Novel Cerita Silat Jawa

Serial : Andaru Wijaya [03]

Ketika hari menjadi gelap, sampailah ia dirumah pamannya, ia langsung menuju kulah untuk membersihkan diri. Setelah selesai menunaikan kewajiban, Wijaya menghampiri bibinya di dapur, bibinya sedang menyiapkan kayu bakar untuk merebus air di tungku perapian.
"Biarlah bibi aku yang merebus air, tentu bibi ingin menyiapkan hidangan makan malam," Wijaya berkata. Bibinya tersenyum dan berkata," terimakasih ngger..,tidak biasanya kau datang hampir gelap.
''Iya bibi, ada sedikit yang harus aku selesaikan, nanti aku akan ceritakan setelah makan malam," Wijaya menjawab.Kemudian mengambil air, lalu memasukkan kedalam ceret dan memasaknya ditungku. Sementara bibinya menyiapkan hidangan  yang sudah dimasaknya, sayur lodeh dengan santan kental, di tambah gereh dan sambal terasi.
Ketika semua telah dimeja makan, Ki Kerta mempersilahkan,  ''marilah kita nikmati hidangan ala kadarnya buatan bibimu Wijaya.''
''Ini nikmat sekali paman..!''
"Sayur lodeh, gereh dan sambal terasi, paduan yang cocok sekali bibi..., terimakasih," Wijaya bersemangat.
Kemudian Ki Kerta sekeluarga menyatap hidangan dengan lahap, tampak suasana akrab dan penuh kehangatan. Setelah selesai menyantap hidangan wijaya menceritakan perihal penyakit Raden Ayu Prajasena dan kejadian di Pasar mati itu. Ki Kerta dan istrinya mendengarkan sambil mengangguk-angguk, sesekali dahinya berkerut.
"Kasihan sekali Raden Ayu dan Putri Kinasih,kau harus membantu keluarga itu wijaya," bibinya berkata.
"Bicaralah dengan Ki Supa.., ia adalah kawan baikku, dan mengenai Ki Kapulaga aku tidak mengenalnya, karena aku belum bertatap muka dengannya, tapi sepertinya ia orang yang baik, menilik sikapnya,seperti yang kau ceritakan," Ki kerta berkata.
''Mintalah saran dari para orang tua yang kau percayai Wijaya, agar kau dapat membuat pertimbangan  yang baik dan benar," bibinya menambahkan
''Baik bibi...,aku akan mengingat pesan paman serta bibi,''Wijaya menjawab.
Setelah berbincang-bincang beberapa lama, akhirnya mereka masuk kedalam bilik tidur masing-masing. Gerimis mereda setelah fajar menyingsing,keluarga Ki Kerta seperti biasa melakukan kegiatan sehari-harinya, Ki kerta memiliki sawah beberapa petak, yang digarap bersama seorang tetangganya, dan sebagai upahnya yaitu membagi hasil panennya.
Wijaya sudah tiba di rumah Raden Prajasena dan menyampaikan persoalan Raden Ayu kepada Ki Supa. Ki Supa mendengarkan dengan penuh perhatian, ia kemudian memberikan nasihat pada Wijaya. Sesuai pesan Ki Kapulaga bahwa, bahwa pembalut luka pada kaki Putri Kinasih harus diganti setiap hari, maka Ki Supa dan Wijaya menghadap Raden Prajasena. Dia diterima menghadap Raden Prajasena dengan didampingi Ki Wijil orang kepercayaannya, yang berwajah keras , berkepala botak dan berkumis tebal. Setelah mengutarakan maksudnya, Ki Supa menunggu perintah selanjutnya.
“BaiklahKi Supa, aku ijinkan Wijaya merawat luka putriku, tapi ingat Wijaya kau harus tahu batasanmu..!
“HambaRaden,”Wijaya menjawab sambil menundukkan kepala.
“Sebaiknya tabib itu tidak perlu datang kemari, jika luka putriku semakin membaik, aku tidak mau orang asing yang asal-usulnya tidak jelas ada dirumah ini,”RadenPrajasena menatap tajam Ki Supa dan Wijaya.
Setelah diijinkan menemui Putri Kinasih, Wijaya menunggu diserambi samping, Ki Supa menemui emban, untuk menyampaikan maksudnya ke Putri Kinasih. Sepeninggal Wijaya  dan Ki Supa tampak Ki Wijil dan Raden Prajasena masih berbincang-bincang.
"Ki Wijil kau harus lebih ketat  terhadap orang asing dirumah ini, keadaan semakin tidak menentu, "Raden Prajasena berkata dengan nada dalam.
"HambaRaden..,”Ki Wijil menjawab.
Sementara itu diserambi samping, tampak Putri Kinasih berjalan keserambi, keadaannya semakin membaik dan dapat berjalan sendiri, walaupun masih agak perlahan-lahan,terlintas kemurungan diwajahnya. Putri Kinasih adalah gadis yang cantik, dengan mengenakan kebaya hijau, rambutnya panjang sebahu dan sepasang lesung pipit dipipinya.
Kemudian Ki Supa meninggalkan Wijaya dan Putri Kinasih di serambi, dan melanjutkan pekerjaannya.
'' Tampaknya putri semakin membaik ?''Wijaya bertanya sambil membuka kain pembalut luka Putri Kinasih.
''Ya kakang, aku sudah dapat berjalan sendiri,dan sudah tidak memar lagi,''jawabnya sambil memperhatikan lukanya.
''Maafkan aku Putri, karena ulahku, membuat putri bersedih,''Wijaya berkata, sambil membalurkan ramuan ke kaki Putri Kinasih.
''He...! Berapa kali kau ucapkan kata-kata itu,apakah kau tidak bosan ?''Kinasih menjawab kesal.
''Ampun Putri.., tapi hamba belum mendengar,bahwa putri memaafkan kesalahanku,''Wijaya berkata dengan nada menyindir, sambil membalut luka Kinasih dengan kain yang baru.
''Baiklah.., baiklah.., aku memaafkanmu...!''Kinasih menjawab dengan wajah merengut. Wijaya menengadahkan wajahnya melihat wajah putri yang cemberut, lalu ia menunduk sambil tersenyum.
''He..! Kau mengejekku..!''putri berkata dengan nada tinggi.
Wijaya tergagap, wajahnya ketakutan, lalu berkata,''ampun putri bukan maksudku..'' Seperti orang kebingungan, dan tidak tahu harus apa, ia berkata terbata-bata,'' hamba..,hamba.., mohon diri Putri, pekerjaan hamba telah selesai,''sambil beringsut mundur, ia berjalan tergopoh-gopoh meninggalkan Putri Kinasih.
Setelah Wijaya hilang dari pandangan, Putri Kinasih tertawa meledak, ia tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.
Emban pemomongnya menghampirinya dan berkata,''Putri keterlaluan...,Putri mempermainkannya ?"
''Biar saja bibi, dia tadi sudah mengejekku dan membuat aku kesal,''Putri Kinasih berkata sambil tersenyum.
''Hati-hati putri, kata pepatah orang tua, kalau kau mengejek seseorang, suatu saat kau akan merindukannya,''emban itu memperingatkannya.
''Bibi...! Kau juga mengejekku he..?''suara Putri kinasih meninggi, wajahnya kemerahan menahan malu.
Kinasih mencubit lengan Bibi Embannya, sambil merengut. ''Cukup, cukup Putri..,sakit...!''bibi emban itu menjerit menahan sakit, sambil terkekeh-kekeh.
''Awas kau bi...!''aku adukan kepada ibunda,karena sudah mengejekku,''Kinasih berkata manja sambil tersungut-sungut.
Sementara Wijaya sudah mulai dengan pekerjaannya sehari-hari di rumah bangsawan kaya itu. Tampak kuda-kuda yang kokoh, dengan pelana terbuat dari kulit dan berhias logam. Ketika selesai memandikan kuda, Wijaya menyempatkan diri berkeliling berkuda mengelilingi dusun Pendawareja. Dengan kuda yang tegar dan berwarna hitam,Wijaya tampak gagah perkasa. Meskipun pakaian yang dipakainya sederhana, tetapi dia adalah anak muda yang tampan. Ia berkuda menyusuri jalan-jalan sepi di dusun Pendawareja, untuk menghindari perhatian orang.
Terbayang diangan-angannya gadis berparas ayu,dengan kebaya berwarna hijau. ''Putri Kinasih,''ia bergumam.
''Gila..! ''Tidak mungkin..!''Wijaya meracau.
''Tidak mungkin gadis itu suka padaku..,''aku hanyalah anak padesan dalam wujudku sekarang ini,''ia berkata pada diri sendiri.
Tiba-tiba saja, ia dikejutkan oleh derap kuda dihadapannya, suara itu membuyarkan lamunannya, ia memperlambat kudanya dan berhenti disisi jalan. Kemudian ia turun dari kudanya dan memperhatikan dua orang yang berpapasan dengannya.
''He..anak dungu..!''
''Kenapa kau berdiri menatapku ?''lelaki berpakaian seperti bangsawan itu membentaknya.
''Kau siapa Kisanak ?,  aku tidak mengenalmu..,"tanya Wijaya.
''Berani sekali kau berkata seperti itu..!''
''Semua orang di dusun inimengenalku...!''bangsawan muda itu berkata.
''Aku Raden Widarpa putra Pangeran Prangwahana, yang sebentar lagi akan diangkat menjadi adipati, yang diberi kuasa atas daerah Pengasih, Nanggulan, sampai perbatasan Kedu.''
''Oh..,maaf Raden, hamba orang baru di dusun Pendawareja ini,''Wijawa menjawab.
''Pantas..., mulai sekarang jagalah sikapmu,jika berhadapan denganku,''bangsawan muda, yang mengaku bernama Widarpa ituberkata.
''He..,kudamu bagus sekali,''bangsawan muda yang bernama Widarpa itu turun dari kudanya dan mengamati kuda yang dibawa Wijaya.
Tiba-tiba matanya memandang tajam kearah Wijaya.
''He...,darimana kau dapat kuda seperti ini..?''
''Kau pasti mencurinya..!”
“Ampun Raden, hamba hanya seorang pekathik, yang dipercaya merawat kuda oleh majikan hamba,”Wijaya menjawab.
“Kaudapat membuat seribu alasan, tidak mungkin orang sepertimu mampu membeli kuda seperti ini.”
“Lihat kuda ini gagah sekali, aku belum memiliki kuda berwarna hitam..!” “Kemarilah menir Van dejik..!”berkata Raden Widarpa kepada seseorang yang datang bersamanya.
“Benar sekali Raden, kuda ini bagus..,kau tentu dapat memilikinya, kau Putra Pangeran Prangwahana yang akan berkuasa didaerah ini,”berkata lelaki yang dipanggil Menir Van Dejik.
Lelaki itu bertubuh tinggi, berambut agak kemerahan terbakar matahari, kulitnya putih,berpakaian prajurit, dengan pedang panjang dilambung dan memakai alas kaki yang tingginya sebetis.
“He anak tidak tahu diri..!”Raden Widarpa membentak.
“Aku akan menyita kudamu sementara waktu, katakanlah kepada majikanmu, jika kau memang benar seorang pekathik..!
“Aku menginginkan kudanya, tetapi aku tidak akan membelinya, datanglah kerumahku jika dia punya keberanian, ingin mengambil kudanya..!”
“Tidak ada yang bisa menghalangi keinginanku..!”
“Jika aku ingin sesuatu, maka harus terpenuhi..!”Raden Widarpa berkata lantang.
“Bukan maksud hamba menentang Raden, tapi aku hanyalah menjaga apa yang sudah dititipkan kepadaku,”Wijaya berkata.”
“Kau berani menantangku..?”Raden Widarpa membentak.
“Apa boleh buat...,”Wijaya menjawab.
Tiba-tiba sebuah sebuah tamparan kearah wajah Wijaya, Wijaya terkejut tetapi masih bisa mengelak dengan menarik kepalanya kebelakang, hanya desir angin saja yang terasa diwajahnya.
“Anak setan.., kau akan menyesal !”Raden Widarpa mengumpat.
Lagi sebuah pukulan kearah wajahnya, Wijaya menepis dengan lengannya.
Raden Widarpa terus mengumpat, karena serangannya tidak mengenai sasaran. Wijaya hanya menghindar dan menepis serangan Raden Widarpa tanpa membalas, serangan yang luput dari sasaran itu membuat darah Raden Widarpa mendidih.
Ia menyerang dengan bertubi-tubi kearah Wijaya. Wijaya dapat menilai bahwa bangsawan itu, tidak mempunyai bekal kanuragan yang cukup untuk bertarung. Bahkan terkesan manja, atau sering memaksakan kehendak atas keinginannya, meskipun menginjak-injak harga diri orang lain. Dari cara berbicaranya, pun jelas terlihat, bahwa dia selalu menjual nama ayahnya,demi nafsunya. Wajah bangsawan itu merah, karena amarahnya, keringat bercucuran, tetapi tak satupun serangannya yang mengenai tubuh Wijaya.
Orang asing yang berpakaian prajurit, yang dipanggil Menir Van Dejik itu melihat gelagat yang kurang baik bagi Raden Widarpa. Tiba-tiba,ia mengambil sebuah senjata yang terbuat dari logam, dari balik bajunya, lalu mengacungkannya kearah Wijaya.
"Hei..kowe orang mau mati..?”Menir Van Dejik berkata lantang.
Pertarungan itu terhenti tiba-tiba, Wijaya dan Raden Widarpa menoleh kearah orang asing itu.
“Kemarilah Raden Widarpa, biar orang itu merasakan pistolku.”
“Sekali tarik pelatukku, kepala kowe akan tembus!”Menir Van Dejik berkata.
Raden Widarpa lalu berdiri disisi Menir Van Dejik.
Wijaya memandang keduanya tak berkedip, ia berkata pada dirinya sendiri,”kalau aku teruskan, tentu keadaannya akan menjadi lain.”
Tiba-tiba terdengar suara menderu, seperti putaran angin, suaranya bergemuruh. Daun-daun berterbangan ditiup angin, tiga orang yang berseteru itu tampak kebingungan. Menir Van Dejik, memandang Wijaya dan membidikkan senjatanya, sementara Wijaya berdiri terpaku, tiga langkah dari orang asing itu
Angin dibelakang wijaya berputar semakin kencang, membentuk bulatan yang membubung tinggi. Terdengar suara letusan dari senjata yang diarahkan ke Wijaya, tapi seketika itu juga pusaran angin, melibat tubuh Wijaya dengan cepat dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Kemudian pusaran itu, berputar-putar di udara,lalu menjauh dari tempat itu menuju satu arah. Angin yang bertiup kencang perlahan mereda dan kembali seperti biasa.
Kedua orang itu berdiri mematung, mereka masih tampak tegang, beberapa saat kemudian, barulah mereka sadar, akan dirinya masing-masing.
''Luar biasa, panas terik begini, tapi ada badai Raden..''
''Aneh sekali,''Van Dejik berkata.
''Itu bukan badai, tapi ada orang yang sengaja ikut campur urusan kita menir..!''Raden Widarpa menjawab.
"Maksud Raden ada yang orang yang bisa membuat angin kencang seperti itu?" menir Van Dejik bertanya.
"Menurut cerita ayahanda pangeran prangwahana memang ada menir, tapi hanya sebagian kecil orang," Raden Widarpa menjawab.
"Oh..,aneh sekali orang di tanah jawa ini, lalu siapa pelakunya Raden?" Van dejik bertanya.
"Aku tidak tahu menir, ia sengaja tidak menampakkan diri."
"Salah satu orang yang ayahanda ketahui adalah pangeran Mangkubumi, yang diberi kuasa menjadi Sultan, setelah Mataram dibagi dua."
"Tapi apakah mungkin ?, Kanjeng Sultan sudah lama wafat," Raden Widarpa bertanya pada diri sendiri.
"Sudahlah Raden orang yang membawa kuda hitam yang gagah ini sudah dihempaskan oleh angin yang membadai itu, mungkin dia sudah mati terhempas ke batu padas atau jurang di lereng gunung ini."
"Sekarang kita kembali , dan kita bawa kuda ini kerumahmu," menir Van Dejik itu berkata.
Setelah itu mereka berdua pulang ke kediaman Pangeran Prangwahana, yang bersebelahan dengan dusun Pendawareja, yaitu dusun jatisarana.
 

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut