Novel Cerita Silat Jawa

TDM 33

Lepas dari Randusari, Linggar menempuh perjalanan menuju Kali Opak. Senja semakin memerah dan merangkak gelap , ketika Linggar sampai di Kali Opak. Linggar berjalan menyusuri pinggiran kali Opak untuk mencari daerah yang dangkal. Setelah ditemuinya permukaan kali yang berbatu, ia lalu menyeberang. Kemudian setelah membersihkan diri dan bersuci Linggar tidak lupa menunaikan kewajibannya.
“Hari sudah gelap, rasanya tidak mungkin aku menembus kedalaman Mentaok pada malam hari. Sebaiknya aku mencari tempat yang aman untuk sekedar beristirahat malam ini,” Linggar membathin.
Linggar kemudian mencari sebuah pohon besar, tidak jauh dari tepian Kali Opak. Ini bukan pertama kalinya ia bermalam di hutan, karena beberapa tahun silam ia pernah mengalaminya bersama Raden Pamekas. Ia paham bagaimana menjaga diri, di hutan yang penuh binatang buas dan hewan berbisa itu. Linggar kemudian memanjat batang pohon dan mencari dahan yang lebar dengan ranting yang bercabang lebat. Ia merebahkan diri melepas penat.
Suasana sunyi di tepian Kali Opak, hanya suara binatang malam yang saling bersahutan. Kadang-kadang suara itu terdengar mengalun bersama-sama, kadang menghilang sama sekali, suaranya membuat bulu kuduk meremang. Tetapi Linggar cukup bermental kuat, tempaan hidup telah membuatnya tegar.
Ia merebahkan tubuhnya dan memandang ke langit. Kerlap-kerlip bintang membawa ingatannya kembali ke kampung halamannya Matesih.
“Oh.., bagaimana nasib ibu dan adikku di Matesih?” Linggar membathin. “Anggit adikku pasti sudah tumbuh remaja dan cantik pastinya.”
“Tetapi bagaimana mereka mencukupi kehidupan mereka sehari-hari? Dan apakah mereka tidak dikucilkan oleh para penduduk Matesih, karena dianggap keluarga pemberontak?”
Pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab itu begitu mengusik pikiran Linggar kemudian. Dadanya seolah bergemuruh karena dendam yang tak kunjung terbalas. Kenyataan bahwa ayahnya belum juga diketemukan, makin membuat dendamnya membara.
“Aku akan kembali dan membuat perhitungan pada bebahu kademangan Matesih!” katanya sambil menggeretakkan giginya. “Setelah masalah ini selesai, aku akan pulang!”
Tetapi kemudian terngiang pesan dari Raden Pamekas, yang menurunkan amarahnya. ‘Dendam bukanlah penyelesaian, dendam hanya akan membuat hidupmu penuh dengan kebencian. Bahkan memakan separuh hidupmu hanya untuk memikirkan bagaimana dendam itu terbalas. Keadilan harus diperjuangkan, tetapi bukannya menghakimi sendiri’
Linggar hanya dapat menarik napas dalam-dalam, ketika petuah bijak itu terbersit kembali di pikirannya.
Tetapi tiba-tiba terdengan suara gemericik air diselingi suara derap kuda perlahan, membuyarkan lamunannya.
“Seperti ada orang yang sedang menyeberang Kali Opak?” Linggar membathin.
Linggar menelungkupkan tubuhnya di dahan pohon, untuk mengamati keadaan. Dilihatnya 3 orang menuntun kuda dengan bawaan barang di masing-masing punggung kuda mereka. Setelah sampai di ujung tepian, ketiga orang itu sudah disambut oleh 3 orang lagi yang menunggu dengan kudanya pula.
Mereka tampak memindahkan barang bawaan itu kepada 3 orang yang menunggu di ujung tepian.
“Sampaikan kepada Cantrik Bajul Wedi, bahan makanan ini, harganya sudah sesuai kesepakatan! Kalian hanya tinggal membayarnya saja,” kata salah orang yang mengantar barang itu.
“Ya, kisanak. Aku sudah membawa uang sebagai penggantinya,” jawab lawan bicaranya sambil menyerahkan kampil uang.
Setelah menghitung jumlah uang dalam kampil itu, mereka pun membubarkan diri. Masing-masing memutar arah, sesuai kedatangan masing-masing. Linggar yang mengamati dari kejauhan, merasa tertarik untuk mengikuti orang-orang yang kemudian menerima barang bawaan itu. Dengan hati-hati ia menuruni pohon, kemudian mengendap-endap dari kejauhan. Sedikit banyak Linggar telah mengetahui bahwa orang yang menerima barang itu adalah anak buah Bajul Wedi, Cantrik dari Padepokan Watu Belah. Yang kemudian menurut keterangan Wurpasa, telah memindahkan landasannya ke Bukit Sambung.
“Dua hari sekali kita harus ke Kali Opak, hanya untuk menjemput bahan makanan ini. Rasanya Pangeran Pujapati tidak bisa memakan apa yang ada di Bukit Sambung. Bahkan ketela pohon pun ia enggan mengunyahnya,” kata salah seorang dari mereka yang bertubuh jangkung.
“Jelas tidak mungkin, Pangeran Pujapati makan seadanya. Ia sudah terbiasa mendapat pelayanan yang terbaik di Padepokan Watu Belah sebelumnya. Beda dengan kau yang uratnya seperti aku, sudah biasa hidup susah!” jawab orang disebelahnya sambil tertawa.
“Macam kau!” sahut pria jangkung itu. “Tetapi Bukit Sambung jauh dari Prambanan, tentu sulit mendapatkan bahan makanan seperti ini. Ayam, bebek, dan juga rempah-rempah tidak bisa kita dapatkan di Sambung. Karena kita memang baru membuat landasan disana. Berbeda ketika di Padepokan Watu Belah, selain dekat dengan Prambanan, di Watu Belah kita sudah bercocok tanam cukup lama disana,” keluh pria jangkung itu lagi.
Orang yang sedari tadi diam ikut bicara kemudian. “Ya kita jalani saja, tugas kita. Lagipula kita jadi tidak terlalu bosan berada di Bukit Sambung, kita bisa 2 hari sekali menghirup udara luar.”
Mereka pun hanya mengangguk-angguk mencoba pasrah dengan keadaan. Mereka menuntun kuda mereka masing-masing sambil membawa obor. Laju kuda mereka pun lambat, karena lebatnya belantara. Linggar yang membuntuti dari belakang dapat menguping pembicaraan mereka. Ia pun dapat mengambil kesimpulan, bahwa orang-orang itu ditugaskan dari Padepokan Watu Belah untuk mengangkut bahan makanan 2 hari sekali. Dan bahan makanan itu diperuntukkan bagi kebutuhan Pangeran Pujapati.
“Hmm.., Pangeran manja itu rupanya tidak terbiasa makan seadanya. Hingga orang-orang itu harus bersusah payah ke Kali Opak untuk sekedar membeli bahan makanan,” gumam Linggar. “Ternyata benar keterangan Wurpasa, mereka telah memindahkan pula landasannya ke Bukit Sambung.”
Linggar merasa mendapat keterangan yang sudah cukup, ketika 3 orang itu berbelok arah ke jalan yang menanjak, Linggar tidak membuntutinya lagi. Karena ia pikir, jalan menanjak itu adalah jalan menuju Bukit Sambung.
Udara di lebatnya Mentaok itu pun menjadi bertambah dingin kemudian, karena hari sudah lewat tengah malam. Linggar yang merasa kantuknya begitu berat, ia pun memanjat pohon dan tidur di dahannya.
“Sepertinya sudah hampir separuh lebih perjalanan, mungkin esok sebelum tengah hari aku sudah sampai Mangir. Orang-orang itu telah mengantarkanku lebih dekat dengan daerah Mangir,” Linggar membathin, kemudian memejamkan matanya.
Keesokan harinya setelah berbenah diri, Linggar meneruskan perjalanan. Diantara kabut dingin yang menyelimuti, Linggar berjalan menyusur lebatnya hutan Mentaok. Masih teringat dalam pikirannya, kali terakhir ia melintas di hutan itu bersama Raden Pamekas. Itu membuatnya dapat menentukan arah yang benar menuju Mangir.
Ketika matahari dua jengkal diatas kepala, Linggar telah sampai di Mangir. Gapura masuk Perdikan Mangir dijaga ketat 4 orang prajurit jaga dengan masing-masing di tangan. Merasa bahwa dirinya adalah utusan, Linggar tidak memasuki Mangir lewat jalan pintas. Melainkan melewati Gapura yang menuju jalan utama ke Mangiran.
4 penjaga itu memandang Linggar dengan tatapan tajam dan penuh curiga. Linggar sendiri mendekati penjaga itu tanpa ragu sedikit pun.
“Permisi kisanak! Apakah aku diperkenankan memasuki daerah Mangir?”
Para penjaga itu belum menjawab, hanya saling pandang satu sama lain. Terlihat isyarat dari masing-masing mereka, bahwa Linggar tidak diperkenankan masuk.
“Kami berempat tidak mengenali siapa kau, kisanak. Dan kami juga tidak mengijinkan orang luar masuk telatah Mangir ini, tanpa tujuan yang jelas!” jawab yang lebih tua dari mereka.
“Namaku Linggar! Aku adalah utusan Adipati Pajang untuk Mangir. Aku bermaksud bertemu dengan Ki Ageng Wanabaya.”
“Utusan Pajang?” katanya terkejut. “Kami tidak ada sangkut-pautnya dengan Pajang! Mangir sudah berdiri sendiri sejak lama, jadi pergilah!” katanya lagi mengusir.
Terjadi ketegangan diantara mereka, tetapi Linggar mencoba untuk bersabar dan mengendapkan perasaannya. “Aku mohon kebijaksanaan kisanak sekalian. Aku mempunyai pertanda khusus, bahwa aku memang duta resmi dari Pajang,” kata Linggar sambil menunjukkan kelebet.
Orang yang lebih tua tadi meraih kelebet itu, kemudian sesaat mengamatinya. Tetapi ia mengembalikannya lagi kepada Linggar.
“Pergilah! Sudah cukup kisruh selama ini yang dilakukan para prajurit Pajang. Mereka telah menjarah di sisi luar telatah Mangir. Jadi tidak ada tempat bagi prajurit atau utusan yang mengatasnamakan Pajang!”
Linggar menarik napas dalam-dalam. Dia sudah melakukan cara selunak mungkin untuk dapat masuk, tetapi tanggapan para prajurit jaga itu tidak juga berubah.
“Kisanak sekalian! Aku sudah mengikuti unggah-ungguh yang berlaku, aku mohon sekali lagi, pertimbangkanlah maksud baikku! Sampaikanlah maksudku itu pada salah satu petinggi Mangir” Linggar masih mencoba bersabar.
Salah satu dari mereka yang mengapit orang yang lebih tua tadi, menjadi naik darah. Ia merebut kelebet yang masih ada di tangan Linggar, kemudian menginjak-injak dengan kakinya.
“Tidak tahu diri! Kau tidak mengerti juga keputusan pimpinan kami! Tidak ada kuasa Pajang atas tanah Mangir! Dan juga tidak ada arti khusus kelebet ini bagi kami, orang-orang Mangir,” katanya dengan kaki masih menginjak kelebet tadi.
Amarah Linggar sudah tak tertahankan lagi. Matanya membara menatap ke empat prajurit jaga tadi. “Kau sudah merendahkan maksud baikku! Aku tetap akan memaksa masuk, meski kalian menghalang-halangi!”
Pimpinan yang tertua itu pun merasa terusik dengan kata-kata Linggar yang barusan. Ia sebagai pimpinan jaga merasa diremehkan. Ia langsung memberi isyarat untuk mengepung Linggar.
“Aku sudah memberimu kesempatan untuk pergi! Tetapi ternyata kau tetap saja membangkang! Kami terpaksa menangkapmu!” katanya dengan nada dalam.
“Silahkan aku sudah siap melayani kalian,” sahut Linggar.
Ke empat prajurit jaga itu serentak mengacungkan tombaknya ke leher Linggar, seperti menodong. Linggar masih belum bergeming, Ia masih berpikir bagaimana caranya lepas dari kepungan tombak itu? Setelah dirasa paham bagaimana cara meloloskan diri, Linggar baru bertindak. Dengan cepat ia merunduk merendahkan tubuhnya, ketika tombak itu serentak dihujamkan ke lehernya. Tombak itu hanya saling beradu di atas kepala Linggar yang telah berjongkok.
Dengan cepat Linggar memukul lambung dua orang yang berada didepannya, dengan dua tangannya yang mengepal. Kedua orang itu terdorong mundur sambil terbungkuk-bungkuk. Sementara dua orang lagi yang melihat Linggar mampu mengelak, berusaha memburu dengan tombaknya. Untung saja Linggar bergerak lebih cepat, ia berguling ke samping menghindari serangan tombak yang menyusur tanah itu. Ketika Linggar sudah berjarak, ia pun segera menarik pedangnya.
Linggar menghalau laju tombak kedua orang yang menyerangnya secara bersamaan itu, selagi kedua orang yang sebelumnya masih menahan sakit. Dua tombak lawan ditusukkan ke dada Linggar, Linggar dapat menangkisnya secara bergantian. Setelah itu ia menebaskan pedangnya mendatar, ke arah dua lambung lawannya. Dua prajurit jaga itu pun terpaksa mundur beberapa langkah untuk menghindarinya.
Kini dua orang yang lain, yang sebelumnya mendapat pukulan di lambung telah siap sedia. Mereka pun merangsek maju dengan tombaknya. Linggar dapat membendung serangan itu dengan baik. Tetapi dua orang yang lainnya lagi menyusul dari belakang, membuat Linggar harus penuh kewaspadaan untuk dapat menangkis setiap tusukan-tusukan tombak mereka.
Begitulah, pertarungan berlangsung sengit. Beberapa kali terdengar dentang senjata beradu, disertai teriakan-teriakan mereka yang berseteru. Linggar sebenarnya mampu melukai lawannya satu persatu, tetapi hal itu tidak juga dilakukan. Ia masih ragu dan menimbang-nimbang akan dampaknya.
“Kalau aku lukai mereka, atau bahkan sampai membuat mereka terbunuh. Tentu akan menambah kebencian penduduk Mangir padaku, dan tentunya sulit bagiku untuk bertemu dengan Ki Ageng Wanabaya,” Linggar membathin. “Tetapi aku tidak mungkin hanya terus-menerus bertahan menghadapi mereka.”
Diantara kebimbangan itu, Linggar masih berusaha mengimbangi serangan lawan, tanpa membuat serangan yang dapat membahayakan lawan. Pedangnya terus berkelebat kesana-kemari menangkis, sesekali diselingi dengan pukulan dan tendangan.
Selagi pertarungan masih berlangsung sengit. Dari kejauhan nampak 3 orang memacu kudanya dengan cepat. Debu-debu pun mengepul di udara, karena begitu cepatnya kuda itu berpacu. Ketika mendekati arena pertempuran, ketiga kuda itu berhenti mendadak disertai suara ringkik kuda yang mengganggu pendengaran. Mereka yang sedang berseteru sedikit menolehkan pandangannya, akan tetapi ke empat prajurit itu tidak juga menyudahi perkelahian. Karena kini gantian Linggar yang mendesak mereka dan sepertinya Linggar sengaja mengikat mereka dalam suatu pertempuran. Seolah-olah Linggar ingin membuat mereka jera, tanpa harus melukai mereka. Pedangnya seperti menari-nari membentur tombak lawan. Dalam lingkaran pertempuran itu, jika mendapat kesempatan Linggar langsung memukul atau menendang mereka. Hal itu membuat beberapa kali para prajurit jaga itu terdesak mundur, meski tidak sampai terjatuh.
Kini nampak ke empat prajurit itu seperti kesulitan melumpuhkan Linggar. Bahkan terlihat beberapa kali mereka terlontar mundur secara bergantian, akibat serangan Linggar. Walaupun tanpa menyabetkan pedangnya, Linggar mampu membuat mereka jatuh-bangun kepayahan.
Hal itu membuat mereka yang baru datang menjadi geram. Mereka merasa diremehkan dengan polah tingkah Linggar itu.
“Biar kami saja yang membereskan orang tak dikenal itu, Raden!” kata salah seorang dari mereka.
“Jangan!” sahut orang yang diapit. “Biar aku saja yang memberi pelajaran pada orang asing itu. Orang itu telah meremehkan kedaulatan Mangir. Aku sendiri yang akan menyeretnya menghadap ayahanda Wanabaya!” katanya dengan nada geram.
Orang yang disebut Raden itu menjadi panas hatinya melihat prajurit Mangir yang menjadi bulan-bulanan dalam pertarungan itu. Darah mudanya terpacu untuk menunjukkan jati dirinya. Tanpa basa-basi, ia langsung melibatkan diri dalam pertempuran itu. Dengan telapak tangannya ia membuat para prajurit jaga itu terbebas dari pertarungan yang mengikat mereka. Iamendorong ke empat prajurit jaga itu secara bergantian, sambil pedangnya berkelebat-kelebat membentengi diri. Setelah itu ia menyeruak membuka ruang bagi dirinya untuk berhadapan langsung dengan Linggar.
Setelah keduanya berhadapan langsung, kedua-duanya terkejut. Baik orang yang disebut Raden maupun Linggar sama-sama saling mengamati. Seolah-olah keduanya telah saling mengenal.
“Lagi-lagi kau berani menginjakkan kakimu di telatah Mangir ini!” kata orang yang disebut Raden tadi. “Bukankah kau pernah ke telatah Mangir dengan orang yang menyebut dirinya Raden Pamekas itu?”
Linggar yang terengah-engah mencoba mengatur napasnya untuk berbicara. “Benar Raden! “Mohon maaf sebelumnya Raden Jaka, aku tak bermaksud membuat kekacauan di telatah Mangir ini. Aku hanya mohon diijinkan dapat bertemu langsung dengan Ki Ageng Wanabaya. Tetapi mereka menolak dan berlaku kasar terhadapku!”
Orang yang ternyata adalah Raden Jaka itu memandangnya dengan tatapan tajam, lalu berkata. “Apa urusanmu menemui ayahandaku? Apakah kau merasa orang paling penting, hingga memaksa untuk bertemu dengan pimpinan Mangir?”
“Aku tidak memaksa Raden! Bahkan aku telah memohon dengan cara yang lunak. Dalam hal ini, aku bertindak sebagai utusan dari Pajang, aku mendapat titah untuk menghadap pimpinan tertinggi Mangir. Karena ada beberapa amanat yang harus disampaikan langsung kepada Ki Ageng Wanabaya!” jawab Linggar.
“Sampaikan saja kepadaku! Aku adalah Wanabaya Anom. Aku berbicara mewakili ayahandaku sendiri! Katakanlah!” kata putera Ki Ageng Wanabaya, dengan suara keras.
Linggar menarik napas panjang, mencoba meragkai kalimat agar tidak terjadi salah paham lagi. “Aku menghormati Raden, sebagaimana aku juga menghormati Ki Ageng Sepuh. Tetapi sesuai pesan dari Kanjeng Adipati, aku harus membicarakannya langsung dengan Ki Ageng Wanabaya sendiri.”
Raden Jaka atau Wanabaya Anom itu menjadi tersinggung, lantaran ia tidak dihargai sama sekali sebagai wakil dari ayahandanya.
“Kalau begitu tidak bisa! Aku malah akan menangkapmu, karena telah berani melawan petugas jaga di gerbang Mangir ini!”
“Raden…, aku mengharap kebijaksanaan Raden, tanpa harus mengeluarkan tenaga yang sebenarnya tidak perlu sama sekali.”
“Kau menantangku?” sahut Raden Pamekas dengan suara lantang.
“Bukan begitu Raden. Raden boleh mengawalku kalau memang aku dianggap bermaksud jahat terhadap pimpinan Mangir. Tetapi mohon ijinkan aku bertemu dengan beliau,” kata Linggar menyabarkan diri.
“Baik! Tetapi dengan cinde di lehermu!” tukas Raden Pamekas.
Linggar terkejut, kali ini Raden Jaka sudah keterlaluan. Tetapi sesuai amanat Ki Wila, agar ia selalu menempuh cara-cara yang paling lunak untuk suatu tujuan. Maka, ia pun masih terus berusaha meyakinkan lawan bicaranya.
“Tetapi Raden, aku bukan penjahat atau buronan. Aku adalah tamu atau utusan khusus, jadi tidak pantas rasanya jika aku harus di arak dengan cinde di leherku,” kata Linggar mencoba merubah kerasnya pendirian Wanabaya Anom.
“Kalau begitu, tidak bisa!” sahut Raden Jaka pendek. “Bersiaplah, sekarang aku akan menangkapmu sebagai orang yang telah mengacau Mangir!”
Linggar terdiam sesaat. Ia sulit untuk menuruti kemauan Raden Jaka. Duta adalah kedudukan terhormat, merendahkan Duta berarti merendahkan orang yang mengutus. Dalam hal ini Pajang yang mengutus, maka artinya Mangir telah melecehkan Pajang.
Raden Jaka hanya tersenyum mencibir, melihat Linggar yang terdiam. Sebenarnya ia hanya merasa tidak terima, karena prajurit jaga itu dipermalukan Linggar, maka ia ingin membalasnya dengan mempermalukannya di hadapan rakyat Mangir.
Pergulatan dalam diri Linggar begitu menggelora, antara harga diri, darah muda dan tujuannya agar tercapai. Di satu sisi, jika dia harus menjunjung tinggi kehormatan Pajang di atas segala-galanya, maka kalau itu ditempuh ia akan berbenturan dengan Raden Jaka. Tetapi di sisi lain, ia juga harus melaksanakan tugasnya dengan baik, tanpa dibumbui kekerasan.
Walaupun hatinya panas, Linggar mencoba mengendapkannya. Maka sesaat kemudian ia pun mengambil keputusan.
“Baiklah! Aku turuti kemauan, Raden.”
“Bagus!” sahut Raden Jaka, sambil tersenyum kepada yang lainnya. Seolah ia bangga bahwa kehadirannya disitu memberi pengaruh besar bagi kewibawaan Mangir.
Maka sesaat kemudian seorang diantara mereka, telah mengalunkan cinde di leher Linggar. Layaknya Linggar adalah seorang penjahat yang dianggap sangat membahayakan. Linggar di arak menuju Dalem Mangiran dengan di kawal para prajurit dan Raden Jaka sendiri. Sesekali para prajurit itu mendorong-dorong punggung Linggar agar berjalan lebih cepat.
Sepanjang jalan penduduk Mangir yang menyaksikan saling bergunjing satu sama lain. Mereka mengira bahwa para prajurit itu telah menangkap penjahat yang selama ini meresahkan Mangir. Linggar jadi bahan tontonan sepanjang jalan menuju pusat kekuasaan Mangir.
Linggar pun sebenarnya merasa direndahkan sebagai duta, akan tetapi ia tidak melakukan perlawanan. Diturutinya saja arah tujuan orang-orang yang menawannya itu.

<<PREV  NEXT >>

1 komentar:

  1. Semakin bikin penasaran gan..usul kang kalo blh sekali posting 2 episode..hehe

    BalasHapus

Pengikut