja berada di Mangir ini, dan kedatangannya juga tidak mengusik ketenteraman Mangir,” ujar Ki Ageng.
Raden Pamekas tidak menjadi tersinggung, karena ia paham, Perdikan Mangir memang sering diganggu pihak yang mengatasnamakan Pajang.
 “Tentu, tentu aku akan menceritakan bahwa aku telah sowan ke Mangir. Dan aku pun akan bercerita bahwa Perdikan Mangir adalah daerah yang ramah dan aman bagi semua pengunjungnya. Selain itu juga telah berjasa menyelenggarakan jasad yang membeku di tempuran Kali Bedog itu. Tanpa uluran tangan Ki Ageng dan rakyat Mangir, tentu jasad-jasad itu akan tidak terurus,” ujar Raden Pamekas.
Raden Jaka yang tadinya kurang senang dengan kehadiran Raden Pamekas, mencoba menahan hati mendengar tanggapannya tentang Mangir.
“Nah.., Jaka! Apa yang kau khawatirkan lagi tentang Anak Mas Pamekas? Belajarlah lebih dewasa menyikapi hal yang belum terang benderang. Jangan sampai tuduhan kita salah sasaran, yang berakibat fitnah.”
Raden Jaka tak membantah kata-kata ayahnya, ia hanya menunduk dalam. Memang terlihat perbedaan kematangan dalam bersikap antara Raden Jaka dan Raden Pamekas.Raden Jaka lebih meletup-letup, sementara Raden Pamekas pembawaannya lebih tenang.
Ketika dirasa cukup, akhirnya perbincangan itu disudahi. Raden Pamekas dan Linggar pun kembali ke bilik istirahatnya.
Keesokan harinya, Raden Pamekas dan Linggar sudah menunggu di pendapa. Mereka berdua bermaksud berpamitan pada Ki Ageng Wanabaya.
“Kalian berangkat pagi ini?” tanya Ki Ageng, sambil tersenyum.
“Ya, Ki Ageng,” sahut Raden Pamekas.
“Baiklah, berhati-hatilah! Sungai Praga airnya sudah surut, jika kalian ingin menyeberang, carilah sungai yang berbatu sebagai tempat kalian berpijak.”
“Aku titip ini untuk Kanjeng Adipati Pajang,” kata Ki Ageng, sambil mengambil gulungan rontal dibalik bajunya.
“Apa ini Ki Ageng? Mengapa Ki Ageng mempercayakannya kepadaku?”
“Bukan apa-apa, hanya sebuah surat. Aku percaya padamu Raden! Kau dewasa dalam bersikap, terlihat dari pertama kita bertemu di tempuran itu,” ujar Ki Ageng.

Setelah berjabat tangan keduanya meninggalkan halaman kepala Perdikan Mangir itu. Raden Jaka yang tidak ikut melepas kepergian mereka, hanya memandang dari sudut pendapa rumahnya.

2 komentar:

Pengikut