Novel Cerita Silat Jawa

TDM [07]


Sementara itu Ki Wulungan yang bertempur melawan Kiai Jambe Abang telah sampai pada puncaknya. Dibawah derasnya guyuran hujan, mereka telah saling menggempur. Tetapi nampak jelas walaupun keduanya mampu berkelahi secara seimbang, kemampuan Ki Wulungan masih berada selapis diatas Kiai Jambe Abang. Kiai jambe Abang selalu menyerang dengan jari mengepal dan kadang telapak tangannya menguncup seperti kepala ular yang mematuk. Berbeda dengan jurus yang digunakan Ki Wulungan, jemari kedua tangannya membentuk seperti cakar elang. Kadang mencakar, mencengkeram, tetapi dapat pula mematuk dengan melipat jemarinya.

Kiai Jambe Abang tak mampu menghindar, ketika jemari Ki Wulungan mencengkeram pundaknya. Jari Ki Wulungan menancap dipundaknya hingga mengeluarkan darah, Kiai Jambe Abang mencoba menarik pundaknya untuk menghindar, akibatnya bajunya robek dan terlihat pundaknya pun koyak. Air hujan menambah pedih luka dipundak Ki Jambe Abang, ia pun menggeram marah sambil menatap sahabatnya yang sama-sama pernah mengabdi di Demak.

“Luar Biasa kau Wulungan! Kau memang masih setangguh dulu.

“Tapi jangan harap kau bisa menang dengan ajian Sembur Geni milikku!”

Ki Wulungan menegang sejenak, lalu berkata, “pikirkan kembali tindakanmu Jambe Abang! Apa yang kau pertaruhkan disini?”

“Jangan banyak berkicau Wulungan! Aku tahu kau dapat hidup senang dan bermewah-mewah sekarang, dengan jabatanmu sebagai demang, kau pun dapat melakukan apa saja!”

“Kau salah sangka Jambe Abang! Aku tidak seperti yang kau sangkakan.

“Kau lihat diriku sebelumnya Wulungan! Apa yang kudapat setelah aku berhenti menjadi prajurit? Tanah secuil di kampung halamanku pun sudah aku jual untuk membiayai hidup keluargaku!”

“Tetapi bukan dengan cara ini kau mengisi hari tuamu Jambe Abang.”

Kata-kata Ki Wulungan menyentuh dinding hati Kiai Jambe Abang, tetapi dikuatkan hatinya untuk membulatkan tekadnya.

“Sudahlah. Aku berterimakasih kau mengingatkanku Wulungan, tetapi kita sekarang berada di pihak yang berbeda.”

“Bersiaplah!”

Ki Wulungan sejenak memperhatikan keadaan dibawah guyuran hujan air sungai makin meluap. Kemudian dilihatnya pula Linggar dan Raden Pamekas yang dibantu seorang prajurit makin kewalahan, karena jumlah laskar Jipang itu lebih banyak.

Tiba-tiba ia berteriak lantang, “Ki Jipayana! Lindungi Raden Pamekas dan anakku! Biarlah ia naik ke tebingan, air sungai ini akan meluap!”

Ki Jipayana yang sedang bertempur berpasangan pun terkejut, lalu berkata, “Bagaimana dengan kau Ki Wulungan?”

“Jangan hiraukan aku, Raden Pamekas adalah tanggung jawabmu!”

Ki Jipayana pun tersentuh mendengar pengorbanan Ki Wulungan, tiada pamrih dihatinya untuk membela Demak. Bagaimana pun juga sisa-sisa kebanggaannya sebagai prajurit Demak masih membekas.

Ki Jipayana langsung memberi isyarat pada Raden Pamekas dan Linggar, serta prajurit yang tersisa. Ki Jipayana mengambil pedang yang tergeletak ditanah, lalu menghunusnya, kini kedua belah tangannya menggenggam pedang.

Ki Jipayana bersama seorang Prajurit membentengi Raden Pamekas dan Linggar. Walaupun serangan laskar Jipang itu bertubi-tubi, akan tetapi dengan kedua belah pedang ditangan Ki Jipayana mampu bertahan.

“Raden! Lekaslah naik ke tepian!”

Raden Pamekas agak ragu,tetapi dilihatnya air ditepian itu mulai naik sampai setinggi lutut. Lalu ditariknya tangan Linggar dan dibawanya naik ke atas tebingan sungai Praga.

Sementara itu Ki Wulungan dan Kiai Jambe Abang telah bersiap membenturkan ilmu pamungkasnya. Kiai Jambe Abang memusatkan seluruh raganya, beberapa kali ia menggesek kedua telapak tangannya, lama kelamaan kedua telapak tangannya membara dan membentuk bulatan api kecil. Lalu membolak-balikkan telapak tangannya itu di dada. Makin lama bulatan api itu semakin membesar, sebesar kepala manusia dewasa.

Ki Wulungan pun telah pula membangun kekuatan pada dirinya. Ia berdiri dengan kaki renggang, sementara jemarinya yang berbentuk menyerupai cakar elang bergerak naik-turun di depan dada. Gerakkan cakar elang itu semakin cepat, bahkan kedua tangan itu terlihat seperti berpuluh-puluh tangan. Disertai angin yang menyelimuti tangan itu, hujan yang mengguyur pun seperti terpercik oleh pusaran angin yang membelit tangannya.  Air yang kini telah setinggi pahanya pun menyibak diterpa angin yang berputar-putar ditangannya.

Raden Pamekas dan Linggar dibuat tertegung melihat pemandangan yang dahsyat itu. Beberapa prajurit pun sempat tersita pandangannya, disela pertempuran.

“Ajian Bayu Semesta!” gumam Raden Pamekas.

“Ayahmu luar biasa Linggar!”

Linggar yang sebenarnya berdebar-debar dan khawatir akan keselamatan ayahnya, hanya menatap sekilas Raden Pamekas, lalu diarahkan kembali pandangannya kepada ayahnya yang sedang menyiapkan ajian pamungkasnya.

Kedua bekas prajurit Demak, yang kini menjalani takdirnya masing-masing itu, menatap tajam lawan yang dihadapi. Kiai Jambe Abang berteriak nyaring, diiringi hentakkan bola api ditangannya. Bola itu itu pun melesat diantara rinai hujan yang membasahi tepian sungai Praga.

Pun begitu dengan Ki Wulungan. Pusaran ajian Bayu Samudra dihentakkan dengan telapak tangan terbuka.  Pusaran angin itu pun melesat dengan cepat ke arah bulatan  api yang dilontarkan Kiai Jambe Abang.

Terjadi benturan yang amat dahsyat. Bulatan api dan pusaran angin itu beradu, kemudian menimbulkan suara ledakan yang keras. Air sungai pun sempat bergejolak dan menyibak karenanya.

Kiai Jambe Abang terdorong surut beberapa langkah kebelakang, kemudian tubuhnya terantuk batu seukuran kerbau. Ia menyandarkan tubuhnya pada bongkahan batu tersebut. Ia terengah-engah dan tubuhnya terasa sakit. Pusaran angin itu bagai beratus-ratus jarum yang menusuk tulang. Kiai Jambe terbatuk-batuk, beberapa saat kemudian meleleh darah dari bibirnya.

Keadaan Ki Wulungan pun tak jauh beda, ia surut kebelakang dua langkah. Meskipun sedikit limbung ia masih mampu berdiri berpijak dengan kedua kakinya. Walaupun terbatuk-batuk tetapi ia tidak sampai menitikkan darah. Meskipun dibawah guyuran hujan deras, tetapi bulatan api itu terasa panas di sekujur tubuh Ki Wulungan, kendatipun tidak membuat tubuhnya melepuh.

Kedua arena pertarungan terhenti seketika, mereka dibuat terkesima dengan benturan kedua ksatria itu.

Tetapi mendadak ketegangan itu dikejutkan suara gelegar petir yang bersahut-sahutan, ditambah angin yang berhembus kencang serta langit yang menghitam.

Dari arah hulu sungai terdengar suara seperti batu runtuh dan suara gemuruh air sungai yang membuat bulu kuduk meremang. Terdengar pula suara gemeretak ranting pohon seperti berpatahan.

Semua mata menatap ke aliran sungai yang lebih tinggi, yaitu dari arah hulu. Kemudian terlihat air bah seperti raksasa dengan cakar-cakarnya yang lebar, siap mencengkeram orang-orang yang ada di tepian.

Tanpa dapat berbuat banyak orang-orang di tepian itu terperangkap banjir bandang. Baik laskar Jipang, maupun prajurit Demak dibawah pimpinan Ki Lurah prajurit yang berhadapan dengan Bonggol dan kawanannya, maupun Ki Jipayana dan seorang prajurit yang melindungi Raden Pamekas dan Linggar, semua dilahap habis banjir bandang. Tidak terkecuali Kiai Jambe Abang dan Ki Wulungan Demang di Matesih.

Yang selamat hanya Raden Pamekas dan Linggar yang ada di atas tepian sungai Praga.

Prev   Next

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut